‘Ya ampun … mulutnya.’
Nayla bergumam dalam hati sambil menahan kesal. Matanya terpaku menatap wanita yang belum dikenalnya itu. “Terima kasih atas pujianmu, Bi. Kami memang pasangan serasi.” Evan membalas datar tanpa ekspresi. Nayla menoleh pada Evan, merasa bingung dengan respon Evan yang terlihat tidak marah sedikit pun. Dia sama sekali tidak menyangka, kalau Evan akan bersikap setenang itu disaat jelas-jelas wanita itu menghina mereka berdua. Wanita yang berdiri di depan mereka langsung emosi. Dia langsung melayangkan tatapan tajam pada Evan sambil berdengus kesal. “Sikapmu masih saja sama, Evan. Arogan seperti biasanya!” Nayla merasa suasana semakin tegang. Dia melirik Evan, berusaha membaca ekspresi wajahnya. Tapi, hanya ekspresi dingin dan datar yang dia baca melalui raut wajah Evan. Evan tidak ingin menanggapi perkataan bibinya dengan serius. Dia justru mengalihkan dengan memperkenalkan tentang siapa si wanita kepada Nayla. “Dia Bibiku, Bibi Auliana.” Nayla terkejut mendengarnya. Matanya membesar sambil menelan ludahnya karena gugup. “Bibimu?” Nayla yang tidak mengenal sosok Auliana sebelumnya. Dia berinisiatif mengambil langkah untuk mendekati Auliana, berniat untuk menyapanya. Namun, belum sempat dia berbicara, Auliana sudah mengangkat tangannya. “Nggak perlu basa-basi. Aku sudah tahu kamu istrinya Evan.” Nada bicara Auliana begitu ketus, menunjukkan kalau Nayla tidak pantas menerima keramah-tamahan darinya. Mendapati respon yang tidak bersahabat itu, Nayla langsung tertunduk, nyalinya menciut. Dia menyadari kalau Auliana tidak akan mudah akrab dengannya. Evan yang menyadarinya, langsung mengajak Nayla untuk masuk. “Ayo kita masuk. Yang lain sudah menunggu di dalam.” Nayla mengangguk, langsung meraih lengan Evan. Menggandeng untuk menuntun langkahnya. “Ayo!” ajak Nayla. Saat Nayla dan Evan melewati Auliana, tiba-tiba saja Auliana kembali berceletuk dengan sinis. “Kenapa, Evan? Apa ini caramu melindungi istrimu dariku?” Langkah Evan berhenti tepat di hadapan Auliana. Dia langsung menyahut, “Bibi, aku sedang tidak ingin berdebat.” “Siapa yang mengajakmu untuk berdebat, Evan?!” Suara Auliana seketika meninggi, membuat Nayla yang sedari tadi hanya diam menyimak langsung terkejut mendengarnya. Dia semakin merasa kalau anggota keluarga Evan tidak semuanya menyetujui pernikahan mereka. Nayla yang semakin merasa tidak nyaman, kemudian berbisik-bisik untuk memprotes suaminya. “Evan, kenapa kamu membuatnya marah?” Mendengar bisikan Nayla, Evan menghela napas berat. Ekspresi tenangnya tetap terjaga, karena dia sangat pandai mengendalikan emosinya. “Sebaiknya kita masuk saja, Bi. Kita bicarakan semuanya di dalam,” ajak Evan. Langkahnya berlanjut dengan Nayla yang menuntunnya untuk masuk. Auliana masih belum puas, dia baru akan angkat bicara, “Evan–” Tapi Evan langsung mengangkat tangannya, memberi instruksi untuk berhenti. “Bi, aku masih menjaga rasa hormatku. Jadi, jangan memancingku!” Auliana seketika membeku menatap Evan dengan perasaan terancam. Dia hanya bisa menelan ludah tanpa berani berkata-kata lagi. Saat tiba di ruang makan, Evan dan Nayla langsung disambut dengan sambutan yang tidak menyenangkan. Terlihat oleh Nayla dari raut wajah mereka yang dingin dan tidak terkesan ramah. Tiba-tiba, salah seorang wanita memberi sambutan pertamanya dengan sinis. “Akhirnya kalian berdua datang juga.” Pendengaran Evan seketika menajam, menebak pemilik suara. “Bibi Serin?” Serin adalah istri dari pamannya–Alex Daviandra. Serin yang awalnya menatap dingin ke arah mereka berdua, kini berubah menjadi tatapan jijik saat memperhatikan wajah Nayla lebih dalam. “Astaga! Ternyata istrimu jauh lebih buruk dari yang aku bayangkan, Evan.” Serin mulai mengomentari keadaan fisik Nayla. Mendengar itu, tangan Nayla secara refleks meremas lengan Evan. Dia gemetar menahan rasa sakit dari komentar keluarga suaminya itu. Kemudian Serin melanjutkan, “Ayo, sebaiknya kita makan dulu.” Alex menegur istrinya, “Serin, jaga bicaramu!” Nayla langsung menyela, “Tidak apa-apa, Paman. Aku sudah terbiasa, kok.” Nayla cukup tahu diri dengan kondisinya. Jadi, mendapatkan hinaan seperti itu sudah dianggap biasa untuknya. Tapi sepertinya, Evan yang sedari tadi diam, dia mulai merasa kesal. Kedua telapak tangannya mengepal kuat-kuat, menahan getaran emosi di dalam dadanya. Evan lalu angkat suara. “Kalau kalian di sini hanya ingin menghina istriku, sebaiknya kalian pergi dari sini. Karena sebenarnya ini adalah rumahku!” Peringatan Evan cukup membuat perasaan Alex dan Serin itu terbakar. Karena mereka tidak bisa memungkiri, kalau rumah itu memang milik orang tua Evan. “Apa maksudmu, Evan? Kenapa bicara seperti itu?” tanya Alex dengan nada rendah. Lalu dia melanjutkan. “Sebaiknya kamu duduk dulu dan makan, daripada salah paham kepada kami.” Alex langsung melayangkan tatapan tajam pada Auliana dan Serin, seolah memberikan kode keras untuk bersikap lebih baik lagi di depan Evan. Tapi, Auliana justru tidak peka, dan kembali berkata ketus. “Aku sudah tidak berselera makan, Kak.” Alex menggeram kesal atas ketidakpekaan adiknya, saat dia akan kembali menegur Auliana, tiba-tiba suara langkah kaki terdengar memasuki ruangan. “Halo! Selamat malam, semuanya.”“Anita hanya masa lalu aku, sayang. Dan dia sudah lama sekali aku lupakan!”Evan menurunkan nada bicaranya menjadi lebih lembut. Mencoba untuk terus membujuk Nayla, sampai Nayla mau menerima penjelasannya. “Dan untuk masalah password laptop. Itu sebatas kebiasaan saja, yang memang belum sempat aku memikirkan untuk menggantinya,” lanjut Evan dengan suaranya yang sedikit bergetar karena takut. “Aku bahkan sama sekali tidak mengingat kalau password itu adalah tanggal tunanganku dengan Anita.”Evan perlahan berlutut di hadapan Nayla, matanya menatap penuh harap. Tangannya gemetar saat meraih tangan Nayla yang dingin, seolah mencoba menyalurkan kejujuran dan ketulusan yang selama ini tersembunyi. “Aku mohon, percayalah, Nay. Aku sudah tidak ada perasaan apapun pada Anita. Dan aku siap menjelaskan semuanya sama kamu,” ucap Evan dengan suara yang nyaris pecah karena rasa bersalah.Nayla menunduk, air matanya mengalir tanpa henti, membasahi pipinya yang pucat. Dia berusaha meredam amarah da
“Beritahu aku, apa yang Nayla lakukan di ruanganku?” Evan berdiri kaku di depan layar CCTV yang menampilkan sosok Nayla tengah membuka kotak kayu kecil di atas mejanya dengan gerakan hati-hati namun penuh rasa ingin tahu. Perlahan, Nayla membuka laptop milik Evan, matanya tertuju pada layar seolah mencari sesuatu yang sangat penting. Tommy dengan polosnya, langsung menjawab jujur sesuai dengan apa yang dilihatnya di layar monitor. Tanpa dia sadari kalau Evan sendiri saat ini sedang melihatnya. Dan perintah Evan barusan, hanya sekedar basa-basi untuk menutupi kepura-puraannya.“Nyonya membuka kotak kayu kecil yang ada di meja Tuan, dan juga membuka laptop Tuan,” jawab Tommy.Jantung Evan berdegup kencang, tangannya mengepal erat sampai urat-urat di punggung tangannya menonjol, menahan amarah dan kekhawatiran yang bergelora di dalam dada. Dengan suara dingin namun tegas, Evan kembali memerintahkan, “Kamu bisa pergi sekarang. Aku ingin sendiri di ruangan ini.” Tommy menatap Evan deng
“Tidak, Bi. Jangan panggil dokter. Aku tidak apa-apa, kok.”Nayla bangkit dari posisi telungkupnya, lalu menatap Rasti dengan matanya yang sembab. “Bibi nggak kasih tahu, Evan, kan?” tanya Nayla. Tatapannya langsung menyelidik tajam.Mata Rasti membelalak, menyadari kesalahannya. Dia langsung menunduk, tak berani menatap Nayla.“Maafkan saya, Nyonya. Karena saya sangat khawatir, jadinya saya langsung menelepon tuan, dan memberitahukan tentang kondisi Nyonya.” Rasti langsung berlutut di depan Nayla.Nayla menghela napas kasar, memalingkan wajahnya dari Rasti. Rasanya percuma kalau dia harus memarahi Rasti, karena dia tahu kalau Rasti hanya menjalankan perintah suaminya untuk segera melapor jika terjadi sesuatu dengannya.Nayla menatap tajam ke arah Bibi, lalu suaranya terdengar berat. “Ya sudah, Bibi bisa keluar sekarang. Aku ingin sendiri.”Sekilas matanya melirik ke arah Rasti, tapi segera dia alihkan pandangan, wajahnya menegang, seolah beban pikiran menyesak dadanya. Rasti menger
“Jadi, selama ini Evan masih belum bisa melupakan mantan tunangannya?”Nayla membaca terus surat itu, air matanya mulai menetes. Surat itu penuh dengan ungkapan cinta dan kerinduan yang mendalam kepada wanita yang bernama Anita. Evan menceritakan tentang mimpi-mimpi mereka, tentang rencana masa depan yang telah mereka rancang bersama. Dia menggambarkan Anita dengan detail yang begitu indah, seakan-akan Anita masih hidup di sampingnya.“Anita …” Nayla bergumam dengan nada getir, mengingat-ingat, seolah nama itu sangat familiar di telinga. “Anita? Apa yang dimaksud ini adalah Anita Rastanara? Model terkenal di negeri ini?”Nayla langsung menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat, menepis pikirannya itu.“Nggak mungkin Anita itu! Setahuku, Anita tidak pernah menjalin hubungan dengan Evan? Aku juga penggemarnya. Mana mungkin aku melewatkan kabar percintaannya.” Nayla berdialog sendiri, bergelut antara hati dan pikirannya.Nayla kembali fokus membaca surat itu sampai tuntas. Semakin jau
“Iya, Nek. Aku akan coba pertimbangkan saran. Nenek. Tapi … aku sendiri bingung, harus mulai dari mana?”Nayla menghela napas berat, dengan ponsel yang masih menempel di telinganya. Dia bingung, karena tidak memiliki banyak akses untuk bisa membantu Evan. Ini saja, dia menjadi CEO karena Evan yang menginginkannya. Selebihnya, Evan tidak terlalu terbuka kepadanya.“Iya, tapi kamu bisa usahakan itu semua, Nay. Nenek yakin, kamu pasti bisa,” kata Vania dari ujung sana.Nayla menyahut singkat. “Baik, Nek.”Setelah selesai, Nayla langsung menutup panggilan teleponnya dengan Vania. Dan dia langsung menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur yang empuk, merasakan lelah yang masih mendera setelah perjalanan jauh.Sejenak, Nayla menatap langit-langit kamarnya sesaat, berusaha menenangkan pikirannya yang kacau dan juga lelah. Tubuhnya yang tadi terkulai lemas di ranjang kini berdiri tegak, langkah kakinya mantap menapaki lantai marmer kamarnya menuju pintu ruangan kerja Evan. “Aku harus tahu
“Berapa anak?!"Evan sedikit terkejut mendengarnya. Matanya menatap lurus ke arah Nayla dengan wajah polos namun serius. Nayla mengangguk cepat, seolah ingin memastikan bahwa Evan benar-benar mendengar dan memahami maksudnya. “Iya. Kamu mau punya berapa anak, Evan?” Nayla kembali mengulang pertanyaannya dengan dengan penuh keyakinan. “Bukannya kamu ingin kita segera punya anak?”Evan menghela napas panjang, tangannya yang tadinya santai kini mengepal erat. Dia mulai mempertimbangkan perkataan Nayla, sebelum akhirnya memberikan jawabannya. “Bagaimana kalau tiga? Dua anak laki-laki dan satu anak perempuan. Pasti akan seru.”Mendengar jawaban itu, ekspresi Nayla berubah, matanya berbinar seolah membayangkan masa depan mereka nanti, kalau dia memberikan dua anak laki-laki dan satu anak perempuan. “Emm … kayaknya akan lebih baik kalau anak pertama dan kedua itu laki-laki, dan anak terakhir perempuan. Pastinya akan sangat menyenangkan, saat gadis kecil kita nanti, dijaga kedua kakak laki