“Baik, Bu. Akan segera Aku bersihkan setelah makan,” jawab Riana.
Riana melangkah mendekati meja makan, ia tidak mendapati lauk atau pun sayur di sana. Semua yang dia masak habis tidak bersisa, membuat dia menggelengkan kepalanya pelan.“Untung mas Rey tidak membawa bekal, jadi Aku bisa makan deh,” kata Riana seorang diri sambil memeluk erat kotak bekal yang berada di tangannya.Memang ada perasaan kecewa di hatinya tetapi, Riana tidak ingin memikirkan terlalu jauh. Karena menurutnya kalau memikirkan itu tidak baik bagi diri sendiri, makanya sebisa mungkin dia menahan diri supaya tidak menjadi beban pikiran yang akan membuatnya menjadi berpikiran buruk.Riana makan dengan lahap, ia sangat menyukai menu makanan pagi ini. Sebab, setiap kali Serly datang Mayang akan membeli lauk dan sayur enak dalam jumlah banyak, jadi saat dia memasaknya kemarin, masih ada sisa untuk sarapan pagi ini. Kapan lagi akan makan enak, biasanya setiap hari akan menyantap hidangan sederhana seperti ikan asin atau telur. Tetapi, hanya Riana seorang yang makan di rumah, Mayang dan Reynald tidak pernah menyentuh makanan itu sama sekali.Setelah selesai makan, Riana membersihkan meja makan terlebih dahulu, ia akan menumpuk piring di wastafel. Dia memang akan mencuci piring kalau pekerjaan yang lain selesai, karena menurut Riana mencuci piring tidaklah berat. Jadi ia memilih mengutamakan membersihkan rumah, misal menyapu dan mengepel.“Riana! Aduh bok-ongku!” teriak Mayang kesakitan.Riana tergopoh-gopoh berlari sambil membawa gagang pel saat mendengar teriakan ibu mertuanya di dalam. Saat Mayang berteriak, Riana berada di teras sedang mengepel lantaran ia sudah selesai bagian dalam.“Ada apa, Bu?” tanya Riana dengan napas tersengal.“Apa Kamu mau membunu-hku hah?!” teriak Mayang kesal, dia masih duduk di lantai tepat depan kamarnya.“Maksud Ibu apa? Membun-uh?” Tanya Riana heran, ia mengulurkan tangannya untuk membantu Mayang berdiri.Mayang menepis kasar tangan Riana yang mau membantu, ia memilih berdiri sendiri. “Jangan pura-pura tidak tahu ya, Aku tahu Kamu sengaja mengepel lantai dengan licin seperti ini. Makanya Aku terpeleset saat berjalan keluar!” tuduh Mayang kesal.“Aku tidak ada niatan buruk seperti yang Ibu katakan kepadaku itu. Lantainya licin karena baru saja Aku selesai mengepelnya,” sanggah Riana atas tuduhan yang Mayang berikan.Mayang berdecak kesal, “Dasar menantu tidak berguna! Mengepel saja tidak becus, bisanya makan dan tidur saja!” Umpat Mayang berjalan menjauh.Mayang berjalan keluar menuju mobilnya dengan memegangi pinggangnya yang sakit akibat terjatuh, dengan mulut tidak berhenti mengomel.Riana menghela napasnya berat, ia merasa tidak pernah benar di mata mertuanya. Selalu saja ada salah menurut Mayang, padahal dia sudah berusaha sebisa mungkin untuk melakukan hal terbaik. Ia memilih untuk melanjutkan pekerjaan yang masih belum selesai, masih banyak pekerjaan menumpuk harus dilakukan oleh Riana.Seperti mencuci pakaian, ada satu baskom penuh pakaian yang direndam di kamar mandi. Mayang tidak pernah memperbolehkan Riana mencuci dengan mesin cuci, mesin cuci itu digunakan untuk mengeringkan pakaian saja. Karena Mayang merasa kalu mencuci di sana tidak pernah bersih dan boros listrik, makanya Mayang selalu menyarankan untuk menggosok secara manual saja.“Ugh! Pinggangku rasanya mau copot,” keluh Riana sambil memijat lembut bagian yang terasa sakit.Namun, ia melanjutkan acara menggosok pakaian yang masih tersisa banyak, karena ia harus memastikan tidak ada setitik pun noda di sana.“Padahal Aku sudah mengerjakan pekerjaan rumah setiap hari tapi, malah dibilang makan tidur saja,” gumam Riana seorang diri.Dia meratapi nasibnya yang tidak langsung bekerja, padahal dulu ada yang menawarkan pekerjaan yang lumayan bagus kepadanya. Riana mendapatkan beasiswa karena nilainya selalu bagus, bahkan di kampus dia salah satu murid teladan.Tetapi, lantaran cintanya kepada Reynald membuatnya melepasan kesempatan itu, ia malah menerima lamaran dari suaminya. Tanpa melebarkan sayap di dunia karir karena Reynald yang menginginkannya, suaminya hanya menginginkan seorang ibu rumah tangga saja, bukan wanita karir..Sementara itu, di dalam mobil, Mayang terus mengeluh pinggangnya yang sakit, ingin pergi ke tukang urut. Sayangnya ia sudah terlambat pergi ke acara pertemuan sosialita, yang selalu diadakan setiap senin.“Hai, Jeng,” sapa Mayang sambil duduk di kursi kosong.“Hai, Jeng,” balas teman Mayang serempak.“Itu kenapa tangannya nempel terus di pinggang, encok ya?” tanya Santi, teman sosialita Mayang.“Tidak nih, Jeng Santi. Hanya saja tadi kepeleset di rumah,” jawab Mayang sambil meringis.“Kok bisa?” tanya Desi.“Biasalah, Jeng Desi. Itu si Riana istri Reynald, dia tidak becus banget jadi istri, masa iya dia mengepel lantai sangat licin sekali, makanya aku terjatuh,” jelas Mayang dengan mimik wajah sedih dibuat-buat.“Astaga ya, Jeng. Kamu sih mau menerima Riana sebagai menantu. Coba kalau Aku, sudah Aku pecat jadi menantu dia itu!” gerutu Santi, "apa mau kita beri pelajaran?"Tidak terasa waktu sudah berlalu dengan begitu cepat, Mayang sekarang menjadi kesulitan bicara dan berjalan karena stroke yang dia derita melumpuhkan separuh tubuhnya sebelah kanan. Sehingga apa yang ingin dia lakukan menjadi kesulitan, jadi harus dibantu oleh orang lain, mulai dari makan bahkan sampai ke kamar mandi. “Ck, aku nikah buat hidup enak, bukan seperti ini!” gerutu Diandra. Diandra sepanjang jalan menggerutu sedari tadi, membuat Reynald menajdi muak, “Diam kamu! Ini juga karena aku menikah denganmu, hidupku menjadi sial!” Reynald menyalahkan Diandra atas kesalahnnya sendiri, begitulah dia selalu melempar kesalahannya kepada orang lain. “Idih! Kamu yang korupsi, kok aku yang disalahin?!” Diandra menatap bengis kepada suaminya yang baru dia nikahi beberapa bulan ini. “Iyalah, karena aku menikah denganmu semuanya jadi kacau! Beda saat bersama dengan Riana, apa lagi kamu tahu suamimu tidak bekerja malah tetap pergi shoping, sehingga semua harta yang terisa menjadi habis kare
“Wanita itu? Apa kamu mengingat sesuatu?” Riana menatap lekat kekasihnya, dia menunggu jawaban keluar dari mulut Wira dengan tidak sabaran.Wira masih mengingat-ingat apakah benar wanita itu, tetapi penampilan dan sifatnya jauh berbeda dengan wanita yang diingat tersebut, dulu setahu Wira hanya satu wanita yang menatap Riana dengan tatapan penuh iri dan kebencian. Wanita yang wajahnya penuh jerawat dan bahkan selalu mendelik setiap kali Riana melihatnya.“Aku tidak tahu namanya, tapi dia wanita yang selalu mendelik kepadamu setiap kali kamu melewatinya. Hanya saja penampilannya sangat jauh berbeda dengan dulu, bukan maksudku menghina, wajahnya penuh dengan jerawat bahkan selalu berjalan menunduk karena dia selalu dibully oleh senior!” ucap Wira dengan ragu, dia masih tidak yakin kalau wanita itu adalah Diandra.Hanya dia lah yang terlihat sangat membenci Riana, bahkan setiap kali ada kesempatan wanita itu akan mengerjai kekasihnya tersebut, tetapi Wira ‘lah yang selalu menggagalkan re
“Wira? Maaf aku sedang sibuk!” Riana menjauhi Wira dan melambaikan tangan kepada pelayan yang lain. “tolong layani dia, aku akan masuk ke ruanganku!”Sebenarnya dia ingin mengajak Wira berbicara, dirinya merindukan lelaki itu walau baru sebentar tidak bertemu dengan nya, hanya saja teringat akan Subroto yang tidak merestui ubungan dia dnegan lelaki itu mmebuat Riana menjadi urung untuk sekedar mengajak Wira berbicara.“Riana, tunggu!” Wira menahan tangan Riana, supaya wanita itu tidak pergi.“Maaf saya sedang sibuk sekarang, jadi saya harap Anda pergi saja!” Riana mengusir Wira sambil menepis tangan lelaki itu dari dirinya.“Riana, apa kamu marah kepadaku karena tidak membelamu? Maafkan aku untuk itu, aku akan mengumpulkan bukti untuk mengatakan kepada Papa sekaligus membersihkan namamu!” Wira mengatakan semuanya kepada Riana, tetapi dia ragu kalau wanita itu akan mempercayainya.Riana terdiam, hatinya terasa nyeri mendnegar perkataan Wira tersebut, yah dia memang merasa sakit hati la
“Iya. Tante Desi memang wanita yang sangat baik, aku berdoa kalau dia ‘lah yang menjadi mertuaku nanti. Apakah aku terlalu berharap?” Riana bertanya dengan mata berbinar-binar, dia sangat berharap kalau dirinya berjodoh dnegan Wira. Kapan lagi dia mendapatkan mertua seperti Desi, yang selalu menyayanginya.“Tidak ada salahnya untuk berharap. Sekarang kamu istirahat saja, besok sudah mulai belajar mengelola restoran dengan Mutia. Jadi kamu harus menyiapkan diri untuk besok, aku pamit pulang dulu.” Edo mengusap rambut keponakannya sebelum pergi, Riana menjawab dengan anggukan kepala.*Di lain tempat Desi tengah bersedih, dia tidak menyangka kalau suaminya setega itu kepada seorang wanita muda malang itu, sungguh padahal tadi dia sangat bahagia sekali dengan kepulangan Riana dari rumah sakit dan sekaligus kedatangan suaminya yang tiba-tiba. Namun, ternyata malah berakhir dengan kesedihan, sekaang dia tidak bersemangat lagi menyambut kedatangan Subroto dengan penuh semangat seperti tadi,
“Tidak perlu Paman melakukannya, biarkan saja!” Riana tidak mau sang paman membalas apa yang telah orang-orang itu lakukan kepadanya.“Kenapa? Mereka ‘kan sudah jahat kepadamu, jadi biarkan aku yang mengurusnya. Kamu hanya perlu melihat saja tanpa perlu mengotori tanganmu itu!” Edo geram dengan ke’empat orang itu, dia ingin memberikan pelajaran kepada mereka semua. Walau Subroto sedikit sulit karena dia seorang pemilik perusahaan besar dan terkenal, tetapi dia akan berusaha sekuat tenaga untuk membalas perbuatan mereka semua.“Tidak papa! Aku sudah ingin berusaha ikhlas saja dengan perbuatan mereka, apa lagi ayahnya Wira, aku tidak mau melakukan sesuatu yang buruk kepada dia. Karena Tante Desi, istrinya sangat baik kepadaku selama ini dan juga Wira ....” Riana tidak meneruskan kalimatnya.“Apa Ibu Riana menyukai Wira? Maaf kalau saya ikut campur pembicaraan ini!” tebak Mutia. Karena dia tahu kalau seseorang membicarakan seorang lelaki dengan wajah yang memerah, berarti orang itu menyu
“Iya. Ini restoran sekarang adalah milik Anda, karena Anda adalah ahli waris yang sah! Oh, iya, perkenalkan saya adalah Mutia, manajer di restoran ini.” Mutia mengulurkan tangannya, untuk memperkenalkan diri kepada bos barunya tersebut.Riana hanya menerima uluran tangan itu dalam diam, dia masih mencerna situsi yang ada, dia masih tdak menyangka kalau kedua orang tuanya memiliki restoran yang mewah dan besar seperti ini. Apakah memang benar ini adalah milik kedua orang tuanya? Dia masih tidak mempercayainya, karena menganggap semua ini hanya mimpi.“Bu Riana?” Mutia menyentuh Riana pelan, karena sedari tadi dia mengajak bicara tetapi tidak ada sahutan yang terdengar.“Eh, ii-iya!” Riana tergagap, dia terkejut karena tadi sempat melamun.“Apa Anda mau berkeliling untuk melihat restoran ini?” Mutia menawarkan untuk berkeliling, sebenanrnya Pak Edo menyuruhnya untuk mengajak Riana berkeliling dan memperkenalkan dengan bawahan yang lain.“Boleh. Tapi barangku ini di taruh di mana?” Rian