Gilang terdiam. ‘Nah kan’, pikirnya. Alvin dan rencananya itu membuat Gilang takjub sekaligus khawatir. Terlalu ekstrem menurutnya. Gilang melirik Elok yang kini sudah berdiri di ambang pintu. Wanita itu menatapnya khawatir. “Aku tahu kamu khawatir, tapi ini bisa jadi kunci terakhir,” ujar Alvin.“Oke, Vin. Itu saja?”“Ya, itu saja. Tapi kupikir itu bakalan jadi rencana sukses. Pikirkan lagi. Kututup teleponnya.”Setelah panggilan berakhir, Gilang masuk ke dalam rumah lalu duduk perlahan. Elok menghampiri dengan cemas.“Ada apa?” tanyanya pelan lalu ikut duduk di sampingnya. Gilang menatapnya dengan sorot hati-hati. “Kita harus pertimbangkan kemungkinan terburuk. Tapi Alvin usul kalau kamu ikut ke Malaysia langsung, itu bisa jadi bukti paling kuat buat ambil Ibu.”Elok menunduk. Rencana itu memang terdengar bagus. Tetapi, dia yang seelama ini hidup dalam kungkungan Damar, membuatnya kembali berpikir lain. “Lang… aku takut,” ucapnya. “Kalau aku ke sana tapi gagal… Ibu bisa lebih me
“Kalau gagal?” mata Elok menatap Gilang lekat. Ada ketakutan tersendiri jika rencana itu tidak berhasil.Gilang menahan napas sebentar mendengar pertanyaan itu. Dia memahami ketakutan Elok. Kemudian Gilang menjawab dengan suara pelan tapi pasti, “Kalau gagal, aku bakal cari cara lain. Selama ibumu masih hidup, aku nggak akan berhenti.”Dan Gilang akan dengan sungguh-sungguh melakukannya. Demi Elok tersenyum dengan ceria. Bukan senyum yang terrpaksa.Elok mengangguk pelan meski wajahnya belum sepenuhnya tenang. Gilang masih menggenggam tangannya. Hujan di luar belum benar-benar reda sepenuhnya. Tetapi setidaknya sudah tidak terlalu dingin sepertu sebelumnya. “Besok pagi aku bakal ke notaris. Teman lama bisa bantu legalisasi dokumen,” ucap Gilang. “Aku juga kenal penerjemah tersumpah yang bisa proses cepat.”“Aku boleh ikut?” tanya Elok lirih.Gilang menatapnya. Mata itu menatap Gilang penuh harap. Walau begitu, dia mengkhawatirkan kondisi Elok. “Kamu istirahat dulu, ya. Tubuhmu masih
Elok menurunkan cangkirnya perlahan. Matanya sembab. Dia kemudian menatap Gilang lama. Gilang pun menatap Elok. Mereka beradu tatap. Walau begitu, perasaan keduanya sama. Lega. “Kamu tahu,” bisik Elok setelah lama hanya menatap Gilang. “Ini pertama kalinya dalam waktu lama… aku merasa ada yang jujur.” Gilang lalu menunduk, hatinya menghangat mendengar ucapan dari Elok itu. ‘Enggak apa-apa,’ pikirnya. ‘Aku akan terus menunggunya membalas cintaku. Aku akan tetap bersamanya.’Ketika Gilang hendak mengangkat wajahnya, ponselnya bergetar di lantai dekat tikar. Nama Alvin tertera di layar.Gilang segera meraihnya. “Sebentar, Elok,” ucapnya singkat, lalu mengangkat panggilan. “Halo?”Suara Alvin terdengar cepat dan tegas. “Gilang, maaf ganggu. Pasti di sana sudah malam. Tapi ini penting.”Gilang berdiri dan menjauh beberapa langkah. “Kenapa?” tanyanya. Matanya menatap hujan di langit yang mulai gelap itu.“Pemindahan Ibu Elok dari rumah sakit Malaysia... prosesnya hampir selesai. Tapi ada
“Bu… Elok nggak tahu Ibu di sana gimana, apa masih bisa tidur nyaman, atau justru Ibu lagi gelisah.”Hujan turun perlahan. Tetesannya menimpa atap seng kontrakan Gilang hingga menimbulkan bunyi berulang. Suaranya berisik akan tetapi menurut Elok itu adalah bunyi yang menenangkan di dengar telinganya.Di ruang depan, Elok duduk bersedekap seraya menatap jalanan kecil yang tergenang. Lampu kota memantul di permukaan air, sementara udara lembap menyelimuti tubuhnya yang dibalut jaket milik Gilang.Matanya memerah, dia mengusap hidungnya yang berair. “Kalau Elok punya kuasa, Elok udah jemput Ibu sendiri. Tapi Elok cuma bisa nunggu.” Kemudian dia menangis dalam diam. Sungguh menyiksa sekali hatinya.Tak lama Gilang muncul membawa dua cangkir teh hangat. Uapnya mengepul lembut. Dia duduk di samping Elok berusaha tidak terlalu dekat, tapi cukup untuk menunjukkan bahwa dia di situ bersamanya.“Tehnya masih panas,” kata Gilang singkat, menyerahkan cangkir ke tangan Elok.Elok mengusap lagi ma
“Kamu masak?” tanya Gilang dengan suara serak pagi.Gilang bersandar di kusen pintu, memperhatikan Elok dari balik pintu dapur yang tidak memiliki pintu. Rambut Gilang masih sedikit berantakan, kaus oblongnya pun kusut.Elok menoleh sedikit pada pertanyaan Gilang. “Aku izin masak sarapan dari isi kulkasmu ya. Nasi, telur, sama sambal,” jawabnya tanpa menoleh penuh.Matahari pagi baru menembus sela-sela tirai saat aroma bawang tumis tercium dari dapur sempit. Elok berdiri di depan kompor kecil, mengenakan daster pinjaman yang entah Gilang dapat dari mana dan celemek sederhana. Sesekali Elok mengaduk telur di wajan dan mencicipi sambal kecap yang dibuat.Gilang mendekat beberapa langkah lalu duduk di kursi plastik yang sudah mulai goyang. “Maaf, ya. Tempat ini sempit... pengap juga. Nggak nyaman buat kamu.” Elok mengangkat bahu. “Enggak apa-apa kok. Aku malah tidur nyenyak semalam. Lebih tenang dari malam-malam biasanya.”Gilang tersenyum tipis mendengar ucapan itu. Dia merasa bersyuku
“Aku percaya.” Gilang menjawab cepat. Lalu dia tersenyum. Diusapnya punggung tangan Elok dengan ibu jarinya. “Kamu jauh lebih kuat dari yang kamu kira.”Elok memejamkan mata sejenak. Usapan itu telah membuat hatinya lebih baik sedikit. Semua sudah terjadi dan itu tidak kebetulan. Elok mendadak yakin bahwa Tuhan telah membantunya melalui Sari. Mengingat Sari, dia berdoa semoga Sari baik-baik saja. “Kalau memang aku harus tinggal jauh dulu dari rumah itu... aku ikut kamu.”Gilang menegakkan tubuhnya mendengar ucapan Elok itu. Gilang mencoba menyembunyikan euforianya sebab telah berhasil membuat Elok percaya padanya.“Tapi aku takut, Lang.” Elok berkata lagi. “Takut kenapa?” alis Gilang bertaut. Dia masih menggenggam tangan Elok yang hanya pasrah saja. “Kita cuma berdua. Aku perempuan. Kamu laki-laki. Aku tahu kamu baik. Tapi... orang bisa ngomong macam-macam.” Pikiran aneh mulai bermunculan dan itu mengerikan menurut Elok. Walau mereka berdua tidak melakukan apa pun, mulut orang pas