Share

Bab. 3

Author: Ufaira Putri
last update Last Updated: 2025-06-04 16:56:45

“Tuan, saya tidak bermaksud menghina Nyonya. Maafkan saya.”

Noera langsung bersimpuh di kaki Evan, memohon agar tidak dipecat.

Raut wajah Evan berubah garang. Dia tidak bisa mentoleri kelakukan Noera yang sudah berani menghina istrinya seperti itu.

Evan menoleh ke arah asistennya-Tommy, sambil memerintah tegas.

“Usir, pelayan itu!”

“Saya mohon maafkan saya. Tolong jangan usir saya, Tuan!”

Noera semakin histeris, karena takut takut kehilangan pekerjaannya.

Namun Evan tidak menggubrisnya, dia justru memalingkan wajahnya tanpa rasa empati sedikit pun.

“Baik, Tuan.”

Tommy sambil mengangguk patuh, bersiap untuk melaksanakan perintah tuannya.

Nayla terkejut menyaksikan itu, segera menghampiri Evan.

Nayla langsung memprotes keras.

“Evan, kenapa harus memecatnya? Kita bisa memberinya kesempatan, tidak perlu dipecat.”

“Pelayan yang berani menghina majikannya tidak pantas bekerja di sini.”

Evan menanggapi dengan datar, lalu berbalik melangkah untuk meninggalkan dapur.

Tommy dengan sigap membantu langkah majikannya itu.

Nayla sempat berbalik ke belakang, tidak tega melihat Noera yang menangis sebegitunya. Lalu dia berinisiatif menyusul Evan untuk membujuknya agar tidak memecat Noera.

“Evan, tidak bisakah kamu mempertimbangkan kembali keputusanmu? Kasihan dia, Evan.”

Nayla berusaha membujuk sambil mengimbangi langkah Evan.

Evan bertanya dengan nada sinis.

“Kenapa kamu begitu peduli dengan pelayan itu?”

“Bukan begitu, hanya saja tidak adil jika dia harus kehilangan pekerjaannya hanya karena masalah sepele,” jelas Nayla.

Mendengar itu, langkah Evan tiba-tiba terhenti, suaranya seketika meninggi dan menusuk tajam.

“Masalah sepele katamu? Ini hari pertamamu sebagai istriku, dan kamu sudah dihina oleh pelayan rendahan seperti itu. Apa itu yang kamu sebut masalah sepele?!”

Sebelum Nayla sempat menjawab, Evan mempercepat langkahnya dan meninggalkan Nayla begitu saja.

“Evan!”

Nayla berteriak memanggil Evan sambil menyusulnya.

Mereka berdua terus berdebat, melewati ruangan dimana ada beberapa pelayan yang sedang melakukan pekerjaan mereka.

Mendengar perdebatan mereka, tiba-tiba saja pelayan berkulit gelap mendekati pelayan berambut pendek, lalu berbisik dengan was-was.

“Kalian lihat, bagaimana Tuan Evan marah pada Noera?”

Pelayan berambut pendek mengangguk pelan, matanya melirik sinis ke arah Nayla.

“Itu semua gara-gara nyonya baru kita. Baru sehari jadi istri Tuan Evan, tapi sudah membuat Noera terusir.”

Tiba-tiba pelayan yang rambutnya di kuncir kuda langsung mengingatkan.

“Ssst ... bicara pelan, nanti kita juga kena seperti Noera.”

Lalu pelayan berkulit gelap kembali menambahkan.

“Memang sih ... Noera itu suka sembarangan kalau bicara.”

Mereka terus berbisik-bisik sambil sesekali melirik Nayla dan Evan yang pergi meninggalkan mereka.

Sementara itu, Rasti mendengarkan obrolan mereka. Sebagai pelayan paling senior yang paling dipercaya oleh Evan, langsung menatap tajam ke arah rekan-rekannya dengan tatapan penuh peringatan.

Lalu Rasti menegur dengan tegas.

“Kalau kalian terus bergosip seperti ini, aku pastikan kalian juga akan diusir dari rumah ini!”

Para pelayan itu langsung menutup mulut mereka dan kembali fokus pada pekerjaannya.

Kemudian, tatapan Rasti yang tajam beralih mengikuti kepergian Nayla dan Evan. Kali ini, tatapan Rasti penuh arti.

Tiba di ruangan kerja Evan, Nayla terus mengikuti langkah suaminya sambil mengoceh untuk membujuk Evan.

“Apa kamu akan terus mengoceh demi pelayan itu?”

Suara Evan terdengar ketus, membuat Nayla segera menutup mulutnya, menunduk segan bercampur takut.

“Maafkan aku.”

Ingatan Nayla kembali pada kemarahan Evan di dapur tadi. Meskipun wajahnya tampak dingin dan datar, aura kemarahannya sangat menyeramkan dan membuat segan orang-orang disekitarnya.

Hening sejenak, hingga akhirnya kesunyian itu pecah saat Tommy tiba-tiba menyela dengan sopan.

“Maaf Tuan, saya ingin menyampaikan sesuatu. Malam ini ada acara makan malam keluarga, dimana Nyonya Nayla akan diperkenalkan kepada keluarga lain.”

“Pasti ini bagian dari rencana pamanku.”

Evan mulai berspekulasi.

“Rencana?”

Nayla mengerutkan dahinya, bingung dengan maksud Evan.

“Nanti malam, Rasti akan membantumu bersiap,” kata Evan.

Dia menyadari kebingungan Nayla, namun tidak berniat untuk menjelaskan maksud perkataannya pada istrinya itu.

Meski masih penasaran, Nayla hanya mengangguk patuh sambil menggerutu dalam hati.

‘Terserah kamu saja, Tuan.’

Begitu malam tiba, Nayla dan Evan bersiap berangkat menuju kediaman Daviandra.

Nayla terlihat anggun dengan balutan gaun malam berwarna merah marun, sungguh sangat serasi dengan setelah jas hitam yang dipakai Evan.

Sepanjang perjalan Nayla dan Evan tidak banyak bicara.

Hingga tiba di rumah keluarga Daviandra, Nayla terpukau oleh kemegahan rumah tersebut. Lampu gantung kristal yang berkilau dan perabotan mewah yang tertata rapi menambah keindahan suasana.

Di sisi lain, Evan, dengan tongkat putihnya, menelusuri lantai di bawah kakinya, tersenyum mendengar desahan kagum dari Nayla.

Namun kekaguman Nayla segera memudar saat seorang wanita berpenampilan modis muncul dari balik pintu besar, menatap ke arah mereka dengan pandangan merendahkan.

Dengan nada mengejek dan sinis, dia berkomentar.

“Kalian memang pasangan yang serasi. Satunya buta, dan satunya buruk rupa.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dimanja Suami Pura-pura Buta   Bab. 130

    “Aku benar-benar takut, Evan. Sungguh, aku takut.”Nayla terisak di dalam pelukan suaminya. Tak kuasa menahan rasa takut kehilangan ibunya.“Sudah sayang, kamu yang tenang, ya. Semuanya pasti bakalan baik-baik aja, kok,” bujuk Evan.Nayla mengangguk mengiyakan. Dia semakin membenamkan wajahnya di dada Evan.Sesampainya mereka di rumah. Nayla langsung melangkah masuk begitu saja, meninggalkan Evan di belakangnya. “Bu, tolong, Evan masih di belakang. Kamu samperin dia, ya,” pinta Nayla pada Rasti.Rasti mengangguk. “Baik, Nyonya.”Sementara Rasti segera menghampiri Evan. Nayla melanjutkan langkahnya menuju ke kamarnya. Dia menghela napas panjang, begitu membuka pintu.“Ya Tuhan … bagaimana ini? Bagaimana kalau Ibu tidak segera mendapatkan donor ginjal?” gumam Nayla, masih terbebani pikirannya mengenai Nasyila.Nayla melangkah masuk, menuju ke tempat tidur. Helaan napasnya berat, dadanya terasa sesak, dan pikirannya begitu kalut, ditambah tubuhnya yang terasa sangat lelah.Begitu sampai

  • Dimanja Suami Pura-pura Buta   Bab. 129

    “Untuk saat ini, donor ginjal tidak tersedia di rumah sakit ini.Dokter itu menjawab sambil memasang raut wajah menyesal.Nayla menatap dokter dengan tatapan nanar.“Lalu, bagaimana Dok? Apa yang harus saya lakukan?” tanya Nayla penuh desakan.Dokter itu menunduk sejenak, tampak berpikir keras.“Kami akan berusaha mencari donor ginjal secepatnya. Tapi, terus terang, Nyonya Nayla, waktu kita sangat terbatas. Kondisi ibu Anda bisa memburuk kapan saja,” balas sang Dokter.Nayla menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata yang kembali mendesak keluar. “Apa tidak ada cara lain, Dok? Apa tidak ada rumah sakit lain yang memiliki donor ginjal?” tanya Nayla kembali.“Kami sudah menghubungi beberapa rumah sakit besar di negara kita, tapi hasilnya nihil. Semua rumah sakit juga sedang kekurangan donor ginjal,” jawab dokter dengan nada menyesal.Nayla terduduk lemas di kursi tunggu. Dunianya terasa runtuh seketika. Ibunya membutuhkan transplantasi ginjal secepatnya, tapi rumah sakit tidak memi

  • Dimanja Suami Pura-pura Buta   Bab. 128

    “Maaf, Bu. Ibu nunggu lama, ya?”Nayla masuk ke dalam mobil, menatap Nasyila dengan khawatir. Disusul, Evan juga masuk ke dalam. Kali ini, Evan duduk di kursi depan, samping Tommy yang menyetir mobil mereka.“Nggak apa-apa, Nay. Ibu senang, kok, karena akhirnya Ibu bisa pergi,” balas Nasyila dengan lembut.Nayla menghela napas lega, kemudian menyunggingkan senyuman kaku. “Syukurlah, untung Evan datang.” Nayla menoleh ke depan, melihat suaminya yang duduk di kursi depan mobil, selalu kembali tersenyum.“Lain kali, jangan datang ke sini sendirian, ya, sayang,” peringat Evan dengan nada dingin. “Aku khawatir, kamu tidak bisa menangani mereka sendirian.”Nayla menghela napas panjang, kemudian tertunduk lesu.“Maafin aku, Evan. Pikiranku terlalu kacau, aku tidak berpikir sampai kesana,” keluh Nayla dengan nada sedih.Evan menghela napas berat. Dia mengerti, kenapa istrinya bisa memiliki pikiran yang cukup kotor. ‘Pasti kamu masalah di hotel,’ pikir Evan.“Maaf, aku sudah membebanimu den

  • Dimanja Suami Pura-pura Buta   Bab. 127

    “Kamu berani mengancam ayah mertuamu sendiri, Evan?!”Marissa langsung ikut angkat bicara dengan nada tinggi. Tatapannya tajam, menatap Evan tanpa rasa takut. Evan tersenyum sinis. Semakin lama, dia semakin paham bagaimana karakter masing-masing dari anggota keluarga istrinya. “Kalau memang itu diperlukan. Apa boleh buat?” sahut Evan dengan entengnya. Ghavin mendengus kesal. Mencoba mengontrol emosinya. Karena dia tahu, menantunya Evan tidak akan mudah ditundukkan seperti putrinya, Nayla. Dia harus menghadapinya dengan hati-hati. “Bukan begitu maksud Papa, Evan. Tapi, kamu juga kan seorang suami. Harusnya kamu tahu kan posisi Papa?” Ghavin mencoba menjelaskan dengan tenang dan lembut. “Bagaimana perasaan kamu, tiba-tiba istrimu sendiri dibawa tanpa seizinmu?”Evan tertunduk sesaat sambil tersenyum sinis. Dia merasa kalau perkataan ayah mertuanya itu sama sekali tidak masuk akal. Karena, sama sekali tidak mencerminkan tindakannya sendiri. “Enteng sekali Anda berbicara seperti itu,

  • Dimanja Suami Pura-pura Buta   Bab. 126

    “Tidak bisa! Kamu nggak bisa pergi dari sini. Aku tidak akan mengizinkanmu, Nasyila!”Ghavin melotot tajam. Menentang keras rencana Evan dan Nayla membawa Nasyila tinggal di rumah mereka.Nayla maju selangkah lebih dekat kepada ayahnya. Wajahnya terangkat, seolah menantang sama ayah dengan penuh keberanian. “Kenapa, Pa? Kenapa Papa nggak mau kalau aku ajak Ibu untuk tinggal di rumah kami?” tanya Nayla dengan nada menantang. Ghavin mendengus kesal. Tatapan tajamnya kini berarah kepada Nayla. “Nggak! Pokoknya Papa nggak bakal mengizinkan kalian membawa Ibu kalian pergi dari sini!” pungkas Ghavin menegaskan.Mendengar itu, Evan terdiam namun tatapannya menusuk tajam ke arah ayah mertuanya. Auranya terasa mencekam, sekaligus dingin, namun penuh otoritas. “Anda mengizinkan atau tidak, kami tetap akan membawa Ibu pergi dari sini!” Evan pun ikut mengambil keputusan dengan tegas. Membuat Ghavin tercengang menatapnya.“Kenapa? Anda keberatan, Tuan Ghavin?” Lanjut Evan bertanya dengan penu

  • Dimanja Suami Pura-pura Buta   Bab. 125

    “Kalian mau kemana?”Adelia dan Marissa seketika menghadang Nayla, dan Evan yang keluar bersama dengan Nasyila.“Mau dibawa kemana, dia?” tanya Adelia kembali mendesak.Nayla yang berdiri tegap, menelan ludahnya sambil melayangkan tatapan tajam kearah mereka berdua.“Aku mau bawa Ibu ke rumah sakit. Lalu, Ibu bakalan tinggal bareng kami.” Sejenak, Nayla melirik pada Nasyila. Lalu balik lagi menatap Adelia dan Marissa dengan tatapan tajam. “Kalau kalian mencoba menghalangiku. Aku pastikan, akhirnya nggak akan baik untuk kalian berdua,” lanjut Nayla mengancam.Adelia tertawa sinis, lalu melipatkan kedua tangannya di dada. Mengangkat wajahnya dengan angkuh. Bibirnya menyunggingkan senyum dingin yang menusuk, dengan tangannya yang menunjuk tajam ke arah Nasyila.“Oh, jadi kamu mau bawa beban itu keluar dari rumah ini?” tanya Adelia dengan merendahkan, penuh sindiran terselubung. Nayla yang berdiri tak jauh dari situ, dadanya naik-turun menahan amarah, mendengus keras. Tatapannya membar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status