Sudah dua hari Barra Farzan meninggalkan rumah. Sejak kepergiannya, ia belum mengabari sang istri. Apakah Astra kesepian tanpa dirinya, apakah Astra merindukannya. Barra seolah lupa akan itu.
Barra tengah tersenyum, ia senang ketika melihat Annisa sadar dengan kondisi normal. Keluarga menjadi penyebab ketenangan Annisa. Barra hanya berharap Tuan Hiro tak akan mengamuk akibat ulahnya.
Meski Barra tak yakin akan hal itu. Barra membaringkan tubuh di ranjang. Tiba-tiba ia seperti teringat sesuatu.
"Astaga. Dimana ponselku?" Gumam Barra.
Barra membuka resleting tasnya, ia mendapati ponsel dalam keadaan mati. Bara menggeleng-gelengkan kepala. Bisa-bisanya ia melupakan sang istri.
Barra keluar dari kamar, ia hendak mencari pengisi daya untuk ponselnya. Namun ketika sampai di ruangan keluarga, Barra melihat Tuan Hiro sedang memukuli Kenzi sampai babak belur.
Barra berlari, melerai keduanya. Bukannya berhenti, Tuan Hiro malah semakin membabi buta. Ta
Barra mengecup kening Astra begitu dalam. Setelah itu, Barra menyiapkan air hangat untuk sang istri mandi.Astra keluar kamar mandi sudah dengan pakaian bersih menempel di tubuh rampingnya.Barra menoleh, lalu tersenyum."Bagaimana, kalau aku buatkan bubur ayam. Spesial untukmu. Kau bisa request topingnya juga. Aku lihat, di lemari es masih banyak bahan makanan."Barra menawarkan makanan yang biasa dikonsumsi orang-orang yang sedang tidak sehat. Ia memang handal dalam urusan memasak. Sedari kecil, ia diajarkan untuk mandiri. Pengalaman kerja diberbagai rumah makan membuat Barra menguasai banyak menu yang bisa ia eksekusi sendiri."Boleh, aku ingin makan bubur ayam diberi tambahan udang goreng tepung." Kata Astra sembari mengukir senyum.Gadis itu sudah tampak lebih cerah cahayanya, suhu tubuhnya pun sudah menurun.Barra merasa lega, selain sang ibu, Astra juga merupakan separuh hidupnya.Barra dengan luwes menyiapkan semua baha
Barra Farzan bersembunyi di balik dinding ruang ICU. Ia jelas tidak berani mendekati keberadaan Astrata yang kini tengah dirundung kecemasan bersama Alfa Zen. Tiga puluh menit berlalu, Barra Farzan sampai tidak sanggup lagi berdiri menopang seluruh tubuhnya. Kakinya terasa pegal, Barra meluruh ke lantai rumah sakit. Ia duduk sila di sana, banyak pasang mata yang menatap melas ke arah Barra Farzan. Pria itu hanya bisa pura-pura tidak peduli, padahal dalam hati ia menahan malu. Lima menit, setelah tiga puluh menit pertama, akhirnya Astrata mengingatnya dan menghampiri Barra Farzan yang sedang menopang kan kepalanya pada lutut yang ditekuk. "Astaga Sayang, ma'afkan aku. Aku terlalu fokus pada kondisi Papa." Ucap Astrata. Barra Farzan berdiri, menyeka debu di pantat dengan beberapa kali menepuk-nepuk bagian belakang. "Tidak apa, bagaimana dengan Papa? Aku lihat, belum ada dokter yang keluar dari ruangan?" Astrata kembali bersedih, senyum y
"Ingat! Tetap waspada, jangan sampai kecerobohanmu merugikan ku! Mengerti!""Baik, siap Bos.""Bermain bersih! Aku tidak menerima kegagalan!"Setelah panggilan diputus sepihak, pria muda tersebut membuka sarung tangannya. Lalu ia menyimpan semua perlengkapan tempur itu ke dalam bagasi motor yang cukup lebar.Ia bukanlah pemain profesional, namun dirinya berusaha untuk tetap mengikuti alur permainan. Bermain sesuai arahan rekannya yang lebih berpengalaman. Biarlah seperti itu, asal ia tetap diperbolehkan mendekap seseorang yang berarti di hidupnya.* *Barra Farzan mengetuk pintu berkayu akasia tersebut. Jantungnya tidak beraturan, kejadian tadi membuatnya agak parno dengan hal-hal yang mencekam.Tiga kali sudah ia mengucap salam, namun tidak seorangpun menyahut dari dalam. Hatinya semakin resah karena lampu-lampu di dalam rumah pun dalam kondisi padam. Teras rumah terasa begitu hampa dan sunyi.Barra memutuskan untuk mengambil
Alfa Zen tidak kembali lagi setelah berkelahi dengan Barra Farzan. Hingga malam berubah menjadi pagi, Alfa Zen tidak menampakkan batang hidungnya. Barra tidak tidur sejak semalam, ia membiarkan pahanya digunakan Astrata sebagai bantal. Semalaman ia menjaga Astrata tidur, di kursi tunggu. Berli Astrata Bustomi, meski dalam keadaan bangun tidur, ia tetap tampak cantik. Menurut Barra, kecantikan Astrata semakin bersinar saat bangun tidur. Dan itu membuat Barra Farzan semakin jatuh cinta. Astrata cepat-cepat duduk saat menyadari Barra Farzan menatapnya intens. Ia malu karena saat bangun tidur, seseorang biasanya akan mengeluarkan kotoran dari mata. Bahkan ada juga yang sampai menciptakan kepulauan dengan air liurnya, sehingga menyisakan bekas-bekas putih di sudut bibir hingga melebar ke dagu. Gadis itu segera menyapukan tangannya ke wajah, jari-jarinya lincah menyeka bagian-bagian yang berpotensi membuatnya malu di depan sang suami. "Kenapa? Tidak
Di sebuah cafe yang berjarak 5 km dari rumah sakit tempat Pak Abbas dirawat, Alfa Zen menemui seorang gadis. Alfa Zen berpisah dengan Chan kala ia mendapat telepon dari gadis tersebut. Ia memutar balik kendaraan dan berakhir di cafe greendi. "Kak, silakan duduk." Ujar gadis itu. "Waktuku tidak banyak, cepat katakan apa tujuanmu memanggilku." Ketus Alfa Zen yang menolak duduk. "Minum dulu, Kak. Aku sudah pesankan minuman untukmu." "Aku tidak punya banyak waktu untuk berbasa-basi denganmu." "Baiklah," Akhirnya gadis tersebut mengalah. "Aku tahu alasan Papi memutus semua kerjasama dengan BPC." "Lalu?!" Gadis itu geleng-geleng, ia berharap informasi itu akan memperbaiki hubungannya dengan Alfa Zen yang merenggang akibat ulah sang papi. Namun, ekspektasi tidak seindah kenyataan. Sikap Alfa Zen tak ubahnya saat pertama ia tahu kalau Hiro melepas semua kerjasama dengan perusahaan pria itu. Alfa Zen seperti tida
Barra bangkit, ingin sekali ia mencari Hiro dan menghabisinya saat itu juga. Akan tetapi itu tidak mungkin, Alby dan Ervi lebih butuh bantuannya. Barra meremas abu bekas rumah makannya. Ia menyumpahi Hiro akan menyesali segala kesalahannya di akhir hidupnya.Barra sangat marah. Hiro memang salah satu manusia berhati iblis. Tidak berperikemanusiaan, Bahkan ia dengan bangga mengungkapkan bahwa dirinyalah penyebab rumah makan habis di lahap si jago merah.Barra usap air matanya dengan punggung tangan. Meninggalkan warna kehitaman bekas arang yang melekat di tangan tadi.Barra kacau, ia terpukul. Berlari kembali menuju klinik Flamboyan."Er ... apa yang terjadi?! Bagaimana kondisi Alby?! Kenapa tidak menelepon Uda sejak pagi?" Barra Farzan memberondong Ervi dengan pertanyaan saat sampai di klinik.Ervi tengah duduk dan menangis tanpa suara. Gadis itu masih saja sesenggukan, tidak menjawab pertanyaan sang kakak."Katakan pada Uda, apa yang sebena
Warning ❗ "Terima kasih, Annisa. Nanti aku akan ganti uangmu," kata Barra Farzan setelah Annisa berbaik hati membayar kerugian yang harus Barra Farzan tanggung. "Nggak perlu, aku kira kamu pergi ke mana, sudah beberapa hari sulit dihubungi. Hampir seminggu kamu nggak dateng ke rumah.Ternyata bekerja di sini? Kenapa harus jadi kuli?" Barra mengangguk. "Aku nggak punya pilihan lain. Ngomong-ngomong, kamu kemari dengan siapa?" "Dengan Ken dan Bi Sumi. Mereka lagi belanja di dalam. Aku ingin makan rawon yang ada di pasar ini, tapi aku mau makannya di rumah. Jadi Ken nunggu pesanan selesai dibungkus, dan Bi Sumi sedang belanja daging di dalam." "Ooh ... begitu." Barra Farzan bahagia, Annisa tampak seperti orang normal. Artinya ia bisa segera melepaskan diri dari perempuan tersebut. Untuk segala risiko yang akan dihadapi, Barra Farzan pikirkan nanti saja. Yang memberatkan ia bertahan dengan Annisa adalah, karena perempuan tersebut sangat membutuhkan orang-orang yang peduli dengannya.
Annisa tersenyum sambil menyisir rambutnya yang basah. Perempuan tersebut memerhatikan Barra Farzan yang baru bangun dengan ekspresi bingung. Segala sesuatu yang datang dari Barra Farzan, selalu saja membuat Annisa bahagia.Barra masuk ke dalam kamar mandi, tidak sampai sepuluh menit sudah keluar dengan rambut basah dan dua handuk ia tutupkan ke seluruh tubuh. Takut jika sampai Annisa akan kembali mengajaknya bergulat."Apa masih ada pakaianku di sini?" Tanya Barra Farzan.Annisa berdiri, membuang handuk yang menutup dada bidang Barra Farzan. Alarm bahaya langsung berdering di otak Barra Farzan."Annisa, adikku membutuhkan aku, apa kau bisa mencarikan pakaian untukku? Aku harus segera ke rumah sakit." Ucap Barra,"Sebentar sayang, aku hanya ingin memelukmu sebentar saja."Annisa mulai mengecupi dada sampai leher, juga sekilas mengecup bibir Barra. Tidak puas begitu saja, Annisa berhenti di bagian leher, mengecup lama bagian itu. Lalu, Annisa