Share

Tak Termaafkan

Gadis yang selalu mendapatkan kasih sayang penuh dari keluarganya itu tersenyum sinis menatap kakak perempuannya. Mencemooh ucapan Diana yang membuatnya semakin benci pada fakta itu. Meta benci pacarnya salah mengenali orang, padahal jelas-jelas penampilan mereka berbeda. Diana dengan pakaian yang serba tertutup, sementara dirinya selalu memakai pakaian seksi yang menampakkan lekuk tubuhnya. Sangat aneh jika kekasihnya sampai salah mengenali orang.

            Namun kenyataan itu tak bisa ia terima. Hatinya sakit jika harus menerima kenyataan sang kekasih hampir saja melecehkan kakak perempuannya yang hampir tak pernah bergaul dengan pria. Sementara padanya Desta selalu menjaga diri. Tak pernah melakukan hal-hal yang diinginkan Meta layaknya pasangan kekasih zaman sekarang, sekalipun dia sering memancingnya.

"Tidak, Meta. Tidak! Dia mabuk dan mengira aku adalah kamu. Kamu bisa lihat ini!" tunjuk Diana pada bajunya yang sudah robek. "Dia yang memaksaku untuk, ..."

            "Cukup! Aku sudah tahu semuanya! Jangan melempar kesalahan pada orang lain. Kakak sengaja kan menjebaknya?"

            Kedua mata Diana membelalak tak percaya mendengar ucapan sang adik. Air matanya tumpah bagai air bah yang menjebol tanggul pertahanannya.

            Dia berlari ke kamarnya dengan mengabaikan tatapan penuh benci dari semua orang. Setelah mengunci pintu dari dalam, tubuhnya luruh di lantai. Kilasan kejadian barusan berputar bak kaset film di kepalanya. Ia tergugu, menangisi nasibnya tragis. Dia yang jadi korban tapi dia yang disalahkan.

            ***

"Meta sayang, beri aku kesempatan sekali ini saja. Maafkan aku, aku ... tidak tahu kalau itu bukan kamu. Aku khilaf, dia yang datang tiba-tiba lalu merayuku. Aku yang dalam pengaruh obat tak bisa membedakan kalau dia adalah kakakmu. Tolong, maafkan aku, sayang."

            Saat ini semua keluarga duduk di ruang tamu. Beberapa jam setelah Desta mendapati kesadarannya, orang tua Meta menyidangnya.

            "Om, Tante, saya ...,"

            "Kamu telah menghancurkan rencana pernikahan kalian sendiri. Saya pikir kamu benar-benar mencintai Meta, ternyata begini kelakuanmu?!"

            "Tidak, Om. Itu semua terjadi karena saya dijebak, Om. Teman-teman saya menaruh obat pada minuman saya."

            Lelaki berkharisma itu hendak mengucapkan sesuatu. Namun saat netranya menatap Diana yang ditarik paksa oleh ibunya, mendadak dadanya kembang kempis. Matanya berkilat marah. Belum sempat ia berdiri, gadis itu sudah jatuh tersungkur di bawah kakinya.

            "Ayah, maafkan Diana, yah. Diana dipaksa, bahkan perlawa--"

            "Jangan panggil saya ayah! Mulai hari ini aku haramkan mulutmu memanggilku ayah!"

            Pria yang menjadi tauladan Diana itu tampak murka. Kedua matanya memerah dengan otot-otot leher yang menonjol.

            Anak sulung keluarga Hartoyo itu bersimpuh dikakinya. Menangis dengan memohon ampunan dari sang ayah. Sakitnya badan akibat perbuatan Desta tak sebanding dengan sakitnya hati yang kini menyergapnya.

            Pandangan gadis itu tertuju pada pria tua di hadapannya dengan iba. Namun lelaki yang sedang diliputi amarah itu membuang muka.

            Dengan gerakan cepat, Diana merangkak menuju sang ibu. Bersimpuh di kakinya dengan derai ari mata.

            "Ibu, maafkan Diana, Bu. Diana tidak bermaksud melukai hati Meta. Diana dipaksa, Bu. Percayalah pada Diana, Bu," rengek gadis itu pilu.

            "Cukup! Percuma kamu merengek seperti itu. Minta maaflah pada adikmu! Karena dialah yang kau hianati!"

            Perempuan yang biasanya lembut itu berdiri meninggalkan Diana yang masih meraung di atas karpet. Lalu beringsut pada adiknya. Sebuah tamparan keras mendarat di pipinya.

            "Dasar tidak tahu diri! Murahan! Kakak macam apa yang menghancurkan pernikahan adiknya sendiri, hah?!"

            "Meta, tidak seperti itu, aku ...,"

            "Stop! Aku nggak mau dengar lagi!"

            Gadis yang sedang diliputi amarah itu bangkit dan menatap Desta penuh kebencian.

            "Mulai hari ini, kita putus!"  Tak ada pernikahan! Dasar penghianat!"

            Meta benar-benar pergi meninggalkan ruangan yang diliputi aura ketegangan itu. Desta menatap punggung kekasihnya dengan tatapan penuh penyesalan. Kedua tangannya menjambak rambut frustasi. Lalu beralih menatap Diana dengan sorot tajam.

            "Kalau sampai Meta membenciku, kamulah orang yang harus bertanggung jawab!" ucapnya sinis.

            Tak ada lagi keinginan untuk menjawab tuduhan yang dialamatkan padanya. Diana lebih memilih untuk berdiam diri di tengah-tengah mereka seperti terdakwa yang sedang disidang.

            Andai dia tahu akan begini akhirnya, lebih baik ia menerima tawaran sahabatnya untuk menginap di rumahnya. Sekarang, ia dianggap sepertinya wanita murahan yang merebut calon suami adiknya.

            Satu per satu orang yang ada di ruangan itu pergi meninggalkan Diana sendirian dalam nestapa yang berkepanjangan. Kepalanya disembunyikan diantara siku dan lutut. Tubuhnya menggigil akibat kehujanan ditambah perbuatan Desta yang memperparahnya. Ia sakit. Namun hatinya lebih sakit.

            ***

            Diana bergelung di bawah selimut tebal yang tak memberi kehangatan sama sekali. Tubuhnya demam. Bibirnya bergetar dengan gigi gemelutuk akibat menggigil kedinginan. Kedua matanya sembab menandakan semalam banyak menangis. Kepalanya sangat berat dan pandangannya berputar-putar.

            Ia pejamkan mata kembali saat tiba-tiba rasa pening menyergapnya. Namun panggilan adzan membuatnya tak bisa terpejam lagi. Perlahan ia bangkit dan berjalan menuju kamar mandi dengan berpegangan pada dinding.

            Pukul setengah tujuh pagi ia sudah siap dengan pakaian dinasnya. Sebenarnya ia sangat ingin di rumah mengistirahatkan otak dan tubuhnya. Namun jadwal mengajar hari ini sangatlah padat. Tak mungkin ia izin secara dadakan.

            Satu persatu anak tangga ia lewati dengan tubuh sesikit bergetar. Di ruang makan tampak keluarganya sedang menikmati sarapan dalam diam. Dengan menguatkan tekat, gadis yang berprofesi sebagai guru SMP ini mendekat dan menarik kursi di samping ibunya.

            Tak ada seorang pun yang menghiraukannya. Semua fokus pada makanannya masing-masing.

            "Wah, sarapannya special pagi ini. Pasti ibu yang masak, kan?" tanya Diana mencoba mencairkan suasana. Namun sayang, ibunya tak menanggapi.

            Ia meraih piring dan mengisinya dengan secentong nasi. Kedua matanya meminda seluruh meja. Lalu tatapannya jatuh pada semur tahu di dekat adiknya. Ide di kepalanya muncul. Untuk menyapa sang adik, ia mencoba untuk meminta tolong padanya untuk menggeser semur itu.

            Tiba-tiba Meta membanting sendok dan garpu di atas piring menimbulkan bunyi nyaring. Iabu dan ayah berhenti makan dan menatap Diana tajam. Lalu ketiganya kompak berdiri meninggalkan Diana sendiri dengan hati yang tercabik-cabik.

            Air matanya luruh membasahi pipi mulusnya yang alami tanpa polesan apa pun. Satu suapan masuk ke dalam mulut. Terasa asin di lidah karena bercampur air mata. Dadanya sakit melihat keluarganya tak lagi peduli padanya. Ia seperti angin yang tak terlihat.

            Susah payah ia menelan makanan yang masuk ke mulut. Ia sudah tak sanggup lagi menghabiskannya. Lalu bangkit dan keluar menuju garasi. Menyalakan mesin motornya dan berebut jalan bersama pengendara lain yang hendak pergi bekerja seperti dirinya.

            Sepanjang jalan rinai air mata tak berhenti turun dari kedua sudut matanya. Sesekali ia mengusap kasar dengan tangan kiri, hingga tak terasa ia sudah sampai di depan sekolah.

            Sebelum masuk kantor, Diana mencoba menutupi bekas tangisnya dengan mengoleskan bedak tipis-tipis. Mencoba menarik kedua sudut bibirnya agar tak terlihat sedang sedih. Apapun masalah yang dihadapi di rumah, tak boleh dibawa sampai ke sekolah. Itulah yang diajarkan oleh para seniornya.

            Sepanjang waktu ia mengajar seperti biasa seolah tidak sedang terjadi apapun padanya. Para rekan sejawatnya pun tak ada yang bertanya ataupun curiga. Bahkan dengan pandainya ia menutupi luka mengnga dalam hatinya dengan candaan seperti biasa.

            "Bu Diana, jangan lupa besok ada acara lo ya. Ibu harus datang. Ada yang special soalnya," ucap Bu Dessi sambil membetulkan kerudungnya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
Desta dasar pecundang malah Diana yg disalahkan padahal.dia yg salah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status