Spontan Celyna membungkam mulutnya. Jantungnya seakan berhenti saat menyaksikan suaminya mencium perempuan itu dengan begitu mesra, bahkan mengangkat tubuh perempuan itu ke atas meja, hendak melucuti pakaiannya. Air mata Celyna menetes, tak tertahan.
Celyna tidak tahan menyaksikan semua itu. Saat hendak berbalik, kakinya goyah dan tubuhnya hampir jatuh. Suara kecil yang ia timbulkan membuat Kaizen dan kekasihnya sontak menghentikan cumbuannya. Dengan panik, Celyna melepas sepatu haknya dan berlari keluar.
Saat Kaizen keluar, dia hanya mendengar suara pintu utama ditutup. Tanpa tahu siapa yang datang.Malam itu, Celyna berjalan di tengah-tengah kerumunan orang-orang. Ia tak peduli dengan tatapan para sosialita yang mulai memperhatikannya.
Air matanya jatuh semakin deras, hatinya perih seperti ada ribuan jarum yang menancap di dadanya. Dengan langkah gontai, ia keluar dari resort sambil menggenggam sepatu hak dan tas di tangannya.
Bayangan suaminya bercumbu dengan perempuan lain terus menghantam pikirannya, mengiris hatinya, meremukkan harga dirinya.
Celyna mencegat taksi. Begitu masuk, ia tak sanggup menahan tangis. Ia pun menangis sesenggukan.
“Bu, kita pergi kemana?” tanya sopir taxi.
“Ke bar,” jawabnya pelan.
Sepuluh menit kemudian, Celyna sudah duduk di kursi bar. Riasannya luntur, wajahnya sembab. Ia menenggak whiskey pertama seperti orang yang kehausan. Gelas demi gelas habis diteguknya seorang diri.
“Lagi,” katanya kepada seorang bartender.
Pada gelas kelima yang hendak diteguknya, sebuah tangan menahan pergelangannya. Celyna menoleh. Tatapannya kabur oleh air mata, dan ia mendapati Caelan berdiri di sampingnya. Sorot matanya tajam, dingin.
Tanpa sepatah kata, Caelan mengambil gelas itu, menenggaknya sekaligus. Lalu menatap wajah Celyna.
“Jelek sekali,” ucapnya datar.
Tangis Celyna pecah lagi. Ia terisak, makeup semakin melunturi wajah cantiknya. Caelan menunduk, tersenyum miring.
“Memang jelek,” bisiknya di telinga Celyna. “Tapi aku tetap menyukaimu.”
Celyna membeku. Seketika air matanya bercampur cegukan, tubuhnya mendadak kaku mendengar kata-kata itu. Saat itulah Caelan meraih wajahnya, menempelkan bibirnya di bibir Celyna.
Kecupan itu membuat Celyna melotot, tetapi Caelan sudah mundur, menatapnya dengan tatapan teduh yang sulit ditebak.
“Sudah selesai menangis?” tanyanya, Caelan meletakkan uang di meja bar, lalu menoleh lagi pada Celyna. “Kalau kau masih menangis, aku akan menciummu lagi.”
Celyna membeku. Beberapa pasang mata di bar mulai menoleh. Tanpa berkata-kata, Caelan mengangkat tubuh Celyna membawanya keluar dari bar. Semakin membuat Celyna terkejut.
“Turunkan aku, aku masih ingin minum,” protes Celyna pelan.
“Aku akan menemanimu minum,” jawab Caelan tenang, menurunkannya di dalam mobil.
Dua puluh menit kemudian, mereka tiba di sebuah hotel. Caelan menuntun Celyna masuk ke kamar.
“Kamu duduk di sana,” ujarnya, menunjuk sofa.
Tak lama, Caelan datang membawa beberapa botol minuman dan wadah es. Ia menuang untuk Celyna, tetapi Celyna menatapnya kosong. Ingatan itu masih mengikat di dibenaknya, masih menggerogoti hatinya.
Caelan menghela napas, lalu kembali dengan baskom air panas dan handuk kecil. Ia berlutut di hadapan Celyna, membersihkan wajahnya dengan lembut. Celyna tertegun dengan sikap Caelan.
“Aku bisa sendiri,” gumam Celyna lirih.
“Diam saja,” balas Caelan, dengan hati-hati dia membersihkan sisa-sisa make up di wajah Celyna. “Cantik,” katanya pelan.
Celyna terkejut, matanya melebar.
“Jangan menangis lagi. Air mata hanya menutupi kecantikanmu,” ucap Caelan.
Entah kenapa, kata itu membuat air mata Celyna kembali jatuh. Caelan menyekanya air matanya jemarinya, lalu menatap Celyna dalam.
“Celyna, … katakan padaku, bahwa kau menyesal menikah dengan Kaizen?” bisiknya.
Tubuh Celyna bergetar. Benaknya mengingat kenangan, serta perlakuan dingin dan kasar suaminya. Ia terisak, dan di saat itu juga Caelan menariknya ke pelukannya. Sebuah pelukan hangat yang menangkan. Sebuah pelukan yang sudah lama tidak pernah ia dapatkan.
Untuk pertama kali dalam waktu lama, pelukan itu membuatnya merasa tentram. Hingga Celyna tidak lagi menangis.
Beberapa menit berlalu, pelukan itu terlepas.
“Aku harus pulang,” ucap Celyna dengan suara parau, hendak berdiri.
Caelan menahan tangannya, menatap Celyna teduh. “Tetaplah di sini. Hanya aku yang bisa menghapus rasa sakitmu.”
Deg! Jantung Celyna berdegup kencang. Bibirnya bergetar. Caelan mengecup punggung tangannya, lalu menarik tubuhnya hingga condong ke arahnya.
Tanpa memberi waktu, bibir Caelan menyapu bibir Celyna. Kali ini lebih dalam, lebih panas, tapi ada kelembutan yang membuat tubuh Celyna memanas. Pada saat itu, ingatan Kaizen dengan perempuan lain mendadak melintas di benaknya.
Ada kemarahan dan sakit hati yang tidak bisa ditahan. Ia tidak ingin lagi jadi perempuan yang hanya bisa menangis. Ia ingin membuktikan dirinya juga bisa dicintai, dipeluk, dan dipandang layak dan diperlakukan istimewa.
Celyna membalas ciuman itu. Napas mereka memburu, tubuh mereka bersentuhan. Caelan memangkunya, lalu menurunkannya perlahan di atas meja yang ada di kamar.
“Celyna,” panggilnya pelan. “Malam ini, aku tidak akan membiarkanmu kembali ke bajingan itu.”
Sebelum Celyna menjawab, bibir Caelan sudah lebih dulu mendarat di bibirnya. Kecupan hangat itu, turun ke tengkuk, meninggalkan jejak merah. Celyna gemetar, tapi tidak menolak. Tubuhnya merespons.
Pakaiannya mereka satu persatu lepas dan jatuh ke lantai. Celyna memeluk tubuh Caelan, merasakan mulut Caelan menyapu setiap lekuk tubuhnya. Menciptakan sensasi merinding. Caelan melepaskan bra yang dikenakan Celyna dan mengecup keindahan di hadapannya. Menyapunya dengan lembut.
“Uh!!” desah Celyna seraya meremas meja.
Dalam sekejap Caelan sudah menyapu lembut lembah di bawah sana, membuat Celyna mendesah pelan. Memejamkan mata, merasakan sesuatu yang tidak pernah ia dapatkan dari Kaizen.
“Aaaah!”
Semakin cepat Caelan bermain di bawah sana, membuat Celyna tidak bisa lagi berpikir jernih dan terbawa oleh arus asmara. Caelan menarik paha Celyna, menatap matanya dengan lembut.
“Bagaimana, kau lebih menyukai permainanku, atau dia?” tanya Caelan dengan nada sedikit kesal.
Namun, Celyna tidak menjawab, tubuhnya mendadak lemas. Dia tidak lagi berpikir semua ini benar atau salah. Karena Celyna tidak menjawab, Caelan memangku Celyna ke atas tempat tidur.
“Akan aku perlihatkan kehebatanku. Dan aku bersumpah, kau tidak akan melupakan malam ini Celyna.”
“Caelan, aku—”
Cup, bibir Caelan kembali menekan bibir Celyna. Di satu sisi Caelan mendorong masuk miliknya, tetapi tidak semulus itu.
“Uhhh!” desis Celyna air matanya menetes.
Caelan menekannya lebih kuat lagi, alisnya mengkerut.
‘Sempit sekali. Tidak mungkin dia masih perawan?’ ucapnya dalam hati.
Caelan terus menekannya, dia juga menggigit bibir Celyna. Celyna meremas seprai menahan rasa sakit dan perih, Caelan tidak menyerah dia terus mendorong masuk miliknya. Lebih keras lagi, membuat Celyna memeluk tubuh pria itu.
Menggaruk punggungnya, dan setelah beberapa waktu Caelan akhirnya lolos. Celyna merasakan sesuatu terputus dari dirinya.
“Aaah!!” desah Caelan, menghentakkan miliknya lebih cepat membuat Celyna menangis. Caelan mengecup matanya. “Sakit?” bisiknya lembut.
Spontan Celyna membungkam mulutnya. Jantungnya seakan berhenti saat menyaksikan suaminya mencium perempuan itu dengan begitu mesra, bahkan mengangkat tubuh perempuan itu ke atas meja, hendak melucuti pakaiannya. Air mata Celyna menetes, tak tertahan.Celyna tidak tahan menyaksikan semua itu. Saat hendak berbalik, kakinya goyah dan tubuhnya hampir jatuh. Suara kecil yang ia timbulkan membuat Kaizen dan kekasihnya sontak menghentikan cumbuannya. Dengan panik, Celyna melepas sepatu haknya dan berlari keluar.Saat Kaizen keluar, dia hanya mendengar suara pintu utama ditutup. Tanpa tahu siapa yang datang.Malam itu, Celyna berjalan di tengah-tengah kerumunan orang-orang. Ia tak peduli dengan tatapan para sosialita yang mulai memperhatikannya. Air matanya jatuh semakin deras, hatinya perih seperti ada ribuan jarum yang menancap di dadanya. Dengan langkah gontai, ia keluar dari resort sambil menggenggam sepatu hak dan tas di tangannya. Bayangan suaminya bercumbu dengan perempuan lain terus
Ponsel itu jatuh dari tangannya. Celyna membeku, matanya terpaku pada layar yang menampilkan foto itu. Foto itu terlalu nyata untuk bisa disebut rekayasa. Kaizen memakai pakaian yang sama dengan yang dikenakannya hari ini.Hatinya seperti diremas, sesak. Tangannya gemetar ketika berusaha memungut ponsel dari lantai.Dengan napas yang tidak beraturan, ia kembali menatap layar ponselnya. Tubuhnya merosot hingga terduduk di depan pintu, air matanya menetes begitu saja.“Kaizen,” gumamnya hampir tak terdengar.Satu jam berlalu. Langit sudah gelap, tetapi tidak ada tanda-tanda suaminya kembali ke kamar hotel. Celyna masih menggenggam ponselnya erat-erat. Pertanyaan demi pertanyaan kini menggerogoti pikirannya. Sekarang ia semakin mengerti. Kenapa Kaizen tidak pernah mau menyentuhnya.Celyna menyeka air matanya. Ia mencoba menghubungi nomor pengirim foto itu, tapi panggilannya tidak pernah dijawab. Sambil duduk di sofa, ia mencoba lagi, tetap tidak diangkat.[Kamu siapa?]Ia mengirim pesan s
Celyna terdiam, wajahnya memucat. Namun, dia tetap berusaha tenang. Dan memalingkan wajah.“Ternyata kau sama saja dengan perempuan di luar sana, munafik! Kau memilih menikahi kakakku, demi nama besar dan kekuasaan. Jangan salahkan aku kalau sekarang menganggapmu perempuan murahan.”“Cukup!” Celyna balas berteriak, matanya berkaca-kaca. “Kau tidak tahu apa pun! Kau tidak pernah tahu…”“Tahu apa?” Caelan mencondongkan tubuhnya, menatapnya lebih dekat. “Kalau sebenarnya kau cuma pion murahan keluarga politikmu? Atau kau memang tidak bisa hidup tanpa uang dan status?”PLAK!Tamparan mendarat untuk kedua kalinya di wajah Caelan.“Pergi!” pekiknya. “Kalau kau masih punya harga diri, jangan pernah muncul lagi di hadapanku.”Caelan menurunkan pandangannya. Tamparan itu masih terasa di pipinya. Ia bahkan menyentuh pipinya, ironi. Caelan kembali menaikkan pandangannya menatap Celyna.“Karena kau sudah masuk ke dalam keluarga Kendrick, jangan harap kau bisa hidup dengan tenang.”Celyna tercekat
Mata Celyna bertemu dengan mata dingin milik Caelan, yang kini menatapnya lekat, dingin dan menusuk. Sementara Kaizen dan ibunya tampak malas, berbeda dengan sang ayah. Kedua orang tua Celyna tidak berkomentar. Mereka hanya tersenyum.“Caelan, cucuku. Sejak muda di sudah tinggal di luar negeri, aku baru sempat mengenalkannya kepada kalian. Saat pernikahan Celyna, Caelan tidak bisa datang.”Kaizen tersenyum miring. “Kukira kau tidak akan pernah kembali.”Caelan dengan tenang duduk, sorot matanya tidak pernah beralih dari Celyna yang duduk di samping Kaizen.“Sudah waktunya aku pulang dan bergabung dengan perusahaan,” jawab Caelan tenang.Kaizen terkejut. “Apa kau bilang? Bisa-bisanya orang sepertimu bergabung di perusahaan.”“Cukup!” Ayah mertua akhirnya angkat bicara. “Ini bukan tempat debat. Apa kalian tidak menghargai nenek kalian?”Celyna yang gugup, dengan tangan gemetar akhirnya meraih gelas yang berisikan segelas air putih.“Jadi, ini istri idamanmu?” tanyanya dengan nada yang t
Lingerie tipis warna hitam itu mengintip dari jubah satin yang membungkus tubuhnya, memperlihatkan siluet indah tubuhnya. Celyna menatap pantulan dirinya di cermin dengan senyum getir. Ibunya datang jauh-jauh hanya untuk mendadaninya seperti ini, sekaligus memberikan ceramah panjang soal menggoda suami seakan-akan Celyna adalah istri bodoh yang tidak bisa hamil meski sudah dua tahun menikah.Yang benar saja, yang jadi masalah bukan Celyna. Melainkan–“Kamu pikir kamu bisa membuatku mau menyentuhmu dengan berpenampilan begitu?”Celyna terkesiap. Sontak, ia berbalik dan mendapati Kaizen sedang menatapnya dengan wajah merah. Bukan tersipu melihat kulit polos Celyna mengintip di balik jubah malamnya, melainkan karena marah.Buru-buru Celyna merapatkan pakaiannya.“Bukan itu maksudku. Aku baru saja ingin mengganti pakaian,” bela Celyna. “Tadi Ibu datang, lalu beliau–”Kaizen mengibaskan tangannya, menyuruh Celyna diam. Pria itu melonggarkan dasi lalu membuka kancing kemejanya. Ia sama sek