Brak!
"Astaghfirullah!"
Aku hampir saja terlonjak ketika Ratna tiba-tiba saja menggebrak meja kantin tanpa aba-aba.
Sepulang dari meeting room, kami bertiga memilih makan bakso di kantin Bu Isoh karena masih jam istirahat.
"Ini gak bisa dibiarin Nia, Han! Kita harus tahu siapa calon istri Pak Athar! Titik!" ujar Ratna tegas membuatku spontan bergidik ngeri.
Duh ... bisa gawat kalau mereka tahu yang dimaksud Athar adalah aku. Bisa-bisa dijadikan seblak ceker sama fans dadakan Athar.
Brrr! Menakutkan.
Kalau begitu ceritanya, oke fix! Sudah kuputuskan bahwa berpura-putar adalah jalan ninjaku.
"Iya, tapi nyari tahu kemana Markonah? Wong si Bos aja gak ngasih tahu namanya," sahutku cuek sambil memakan pentol bakso.
"Ya, ke mana aja. Masalah itu bisa kita pikirkan. Oh ya, Kania lo beneran kan gak tahu calon istri Pak Athar?" selidik Ratna padaku dengan wajah penuh kecurigaan.
Aku yang jelas-jelas berbohong tentu saja tak nyaman.
"Beneran Ratna gue gak tahu. Kan Lo tahu sendiri tadi denger di meeting room kalau gue bilang gak kenal sama calon istrinya di depan Pak Kafka. Lagian udah sih, gak usah ngomongin dia terus udah ada pawangnya tahu. Udah gitu berondong lagi," kilahku mencoba mengalihkan
Ratna menggelengkan kepalanya menolak mendengar saranku.
"Gak! Kagak bisa ... kagak bisa. Bagi gue, selama janur kuning belum melengkung Kafka masih milik bersama. Mau dia berondong kek atau tua selama gue demen ya gak perduli. Masa baru juga ketemu, dia udah sold out lagi. Bener gak Han?"
"Hooh setuju gue. Harapan itu masih ada selama undangan belum di meja. Makanya ayo kita cari info tentang calon istri si bos, kita lihat cantikan mana sama kita?" sewot mereka penuh semangat yang berapi-api.
Ya Allah kenapa mereka jadi begini, sih?
Kebayang kalau punya teman 10 sifatnya sama kayak Ratna dan Hana, aku yakin resign jadi manusia.
Di tengah obrolan heboh kami, tiba-tiba ada yang mengetuk meja kantin yang sedang kami akuisisi. Spontan saja aku dan duo racun melihat siapa gerangan yang mengganggu dan ternyata itu adalah Pak Vino.
Pak Vino adalah SPV-ku, kebetulan di QA validasi dia yang paling sering berhubungan dengan kami secara dia yang mengontrol pekerjaan tim.
"Halo, apa saya ganggu kalian?" tanya Pak Vino membuat aku, Ratna dan Hana berpandangan kaget campur curiga.
"Enggak Pak, ada perlu apa ya Pak?" tanya Hana mewakili. Di antara kami Hana adalah staf yang paling antipati pada Pak Vino karena sikapnya yang sok memerintah.
"Oh enggak, ehm ... sebenarnya saya ada perlu sama Kania. Gimana Nia bisa kita bicara? Berdua saja?"
"Berdua saja?" Aku memekik pelan. Merasa aneh atas ajakan Pak Vino.
"Ya, bisa kan?"
"Ehm gimana, ya?"
Aku melirik ragu ke arah Ratna dan Hana yang memberi kode dengan gelengan kepala agar aku menolak.
Diam-diam, aku meng-amini usul mereka. "Ehm, Pak maaf nih apa gak lebih baik nanti aja Pak ngobrolnya?" tanyaku agak risih. Terlebih melihat sekeliling kami yang mulai memperhatikan.
Bagaimana pun akibat sikap Pak Vino yang kadang sok perhatian dan terang-terangan membuat aku dituduh sebagai pengganggu rumah tangga Pak Vino. Padahal Pak Vino yang mepet-mepet tapi tetap saja kesannya aku yang gatal.
Ya Allah ... segini susahnya jadi janda? Apa salah aku coba?
"Heum ... jangan nanti dong Nia soalnya mendesak ini. Gimana kalau kita sekarang ke luar kantin sebentar aja? Kamu gak keberatan, kan?" bujuk Pak Vino lagi penuh harap.
"Bukan keberatan sih Pak tapi ...."
"Nia, saya janji gak akan lama. Masa kamu menolak permintaan atasan?" sindir Pak Vino membuatku merasa tak enak hati.
Lagi-lagi dia membawa jabatan dalam hal ini.
Ya ampun ... malesnya.
"Nia?" desak Pak Vino dengan nada lebih keras dan penuh penekanan.
Aku menarik napas dalam sambil berpikir.
"Ya, sudah baiklah."
Akhirnya aku menyerah demi norma kesopanan dan khawatir disangka kurang ajar sama atasan.
(***)
"Saya serius sama kamu Nia. Saya akan meminta ijin pada istri saya untuk merestui kita. Bagaimana? Kamu terima saya, kan?" tanya Pak Vino serius membuat mulutku seketika menganga kaget.
Hah? Minta ijin istrinya? Kegilaan macam apa ini? Mana mungkin aku tega menjandakan orang lain demi janda.
Sungguh, terlalu!
Aku tak menduga keinginannya untuk menjadikanku sebagai istri kedua begitu kuat. Pak Vino memang sama sekali tak ingin mundur meski aku sudah menolaknya beberapa kali.
Jujur, meski pun aku janda, aku tak ingin menjadi penghancur rumah tangga orang lain. Aku cukup tahu penderitaan ketika seseorang yang kita miliki diambil paksa.
Dan yang terpenting aku masih punya harga diri.
Aku menghembuskan napas kasar mendengar pertanyaan Pak Vino. Pantas saja dia memintaku mengobrol di samping kantin yang relatif sepi ternyata hanya untuk ini. Mana dekat ember bekas cuci piring lagi.
Ampun deh, gak elit banget.
"Maaf Pak, kalau saya lancang. Tapi apa Bapak tidak pernah berpikir perasaan istri Bapak? Pak, saya ini tidak ingin menikah untuk sementara waktu apalagi untuk jadi istri kedua. Jadi, maaf saya gak bisa menerima tawaran Bapak," ucapku tegas.
"Kania, saya memikirkan perasaan istri saya makanya saya akan meminta ijin sama dia, saya yakin dia akan setuju karena kami sudah tak bisa punya anak lagi setelah kelahiran anak pertama. Barangkali dengan menikah lagi saya akan punya anak dan lebih bahagia. Istri saya pasti ikhlas."
"Ikhlas? Cih! Pak! Apa Bapak akan menjamin ketika Bapak menikah dengan saya Bapak juga akan memiliki anak langsung? Tidak, kan?! Allah Pak yang kasih, manusia gak berhak untuk menjadi hakim bagi takdir Pak," balasku sedikit emosi karena jawaban Pak Vino mengingatkanku pada alasan Hans kala meminta cerai di depan keluarganya.
Aku masih tidak mengerti pada manusia yang berpikir demikian. Kenapa mereka bisa sepicik itu? Kenapa mereka bisa menilai rumah tangga hanya dari ukuran tertentu saja? Apakah sependek itu jalan syurga?
Tak bisa kuhindari, dadaku serasa panas dan mataku berkaca-kaca. Sungguh, pembahasan tentang ini membuka luka lama yang ingin aku lupakan.
"Ya, saya tahu istri saya mungkin sakit hati dan saya juga tahu tak ada jaminan saya menikah dengan kamu akan langsung punya anak. Tapi, hati saya gak bisa pindah Karen. Saya ... saya ...."
"Oh, jadi ini si janda gatel itu?"
Astaga! Siapa itu yang bilang aku janda gatel?
Aku reflek menolehkan kepala ketika terdengar suara wanita menyela dari arah samping kanan. Mataku terbelalak melihat seorang ibu yang berbadan montok sedang melihat tajam ke arahku.
"Mamah? Mamah ngapain ke sini?"
"Mamah? Jadi Ibu ini istrinya Pak Vino?" seruku terkejut ketika melihat Pak Vino bergegas menghampiri wanita bertubuh tambun di hadapanku. Kutebak umurnya kurang lebih 40-an.
"Iya, saya istrinya Vino. Kenapa? Kamu kaget? Dasar wanita gak tahu diri bisa-bisanya kamu merebut suami saya, ya? Dasar pel*cur!" damprat istri Pak Vino seraya melotot dan menguarkan aura kebencian.
Mendengar istri Pak Vino menghinaku, entah kenapa otakku seketika mengingat kejadian dua tahun silam.
Dulu aku pun begitu kala bertemu Anita, aku marah dan ingin memaki sebisa mungkin. Hanya bedanya, sekarang aku sama sekali BUKAN pelakor' dan aku merasa berhak membela diri karena aku tak pernah menjadi simpanan.
"Apa? Ibu bilang apa? Saya pel*cur?! Maaf ya Bu, saya tidak pernah merebut suami Ibu, jadi silahkan tanya sendiri sama suami Ibu siapa yang ngejar-ngejar?! Dan asal Ibu tahu saya sudah menolak suami Ibu," kelasku tetap tenang.
Meski amarah membuncah, aku tidak boleh terpancing.
"Alaah alasan! Biasanya begitu p*lakor' atau p*lacur gak mau ngaku! Sekarang cepat katakan berapa yang kamu minta untuk menjauhi suami saya?"
"Astaghfirullah Bu, saya beneran gak mau sama suami Ibu! Dan terutama saya bukan p*lacur! Saya punya harga diri! Bukan saya yang menggoda suami Ibu, Ibu salah paham!" Kali ini emosiku mulai terpancing karena merasa dihina dan difitnah secara verbal.
Enak saja aku disamakan dengan p*lacur. Gini-gini, harga diriku sangat tinggi.
"Apa? Bohong! Kamu pasti bohong! Suami saya bilang kamu kok yang godain dia!"
"Nggak Bu, nggak! Haram bagi saya menggoda suami Ibu. Sekarang, terserah Ibu mau percaya atau tidak yang jelas saya tak perduli! Permisi! Saya malas meladeni kalian!"
Merasa perdebatan ini tak akan berakhir, daripada membuat kericuhan aku memilih membalikan badan untuk pergi. tetapi, baru saja beberapa langkah aku berjalan teriakan istrinya Vino terdengar lagi.
"Tunggu! Dasar wanita gak punya otak! Ini hukuman untukmu!"
Hukuman? Maksudnya?
Merasa janggal, aku pun melihat ke arah belakang dan alangkah kagetnya ketika kulihat si ibu montok mendadak sudah membawa sebuah ember berisi air bekas cucian piring telah melayang ke arahku lalu ....
"Mbaaak! Awaaaas!"
BYUUR!
"ATHAR?!" pekikku terkejut ketika melihat tubuh Athar tiba-tiba hadir di depanku hingga siraman air kotor itu mengenainya.
Sontak saja aku menutup mulut yang menganga ketika melihat wajah Athar yang tampan itu
telah penuh dengan sampah mie bakso dan kawan-kawannya.Ya Allah ... Athar melindungiku? Dia melindungiku? LAGI?!
Tadinya ingin sekali aku menghajar balik si Pak Vino dan istrinya dengan tendangan Cimandeku. Namun, mengingat itu masih area kantor lebih baik kejadian tadi dirahasiakan.Athar pun bilang bahwa dia akan menyelesaikan semua dengan caranya hingga aku tak perlu membalas perbuatan mereka karena Pak Vino langsung diurus HRD dan akan diberi surat peringatan (SP).Jujur, dalam situasi ini aku tidak tahu lagi harus bersikap seperti apa tapi yang pasti batinku sangat terluka dan merasa bersalah.Wanita mana yang mau difitnah dan dilecehkan secara verbal oleh orang lain? Aku kira apa pun statusnya pasti tidak mau. Apalagi, akibat itu seseorang harus berkorban untuk melindungiku.Ish! Aku kesal pada diriku sendiri dan semuanya."Mbak! Udah dong jangan nangis. Saya masih punya kemeja cadangan kok di lemari kantor jadi gak usah dibersihin, lagian pake kaos juga gak masalah kalau manajer mah, udah ya cup-cup jangan nangis lagi ...." bujuk Athar padaku yang terus menangis sambil mengucek baju.Waktu
"Maaf Pak, maaf! Saya gak sengaja."Bagaikan orang bodoh, aku gegas mendudukan diri syok karena baru sadar kalau aku tengah mempermalukan diri sendiri. Bisa-bisanya, tubuhku yang agak bongsor ini jatuh tepat di ujung sepatunya Athar. Ih najong! Mending sosor yang punyanya ya, kan? Eh, astaghfirullah. Oh ya Allah! Ingin rasanya aku menghilang saja di telan bumi atau masuk ke kantong Doraemon jika begini ceritanya. Namun, Athar anehnya gak marah, pria itu malah terlihat mengulum senyumnya. "Sudah gak apa-apa, Mbak. Tapi sebenarnya kamu ada perlu apa sampai ada di depan ruangan saya?" tanya Athar seraya membantuku berdiri disaksikan Tiara yang menatap sinis dan duo racun yang melongo bego."Anu Pak, ehm ... anu saya tadi lagi ... aw!" Aku meringis menahan lututku yang tiba-tiba sakit kala mencoba bangun. Heran, entah kenapa tubuhku tiba-tiba limbung akibat rasa ngilu yang menjangkiti, ini pasti terjadi gara-gara aku terjatuh dan kakiku bersilaturahim dengan lantai.Athar yang tadinya
Aku memandang pantulan bayanganku di depan cermin, semalam tadi aku sukses cosplay imenjadi Kuntilanak yang galau karena perasaan sendiri. Saat orang lain sudah terlena dengan tidur mereka hingga asyik bermimpi, sialnya aku masih menatap layar ponsel berharap ada pesan dari Athar yang nyatanya gak kunjung datang.Sebal! Aku yang sempat berpikir Athar akan menjelaskan tentang hubungannya bersama Clara nyatanya harus menelan pil kecewa. Tak kuduga lelaki itu sama sekali gak menghubungiku, padahal aku mengira setelah kejadian di depan ruangannya kemarin, dia akan menjelaskan tentang gosip yang terjadi di kantor.Mungkinkah benar kalau mereka sudah menjalin hubungan? Mungkinkah hatinya kini sudah terpaut pada Clara? Apalagi dia sudah dekat dengan ibunya.Ah, sial! Kenapa aku jadi overthingking begini? Hanya karena dia pernah melamarku, aku jadi punya harapan lebih pada Athar yang baiknya aku hindari."Sudahlah, Nia! Jangan pikirin Athar! Jangan!" rapalku di depan cermin.Menyadari kebodo
Don't judge the book by it's cover. Benar banget, buktinya lelaki bernama Athalarik Yusuf ini dari luarnya aja kalem, sok dingin, cengengesan, jahil tapi aslinya dia dewasa dan terlalu gegabah.Apa buktinya? See! Sekarang tanpa persetujuan apa pun dia tiba-tiba mengikrarkan diri untuk melamar langsung ke Mamah lagi.Oh Tuhan! Lama-lama aku bisa sawan melihat kelakuan Athar.Entahlah bagaimana pikiran Athar tapi yang jelas aku bingung. Diam-diam aku hanya berdoa semoga Mamah tidak bertanya macam-macam dan menyelidiki Athar.Kalau Mamah sampai tahu Athar ini adik dari pelakor' yaitu Anita, sudahlah tamat riwayatku.Bisa-bisa bukan hanya Athar ditolak, tapi aku pun pasti diminta keluar dari tempat kerja yang sekarang."Huuuuuuh!"Entah ke berapa kalinya, aku menghela napas tegang karena situasi di ruang tamu yang lebih horor dari sidang sarjanaku. Setelah Athar bilang ingin melamarku, Mamah langsung meminta kami duduk berbincang dengan serius.Namun, ketika kami sudah berhadapan anehnya
Aku menatap nyalang langit-langit kamar. Usai lamaran dadakan yang dilakukan oleh Athar tadi sore, entah mengapa aku sama sekali tak dapat memejamkan mata. Kalau kata penyanyi dangdut Cita Citata, bisa jadi aku sedang mengalami GEGANA (Gelisah, Galau dan Merana).Ya, aku gegana karena Athar hingga aku tidak tahu harus berbuat apa. Di satu sisi, aku tak mau munafik kalau mulai menaruh hati. Melihat dia yang selalu membelaku, rasa kewanitaanku mulai tergelitik tapi di sisi lainnya aku merasa hubungan kami akan sulit. Athar adalah adik dari Anita, tidak terbayangkan jika kami harus berada di bawah satu atap yang sama.Oh Tuhan. Tidak! Aku tidak mungkin menikah dengannya, di saat aku masih penuh ras atrauma. Aku bahkan tak yakin bisa menjalin hubungan lagi dengan lelaki. Aku yakin ada yang salah untuk semua ini tapi anehnya Mamah sama sekali tak mau menerima protesku. Mamah bersikeras tentang permintaannya padahal aku sudah bilang kalau aku ingin Mamah menolak saja, tidak perlu sampai me
"Jangan bermain api jika kamu tidak mau terbakar bersamanya."Begitulah petuah ayahku sebelum beliau meninggal. Jika mengingat itu jantungku seakan berdenyut ngilu.Ayah benar!Seharusnya aku tak bermain api karena sekarang aku tak tahu bagaimana memadamkan asapnya. Seharusnya dulu aku tak sempat membuka hati karena sekarang aku bingung mengobatinya.Semalam setelah permintaan ibunya Athar yang membuatku sakit hati. Tanpa berpikir panjang dan berdiskusi dengan Mamah, aku langsung menghubungi Athar untuk menolak lamarannya. [Athar, saya harap kamu mundur dan berhenti mengatakan ingin melamar saya. Kalau pun terjadi, hubungan ini akan sulit lebih baik kita berhenti.] Begitulah isi penolakanku pada Athar tadi malam.Sungguh, aku tidak bisa mentoleransi lagi. Aku tidak sudi dituduh macam-macam sama keluarga Athar.Menanggapi penolakanku itu, tentu saja Athar langsung tak terima. Lelaki itu berulang kali mengirimi aku pesan dan menelepon bagaikan orang yang hilang akal.[Mbak. Kenapa Mbak
Aku memijit kening yang terasa berat. Jujur, meski aku sudah berusaha untuk fokus rasanya tetap saja gagal. Berkas, angka-angka dan kerjaan yang menumpuk sama sekali tak bisa mengalihkan konsentrasi yang terpecah.Galau! Aku sedang galau. Kondisi hatiku yang tidak terlalu bagus ini semua diakibatkan karena kepikiran Athar. Tak bisa dipungkiri dari mulai omongan hingga ekspresinya saat tadi meninggalkan ruang meeting bersama manajer cantik itu membuat perasaanku gundah.Wajahnya yang tampak dingin dan semua sikapnya yang berubah membuatku merasa bersalah dan cemburu. Dia tak lagi memanggilku menyapa dengan ramah, seperti ingin menunjukan kalau dia marah.Oalah! Ruwet! Ruwet!Kenapa aku jadi frustasi sendiri? Bukankah ini keputusanku untuk menolaknya?"Nia?"Di tengah-tengah konflik batin yang sedang kualami, tiba-tiba ada panggilan yang mengarah ke padaku.Aku terperangah, seperti dibangunkan dari lamunan. "Eh, ya apa?" tanyaku kaget pada Danil. Dia adalah teman satu timku."Kamu ditun
Mobil Athar berhenti di salah satu pemakaman umum. Lelaki itu dengan wajah dingin meminta aku turun dari mobilnya."Kenapa kita ke kuburan? Kamu mau nyari setan?" tanyaku heran. Sungguh, aku tidak memahami jalan pikiran Athar. Tadi dia bilang mau membawaku ke keluarganya tapi nyatanya malah ke kuburan.Bukannya menjawab, sebaliknya Athar melengos. "Udahlah, turun saja! Nanti juga Mbak tahu," sergahnya menyebalkan.Jujur, aku ingin sekali membantah tapi akhirnya aku menyerah. Aku bergegas mengekori Athar yang sedang berjalan lurus di atas jalan setapak yang berada di tengah-tengah pemakaman.Selama aku mengikuti langkah panjang Athar, perasaanku jadi gak karuan. Apalagi kondisi sangat hening, sepi dan berangin. Aku bergidik seraya melihat sekelilingku yang dipenuhi kuburan dan tanaman bunga Kamboja yang menebarkan aroma khasnya.Diam-diam aku berdoa semoga gak ada makhluk yang tak kasat mata mengikuti. Takut banget kalau pulang dari sini ketempelan.Nauzubillah! Amit-amit!"Pak Athar