Share

Hanya Mimpi

"Itu hanya mimpi, jangan terlalu dipikirkan, ya!" ucap Mas Adnan setelah sekian lama ia terdiam. Pandangannya beralih dari wajahku, tatapannya lurus ke jendela kamar namun terlihat kosong. Akupun langsung meraih tangannya hingga membuat ia kembali menatap wajahku, seketika aku tersenyum padanya.

"Iya mas, aku tau itu hanya mimpi. Dan aku yakin, kamu adalah pria yang paling setia," ucapku untuk kembali mencairkan suasana.

Kurasa, ucapanku barusan sudah merubah mood nya. Sedari dulu, kami memang paling sensitif jika membahas soal orang ketiga. Aku yang sensitif dan sangat cemburuan selalu saja memasukan ucapan ibu mertua yang sengaja memanas-manasiku ke dalam hati, ujungnya, aku selalu curiga pada Mas Adnan bahkan hingga terbawa mimpi. Sedangkan, Mas Adnan sendiri tipe orang yang tak mau terus-terusan membahas masalah yang sama. Karena ia punya prinsip sekali tidak tetap tidak, dan sudah beberapa kali Mas Adnan mengatakan padaku kalau dia tidak akan pernah mengkhianatiku untuk selamanya.

Mas Adnan mengusap rambutku dengan lembut, tapi pandangannya kembali menatap ke arah yang lain. Biasanya, jika seperti itu, ia sedang ada masalah atau sesuatu yang sedang ia pikirkan. Dengan perlahan, akupun meraih tangannya, lalu berusaha untuk duduk. Mas Adnan dengan sigap langsung membantuku.

"Sayang, apa perutmu tidak sakit jika duduk seperti ini?" tanyanya setelah aku berhasil duduk bersila dengan bantuannya.

Aku meraba perutku pelan, memang aneh, rasanya tidak sakit sama sekali. Tapi, setelah kuingat lagi, katanya aku sudah tertidur selama satu tahun, itu artinya mungkin lukaku memang sudah sembuh. Dengan cepat, akupun langsung menggeleng pada Mas Adnan hingga Mas Adnan tersenyum lalu duduk di sampingku.

"Sepertinya, kamu sedang memikirkan sesuatu, mas?" tanyaku membuka kembali pembicaraan diantara kami.

Mas Adnan langsung menoleh, entah kaget atau apa, aku tak bisa menebak raut wajahnya. Aku hanya mengangkat sebelah alisku dan menunggu jawaban darinya, namun Mas Adnan malah mengalihkan pandangannya seraya mengusap wajah.

"Mas?" tanyaku lagi sambil memegang bahunya hingga membuat Mas Adnan kembali menoleh. Ia menggenggam kedua tanganku lalu menatap kedua mataku dengan lekat.

"Inara, maaf!" ucapnya pelan serta terdengar menggantung. Ia menundukkan wajahnya hingga membuatku memicingkan mata seraya menunggu kata selanjutnya, namun sepertinya Mas Adnan enggan melanjutkan.

"Maaf? Untuk apa, mas?" tanyaku kemudian.

Mas Adnan mengangkat kembali wajahnya, entah mengapa melihat tingkahnya yang seperti itu membuat hatiku tak tenang.

"Maaf karena aku telah mengingkari janjiku," sahutnya membuatku langsung terkejut.

Janji apa yang Mas Adnan maksud?

Aku hanya bisa bertanya-tanya dalam hati dan mencoba untuk menepis semua kemungkinan buruk yang kupikirkan.

"Mas, bicara yang jelas! Jangan buat aku berpikir yang tidak-tidak!" ucapku setelah sekian lama aku membisu.

"Maaf, karena hari ini aku tidak menyiapkan apapun untuk aniversary kita," sahutnya setelah sekian lama aku menunggu. Jawaban itu membuatku akhirnya menghembuskan nafas lega.

Aku tersenyum seraya balas menggenggam tangannya.

"Tanggal berapa ini, mas?" tanyaku.

"Lima Februari. Ini aniversary kita yang ke tiga, sayang," sahutnya. "Tapi aku malah tak membuatkan apa-apa untukmu," sambungnya kemudian tertunduk lesu.

Aku mengusap bahunya seraya tersenyum, jika ia meminta maaf hanya untuk hal sekecil itu, aku sungguh tak merasa masalah. Lagi pula, jika aku koma, siapa juga yang tau dan bisa menjamin kapan aku terbangun, makanya aku memaklumi jika Mas Adnan sama sekali tak menyiapkan surprise untukku seperti tahun-tahun yang lalu.

"Itu tidak masalah, mas. Justru aku sangat senang karena pada saat aku membuka mata, kamu adalah orang pertama yang aku lihat. Itu artinya, kamu selalu setia menemaniku di sini 'kan?" ucapku membuat Mas Adnan mengangguk, ia meraih kepalaku lalu membenamkan wajahku di dadanya.

"Ayo, lebih baik sekarang kamu tidur, ini sudah malam," bisiknya seraya melepas pelukan. Aku menengok ke arah jendela, di luar semua lampu sudah menyala, nampaknya hari memang sudah berganti malam.

"Mas akan pulang?" tanyaku seraya menatapnya, berharap ia akan tetap di sini dan menemaniku, tapi aku juga teringat pada Dara, ia pasti sedang menunggu ayahnya pulang.

"Tidak, aku akan tidur di sini," sahut Mas Adnan seraya mengusap rambutku.

"Lalu Dara?"

"Aku akan menelpon pengasuhnya, dan menyuruhnya menginap untuk menemani Dara," jelas Mas Adnan membuatku sedikit tenang.

Aku segera membaringkan kembali tubuhku di atas tempat tidur. Namun seketika aku terkejut saat Mas Adnan juga ikut membaringkan tubuhnya seraya mengulum senyum, ia terus memandangku hingga membuatku merasa salah tingkah.

"Aku sangat merindukan momen seperti ini, sayang," bisiknya.

"Mas, ini rumah sakit!" ucapku untuk mengingatkannya, namun Mas Adnan malah terkekeh seraya memeluk tubuhku.

"Aku hanya ingin tidur sambil memelukmu, boleh 'kan?" tanyanya membuatku mau tak mau hanya mengangguk, meski sebenarnya aku merasa risih, takut tiba-tiba ada dokter atau perawat yang masuk.

Namun tak bisa di pungkiri, tidur dalam dekapan Mas Adnan membuatku langsung terlelap ke alam mimpi.

"Sekali tidak, tetap tidak!"

Suara yang terdengar begitu lantang itu langsung membuatku terkejut dan terjaga. Namun, kurasa ada yang aneh dengan tubuhku saat aku tiba-tiba tak bisa menggerakkannya sama sekali.

"Dia itu pasti sudah mati! Untuk apa kamu membuang waktumu untuk menemani mayat hidup itu?!"

Lagi, suara yang terdengar tak asing ditelinga ku itu kembali menggema di ruangan ini.

"Cukup, Bu! Dia masih hidup, baru saja kami mengobrol, Inara hanya sedang tidur, mungkin dia lelah."

Kali ini aku begitu yakin kalau itu adalah suara Mas Adnan. Ia pasti sedang berbicara dengan ibu. Tapi, aku sangat heran kenapa aku tak bisa menggerakan tubuhku sama sekali.

"Pulang, Adnan! Karin pasti sedang menunggumu!

Kali ini suara ibu terdengar penuh penekanan. Namun, seketika aku terheran saat mendengar nama Karin.

Siapa dia?

Bukankah anakku bernama Dara?

Sederet pertanyaan itu terus berputar dikepalaku seraya aku juga terus berusaha untuk membuka mata dan menggerakan tubuh. Atau setidaknya, aku ingin berbicara untuk bertanya, siapa Karin.

"Cukup, Bu! Untuk kali ini, tolong biarkan aku berdua saja dengan Inara."

Terdengar suara Mas Adnan melemah seolah memelas, hingga tak lama terdengar langkah kaki yang dihentakan dan mulai menjauh. Aku yakin, ibu pasti sudah pergi dari kamar ini.

Aku kembali mencoba untuk menggerakkan tubuhku dan berbicara, namun sayangnya usahaku sia-sia. Semuanya terasa berat dan lidah terasa kelu, bahkan kedua mataku juga terasa rapat dan tak bisa dibuka.

"Ya Tuhan, apa yang terjadi dengan diriku?" desahku dalam hati. Hingga beberapa kali aku terus berusaha dan aku benar-benar merasa lelah.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status