Kreet!
Aku kembali terkejut dan terjaga saat mendengar derit ranjang yang kutempati. Kedua mataku membuka sempurna hingga kulihat langit-langit kamar dengan lampunya yang masih menyala. Jantungku berdebar kencang dengan tubuh yang sedikit bergetar akibat rasa kagetku.Dengan perlahan, kurasa sebuah tangan mengusap kepalaku dengan lembut."Sayang, kamu kenapa? Apa kamu kaget? Maaf, aku tak bermaksud membuatmu kaget," ucap Mas Adnan sedikit berbisik.Aku segera mengusap wajahku, dengan rasa yang sedikit lega karena ternyata kali ini aku bisa menggerakkan tubuhku dengan normal."Inara, kamu gak apa-apa 'kan?" tanya Mas Adnan lagi.Aku langsung menatapnya seraya menggeleng pelan. Mas Adnan tersenyum lalu memberikan segelas air untukku."Kamu minum dulu!" titahnya. Akupun segera meraih gelas ditangannya lalu minum."Hari ini aku akan membawa Dara ke sini, dia pasti sangat senang. Kamu gak apa-apa 'kan aku tinggal sendiri dulu? Lagi pula, sebentar lagi akan ada dokter yang memeriksamu," ucap Mas Adnan seraya mengusap rambutku.Mendengar kata Dara aku langsung mengangguk seraya tersenyum. Aku begitu tak sabar menantikan buah hatiku itu. Namun saat tiba-tiba aku teringat pada kejadian semalam, aku langsung meraih tangan Mas Adnan saat ia hendak berlalu hingga membuatnya sedikit mengerutkan keningnya."Tunggu mas!" ucapku cepat.Mas Adnan memutar kembali tubuhnya menghadap ke arahku."Aku hanya ingin bertanya," sambungku padanya."Tanya apa?" sahut Mas Adnan seraya kembali duduk di kursi."Apa semalam, ibu ke sini?" tanyaku.Mas Adnan terdiam untuk sebentar lalu kembali mengerutkan keningnya kemudian menggeleng pelan."Tidak, sayang. Memangnya kenapa?" ucapnya."Semalam aku mendengar suara ibu di kamar ini, dia bertengkar denganmu 'kan?" tanyaku seraya menatap lekat kedua matanya."Bertengkar?" beo Mas Adnan seraya tersenyum tipis. Ia kemudian menggeleng pelan."Ibu tidak ke sini, mana mungkin aku bertengkar dengannya," sambungnya terlihat serius. Tapi, entah mengapa aku merasa tak percaya dengan ucapannya."Tapi, semalam aku mendengarnya dengan jelas, mas. Hanya saja, entah kenapa aku tak bisa menggerakan tubuhku ataupun bicara. Bahkan membuka mata saja rasanya aku tak bisa. Semalam, aku benar-benar takut tak bisa bangun lagi, mas!" ucapku mencoba untuk menjelaskan apa yang kudengar dan kurasakan.Mas Adnan terdiam untuk sesaat, ia nampaknya sedang memikirkan sesuatu, namun tak lama kemudian ia malah terkekeh dan mengatakan kalau aku terlalu sering mendengar Mas Adnan dan ibu bertengkar jadi sampai terbawa mimpi.Mendengar pernyataan itu aku hanya bisa mengerucutkan bibirku. Tapi, seketika aku teringat pada satu nama yang ibu sebut hingga akupun langsung menanyakannya."Oke, jika mas hanya anggap itu mimpi, terserah! Tapi, siapa Karin? Aku mendengar dengan jelas bahwa ibu menyebut nama Karin, dia bilang, dia menunggumu, mas. Karin itu bukan nama anak kita 'kan?" tanyaku penuh selidik.Tapi meski begitu Mas Adnan terus meyakinkanku, dan dengan tenang tetap mengatakan bahwa semalam tak ada ibu atau siapapun yang masuk ke dalam kamar ini. Hanya saja, dia terdiam sebentar, kemudian mengatakan bahwa nama pengasuh Dara secara kebetulan bernama Karin juga. Hal itu membuatku semakin yakin kalau semalam, ibu benar-benar datang ke kamar ini dan ribut bersamanya, aku yakin nama Karin itu disebut bukan karena suatu kebetulan. Hanya saja, aku tak mengerti kenapa Mas Adnan tetap bersikeras mengatakan bahwa semalam tak ada siapapun yang masuk ke dalam kamar ini selain dirinya. Hal itu membuatku jadi curiga padanya. Apa mungkin ada sesuatu yang Mas Adnan sembunyikan dariku?Padahal, selama menikah aku tak pernah memiliki rasa curiga seperti ini, namun kali ini rasanya sungguh berbeda."Sudahlah, kamu jangan banyak melamun gitu, jangan banyak yang dipikirkan! Sebentar lagi dokter akan ke sini. Aku yakin kamu hanya bermimpi saja," tukas Mas Adnan seraya mengusap kembali rambutku dengan lembut, tak lupa ia juga mengecup keningku singkat."Tapi aku mendengarnya, mas! Lagi pula jika hanya mimpi, mana mungkin bisa sampai kebetulan nama Karin disebut. Apalagi sampai kebetulan juga Karin adalah pengasuh Dara," batinku terus merajuk. Tapi meski begitu aku tak berani untuk terus mengucapkannya.Kreet ...Baru saja dibicarakan oleh Mas Adnan, dokter tersebut sudah masuk ke dalam ruangan ini. Mas Adnan menyambutnya dengan ramah, dan menyebalkannya, dia juga menitipkanku padanya."Aku akan pulang sebentar untuk menjemput Dara, titip Inara dan tolong berikan perawatan yang terbaik untuknya," ucap Mas Adnan sebelum ia berlalu.Aku hanya membuang nafas gusar lalu mengalihkan pandangan ku ke jendela. Rasanya aku begitu malas jika harus berhadapan dengan Dokter Feri. Namun, di samping itu seketika aku memiliki keberanian untuk bertanya tentang apa yang terjadi padaku tadi malam. Aku begitu penasaran karena aku rasa hal itu bukanlah mimpi, jelas aku sudah terbangun namun entah mengapa badanku tiba-tiba kaku. Aku juga penasaran apakah hal itu terjadi karena efek dari koma yang kualami.Tanpa menatapnya, dengan malas, akupun langsung menceritakan kejadian tadi malam dan bertanya kenapa hal itu bisa terjadi.Sejenak, Dokter Feri terdiam seraya menggaruk pelipisnya. Kemudian ia pun menjawab."Hmm ... mungkin, kamu baru saja mengalami yang namanya sleep paralysis," jawabnya singkat."Kelumpuhan tidur? Maksudnya?" tanyaku penasaran.Dokter Feri nampak menarik nafasnya kemudian menjelaskan."Kelumpuhan tidur itu suatu kondisi dimana seseorang merasa dirinya sudah terbangun, namun terasa ada tekanan berat didadanya hingga ia juga tak bisa menggerakan tubuhnya ataupun berbicara, hal ini biasanya disebabkan oleh proses sinkronisasi otak dan tubuh yang sempat terganggu sewaktu tidur," jelasnya."Terus, apa yang aku dengar itu, apa semuanya nyata?" tanyaku lagi, kali ini lebih antusias."Biasanya sih, hanya sekedar halusinasi. Orang awam biasanya menyebut hal ini dengan istilah ketindihan. Biasanya, mereka sering berhalusinasi melihat suatu bayangan dan lain sebagainya hingga sering dikaitkan dengan hal mistis. Tapi pada dasarnya, itu ya cuma halusinasi. Kan nyatanya mereka sedang tidur hanya saja pikirannya yang merasa bahwa mereka sudah terbangun. Kejadiannya hanya berlangsung beberapa menit saja 'kan?" jelasnya membuatku malah bertambah bingung."Tapi, jelas-jelas aku mendengar suara ibu dan Mas Adnan di kamar ini," ucapku untuk meyakinkannya."Ya ... jika biasanya orang berhalusinasi dalam penglihatan, mungkin kamu berhalusinasi dalam pendengaran," ucapnya seraya mengedikkan bahu.Aku menghembuskan nafas kasar seraya memalingkan wajahku darinya. Sungguh sebenarnya aku tak puas dengan jawabannya. Aku benar-benar yakin kalau semalam ibu datang ke kamar ini dan ribut dengan Mas Adnan, hanya saja sialnya kenapa saat itu aku mendadak seperti orang lumpuh dan tak dapat melakukan apa-apa.Aku sedikit terkejut saat sinar mentari yang menyilaukan menembus tirai-tirai di kamarku, membangunkan ku dari tidur lelap. Dengan cepat aku segera bangkit, mengikat rambutku secara asal, benang-benang rambut kusut tergerai di wajahku. Aroma lezat masakan sudah tercium oleh hidungku, sepertinya ibu sudah mulai sibuk di dapur. Aku menggeser tubuhku untuk turun dari tempat tidur, namun belum sempat kakiku menyentuh lantai, tangan Mas Adnan dengan lembut menarikku kembali hingga aku berbaring di sampingnya, wajahnya yang tampan tersenyum manis menghiasi pagi itu. "Belum boleh pergi, masih pagi," bisikannya, membuatku tersenyum dan merasa hangat di hati."Gak enak mas, kayanya ibu udah sibuk di dapur," sahutku, mencoba melepaskan diri dari pelukannya. Namun, Mas Adnan mengeratkan pelukannya, ia menyusupkan wajahnya di ceruk leherku, membuatku merasa merinding dengan jantung berdebar kencang.Ibu bisa masak sendiri, yang penting kamu istirahat dulu," gumamnya, napas hangatnya mengenai ku
Dara menangis seraya memegang nisan yang bertuliskan nama Karin. Aku dan Mas Adnan ikut berjongkok di sampingnya dan mencoba untuk tetap menenangkan Dara."Dala mau bilang sesuatu. Tapi kalau mama di dalam, kedengelan gak, ya?" gumamnya nampak bingung."Gak papa sayang, bilang aja. Insyaallah mama denger kok. Jangan lupa, doain mama juga ya, biar mama bisa masuk surga," ucap Mas Adnan lembut.Dara mengangguk seraya menyeka air matanya. Ia kemudian membenarkan posisi jongkoknya agar lebih dekat lagi dengan nisan Karin. Ia bahkan sedikit mencondongkan tubuhnya seolah ia ingin berbisik pada nisan tersebut."Mama, Dala udah ambil keputusan, Dala gak mau ninggalin bunda. Dala mau tinggal sama ayah dan bunda aja. Bukan Dala gak sayang mama, tapi... Kak Lila bilang yang lahilin Dala itu bunda, dan katanya lahilin itu sakiiiit banget, Dala jadi kasian sama bunda," ucap Dara terbata-bata.Aku lagi-lagi terkejut dengan kata-kata Dara barusan. Entah apa sebabnya dia sampai bicara seperti itu."K
"Ayah, mama mana?" tanya Dara, suara kecilnya memecah kesunyian."Uhukk!" Aku dan Mas Adnan yang sedang menikmati makanan langsung terbatuk serentak, saling menatap dengan rasa tidak enak. Kami tahu saatnya Dara harus tahu, tapi aku masih bingung memilih kata-kata yang tepat."Sayang, sebenarnya mama ada di suatu tempat... mungkin Dara tidak bisa bertemu lagi dengan mama," Mas Adnan akhirnya berbicara, suaranya lembut dan hati-hati."Dimana yah? Jauh, ya?" tanya Dara polos, mata besarnya penuh rasa ingin tahu.Aku dan Mas Adnan tersenyum getir, lalu aku mengusap rambut Dara dengan lembut. "Iya, sayang. Mama ada di surga," jawabku, mencoba menjelaskan dengan kata-kata yang sederhana."Mama pelgi kok gak bilang dulu sama Dala? Mama malah ya sama Dala?" gumam Dara, raut kecewanya terlihat jelas di wajahnya yang kecil. Aku merasa sakit hati melihatnya, kupeluk erat tubuhnya dan mencium pucuk kepalanya beberapa kali."Tapi Dara gak usah sedih. Ada ayah dan bunda yang akan selalu jagain D
"Ehm, Sayang, sebaiknya kita pulang sekarang. Kasihan Dara sudah kelamaan menunggu," ajak Mas Adnan memecah suasana.Akupun lantas mengiyakan ucapannya. Apalagi saat teringat pada janjiku semalam yang berencana mengajak Dara pergi ke kebun binatang hari ini. Namun, siapa sangka aku malah pergi ke pemakaman untuk mengantarkan Karin ke peristirahatan terakhirnya.Semoga saja Dara tidak rewel karena rencana kami batal."Ya sudah, kami permisi dulu!" ucap ibu pada Mas Feri dan Selvia.Mereka hanya mengangguk seraya tersenyum. Kulihat Selvia langsung berjongkok di depan pusara Karin seraya menabur bunga."Mas kenal Selvia?" tanyaku saat kami sudah berada dalam mobil.Mas Adnan menyeka keringat di dahinya. Ia kemudian menggeleng."Ibu kenal?" Kali ini aku menoleh pada ibu yang duduk di bangku belakang."Enggak, ibu baru kali ini bertemu dengan wanita itu," sahut ibu.Entah kenapa aku menangkap ada perbedaan emosi diantara ibu dan Mas Adnan saat menjawab pertanyaan ku. Ibu terkesan dan terli
Aku berdiri di depan pusara Karin, langit di atas tampak kelabu, seolah-olah turut berduka cita atas kepergiannya. Tak ada keluarga lain selain aku, Mas Adnan dan juga ibu yang mengantarkan Karin ke peristirahatan terakhirnya. Mas Adnan dan ibu berdiri di sampingku, wajah mereka dipenuhi dengan kesedihan. Aku memandang pusara Karin dengan mata yang berkaca-kaca, sementara Mas Adnan dan ibu hanya menundukkan kepala.Setelah beberapa saat keheningan, aku berjongkok, mengusap batu nisan bertuliskan nama Karin, aku masih hampir tak percaya Karin pergi secepat ini."Karin, aku tidak menyangka kamu pergi secepat ini. Bahkan, rasanya aku belum sempat meminta maaf padamu," ucapku pelan."Terlepas dari banyak nya konflik diantara kita, aku berterimakasih padamu karena sudah pernah menjadi mama yang baik bagi Dara. Terimakasih, karena kehadiranmu diantara kami juga sudah memberikan banyak sekali pelajaran berharga khususnya untukku," sambungku disusul air mata yang jatuh.Mas Adnan dan ibu men
Entah harus mengatakannya dengan kesempatan kedua atau mungkin kesempatan ketiga. Intinya aku bersyukur Allah masih memberiku takdir umur panjang.Tak hanya itu, kali ini kebahagiaanku bertambah karena ibu kini sudah menyayangiku. Ia minta maaf dan mengatakan bahwa akan menganggap ku sebagai anak kandungnya sendiri.Alhamdulillah, segala puji aku panjatkan pada sang pemilik kehidupan. Doa dan kesabaranku selama ini akhirnya berbuah manis. Aku mendapatkan kembali apa yang seharusnya memang menjadi milikku.Hari ini aku diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Aku, Mas Adnan dan juga ibu segera bersiap dan mengurus administrasi."Mas Feri, makasih, ya!" ucapku saat tak sengaja berpapasan dengannya di depan meja administrasi."Iya, sama-sama! Sekali lagi ngucapin makasih, dapat hadiah piring cantik, loh!" sahutnya kemudian terkekeh.Aku, Mas Adnan dan ibu ikut terkekeh mendengarnya.Tadi kita memang sempat ngobrol banyak saat makan bersama. Aku juga sudah beberapa kali mengucapkan makasih