เข้าสู่ระบบCIIIIIIT!
Mobil berhenti mendadak dengan jarak hanya beberapa sentimeter dari bodi bus yang gila itu. Guncangannya cukup keras karena pengereman darurat.
Tubuh Nona Claudia terlempar ke depan karena dia tidak memakai sabuk pengaman dengan benar, tapi untungnya airbag tidak meledak.
Namun, karena panik dan ketakutan setengah mati melihat bemper bus di depan matanya, Nona Claudia secara insting mencari pegangan.
Dan pegangan terdekat adalah aku.
"Mamaaa!!!" jeritnya sambil melemparkan tubuhnya ke arahku.
Kedua tangannya memeluk lengan kiriku erat-erat, wajahnya dibenamkan ke bahuku. Dan yang membuat napasku tercekat seketika bukan karena hampir tabrakan, melainkan sensasi bantalan empuk yang menghantam lengan atasku.
Dada Nona Claudia yang sintal dan padat di balik crop top ketat itu menekan telak otot bisepku. Rasanya begitu lembut, kenyal, dan hangat, apalagi guncangan mobil tadi membuat posisinya semakin menekan ke dalam, seolah dia berusaha menyatukan tubuhnya denganku saking takutnya mati muda.
"Non... Nona..." panggilku kaku, seluruh ototku menegang, termasuk otot di antara kedua pahaku yang langsung bereaksi keras terhadap stimulus dadakan ini.
"Sudah aman, Non. Nggak kena, kok, kita masih idup.”
Nona Claudia tidak melepaskan pelukannya. Dia justru semakin erat meremas lenganku, isak tangis ketakutan mulai terdengar.
Dari sudut pandangku yang menyamping, aku bisa melihat belahan dadanya yang tertekan di lenganku, kulitnya yang putih mulus terlihat begitu menggoda iman.
"Aduh, mati aku," batinku putus asa. "Kalau begini terus, bisa-bisa rem tangan mobil bukan satu-satunya batang yang menegang di mobil ini."
Detik demi detik berlalu, namun pelukan eratnya di lengan kiriku tak kunjung lepas.
Kalau saja situasi ini terjadi di kondisi normal, mungkin si Gatot sudah meledak kegirangan dan syukuran tujuh hari tujuh malam. Tapi masalahnya, nyawaku baru saja hampir melayang diseruduk bus kota.
"Non, Nona Claudia, Nona tidak apa-apa?" panggilku lagi, kali ini sedikit menggoyangkan lenganku pelan karena rasanya darah di tangan kiriku sudah mulai berhenti mengalir saking eratnya dia memeluk.
Perlahan, Nona Claudia mengangkat wajahnya dari bahuku.
Matanya yang sedari di rumah tadi menatap sinis dan penuh hinaan, kini terlihat bulat sempurna, basah oleh air mata, dan menyiratkan ketidakpercayaan.
Sadar akan posisinya yang terlalu intim dengan sopir kampung yang baru saja dia hina, Nona Claudia tersentak kaget. Dia langsung melepaskan pelukannya dan memundurkan tubuhnya hingga punggungnya menabrak pintu mobil.
"Lo... lo nggak apa-apaian gue kan?!" tuduhnya panik sambil menyilangkan tangan menutupi dadanya, mekanisme pertahanan diri tsundere-nya langsung aktif kembali.
Aku menghela napas panjang, berusaha menetralkan degup jantung dan rasa nyeri nikmat di bawah perut. "Ya ampun, Non. Tangan saya dari tadi di setir sama rem tangan. Nona sendiri yang loncat meluk saya kayak koala. Kalau saya lepas tangan buat apa-apain Nona, kita udah jadi rempeyek di kolong bus tadi. Mau Nona digeprek sama bemper bus?"
Nona Claudia terdiam, jelas sekali kalau dia ingin memakiku, tapi fakta bahwa aku baru saja menyelamatkan nyawanya dengan refleks tingkat dewa. Dia tahu betul, sopir amatir pasti akan panik dan membanting setir sembarangan atau malah telat ngerem.
Tapi aku, Rafli si anak desa, berhasil menghentikan mobil ini dengan presisi milimeter.
"Hmm... oke, thanks ya. Abis ini lo balik aja, awas aja kalau lo cerita-cerita soal gue teriak tadi ke Mama atau kakak gue. Sumpah, gue potong lidah lo!"
Sepanjang sisa perjalanan menuju kampus, Nona Claudia tak lagi banyak bicara atau main ponsel.
Sesekali aku menangkap basah dia sedang melirikku lewat ekor matanya, menatap lengan kiriku yang tadi jadi bantal daruratnya, lalu beralih menatap wajahku dengan tatapan menilai yang berbeda.
Setelah menurunkan Nona Claudia di lobi kampus, yang disambut tatapan heran teman-temannya karena dia turun dari mobil dengan wajah merah, aku langsung tancap gas pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah, tubuhku sudah basah kuyup oleh keringat. Seragamku yang sudah terasa lengket di punggung, rasanya tidak nyaman sekali.
"Gila, kerja di sini ujiannya berat banget. Fisik diuji, batin disiksa, 'si Gatot' diajak rollercoaster," gerutuku sambil memarkirkan mobil di garasi.
Aku berjalan menuju area belakang dengan langkah gontai, berniat mandi secepatnya untuk mendinginkan kepala dan tubuh yang rasanya mau meledak ini.
Namun, sesampainya di area servis belakang, aku mendapati pemandangan yang bikin elus dada.
Kamar mandi khusus pelayan yang letaknya di pojok dekat tempat cuci baju itu pintunya terbuka lebar, dan di dalamnya penuh tumpukan ember berisi rendaman gorden-gorden tebal milik Nyonya Alika.
"Waduh, Mbak Inem lagi nyuci gorden besar-besaran rupanya," keluhku.
Mbak Inem, asisten rumah tangga yang pulang-pergi, ternyata bekerja setiap hari Rabu untuk mencuci dan menjemur seluruh pakaian.
Mau menunggu Mbak Inem selesai, bisa-bisa aku jamuran. Lagipula, badanku sudah gatal dan lengket bukan main.
Tiba-tiba, otak udangku teringat sesuatu. Ada satu kamar mandi lagi di lantai bawah, letaknya di dekat dapur bersih dan ruang keluarga.
Itu kamar mandi tamu yang jarang dipakai.
"Aman lah ya, Nona Sora pasti lagi sibuk zoom meeting di kamar atas. Numpang mandi bentar doang nggak bakal ketahuan," pikirku polos, merasa ide itu adalah ide paling brilian sedunia.
Tanpa pikir panjang dan tanpa mengetuk karena yakin rumah kosong. Aku kemudian mendorong pintu itu sambil bersenandung pelan.
"Ah, enaknya mandi pas badang leng–“ Namun, kalimatku terputus di tengah jalan saat kulihat seorang gadis berdiri di depan westafel kaca dengan tubuh hanya dililit handuk.
"Non, ini ruang tengah, terus masih jam sembilan pagi. Nanti kalau Nona Shella atau Mbak Inem lewat gimana?""Duduk sini, Mas!""Waduh, jangan, Non. Saya berdiri aja. Pamali, kalau pelayan duduk di sofa mahal begini, nanti kualat pantat saya bisulan. Lagian saya masih keringetan habis nyupirin Nona Claudia tadi."Dengan tenaga yang mengejutkan untuk ukuran gadis semungil itu, dia terus menarik tanganku menuju sofa kulit berwarna krem yang terletak tepat di depan televisi layar datar raksasa.Alasanku yang sebenarnya tentu saja bukan soal kualat atau keringat, tapi karena si Gatot. Benda pusaka di balik celana kainku ini masih berdiri tegak seperti menantang tinju milik Nona Sora yang tidak menggunakan pelindung."Mas Rafli ma
"Sora? Kamu di dalam? Kenapa dikunci segala, sih? Ini Kakak bawain buah potong, bukain pintunya!"Jantungku rasanya berhenti berdetak detik itu juga..Aku menatap Nona Sora dengan mata melotot, keringat dingin sebesar biji jagung mulai mengalir deras dari pelipis, bercampur dengan uap panas kamar mandi yang membuat seragamku semakin lengket dan tidak nyaman.Kalau pintu ini terbuka, tamatlah riwayatku.Bukan hanya dipecat, bisa-bisa aku digebuki warga satu kompleks karena dikira mau memperkosa anak majikan di kamar mandi.Nona Sora, meski terlihat sedikit gugup, dengan cepat menempelkan jari telunjuknya ke bibir, memberi isyarat agar aku diam seribu bahasa."Iya, Kak, bentar! Aku lagi luluran nih, badan lengket semua kena krim, ribet kalau aku jalan ke pintu terus ambil buahnya. Kakak taruh aja buahnya di meja makan, nanti aku ambil kalau udah selesai bilas!""Luluran?" Suara Nona Shella terdengar curiga, nadanya meninggi satu oktaf."Tumben banget luluran di kamar mandi bawah? Biasan
“Pu-putih, mulus, agak ramping, da-dan sedikit tepos! Ta-tapi, punggungnya bagus banget, sumpah, i-ini bidadari apa gimana? Tapi kok bidadari agak mungil kayak botol yakult?”Nona Sora menunduk sedikit, satu kakinya dinaikkan ke atas kursi kecil berlapis beludru, sementara tangannya sibuk mengoleskan body lotion ke betisnya yang jenjang dan mulus bak pualam.“Waduh Gusti… ini mata saya yang salah lihat atau memang bidadari lagi turun mandi? Kulitnya itu lho, merah-merah muda kayak bayi baru lahir, emang sih belahannya ga segede kakaknya, ta-tapi…”Gerakan tangannya yang lambat dan sensual saat meratakan krim putih itu dari pergelangan kaki naik ke betis, lalu ke lutut, dan terus naik ke paha bagian belakang yang sedikit terekspos karena handuknya terangkat, benar-benar pemandangan yang sanggup meruntuhkan iman ustad sekalipun, apalagi iman sopir sepertiku.Aku terpaku di ambang pintu, tangan masih memegang gagang pintu yang terbuka setengah.Otakku memintaku untuk lari, tapi kakiku se
CIIIIIIT!Mobil berhenti mendadak dengan jarak hanya beberapa sentimeter dari bodi bus yang gila itu. Guncangannya cukup keras karena pengereman darurat.Tubuh Nona Claudia terlempar ke depan karena dia tidak memakai sabuk pengaman dengan benar, tapi untungnya airbag tidak meledak.Namun, karena panik dan ketakutan setengah mati melihat bemper bus di depan matanya, Nona Claudia secara insting mencari pegangan.Dan pegangan terdekat adalah aku."Mamaaa!!!" jeritnya sambil melemparkan tubuhnya ke arahku.Kedua tangannya memeluk lengan kiriku erat-erat, wajahnya dibenamkan ke bahuku. Dan yang membuat napasku tercekat seketika bukan karena hampir tabrakan, melainkan sensasi bantalan empuk yang menghantam lengan atasku.Dada Nona Claudia yang sintal dan padat di balik crop top ketat itu menekan telak otot bisepku. Rasanya begitu lembut, kenyal, dan hangat, apalagi guncangan mobil tadi membuat posisinya semakin menekan ke dalam, seolah dia berusaha menyatukan tubuhnya denganku saking takutn
Saat aku menyerahkan gelas berisi air hangat itu kepadanya di ambang pintu kamar pelayan, jari-jari lentiknya yang halus sengaja bersentuhan lama dengan tanganku.Piyama sutra merah mudanya yang tipis menerawang di bawah sorot lampu lorong yang remang-remang, memperlihatkan siluet tubuh mudanya yang padat dan belum tersentuh gravitasi.Nona Sora kemudian menatapku lalu berjinjit sedikit, mendekatkan wajahnya ke telingaku."Makasih ya, Mas Rafli, aku nggak nyangka kamu gagah banget waktu nahan badan aku, padahal tubuh kamu cungkring. Tapi barusan, aku lihat, loh, perut kamu kotak-kotak, ternyata kamu punya badan bagus cungkring-cungkring gini," bisiknya manja.Sebelum aku sempat menjawab dengan otakku yang korslet, gadis itu sudah melesat pergi ke kamarnya sambil terkikik kecil.Keesokan paginya, aku bangun lebih awal dengan mata sedikit bengkak kurang tidur.Setelah mandi dan memakai seragam sopir yang sudah disetrika licin, aku menghadap Nyonya Alika di ruang makan.Nyonya Alika seda
Nona Sora, si bungsu yang katanya manja itu, kini kakinya melilit kakiku dengan simpul mati, membuat area paling sensitif di kedua dadanya menekan telak ke perut bawahku.Setiap kali dia terisak pelan karena sisa ketakutan, tubuhnya bergetar, menciptakan gesekan-gesekan kecil yang mahadahsyat di area terlarang."Mas Rafli, jangan dilepas, nggak mauuu! Sora takut gelap, Sora nggak mau lepas sama Mas Rafli, huhuhu!"Si Gatot yang masih terjepit , kini memberontak semakin brutal. Mungkin ukuran angka milik Nona Sora tidak sebesar kedua kakaknya, tapi lingkarnya dia besar, sehingga terasa penuh-sesak saat menekanku.Otak udangku mendadak membayangkan hal yang tidak-tidak. Bagaimana jika Nona Sora sadar ada pentungan yang mengganjal di mainan squishy itu?"A-anu, Non-Nona Sora," panggilku terbata-bata, tangan kiriku masih menopang bagian belakangnya yang sintal dan luar biasa empuk itu agar dia tidak jatuh.Sumpah mati, tanganku gemetar bukan main merasakan tekstur daging yang kenyal dan







