“Ada file log transaksi yang menyebut dua nama pemilik rekening tujuan. satu anonim, satu lainnya pakai nama samaran,” ucap Mahesa setengah berbisik. “Tetapi aku kenali polanya. Ini bukan sekadar penggelapan.”Gilang menyipitkan mata. “Lanjut,” bisiknya. Mahesa mengeluarkan map kecil berisi hasil cetakan dari mesin printer. “Ada juga satu ID card bekas pegawai lama toko, pakai nama palsu.” Mahesa menunjukkan lembaran kertas pada Gilang yang dilihat Gilang dengan saksama. “Tapi aku cocokkan fotonya dengan arsip pencocokan wajah dan hasilnya karyawan itu pernah kerja di rumah utama selama dua minggu, waktu sebelum dokumen Elok hilang.”Gilang langsung tertuju pada satu orang. “Sarman?” “Ya,” balas Mahesa seraya mengangguk. “Foto wajahnya cocok. Tapi enggak ada data biometrik lengkap. Dia hilang jejak.”Gilang menarik napas kesal. Dilembaran kertas yang dicetak Mahesa terdapat foto seorang pria berperawakan sedikit gemuk.“Aku rasa, seseorang dari dalam sengaja bawa dia masuk.” Mahesa
Pesan dari Mahesa masih terbuka di layar ponsel Gilang. Dua kata saja, tapi cukup membuat keningnya berkerut.[Kita perlu bicara.]Gilang mengetuk-ngetuk sisi ponsel dengan ibu jarinya. Dia mulai berpikir cepat agar Elok tidak ikut dirinya pergi menemui Mahesa.Perlahan jarinya membalas pesan Mahesa. [Oke. Di mana?]Tidak berapa lama kemudian pesan masuk dari Mahesa muncul. [Aku di masjid Al-Amin dekat kontrakanmu, Lang]Gilang mengangguk samar lalu mengetik pesan pada Mahesa dengan gerakan cepat. [Oke. Tunggu]“Elok, kamu masuk dulu, ya,” ucap Gilang seraya menoleh ke arah perempuan itu yang masih bersandar di bahunya.Elok membuka matanya lalu mengangkat kepala pelan. “Kenapa? Siapa yang kirim pesan?” tanyanya dengan suara setengah berbisik.“Mahesa. Temanku waktu kuliah dulu,” jelas Gilang. Dia menoleh pada Elok masih duduk. Ditepuk lembut punggung tangan Elok lalu berdiri. “Dia sekarang kerja freelance,” lanjut Gilang. “Di bidang forensik data dan digital intelijen. Waktu aku
Gilang terdiam. ‘Nah kan’, pikirnya. Alvin dan rencananya itu membuat Gilang takjub sekaligus khawatir. Terlalu ekstrem menurutnya. Gilang melirik Elok yang kini sudah berdiri di ambang pintu. Wanita itu menatapnya khawatir. “Aku tahu kamu khawatir, tapi ini bisa jadi kunci terakhir,” ujar Alvin.“Oke, Vin. Itu saja?”“Ya, itu saja. Tapi kupikir itu bakalan jadi rencana sukses. Pikirkan lagi. Kututup teleponnya.”Setelah panggilan berakhir, Gilang masuk ke dalam rumah lalu duduk perlahan. Elok menghampiri dengan cemas.“Ada apa?” tanyanya pelan lalu ikut duduk di sampingnya. Gilang menatapnya dengan sorot hati-hati. “Kita harus pertimbangkan kemungkinan terburuk. Tapi Alvin usul kalau kamu ikut ke Malaysia langsung, itu bisa jadi bukti paling kuat buat ambil Ibu.”Elok menunduk. Rencana itu memang terdengar bagus. Tetapi, dia yang seelama ini hidup dalam kungkungan Damar, membuatnya kembali berpikir lain. “Lang… aku takut,” ucapnya. “Kalau aku ke sana tapi gagal… Ibu bisa lebih me
“Kalau gagal?” mata Elok menatap Gilang lekat. Ada ketakutan tersendiri jika rencana itu tidak berhasil.Gilang menahan napas sebentar mendengar pertanyaan itu. Dia memahami ketakutan Elok. Kemudian Gilang menjawab dengan suara pelan tapi pasti, “Kalau gagal, aku bakal cari cara lain. Selama ibumu masih hidup, aku nggak akan berhenti.”Dan Gilang akan dengan sungguh-sungguh melakukannya. Demi Elok tersenyum dengan ceria. Bukan senyum yang terrpaksa.Elok mengangguk pelan meski wajahnya belum sepenuhnya tenang. Gilang masih menggenggam tangannya. Hujan di luar belum benar-benar reda sepenuhnya. Tetapi setidaknya sudah tidak terlalu dingin sepertu sebelumnya. “Besok pagi aku bakal ke notaris. Teman lama bisa bantu legalisasi dokumen,” ucap Gilang. “Aku juga kenal penerjemah tersumpah yang bisa proses cepat.”“Aku boleh ikut?” tanya Elok lirih.Gilang menatapnya. Mata itu menatap Gilang penuh harap. Walau begitu, dia mengkhawatirkan kondisi Elok. “Kamu istirahat dulu, ya. Tubuhmu masih
Elok menurunkan cangkirnya perlahan. Matanya sembab. Dia kemudian menatap Gilang lama. Gilang pun menatap Elok. Mereka beradu tatap. Walau begitu, perasaan keduanya sama. Lega. “Kamu tahu,” bisik Elok setelah lama hanya menatap Gilang. “Ini pertama kalinya dalam waktu lama… aku merasa ada yang jujur.” Gilang lalu menunduk, hatinya menghangat mendengar ucapan dari Elok itu. ‘Enggak apa-apa,’ pikirnya. ‘Aku akan terus menunggunya membalas cintaku. Aku akan tetap bersamanya.’Ketika Gilang hendak mengangkat wajahnya, ponselnya bergetar di lantai dekat tikar. Nama Alvin tertera di layar.Gilang segera meraihnya. “Sebentar, Elok,” ucapnya singkat, lalu mengangkat panggilan. “Halo?”Suara Alvin terdengar cepat dan tegas. “Gilang, maaf ganggu. Pasti di sana sudah malam. Tapi ini penting.”Gilang berdiri dan menjauh beberapa langkah. “Kenapa?” tanyanya. Matanya menatap hujan di langit yang mulai gelap itu.“Pemindahan Ibu Elok dari rumah sakit Malaysia... prosesnya hampir selesai. Tapi ada
“Bu… Elok nggak tahu Ibu di sana gimana, apa masih bisa tidur nyaman, atau justru Ibu lagi gelisah.”Hujan turun perlahan. Tetesannya menimpa atap seng kontrakan Gilang hingga menimbulkan bunyi berulang. Suaranya berisik akan tetapi menurut Elok itu adalah bunyi yang menenangkan di dengar telinganya.Di ruang depan, Elok duduk bersedekap seraya menatap jalanan kecil yang tergenang. Lampu kota memantul di permukaan air, sementara udara lembap menyelimuti tubuhnya yang dibalut jaket milik Gilang.Matanya memerah, dia mengusap hidungnya yang berair. “Kalau Elok punya kuasa, Elok udah jemput Ibu sendiri. Tapi Elok cuma bisa nunggu.” Kemudian dia menangis dalam diam. Sungguh menyiksa sekali hatinya.Tak lama Gilang muncul membawa dua cangkir teh hangat. Uapnya mengepul lembut. Dia duduk di samping Elok berusaha tidak terlalu dekat, tapi cukup untuk menunjukkan bahwa dia di situ bersamanya.“Tehnya masih panas,” kata Gilang singkat, menyerahkan cangkir ke tangan Elok.Elok mengusap lagi ma