Share

Ide Gila

Author: Erna Azura
last update Last Updated: 2025-11-23 13:55:44

Suara gesekan sendok di cangkir kopi terdengar samar di kafe kecil dekat kampus.

Anita menatap jam tangannya. Sudah lewat dua puluh menit dari janji yang dibuat Dita.

Di depannya, dua kursi di meja itu masih kosong kecuali secangkir latte yang mulai dingin.

“Nit .…”

Dita datang tergopoh-gopoh, wajahnya berseri-seri seperti seseorang yang baru saja menemukan harta karun.

“Sorry, macet. Tapi—ya Tuhan, kamu akan sangat berterima kasih sama aku.”

Anita menaikkan satu alis. “Aku akan berterima kasih sama kamu kalau kamu bawain uang satu tas.”

Dita cengar-cengir. “Lebih dari itu. Aku bawain calon suami buat kamu.”

Suaranya dibuat sepelan mungkin, tapi tetap cukup untuk membuat dua mahasiswa di meja sebelah melirik.

“Dita!” Anita menatapnya tajam.

“Tenang, Nit. Dia orang baik. Teman kuliah aku dulu. Kerja di perusahaan kontraktor, stabil, rajin ibadah, enggak suka dugem.” Dita menjelaskan cepat.

Dan seolah sesuai aba-aba, seorang pria datang menghampiri.

“Maaf, saya terlambat,” katanya sopan, tersenyum hangat.

Perawakan pria itu tinggi, kulitnya sawo matang, berkacamata, dan sikapnya tenang—semacam versi ‘aman’ dari dunia pria.

“Ini Raga,” ujar Dita bangga. “Teman kuliah aku, dan sekarang manajer proyek di Bandung Selatan.”

Raga menunduk sopan. “Senang bertemu, kamu … Bu Anita.”

Suaranya lembut tapi berwibawa, persis suara dosen bahasa Indonesia yang sedang membacakan sebuah novel.

“Panggil saja Anita,” jawabnya datar.

Mereka duduk. Dita pura-pura sibuk dengan ponselnya, memberi ruang untuk keduanya berbicara.

Raga membuka percakapan dengan kalimat yang mengejutkan Anita.

“Saya dengar dari Dita, Ibu—eh, kamu sedang mencari suami kontrak.”

Anita meneguk kopinya, nyaris tersedak.

“Iya betul,” gumamnya tanpa menatap wajah Raga, dia malu.

Raga tersenyum kecil. “Saya enggak bermaksud menyinggung. Tapi saya tertarik mendengarnya. Maksudnya, menikah untuk syarat adopsi, bukan untuk cinta, ‘kan?”

Anita mengangguk hati-hati. “Ya, tepatnya, menikah untuk legalitas hak asuh seorang anak.”

“Anak kamu?” tanya Raga pelan.

“Keponakan.”

Raga menatapnya beberapa detik. “Saya paham. Tapi, kalau saya boleh tahu, apa yang kamu harapkan dari pernikahan itu?”

Pertanyaan itu membuat Anita diam sejenak.

“Aku cuma butuh status. Seseorang yang bisa menemaniku menjalani prosedur sosial dan administratif. Enggak lebih.”

Raga mengangguk, seolah mempertimbangkan sesuatu.

“Saya bisa bantu, tapi… saya punya satu syarat.”

Anita menatapnya, merasa waspada. “Apa?”

Raga menatapnya lurus. “Selama menikah kontrak, saya ingin kita tetap tinggal serumah. Supaya terlihat realistis di mata orang lain.”

Anita memutar cangkirnya pelan. “Tentu, karena nanti akan ada petugas yang mengecek apakah kita layak menjadi orang tua Nathan, tapi kita enggak tidur satu kamar.”

“Begitu ya.” Raga tampak berpikir.

“Seharusnya kita tidur satu kamar, kita harus membuat pernikahan ini terlihat nyata. Apalagi akan ada petugas yang mengecek kelayakan kita sebagai orang tua keponakan kamu, kita harus punya chemistry jangan sampai pernikahan kontrak kita terbongkar. Saya enggak mau dianggap menipu hukum.”

Nada suaranya tenang, tapi entah kenapa Anita merasa risih. Ada sesuatu yang terlalu berlebihan, terlalu ‘bersyarat’ di antara kalimatnya.

“Dan satu lagi,” lanjut Raga. “Saya enggak bisa janji enggak akan jatuh cinta sama kamu.” Raga tersenyum.

Anita terbelalak. “Apa?”

Raga menatapnya lembut, tapi terlalu cepat bagi Anita untuk merasa nyaman.

“Saya enggak main-main. Saya udah lama enggak punya alasan untuk menikah. Tapi setelah dengar ceritamu, saya merasa mungkin takdir lagi ngasih aku kesempatan.”

Anita meraih tasnya lalu bangkit dari kursi.

“Takdir enggak seaneh itu, Raga. Dan aku enggak cari cinta. Terima kasih untuk waktunya.”

Raga berusaha bangkit, tapi Dita buru-buru menahan.

“Nit, tunggu dulu, dia—”

“Sudahlah, Dit. Aku enggak bisa.”

Anita melangkah pergi, meninggalkan dua pasang mata yang saling bertukar tatapan kecewa.

Selalu seperti ini, Anita alergi jika ada pria yang mulai menyukainya.

Di hari berikutnya, Anita benar-benar menepati niatnya.

Dia mencoba semua cara yang masih masuk akal—dan beberapa yang bahkan nyaris di luar logika.

Hari pertama, ia bergabung ke sebuah grup komunitas daring berjudul Single Professional Indonesia.

Awalnya hanya berniat membaca, tapi setelah melihat beberapa profil yang mengaku “dewasa, serius, dan siap menikah,” Anita memutuskan menulis pengumuman singkat.

“Mencari rekan laki-laki usia 27–35 untuk pernikahan kontrak selama 1 tahun 6 bulan. Tujuan: prosedur hukum hak asuh anak. Bukan untuk hubungan romantis.”

Baru sepuluh menit, notifikasi pesannya sudah meledak.

Sebagian besar isinya membuatnya menyesal pernah mengetikkan kalimat itu.

“Kontraknya termasuk tidur bareng enggak?”

“Kalau boleh tahu, mbak-nya cantik enggak?”

“Saya tertarik, tapi nanti saya dapat apa?”

Anita menutup ponselnya dengan wajah merah panas membara.

“Manusia macam apa ini…,” desisnya frustrasi.

Ia menghapus unggahannya seketika, lalu menutup laptop.

Hari kedua, Dita menyarankan untuk ikut acara temu komunitas alumni kampus, yang kebetulan digelar di salah satu kafe ternama di Surabaya.

Dita bahkan memaksa menemaninya, berdalih mungkin “ada kandidat normal di dunia nyata.”

Tapi hasilnya tak jauh beda.

Salah satu pria yang duduk di meja sebelah, baru sepuluh menit mengobrol, sudah dengan santai berkata,

“Kalau cuma nikah kontrak, bisa sih. Tapi saya maunya bayaran dulu di depan. Tanda jadi gitu, biar enggak PHP.”

Anita terdiam lama, memandangi pria itu dari ujung kepala sampai kaki, lalu bangkit sambil berkata datar,

“Kalau mau cari duit, buka warung aja. Enggak usah jual martabat.”

Dita sampai harus menarik tangannya keluar dari kafe sebelum tatapan semua orang beralih ke mereka.

Hari ketiga dan keempat, dosen seniornya, Bu Mirna, mencoba membantu.

Beliau mengenalkan Anita pada seorang pria—seorang pengusaha yang katanya “dewasa dan mapan.”

Anita sempat berharap, mungkin kali ini ada titik terang.

Namun begitu pertemuan dimulai, pria itu lebih sibuk memamerkan mobil dan apartemen barunya.

Setiap kalimatnya selalu dimulai dengan kata “saya punya.”

Dan puncaknya adalah ketika pria itu berkata,

“Kalau kamu mau kontrak, boleh aja. Tapi ya… aku juga butuh keuntungan. Minimal, kamu harus mau ikut aku setiap ada acara.”

Anita menatapnya dengan senyum yang tidak sampai ke mata.

“Keuntungan?” katanya pelan. “Terima kasih. Tapi aku enggak jual diri.”

Lalu ia berdiri dan pergi tanpa menoleh lagi.

Hari kelima, ia mencoba biro jodoh daring yang katanya profesional.

Setelah mengisi formulir panjang tentang data pribadi, pekerjaan dan tujuan pernikahan, ia dihubungi oleh seorang konsultan yang bersuara terlalu ceria untuk situasi seserius itu.

“Oh, jadi ibu ingin menikah kontrak ya? Wah, unik sekali! Biasanya klien kami ingin yang permanen. Tapi bisa kok, kami punya paket Marriage Simulation 18 Months, cuma tiga puluh lima juta rupiah.”

Anita memijat pelipis. “Terima kasih, Mbak. Tapi saya enggak sedang cari promo.”

Menjelang hari keenam, Anita benar-benar kelelahan.

Ia menatap layar ponsel berisi daftar nama-nama pria yang pernah dihubungi, sebagian belum dibalas, sebagian sudah ia blokir.

Ada yang terlalu muda, mengajaknya nongkrong di co-working space.

Ada yang terlalu agresif, mengirimkan pesan setiap jam.

Ada pula yang bertanya tanpa malu,

“Honor-nya berapa kalau jadi suami kontrak?”

Setiap percakapan hanya menambah rasa getir di dada Anita.

Bukan karena gagal mendapatkan pasangan, tapi karena kenyataan bahwa dunia ini lebih rumit dan dangkal daripada yang ia kira.

Hari ketujuh mendekat dan waktu terasa semakin menekan dadanya membuat sesak.

Ia duduk di meja makan, membuka laptop, membaca kembali email dari Dinas Sosial yang mengingatkannya tentang tenggat keputusan.

Tangannya lemas, matanya menatap layar dengan pandangan kosong.

“Jika dalam tujuh hari belum ada keputusan, hak asuh Nathan akan dialihkan ke panti asuhan.”

Anita menutup laptop pelan, menunduk, lalu menutupi wajahnya menggunakan kedua tangan.

“Ya Tuhan…,” gumamnya lirih. “Apa memang harus begini?”

Dalam keheningan malam, suara Nathan tiba-tiba terlintas di ingatannya—tawa kecil itu, suara yang memanggil mamanya dengan tatapan berbinar membuat hatinya mencelos.

Ia mengingat kata-kata Yuli saat itu di rumah kedua orang tuanya.

“Kalau Pak Rex mau menikah pura-pura, sebaiknya dengan bu Anita Rex saja. Jadi kalian berdua bisa merawat Nathan bersama.”

Anita mengembuskan napas panjang, kepalanya bersandar di kursi.

Matanya menatap langit-langit, bibirnya bergumam pelan tapi jelas,

“Rex… ide itu gila. Tapi… mungkin cuma itu satu-satunya cara.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dimanja Suami Kontrakku   Kesepakatan

    “Rex?”“Yup.” Ia menegakkan badan. “Surprise.”“Maksudmu apa ‘surprise’? Kamu … dari Bandung?” “Enggak… aku dari Jakarta. Aku tadi naik pesawat pribadi seorang teman. Cepat, kan?”Teman yang Rex maksud adalah papanya yang pemilik rental privat jet.Anita mengerutkan dahi. “Pesawat pribadi? Teman kamu siapa? Sultan Andara?”Rex terkekeh. “Enggak juga sih. Cuma kenalan lama. Anggap aja bonus dari Tuhan karena aku rajin berbuat baik.”Anita memicingkan mata. “Kamu bohong.” Tidak semudah itu dia percaya.“Ya ampun, aku baru sampai dan udah diinterogasi. Kamu bisa kasih aku segelas air dulu, enggak?”Anita mendengus, tapi membuka pintu lebih lebar. “Masuk.”Rex berjalan masuk ke ruang tamu sederhana itu. Aroma sabun cuci piring samar bercampur wangi kayu tua.Ia memperhatikan sekeliling—rak buku, pot tanaman, foto keluarga kecil yang tergantung di dinding.Semuanya rapi, tapi terlalu sepi.“Tempat ini … hangat,” katanya spontan.“Dan sederhana,” balas Anita cepat. “Kamu engg

  • Dimanja Suami Kontrakku   Desakan

    “Pak Rex, kami sudah terlalu lama menunggu kabar baik dari Anda.”Suara Deni dari Dinas Sosial terdengar tegas di ujung panggilan sana.Rex menatap layar laptopnya yang penuh laporan bisnis, tapi fokusnya sudah teralihkan.Dia menggeser kursinya, menghela napas dalam.“Tenang aja, Pak Deni. Aku lagi berusaha. Tapi hal kayak gini enggak bisa asal ambil keputusan, kan?”“Justru karena ini serius, Pak. Kami harus segera memastikan hak asuh Nathan. Kalau Bapak atau bu Anita tidak menikah dalam waktu dekat, maka hak asuh akan dialihkan ke panti asuhan.”“Jadi Anita belum menghubungi Pak Deni?” Rex bertanya memastikan.“Belum Pak … sepertinya dia juga kesulitan mencari pasangan.”Rex terdiam beberapa detik.“Jadi… masih enggak ada toleransi waktu?”“Enggak ada, Pak. Surat keputusan sementara akan keluar minggu depan.”Rex terdiam, dia sedang berpikir dan menimbang.“Saran saya masih bisa dicoba, Pak. Baik saya maupun bu Yuli tidak akan membocorkan kepada dinas kalau pernikahan P

  • Dimanja Suami Kontrakku   Ide Gila

    Suara gesekan sendok di cangkir kopi terdengar samar di kafe kecil dekat kampus.Anita menatap jam tangannya. Sudah lewat dua puluh menit dari janji yang dibuat Dita.Di depannya, dua kursi di meja itu masih kosong kecuali secangkir latte yang mulai dingin.“Nit .…”Dita datang tergopoh-gopoh, wajahnya berseri-seri seperti seseorang yang baru saja menemukan harta karun.“Sorry, macet. Tapi—ya Tuhan, kamu akan sangat berterima kasih sama aku.”Anita menaikkan satu alis. “Aku akan berterima kasih sama kamu kalau kamu bawain uang satu tas.”Dita cengar-cengir. “Lebih dari itu. Aku bawain calon suami buat kamu.”Suaranya dibuat sepelan mungkin, tapi tetap cukup untuk membuat dua mahasiswa di meja sebelah melirik.“Dita!” Anita menatapnya tajam.“Tenang, Nit. Dia orang baik. Teman kuliah aku dulu. Kerja di perusahaan kontraktor, stabil, rajin ibadah, enggak suka dugem.” Dita menjelaskan cepat.Dan seolah sesuai aba-aba, seorang pria datang menghampiri.“Maaf, saya terlambat,” k

  • Dimanja Suami Kontrakku   Married by Fate Challange

    “Dari mana Rex?” Papa Nicholas bertanya ketika Rex baru saja masuk dari lantai loby sementara beliau dari basement.“Abis makan siang sama bang Ezra, Papa dari mana kok jam segini balik ke kantor?” Rex balas bertanya.“Ketemu klien tadi, mau langsung pulang tapi hape Papa ketinggalan.” “Oooo ….” “Kamu lagi rekrut sekretaris baru ya?” Papa Nicholas bertanya lagi.“Eng … enggak, kenapa memang?” Kening Rex berkerut dalam, menatap bingung sang papa.“Itu di depan, ada beberapa pelamar … kata sekuriti, kamu lagi rekruitment.”Rex menepuk jidat, dia lupa dengan pesan Tika yang tadi siang dikirim kalau ada wawancara calon istri sore ini.“I … Iya, Pa … Rex lagi cari calon is … eh, calon sekretaris.” Rex menyengir.Papa Nicholas menganggukan kepalanya.Ting …Pintu lift terbuka.“Papa duluan ya, kamu jangan ngelayap … langsung pulang, besok ikut Papa ke Bandung.” “Ngapain ke Bandung, Pa?” Rex meninggikan suara karena sang papa sudah keluar dari dalam lift.“Ada masalah di c

  • Dimanja Suami Kontrakku   Mencari Pasangan

    Setelah Deni dan Yuli pergi membawa Nathan, tinggal lah Rex dan Anita berdua di ruang tamu rumah itu.Keduanya tampak sedang berpikir bagaimana caranya agar bisa mendapatkan hak asuh atas Nathan.“Yang nyebelin itu jangka waktunya cuma seminggu, ke mana coba gue harus cari cewek buat dikawinin?” Rex bergumam.Anita melirik pria itu.“Aku harus balik ke Surabaya besok,” kata Anita setengah mengusir.Rex mendongak menatap Anita. “Kamu enggak peduli banget sama Nathan ya?” Dia bangkit dari sofa.“Peduli lah, tapi aku harus kerja … aku cuma cuti tiga hari.”“Ya udah kalau gitu gini deh, siapa duluan yang bisa menemukan pasangan berarti dia yang dapet hak asuh Nathan.”Anita mendongak menatap Nathan yang berdiri menjulang di depannya.“Aku harap kamu bisa ngalah, Nathan itu keponakan aku … harus aku yang merawat Nathan, lagian kalau kamu nikah nanti—memangnya cewek kamu mau nerima Nathan?”Rex terkekeh. “Masih jauh itu mah, aku masih ingin seneng-seneng dulu … tapi aku sayang sam

  • Dimanja Suami Kontrakku   Sebuah Takdir

    “Silahkan masuk,” kata Anita sembari membuka pintu rumah kedua orang tuanya.Tadi bu Irma memberikan kunci rumah kepada Anita, semenjak kedua orang tuanya meninggal. Bu Irma dan keluarganya yang membersihkan rumah kecil di dalam gang itu.Dan tentunya Ayu yang membayar jasa mereka setiap bulannya.“Maaf sempit … tapi bersih kok,” kata Anita mempersilahkan ketiga tamunya duduk.“Saya Deni dan ini rekan saya Yuli,” kata pria berseragam dinas.Tatapan Anita lantas jatuh pada pria yang duduk di samping Yuli.Jemari pria itu digenggam Nathan, saat dalam perjalanan ke sini Nathan bangun dan tidak berhenti memandangi Rex, mungkin karena wajahnya familiar.“Gue … eh, saya … Rex Alder … saya sahabat sekaligus klien bisnisnya Anwar.” Rex mengulurkan tangan ke depan Anira.Dengan tatapan datar, Anita hanya mengangguk, seolah enggan bersalaman dengan Rex.Rex menarik tangannya kembali.“Judes banget sih.” Rex membatin.“Jadi begini Bu Anita, setelah kecelakaan … pak Anwar sempat dirawa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status