Ajeng geleng-geleng kepala merasa begitu heran dengan putrinya sendiri, yang bagaimana ngototnya Anna yang ingin pergi ke mall untuk sekedar melepas kejenuhan sore ini. Seharus Anna masih beristirahat total dirumah, tapi gadis itu malah memohon padanya dan Dirgantara untuk mengizinkan dirinya pergi ke pusat perbelanjaan paling mewah di kota tersebut. Ketika Dirgantara menyakan alasannya, Anna menjawab dengan simple. Jika berbelanja merupakan hobinya untuk menyegarkan otak. "Ayah temanin ya, masa iya sendirian kan masih sakit"Dirgantara berusaha berkali-kali menawarkan diri tetapi Anna begitu kekeuh untuk pergi sendiri tanpa mereka. "Bagaimana dengan ibumu?" Anna masih kekeh menggeleng, dipakainya jaket rajut berwana coklat itu dengan santai, rambutnya sengaja ia ikat asal dengan memakai topi hitam sebagai aksesorisnya. "Ayah, kalian jangan khawatir aku disana juga tidak akan berbelanja banyak. Hanya membeli note book dan beberapa novel untuk mengisi rak koleksiku. Habis itu aku
"Aaaa... " Kali ini setelah Raja dan Ratu berbelanja buku cerita, Adrian mengintrupsi Rama agar segera mengajak kedua anaknya untuk pulang sekaligus mengantarkan Anna kerumahnya. Sontak si kembar antusias setuju, tidak berprotes seperti dulu. Mungkin karena ada Anna yang akan mereka antarkan pulang jadinya kedua anak itu manut-manut saja dan meminta untuk bermain beberapa mainan di mall tersebut. Dan disinilah Anna, di mobil milik Adrian dengan diapit si kembar yang dari tadi meminta Anna untuk menyuapi si kembar dengan burger yang mereka beli tadi. "Ammm... " senangnya Ratu menerima satu suapan roti burger itu dari tangan Anna. "Sayang, pelan-pelan makannya. Biar gak tersedak nanti," Anna memperingati Raja yang baru saja mengunyah makanannya dengan terburu-buru. Ia mengelap sudut bibir Raja yang belepotan terkena saos. Raja begitu sangat lahap memakan roti burger tersebut dari tangan Anna, ia seolah baru menemukan kenikmatan yang paling ajaib dari tangan Anna, biasanya rasanya
Sesiang ini Anna masih saja bergulum dengan selimut tebalnya, merasakan kesakitan sejak subuh tadi yang tak kunjung menghilang. Meski obat yang selama ini mendampinginya selalu diminumnya dengan teratur. "Argh... " Anna meringis, merasakan kesakitan yang semakin menjadi. Kedua matanya tak berhenti menangis, meski dalam diam. Kedua tangannya meremas bagian perutnya yang terasa nyeri. "Ya allah, tolong hentikan. Cukup sudah penderitaan ini, aku tidak ingin menyusahkan kedua orangtuaku lagi" hati Anna berteriak, ia berusaha menyimpan kesakitannya sendirian. Ia tak mau kembali melihat wajah ayah dan ibunya dirundung sendu dan alasan terbesarnya ia tak mau jika dokter pribadinya menyuruh ia untuk segera mengangkat rahimnya, sungguh ia tidak mau itu terjadi padanya.Ditengah isak tangisnya, dengan tubuh mungil yang meringkuk diselimuti badcover tebal itu Anna berusaha untuk tetap baik-baik saja meski sakit diperutnya semakin menjadi lebih dari biasanya.Tik... Tuk... Suara derap langk
Mata Anna mengerjap, menyusaikan dengan cahaya lampu diruangan serba putih. Lagi, ia menghela nafas kecewa saat tau jika dirinya tengah kembali memasuki ruangan rumah sakit dengan bau obat-obatan yang khas. Namun kali ini rasanya sedikit berbeda, kaki Anna terasa perih seakan ada luka yang mengganggu disana. Anna terbangun untuk memastikan hal itu, benar saja betis kanan Anna kini sudah terbalut perban dengan sisa-sisa darah disana. Sebenarnya ia kenapa? Anna bertanya dalam hati. Matanya kembali memejam beberapa detik mengingat apa yang sebenarnya terjadi dan ya ia ingat sebelum akhirnya ia terjatuh pingsan, ia tak sengaja menjatuhkan fotonya di atas nakas kamarnya. "Sayang, kamu sudah siuman nak?" suara ayah dan ibunya mengintrupsi. Anna berbalik, melihat kearah dua sejoli yang baru saja memasuki ruangannya. "Ayah, ibu maaf" itulah kata-kata yang bisa Anna ucapkan saat kedua orangtuanya mendekat mencium puncak kepalanya. "Tak perlu minta maaf sayang, ini terjadi karena kehend
Raut wajah sedih selarut malam ini terlihat jelas dari wajah Darius, ia sungguh tak tega melihat sahabat satu-satunya itu mengalami musibah yang tiada hentinya. Adrian mengerutkan kening ketika ia dan Rama baru saja sampai rumah, ia kebingungan saat melihat pemandangan tak biasanya selarut ini. "Ram, kamu istirahat saja sana. Biar aku yang samperin Om ius" titah Adrian seolah mengerti dengan kelelahan yang Rama rasakan. Rama mengangguk dengan senyum penuh kemenangan, akhirnya bos nya itu mengerti akan keadaannya sekarang. "Saya duluan ya bos, selamat beristirahat" ujarnya sebelum meninggalkan Adrian. Adrian hanya mengangguk, ia pun berjalan menghampiri Darius yang tengah menikmati secangkir kopi panas di ruang keluarga dengan tv yang menyala. "Om, kok belum tidur?" basa-basinya bertanya. Darius menoleh, ia menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Adrian mengerti, ia mulai duduk disebelah Darius berharap om nya itu bisa berbagi cerita padanya. Sudah lima menit berlalu na
Menolak keinginannya sama saja seperti tidak berbakti kepadanya.***Sudah hampir pukul tiga pagi, Adrian masih saja belum bisa terlelap. Perdebatannya dengan sang paman sungguh membuat pemikirannya terganggu. Gadis itu, gadis yang entah sejak kapan menjadi beban pikirannya sungguh meresahkan hatinya. Permintaan Darius tadi, jelas membuat dirinya merasakan pergulatan batin yang sangat amat. Bagaimana bisa pamannya itu ingin menikahkan dirinya dengan perempuan yang jelas-jelas sudah memiliki calon pendamping hidup. Ini aneh, mengapa disaat dirinya baru saja mau membuka hati yang datang malah gadis manja yang jelas-jelas tak Adrian sukai. "Kamu boleh tidak menurutiku, asal kamu jangan pernah anggap saya dan bundamu sebagai keluarga kamu lagi" ucapan Darius tadi sebelum dirinya benar-benar beranjak begitu mengganggu pikirannya. Bagaimana bisa ia berpisah dengan keluarga kecil ini, sementara bundanya adalah satu-satunya orang yang paham kehidupannya jauh dibanding dengan ibu kan
Jam menunjukan pukul tiga sore hari, Dirgantara dan Darius begitu sibuk menyiapkan berkas-berkas surat rujukan untuk Anna yang akan diberangkatkan nanti malam sementara Anna dan ibunya masih saja tetap saling diam dengan pemikirannya masing-masing. Tetes demi tetes air mata Anna keluar, ia menangis dalam diam. Sungguh ia tak percaya nasibnya akan sesedih ini. Begitu pula dengan ibunya, ia juga ikut menangis dalam diam. Bingung, itulah yang saat ini Ajeng rasakan. Entah harus bagaimana dan apa yang akan ia katakan nanti jika Anna tau bahwa dirinya diberangkatkan ke penang bukan hanya untuk berobat seperti biasa melainkan untuk menjalankan operasi pengangkatan rahimnya."Hey, bidadari-bidadari papah kenpa pada bengong?" sontak kedua wanita yang sama-sama tengah bergulat dengan pemikiran masing-masingnya itu menoleh kearah suara."Sejak kapan papah masuk keruangan ini?" tanya Ajeng berdiri mendekati Dirgantara.Dirgantara menggeleng, terkekeh akan tingkah kedua perempuan yang ia
"Ayah perginya jangan lama-lama ya," rengek Ratu digendongan Adrian. "Ayah jangan seperti ibu yang pergi dan gak kembali," kali ini celetuk Raja yang berada di atas koper yang Rama dorong. Adrian menghela napas panjang, tangannya terulur mengusap wajah Ratu yang sedari tadi tidak bisa berhenti merengek. Wajar putrinya itu masih dalam masa penyembuhan setelah hampir tiga hari Demamnya tak turun-turun. Sementara itu Ajeng, Anna, Dirgantara masih belum tiba dibandara membuat Rama, Adrian serta si kembar harus menunggu dengan sabar. "Ratu sayang, selama papa pergi kamu jangan nakal ya sama Om Rama." nasehat Adrian mendudukan Ratu dipangkuannya setelah mereka memutuskan untuk menunggu keluarga Dirgantara diruang tunggu biasa. "Abang enggak pah?" protes Ratu yang tak terima jika hanya dirinya saja yang mendapat wejangan dari sang ayah. "Ya abang juga, kalian berdua jangan nakal ya. Jangan manja juga sama Oma, kesihan Oma udah tua nanti kalau sakit gimana?""Kan ada kakek yang bakal r