Masuk"Non, ini ruang tengah, terus masih jam sembilan pagi. Nanti kalau Nona Shella atau Mbak Inem lewat gimana?""Duduk sini, Mas!""Waduh, jangan, Non. Saya berdiri aja. Pamali, kalau pelayan duduk di sofa mahal begini, nanti kualat pantat saya bisulan. Lagian saya masih keringetan habis nyupirin Nona Claudia tadi."Dengan tenaga yang mengejutkan untuk ukuran gadis semungil itu, dia terus menarik tanganku menuju sofa kulit berwarna krem yang terletak tepat di depan televisi layar datar raksasa.Alasanku yang sebenarnya tentu saja bukan soal kualat atau keringat, tapi karena si Gatot. Benda pusaka di balik celana kainku ini masih berdiri tegak seperti menantang tinju milik Nona Sora yang tidak menggunakan pelindung."Mas Rafli ma
"Sora? Kamu di dalam? Kenapa dikunci segala, sih? Ini Kakak bawain buah potong, bukain pintunya!"Jantungku rasanya berhenti berdetak detik itu juga..Aku menatap Nona Sora dengan mata melotot, keringat dingin sebesar biji jagung mulai mengalir deras dari pelipis, bercampur dengan uap panas kamar mandi yang membuat seragamku semakin lengket dan tidak nyaman.Kalau pintu ini terbuka, tamatlah riwayatku.Bukan hanya dipecat, bisa-bisa aku digebuki warga satu kompleks karena dikira mau memperkosa anak majikan di kamar mandi.Nona Sora, meski terlihat sedikit gugup, dengan cepat menempelkan jari telunjuknya ke bibir, memberi isyarat agar aku diam seribu bahasa."Iya, Kak, bentar! Aku lagi luluran nih, badan lengket semua kena krim, ribet kalau aku jalan ke pintu terus ambil buahnya. Kakak taruh aja buahnya di meja makan, nanti aku ambil kalau udah selesai bilas!""Luluran?" Suara Nona Shella terdengar curiga, nadanya meninggi satu oktaf."Tumben banget luluran di kamar mandi bawah? Biasan
“Pu-putih, mulus, agak ramping, da-dan sedikit tepos! Ta-tapi, punggungnya bagus banget, sumpah, i-ini bidadari apa gimana? Tapi kok bidadari agak mungil kayak botol yakult?”Nona Sora menunduk sedikit, satu kakinya dinaikkan ke atas kursi kecil berlapis beludru, sementara tangannya sibuk mengoleskan body lotion ke betisnya yang jenjang dan mulus bak pualam.“Waduh Gusti… ini mata saya yang salah lihat atau memang bidadari lagi turun mandi? Kulitnya itu lho, merah-merah muda kayak bayi baru lahir, emang sih belahannya ga segede kakaknya, ta-tapi…”Gerakan tangannya yang lambat dan sensual saat meratakan krim putih itu dari pergelangan kaki naik ke betis, lalu ke lutut, dan terus naik ke paha bagian belakang yang sedikit terekspos karena handuknya terangkat, benar-benar pemandangan yang sanggup meruntuhkan iman ustad sekalipun, apalagi iman sopir sepertiku.Aku terpaku di ambang pintu, tangan masih memegang gagang pintu yang terbuka setengah.Otakku memintaku untuk lari, tapi kakiku se
CIIIIIIT!Mobil berhenti mendadak dengan jarak hanya beberapa sentimeter dari bodi bus yang gila itu. Guncangannya cukup keras karena pengereman darurat.Tubuh Nona Claudia terlempar ke depan karena dia tidak memakai sabuk pengaman dengan benar, tapi untungnya airbag tidak meledak.Namun, karena panik dan ketakutan setengah mati melihat bemper bus di depan matanya, Nona Claudia secara insting mencari pegangan.Dan pegangan terdekat adalah aku."Mamaaa!!!" jeritnya sambil melemparkan tubuhnya ke arahku.Kedua tangannya memeluk lengan kiriku erat-erat, wajahnya dibenamkan ke bahuku. Dan yang membuat napasku tercekat seketika bukan karena hampir tabrakan, melainkan sensasi bantalan empuk yang menghantam lengan atasku.Dada Nona Claudia yang sintal dan padat di balik crop top ketat itu menekan telak otot bisepku. Rasanya begitu lembut, kenyal, dan hangat, apalagi guncangan mobil tadi membuat posisinya semakin menekan ke dalam, seolah dia berusaha menyatukan tubuhnya denganku saking takutn
Saat aku menyerahkan gelas berisi air hangat itu kepadanya di ambang pintu kamar pelayan, jari-jari lentiknya yang halus sengaja bersentuhan lama dengan tanganku.Piyama sutra merah mudanya yang tipis menerawang di bawah sorot lampu lorong yang remang-remang, memperlihatkan siluet tubuh mudanya yang padat dan belum tersentuh gravitasi.Nona Sora kemudian menatapku lalu berjinjit sedikit, mendekatkan wajahnya ke telingaku."Makasih ya, Mas Rafli, aku nggak nyangka kamu gagah banget waktu nahan badan aku, padahal tubuh kamu cungkring. Tapi barusan, aku lihat, loh, perut kamu kotak-kotak, ternyata kamu punya badan bagus cungkring-cungkring gini," bisiknya manja.Sebelum aku sempat menjawab dengan otakku yang korslet, gadis itu sudah melesat pergi ke kamarnya sambil terkikik kecil.Keesokan paginya, aku bangun lebih awal dengan mata sedikit bengkak kurang tidur.Setelah mandi dan memakai seragam sopir yang sudah disetrika licin, aku menghadap Nyonya Alika di ruang makan.Nyonya Alika seda
Nona Sora, si bungsu yang katanya manja itu, kini kakinya melilit kakiku dengan simpul mati, membuat area paling sensitif di kedua dadanya menekan telak ke perut bawahku.Setiap kali dia terisak pelan karena sisa ketakutan, tubuhnya bergetar, menciptakan gesekan-gesekan kecil yang mahadahsyat di area terlarang."Mas Rafli, jangan dilepas, nggak mauuu! Sora takut gelap, Sora nggak mau lepas sama Mas Rafli, huhuhu!"Si Gatot yang masih terjepit , kini memberontak semakin brutal. Mungkin ukuran angka milik Nona Sora tidak sebesar kedua kakaknya, tapi lingkarnya dia besar, sehingga terasa penuh-sesak saat menekanku.Otak udangku mendadak membayangkan hal yang tidak-tidak. Bagaimana jika Nona Sora sadar ada pentungan yang mengganjal di mainan squishy itu?"A-anu, Non-Nona Sora," panggilku terbata-bata, tangan kiriku masih menopang bagian belakangnya yang sintal dan luar biasa empuk itu agar dia tidak jatuh.Sumpah mati, tanganku gemetar bukan main merasakan tekstur daging yang kenyal dan







