Diana hanya menanggapi dengan senyuman dan kembali berkutat pada hasil kerjaan siswa. Sebagai guru matematika, ia memang menjadi idola para siswa. Cara penyampaiannya yang gamblang dan santai membuat para siswa enjoy belajar matematika. Padahal biasanya mapel itu adalah momok yang menakutkan. Dan di tangan Dianalah, belajar matematika semudah belajar membaca.
Pukul setengah empat sore, Diana pulang dengan perasaan gamang. Hatinya kembali berdenyut mengingat kejadian kemarin. Semua orang mengucilkannya di rumah. Ah, mungkin ini takdir yang harus diterimanya.
Rumah terlihat sangat sepi. Perlahan ia membuka pintu dengan kunci cadangan. Namun belum juga ia memasukkan kunci dengan sempurna, pintu sudah terbuka sendiri karena tersenggol tangannya. Itu berarti tidak dikunci yang menandakan di rumah ada orang.
Saat kaki melangkah masuk, Diana memindai seluruh ruangan. Sepi. Semua kamar juga tertutup. Sepertinya semua orang sengaja menghindarinya. Lagi-lagi hatinya koyak menyadari ia sendirian di rumah ini. Tak ada satu pun yang percaya pada pengakuannya. Mereka hanya percaya pada apa yang dilihat tanpa mau mencari tahu kebenarannya.
Menyadari tak akan ada yang peduli padanya, ia naik ke lantai dua menuju kamarnya. Namun baru dua anak tangga yang dilewati, kepalanya tiba-tiba berdenyut nyeri. Pandangannya memburam, lalu semuanya gelap.
Kedua mata Diana mengerjap-ngerjap. Lalu membuka sempurna. Ia memindai sekeliling. Lampu-lampu sudah menyala. Itu artinya sekarang sudah malam. Dia baru menyadari kalau sejak tadi pingsan di depan kamar tanpa ada yang berusaha menyadarkannya.
Hatinya kembali terkoyak saat menyadari semua orang benar-benar tak peduli lagi padanya. Ia menatap sebuah pintu di seberang kamarnya. Masih tertutup rapat seperti saat ia datang.
Gegas gadis itu masuk kamar dan membersihkan diri. Untung dia sedang tidak shalat. Sehingga ia tak harus merasa berdosa karena meninggalkan dua shalat sekaligus. Asar dan maghrib.
Selesai mandi, ia merasa perutnya melilit. 'Ah iya, aku belum makan dari siang. Pantas saja perutku protes minta diisi,' gumamnya sambil menyisir rambut legamnya.
Ia mengenakan kerudung instan yang terletak di atas sandaran kursi lalu melangkah keluar. Hening. Tak ada seorang pun yang menampakkan diri. Rumah ini bagai tak berpenghuni.
Mengabaikan suana sepi itu, Diana menunu ke ruang makan. Barangkali masih ada sisa makanan yang bisa ia masukkan dalam perut. Namun ternyata meja dalam keadaan bersih. Ia melihat dapur, melirik rice cooker yang biasa bertengger di samping wastafel. Perlahan tangannya membuka benda itu. Kosong. Hanya ada kerak sisa-sisa nasi yang lengket pada panci penanak nasi itu.
Tanpa sadar netranya melirik bak sampah di samping kakinya. Susah payang gadis itu menelan ludah. Banyak sekali sisa lauk dan sayur terbuang di sana. Apa mereka sengaja membuangnya agar aku tak ikut makan?
Lagi-lagi hatinya terluka menyadari betapa ia sudah tak dianggap lagi di rumah ini. Tanpa terasa kedua netrasa memanas dan basah memburamkan pandangannya.
Dengan Langkah gontai, gadis itu kembali ke kamar. Meraih gamis yang tergantung di balik pintu dan mengenakannya di atas mihnah berupa baju tidur panjangnya. Lalu memakai kaos kaki dan berjalan keluar mencari makan.
Di depan rumah tetangga, sekitar sepuluh langkah dari tempatnya berdiri terdapat sebuah gerobak mie tek-tek yang sedang dikerumuni beberapa orang. Dengan mata berbinar, ia berjalan cepat menuju penjual itu. Lalu menyebutkan pesanannya pada penjual.
Setelah menunggu sekitar 30 menit, ia mendapat bungkusan mi tek-tek dengan aroma menggoda. Gegas ia masuk rumah dan melahap makanan itu dengan penuh nafsu. Entah karena makanannya yang terlalu lezat atau karena perut yang sudah sangat lapar, sebungkus mie itu habis dalam hitungan menit.
***
Pagi ini mentari bersinar begitu cerah. Bekas air hujan yang menggenang di sebagian jalan tampak berkilau diterpa cahaya sang raja siang itu.
Motor matic yang dikendarai Diana melaju dengan kecepatan sedang. Hari masih pagi untuk terburu-buru. Kebetulan hari ini sekolah tidak ada aktivitas belajar, karena ada penyuluhan kesehatan dari puskesmas. Sehingga Diana bisa sedikit santai. Sengaja ua berangkat agak pagi dari biasanya agar tak melihat pemandangan yang menyakitkan lagi.
Mungkin dengan begini, keluarganya akan leluasa beraktivitas tanpa khawatir diganggu olehnya. Kalau ditanya apakah dia sudah menyerah untuk meminta maaf? Jawabnya belum. Ia hanya menunggu waktu yang tepat agar kemarahan mereka reda.
"Bu Diana, ayo cepetan ke sini. Aula sudah penuh. Kita disuruh segera ke sana," ucap Bu Dessi semangat.
Tadi, Diana sengaja mampir ke warung pecel pinggir jalan untuk menikmati sarapan. Di sana ia bisa bertemu teman sekolahnya dulu yang kurang beruntung sehingga tak bisa menakutkan kuliah seperti dirinya.
Alhasil, karena keasikan bercerita, Diana datang terlambat. Acara sudah dimulai dengan beberapa penampilan seni oleh siswa untuk menyambut bintang tamu. Ya, katanya bukan dari puskesmas saja yang datang. Melainkan ada dokter dari rumah sakit besar di kota ini yang ikut hadir. Dan kabarnya lagi, dokter itu sangat tampan.
Bagi Diana, siapapun dan setampan apapun dokter itu, tetap saja seorang tamu yang harus dihormati. Bukan malah keganjenan seperti para guru lainnya. Mereka tampak sibuk memulas bibir dengan lipstik masing-masing.
Tanpa menunggu mereka, Diana melangkah dengan tenang menuju aula. Kursi untuk guru berada di barisan paling depan. Dengan sedikit menunduk, Diana menuju kursi kosong di depan podium.
Rangkaian acara sudah berjalan setengah. Kini giliran acara inti. Seorang dokter yang menjadi tamu kehormatan melangkah ke atas podium untuk menjelaskan beberapa hal terkait kesehatan. Diana yang terus menunduk tak menyadari tatapan aneh dan penuh kebencian dari dokter tersebut.
Sebelum dokter itu turun, MC memanggil perwakilan dari sekolah untuk memberikan cindera mata padanya. Dan sialnya, nama Diana yang disebut dengan berbagai embel-embel prestasi yang telah ditorehkan selama mengajar di sekolah ini.
"Ibu Diana, silahkan naik ke atas panggung!"
Sekali lagi MC memanggil namanya. Ia yang sedang tak fokus karena memikirkan masalah yang menimpanya jadi gelagapan. Bu Nita yang duduk di sampingnya menyikut pelan tubuh Diana.
"Bu Diana beruntung, bisa berdekatan dengan dokter ganteng. Ayo Bu, cepat naik. Kasihan dokternya nungguin dari tadi," bisik tan sejawa Diana.
Ragu-ragu Diana berdiri. Menarik napas panjang dan menghembuskan perlahan. Lalu nelangkah dengan percaya diri menuju panggung.
Sosok pria tegap yang dipenuhi aura maskulin itu menatap tajam pada Diana. Sudut bibirnya terngakat sebelah. Seolah ingin menunjukkan sesuatu pada Diana. Sampai titik ini Diana masih belum menyadari soaok dokter yang akan ia berikan cinderamata itu. Hingga netranya bersirobok pada mata elang.
Tubuhnya tiba-tiba kaku. Pergerakannya berhenti di udara. Sehingga hadiah yang akan diserahkan pada tamu kehormatan itu masih dipegangnya.
Sosok itu mendekat dan berbisik ke telinganya hingga seluruh bulu kuduknya berdiri. Tubuhnya menegang dengan tangan gemetar. Entah apa yang diucapkan pria itu. Yang jelas Diana semakin menggigil ketakutan.
MC kembali mengingatkan agar Diana segera menyerahkan benda di tangannya. Beberapa peserta sudah siap dengan kamera di tangan untuk mengabadikan momen itu.
Seolah disengaja, pria itu merapatkan tubuhnya ke Diana. "Kamu senang kan berdekatan dengan saya? Ini kesempatan emas buatmu. Kamu bisa menjadikan foto ini sebagai kenang-kenangan," bisik pria itu yang lebih mirip mantra kematian bagi Diana.
Keringat dingin sudah mengucur di dahi dan sekujur tubuhnya. Pria itu terus saja menjatuhkan mentalnya hingga tiba-tiba tubuh Diana ambruk. Namun dengan sigap dokter tampan segera memeriksa nadinya. Lalu mengangkat tubuh Diana dengan bridal style.
Aroma minyak kayu putih menyengat hidung. Perlahan kelopak mata Diana terbuka. "Sudah bangun, heh?" Ucapan itu membuat bulu-bulu halus Diana berdiri. Ia kira sendirian di sini. 'Kenapa pria itu masih ada di sini?', batin Diana bersenandika. "Kenapa, kaget aku masih disini? Cepat minum obat ini, dan pulang. Kamu sudah membuang banyak waktuku!" Setelah melempar Paracetamol ke pangkuan Diana, pria itu melangkah keluar meninggalkan Diana seorang diri. Meski hatinya sakit diperlakukan seperti itu, ia tetap berterimakasih karena ia masih mau peduli meski sangat jutek. Suara pintu terbuka, menampilkan sosok perempuan muda seum
Desta menoleh ke kanan dan kiri untuk mencari keberadaan Diana. Namun sepertinya gadis itu menghilang entah kemana, hingga nalurinya menuntun untuk berjalan ke samping rumah. Sepasang mata kelamnya membelalak saat mengetahui sosok gadis yang membuatnya kehilangan kekasih tergeletak di depan pintu rumah belakang. Dengan cepat ia melangkah menuju gadis itu. Hampir saja dia mengulurkan tangan untuk memastikan apakah gadis itu pingsan atau sekadar tertidur di sana. Namun egonya sebagai lelaki melarangnya untuk berbuat demikian. Akhirnya dia memilih berbalik dan melangkah meninggalkan gadis itu. baru beberapa langkah ia berjalan, telinganya mendengar rintihan Diana hingga memaksanya untuk menghentikan langkah dan berbalik menatapnya.Diana merasakan pening yang luar biasa. Badannya kembali menggigil. Sepertinya ia benar-benar sakit sekarang. Secepatnya ia harus masuk sebelum dia pingsan di sini
DiabaikanDesta tampak kacau. Pikirannya terbagi antara masalahnya dengan Meta dan juga gadis yang sedang terbaring lemah di brankar ini. Kilas balik kejadian saat ia berusaha melecehkannya kembali membuat otaknya mendidih. Dia memang bersalah, tapi tak bisakah semuanya diperbaiki? Kenapa semua orang tak mau mendengarkan penjelasannya? Meta, gadis yang selalu membuat hari-harinya hidup, terlihat sangat terluka akibat perbuatannya. Pergerakan kecil dari pasien di hadapannya mengalihkan pandangan. Netranya menatap tajam gadis itu."Akhirnya bangun juga kamu. Ck, menyusahkan saja!" ucapnya ketus membuat Diana langsung sadar. Netra mereka bertemu. Untuk sesaat semuanya hening. Diana yang baru saja tersadar merasa aneh dengan keberadaan Desta di dekatnya. "Kenapa kamu bisa ada di sini? Apa yang terjadi?" tanyanya dengan suara bergetar. Tak bisa dipungkiri, aura dingin pria ini membuat Diana gemetar ketakutan. Ucapan pria
"I--ibu!" Senyum Diana langsung mengembang. Ia maju selangkah, hendak merengkuh tubuh sang Ibu. Di luar dugaan, wanita paruh baya itu justru mundur dan mengangkat tangannya sebagai tanda "jangan mendekat". Meski begitu, senyum Diana tak pernah luntur. Ia berpikir Ibu bersikap demikian karena masih kecewa padanya. Buktinya ia masih saja membayar biaya rumah sakitnya. "Makasih ya, Bu. Ibu sudah sangat baik padaku. Kalau bukan karena Ibu yang membayar biaya pengobatanku, mungkin sekarang aku masih terbaring dia rumah sakit.Wanita yang dipanggil ibu itu tak menyahut. Hanya menatap Diana sekilas lalu oergi meninggalkannya. Namun bagi Diana itu lebih dari cukup. Ia tak peduli meski ibunya masih bersikap cuek. Langkah kakinya membawa ia ke lantai dua. Kamar yang semalam tak ia sambangi karena harus bermalam di rumah sakit. Ia juga tersenyum melihat Desta yang sedang mengobrol dengan adik dan bapaknya. Itu artinya masalah mereka sudah selesai.
"Halo,"[Bisa datang ke rumah. Ada hal penting yang mau bapak bicarakan]"Sekarang?"[Ya. Kalau kamu nggak sibuk]"Oh, nggak kok, sayang. Aku langsung ke sana."Desta tersenyum. Akhirnya Meta mau berbicara lagi dengannya. Ia berharap bapaknya membatalkan rencana untuk menikahkan dirinya dengan Diana dan kembali menikahkannya dengan Meta. Gadis pujaannya. Dengan senyum mengembang, pria berprofesi dokter itu melangkah cepat menuju parkiran. Mengabaikan setiap sapaan yang mampir padanya. Hatinya diliputi kebahagiaan saat ini. Sambil membuka pintu mobil, ia mengetik oesan untuk membatalkan janji dengan sahabatnya yang baru saja sampai dari luar negeri. Ia tak peduli jika sahabatnya nanti marah. Yang penting sekarang urusannya dengan Meta selesai.Dua puluh lima menit perjalanan yang ia tempuh dari rumah sakit ke rumah kekasihnya. Di ruang tamu ternyata mereka sudah menunggu kehadirannya. "Duduklah!" perintah
Desta mengacak rambutnya frustasi. Bukan seperti ini yang ia inginkan. Mungkin kalau laki-laki lain akan dengan senang hati menerima tawarannya. Menikahi dua wanita cantik dalam waktu berdekatan. Tapi tidak baginya. Ia mencintai Meta, bukan Diana. Bahkan ia sangat membenci Diana."Pak, tapi saya tidak bisa. Diana nggak bakal hamil, karena saya tak sampai melak--" ucapannya terjeda oleh kalimat bapak selanjutnya. "Cukup, Nak Desta. Keputusan saya sudah bulat. Kamu nikahi Diana. Setelahnya kamu ceraikan seperti kata saya tadi. Nggak ada tawar menawar lagi."Desta hanya menghembuskan napas pasrah. Tak bisa lagi bernegosiasi dengan orang tua ini. Mungkin sebaiknya ia terima saja permintaannya. Cuma satu tahun. Ia pasti bisa melewatinya. Daripada kehilangan Meta selamanya, lebih baik bersabar selama setahun lagi untuk menggapai impiannya mengarungi hidup bersama gadis pujaannya."Baiklah, Pak. Kalau itu memang sudah jadi keputusan Bapak," ucap De
"Sorry, Bro, mendadak ada urusan penting tadi," ucap Desta sembari duduk di kursi yang berhadapan dengan Daniel. Setelah meyakinkan Meta, pria bertinggi 182 cm itu langsung meluncur ke kafe Laut Biru untuk bertemu dengan sahabatnya yang baru pulang dari luar negeri. Akibat panggilan mendadak calon mertua, ia membatalkan janji temunya padahal Daniel sudah di jalan menuju rumah sakit tempatnya bekerja. Dan di sinilah mereka sekarang. Saling mengobrol mengusir jenuh. "Gimana hubungan Lo sama Meta? Sudah ada tanda-tanda mau ke jenjang yang lebih serius?" Daniel memang belum mendengar kabar tentang dirinya. Karena selama laki-laki itu di Sidney, jarang sekali mereka bertukar kabar. Selain kesibukan masing-masing, gaya hidup pria yang lama tinggal di luar negeri itu sangat bebas. Desta tak nyaman untuk sekadar menceritakan hubungan percintaannya pada Daniel. Bukan mendapatkan solusi, yang ada malah dibully. Desta menarik napas panjang sebe
Daniel sibuk dengan pemikirannya tentang Diana yang belum pernah dilihatnya. Namun entah mengapa dia begitu benci pada muslimah berhijab. Terlebih pikirannya sudah terkontaminasi oleh pemikiran liberal hingga menciptakan dendam tersendiri pada makhluk bernama wanita. Terlebih jika wanita itu mengenakan hijab. Pemikiran liberal lah yang membawa pengaruh buruk dan opini negatif tentang hijab. Sehingga banyak dari kaum wanita merasa hijab tak lain hanya aksesoris semata. Sehingga bebas untuk dipakai dan dilepas kapan saja. Apalagi tanpa dibarengi dengan iman dan pemikiran yang benar. Ya seperti Daniel ini. Desta tampak terprovokasi. Ia manggut-manggut membenarkan ucapan sahabatnya. Cara berpikir pria itu memang bebas. Karena terbiasa hidup dalam lingkungan liberal. Dimana kebebasan berekspresi dijunjung tinggi. "Apalagi dia sudah dewasa. Seharusnya dia sudah mendapat jodoh duluan, kan? Mungkin ia tak rela kalau adiknya yang menikah duluan. Apalagi calon su