Dan di sinilah Lura berada.Duduk tegak dengan tangan bertaut rapi di pangkuannya, di hadapan empat orang yang tampak seperti pintu masuk menuju dunia baru—empat pewawancara yang akan menentukan apakah dirinya layak atau tidak.Dua pria dan satu wanita di sisi kanan, satu pria lagi duduk sedikit memimpin di tengah. Semuanya berpenampilan rapi dan netral, tanpa senyum basa-basi.Wajah mereka serius, penuh penilaian, dan sangat terlatih untuk tidak menunjukkan kesan apapun.Di hadapan mereka terbuka map dokumen Lura—berisi prestasi, sertifikat, dan pengalaman kerja yang disusun secara strategis dan sangat profesional.Beberapa dari mereka membuka lembar demi lembar, membaca dalam diam, sesekali saling menatap singkat, saling berbicara hanya dengan ekspresi mata.Lura duduk tenang, meski di balik blazer navy-nya, punggungnya terasa sedikit tegang.Ia bisa mendengar detak jam di dinding, terasa lebih keras dari biasanya.Akhirnya, suara terdengar.Wanita di sisi kanan, berambut pendek dan
Matahri belum tinggi saat aroma roti panggang dan kopi memenuhi ruang makan utama kediaman Khailash. Di meja panjang bernuansa hangat itu, Khailash duduk dengan tenang, mengenakan kemeja linen abu lembut, terlihat santai namun tetap memancarkan aura kepemimpinan yang tak bisa disembunyikan.“Hari ini kau akan ke kantor pusat,” ucapnya sambil memotong roti dengan tenang.“Asistenku sudah menyiapkan semua berkas yang kau butuhkan sebagai syarat pelamar.”Lura nyaris tersedak.Sendoknya berhenti di tengah jalan, dan ia menatap pria di hadapannya dengan ekspresi antara panik dan bingung.“Apa…?” gumamnya lirih, “Sekarang?”Khailash tidak tampak terganggu. Ia melanjutkan sarapannya dengan anggun, menyesap kopi seolah yang ia katakan bukan keputusan besar, melainkan rutinitas biasa.Lura menelan ludah, mencoba memproses ucapan itu.Selama ini ia pikir, tawaran menjadi manajer lini perhiasan hanya janji di malam penuh emosi—angin lalu yang manis namun tidak nyata.Terlebih sejak malam itu ta
Di kamar utama kediaman Khailash, malam menyelimuti segalanya dengan tenang, tapi di dalam ruangan itu—ada dua jiwa yang membakar waktu dengan keintiman yang hanya mereka pahami.Desahan bukan lagi sekadar luapan hasrat, tapi suara dari kedalaman rasa yang tak lagi bisa dipendam.Lura mencengkeram seprei, bukan karena rasa sakit, tapi karena getar yang membuncah—getar penyerahan, kepercayaan, dan kasih.Cahaya temaram menyapu lekuk tubuh mereka yang bersatu—bukan hanya raga, tapi juga luka, cerita, dan keberanian untuk melepas masa lalu.Khailash bergerak dengan kekuatan, namun dalam setiap gerakannya, ada kelembutan yang tak diucap.Karena ia tahu: wanita dalam pelukannya ini pernah hancur… dan sekarang tengah dibentuk ulang, oleh cinta yang tidak terburu-buru.Lura tidak lagi menutupi ekspresi wajahnya.Tidak lagi menyembunyikan suara yang lolos dari tenggorokannya.Ia tahu—itulah yang Khailash inginkan: kejujuran tanpa kata, keindahan tanpa ragu.Dan ketika tubuhnya mengejang, sepe
“Nama saya, Lura.”Sang kakek mengangguk pelan, tatapannya tajam namun tidak lagi sekeras sebelumnya.“Lura?” Ia mengulang pelan, seolah mengecap rasa dari nama itu di lidahnya.“Nama yang indah.”Ia terdiam sejenak, alisnya bertaut ringan, tanda tengah berpikir.Lalu perlahan ia melanjutkan,“Kupikir… ada makna yang bagus dalam namamu. Lembut, tapi menyimpan kekuatan.”“Nanti akan kucari tahu.”Seketika ia mengangkat tatapan, menelisik wajah Lura.“Atau… kau sudah tahu?”Sebelum Lura sempat menjawab, Khailash menyela dengan nada datar, penuh penekanan halus:“Sekarang waktunya makan, bukan memaknai nama.”Ia menatap kakeknya dengan pandangan khas cucu keras kepala yang tak bisa diatur.“Kurangi membaca buku. Sudah cukup banyak ilmu di kepalamu.”Ucapan itu meluncur ringan, namun sarat keakraban dan hubungan yang sudah dibangun oleh waktu dan benturan.Dan dalam hati, Lura tersenyum.Ia bisa merasakan…Meski keduanya selalu tampak saling membantah, beradu sikap dan kalimat, tapi di an
Dan di sinilah Lura sekarang—berdiri tepat di depan sebuah rumah megah yang seluruhnya terbuat dari kayu tua berkelas, bangunannya menjulang dengan ukiran klasik dan warna cokelat tua yang membawa kesan kokoh sekaligus sakral. Dari detail struktur hingga taman kecil yang dirawat dengan presisi, semuanya menandakan rumah ini telah berdiri ratusan tahun dan membawa sejarah panjang dalam diamnya.Namun sebanyak apapun keindahan dan kemegahan yang bisa ia kagumi, yang Lura rasakan saat ini adalah detak jantung yang tak kunjung tenang.Khailash berdiri di sisinya. Ia mengenakan setelan formal berpotongan tegas, aura kepemimpinan yang biasa ia pancarkan kini terasa lebih tenang tapi tetap mengintimidasi. Tanpa banyak kata, Khailash menyodorkan lengannya.“Selipkan tanganmu di sini,” ucapnya lembut namun pasti, menunjuk lipatan sikunya.Lura menurut, menyelipkan tangan dengan gemetar halus.“Kakek sudah menunggu,” lanjut Khailash, menatap ke arah pintu depan rumah.“Kita harus masuk.”Lura m
Khailash melangkah masuk, tegap, mengenakan setelan santai berwarna gelap yang membingkai tubuhnya dengan sempurna. Cahaya matahari sore menyorot sebagian wajahnya, membuat sorot matanya yang tajam tampak semakin dalam.Madam Agatha langsung berdiri. Dengan gerakan penuh hormat dan tanpa ragu, ia membungkuk sopan.“Selamat sore, Tuan,” ucapnya penuh takzim.Khailash hanya mengangguk tipis sebagai balasan, namun tatapannya tidak terarah pada Madam. Ia langsung menatap lurus ke arah Lura.Wanita itu duduk anggun di tempatnya, dengan postur sempurna dan mata yang sempat membesar karena kedatangan suaminya secara tiba-tiba. Tapi ia cepat mengatur kembali ekspresinya—senyum lembut terukir, dagu sedikit terangkat, menunjukkan bahwa pelatihan selama ini telah tertanam.Madam Agatha mempersilakan,“Silakan duduk, Tuan.”Khailash duduk perlahan di kursi di seberang Lura, gerakannya tenang namun penuh wibawa. Tatapannya tak bergeming dari wajah istrinya, penuh pengamatan. Tidak mengintimidasi,
Hari demi hari berlalu, dan kondisi Lura perlahan membaik—bukan hanya tubuhnya, tapi juga cara ia menatap dunia. Luka di punggungnya memudar, namun luka di hatinya mulai sembuh lebih cepat, berkat perhatian yang terus mengalir tanpa henti dari pria yang kini menjadi pelindung hidupnya.Pelajaran etika bersama Madam Agatha berjalan dengan konsisten. Lura mulai menguasai gestur formal, nada bicara yang tepat, hingga bagaimana menunduk dan tersenyum pada saat yang pantas. Ia bukan lagi gadis yang tersesat dalam luka, melainkan calon nyonya muda yang tengah ditempa untuk berdiri di panggung tertingginya.Dan hari ini, ada perubahan yang lebih terlihat dari luar—Lura memutuskan untuk membiarkan penata rambut dan stylist pribadi mengubah penampilannya.Ia dengan tenang duduk di kursi salon pribadi yang dibangun dalam area kediaman itu—bangunan elegan di sisi timur rumah yang dilengkapi semua fasilitas perawatan tubuh kelas atas.“Kita akan mempertahankan panjang rambutnya, tapi kita bentuk
Khailash tidak menjauh. Justru ia mempererat kedekatan mereka, lalu berbisik,“Kau istriku. Dan itu membuat segalanya jadi pantas. Termasuk nama yang keluar dari bibirmu.”Lura menggigit bibir bawahnya, masih merasakan jejak hangat dari sentuhan tadi.Lalu ia menutup mata sejenak, berpikir, dan membisikkan satu nama…“Azmara…”Khailash mengernyit pelan, tertarik.“Artinya?”Lura membuka mata, menatap pria itu dengan keteduhan yang jarang ia tunjukkan.“Cinta yang tak tergoyahkan. Yang tetap hidup, bahkan saat tubuh hancur.”Khailash tak berkata apa-apa. Tapi tatapan matanya menyala, dan bibirnya menyentuh kening Lura—diam-diam menyimpan nama itu, seperti rahasia berharga yang hanya dimiliki mereka berdua.Lura memejamkan mata, membiarkan dirinya larut dalam kehangatan yang mengalir dari pelukan Khailash. Ada kasih sayang di setiap sentuhannya, bukan sekadar perhatian yang dipaksakan, melainkan ketulusan yang sulit dijelaskan.Pria ini—pria asing yang datang di saat semua meninggalkann
Kepala pelayan berdiri dengan anggun di sisi Lura, lalu membuka percakapan dengan suara sopan dan penuh wibawa.“Nyonya, izinkan saya memperkenalkannya.”Disampingnya berdiri seorang wanita paruh baya, mengenakan pakaian resmi yang sangat sopan dan elegan. Rambutnya disanggul rapi, wajahnya penuh garis kehidupan namun tetap cantik dan terawat. Sikap tubuhnya tegak, pandangannya tenang namun tajam—satu pandangan saja cukup membuat orang ingin bersikap lebih hati-hati.Lura mengernyit pelan, heran, tapi tetap menyambut uluran tangan wanita itu dengan ramah.“Senang bertemu dengan Anda,” ucap Lura pelan.Wanita itu tersenyum, sopan tapi tak terlalu hangat, tanda bahwa ia profesional, bukan seseorang yang terbiasa membina hubungan personal.Kepala pelayan lalu melanjutkan penjelasannya dengan penuh hormat,“Beliau adalah Ibu Agatha, guru etiket pribadi, yang diminta secara khusus oleh Tuan Khailash.”Lura mengedip perlahan, lalu menoleh pada kepala pelayan.“Guru etiket?”Kepala pelayan m