Malam yang dihuni gonggongan anjing. Yuksel terus saja tersenyum, sembari tangan sibuk mengelus wajah Kimberly dengan balutan sarung tangan. Di atas ranjang, pria itu jelas tak ingin membuat Kimberly menghadapi maut untuk kedua kalinya.Namun, sorot mata Yuksel menjadi serius. Tepat ketika terdengar ketukan pada pintu yang lumayan sopan itu. Meski begitu, tetap saja membuat Yuksel kesal. Terburu, Yuksel menuruni ranjang hanya untuk membuka pintu, sebelum keributan sederhana itu membangunkan Kimberly dari tidur."Kenapa kau tengah malam begitu mengganggu?" celetuk Yuksel begitu menemukan Aiden."Grand Duke, kakak--""Kau mau memberi tahu, kalau Rosalind telah kembali ke kediamannya?" tebak Yuksel sekaligus memotong pembicaraan."Benar sekali Tuan."Yuksel menarik napas kesal, sang pengawal satu ini selalu saja ketinggalan informasi. "Ya. Wanita itu bahkan datang langsung ke sini, dengan dalih ingin bertemu Kimberly."Seketika wajah Aiden menunjukkan keterk
Kimberly melihat sebuah pena kecil yang ketika ditekan, akan berubah menjadi tongkat. Jelas Kimberly kaget dengan perubahan yang tiba-tiba ini. Sementara Yuksel mengambil alih tongkat dari tangannya."Ini lebih disebut alat melarikan diri ketimbang alat sihir," ujar Yuksel membuat Kimberly penasaran."Alat melarikan diri? Bagaimana cara kerjanya."Mata Yuksel menyipit. "Aku tidak akan mengajarimu cara kerjanya."Mendengarnya Kimberly langsung berdecak kesal. Salahnya telah membuka hati dan mulai memandang pria ini baik. Tentunya sifat tidak bisa diubah, Yuksel tetaplah pria yang menyebalkan."Kalau begitu malam ini tidak usah ke labirin," ancamnya.Rupanya berhasil, sampai membuat Yuksel menyentuh tangannya. "Bagaimana bisa begitu? Kau yang sudah menjanjikannya padaku, mana boleh ingkar."Kimberly mendelik kesal. "Kalau begitu segera beri tahu aku cara menggunakannya.""Aku tidak mau karena takut, kalau kau tahu kemungkinan kau akan menggunakannya untuk lari dariku."Mata Kimberly men
Kimberly mengangkat gelas kecil berisi teh. "Tuan Yuksel jangan bercanda.""Aku sama sekali tidak bercanda."Saat itu juga, Kimberly yang menyesap teh langsung tersedak. Tepatnya atas ucapan dari Yuksel yang dianggapnya omong kosong, rupanya sebuah keseriusan. Yuksel ingin menjadikan Kimberly sebagai Grand Duchess. Posisi yang kosong selama bertahun-tahun."Sudah seharusnya istri dari Grand Duke mendapatkan gelar Grand Duchess," ujar Yuksel masih terdengar serius."Itu berlaku hanya jika kau memiliki satu istri saja," sahutnya berusaha mengingatkan.Gelar Grand Duchess tidak bisa mudah didapatkan begitu saja. Meski Kimberly tetap memiliki darah bangsawan, tapi mendapatkan gelar itu melalui pernikahan dirasa kurang pantas. Apalagi mengingat istri Yuksel ada banyak, tentunya ada banyak anggota yang bisa menjadi nyonya rumah."Aku akan menceraikan mereka semua," ujar Yuksel.Kali ini bukan Kimberly yang tersedak, tapi Aiden. Bahkan terbatuk cukup lama karena ucapan dari Yuksel. Membuat m
Yuksel semakin berlari terburu. Apalagi ketika melihat di depan kamar Kimberly ada beberapa pelayan. Yuksel langsung membuka pintu dan terenyuh, begitu melihat Kimberly yang ternyata masih belum terbangun dari tidur. Di sudut lantai samping ranjang, terlihat Emma yang menangis tersedu. Seolah benar-benar telah kehilangan sang nyonya. Langkah kaki Yuksel sedikit tertatih, ketika menghampiri Kimberly."Istriku," sebut Yuksel dengan nada sendu.Dalam beberapa langkah yang sulit. Yuksel telah berhasil melewati Emma dan duduk di tepi ranjang. Terburu mengambil tangan Kimberly dan merasakan denyut nadi yang sangat lemah.Saat itu juga. Semua kesedihan dalam diri Yuksel perlahan lenyap. Pria itu terburu bangkit dari ranjang dan mulai mengusir Emma dengan tangan sendiri. "Tuan! Biarkan saya tetap di sisi Lady, sampai Lady dimakamkan," rengek Emma yang diseret paksa oleh Yuksel untuk keluar."Kimberly tidak meninggal, tutup mulutmu dan hapus air matamu."Emma telah berada di luar kamar. Tepa
Mata Kimberly membulat sempurna. "Hamil?"Yuksel langsung tersenyum lebar. "Iya istriku."Namun, senyum pria ini perlahan luntur begitu mendengar pertanyaan darinya. "Bagaimana bisa?"Yuksel yang semula duduk di kursi. Memutuskan untuk berpindah dan duduk di atas ranjang, di sisinya. Mata menatap Kimberly sangat serius."Kenapa bisa pertanyaan itu keluar dari mulutmu Sayang? Bukankah harusnya sudah berapa minggu?"Kimberly mengerutkan dahi. "Bukan, maksudku. Aku sejak kecil sakit-sakitan, tubuhku sudah lemah. Sejak dulu didiagnosis tidak bisa memiliki anak."Mata Kimberly saling bertatapan dengan Yuksel. "Makanya aku heran."Begitu mendengar ucapannya. Yuksel tersenyum, padahal pria itu sepertinya terlihat ingin memberi tahu. Bahwa Kimberly bisa hamil karena melakukan hal itu dengan Yuksel.Tangan Kimberly kembali digenggam, bahkan kali tersebut dikecup sangat lembut oleh Yuksel. "Itu anugerah, jadi jangan meragukan kehadiran anak kita, istriku."Bibirnya langsung tersenyum. Tentu saj
Selesai diintrogasi oleh pangeran kelima. Madam Ane terlihat keluar dari sana dan bertemu dengan Arabella yang sedang berjalan mendekat. Wanita dari kerabat kerajaan ini nampak menatap Madam Ane dengan sinis, apalagi Madam Ane yang terang-terangan mendukung Kimberly."Minggir, kau menghalangi jalan Nyonya," bahkan pelayan di bawah Madam Ane pun bersikap kurang ajar.Namun, Madam Ane terlihat tak ingin berurusan dengan Arabella. Wanita yang dinikahi tapi hanya dijadikan pajangan di kediaman utama, sama seperti wanita lainnya yang ditempatkan oleh Yuksel di kediaman kedua."Ayah."Baru saja memasuki ruang kerja pangeran kelima. Arabella langsung menyebut dengan manja dan berlari kecil. Hal itu membuat Madam Ane yang masih belum sepenuhnya pergi menyeringai."Tuan Yuksel tidak salah memilih calon nyonya, dia sangat jauh dari kata layak menjadi nyonya rumah," gumam Madam Ane sembari meninggalkan ruang kerja pangeran kelima.Begitu melihat Arabella masuk. Pangeran kelima nampak langsung me
"Kau bilang apa barusan?""Bermalam dengan Grand Duke, Lady Arabella menginginkannya," ulang Madam Ane dengan mata bisa menebak seperti apa reaksi dari sang tuan.Yuksel tersenyum miring. "Apa dia ingin jadi mayat keesokan harinya?"Madam Ane nampak cemas. "Grand Duke. Tolong jangan membahas masalah ini di luar kamar atau ruang kerja."Wajah Yuksel yang semula terlihat ramah begitu keluar dari kamar Kimberly. Namun menjadi dingin setelah mendengar laporan yang diterima dari Madam Ane. Yuksel terlihat tak peduli dan terus berjalan jauh lebih cepat."Terserah, buatkan saja jadwalnya malam ini dan sebarkan pada seluruh istri, kalau aku akan bermalam dengannya."Madam Ane menatap punggung Yuksel dengan kaget. "Grand Duke ingin melakukannya?"Yuksel melirik dengan sorot mata kesal. "Bukankah orang seperti itu harus dibiarkan menang sekali saja."Kimberly yang mendengar itu dari bisikan Emma, langsung terdiam. Malam ini langit terlihat lebih gelap karena tanpa bintang yang menemani. Sama se
"Lady Arabella menangis seharian di kamar, karena tidur sendirian di kamar Grand Duke."Setelah selesai berbisik, Emma menjauh dari telinga Kimberly. Kepalanya menoleh dan mata menatap Emma yang sudah tersenyum puas. Pasalnya Emma adalah saksi bahwa Yuksel memilih tidur di kamarnya."Dari mana kau tahu, kalau Lady Arabella menangis?"Emma langsung tersenyum. "Seluruh pelayan sekaligus para istri Grand Duke, mereka membicarakan serta mengolok-olok Lady Arabella.""Lama-lama kau jadi tukang gosip ya, Emma," celetuknya sambil tersenyum.Emma ikut tersenyum, kemudian membantu menyisir rambutnya. "Bukankah itu lebih baik ketimbang tidak tahu informasi apa pun, Lady?"Matanya menatap Emma yang masih menyisir rambutnya dari pantulan cermin di hadapannya. "Selama tidak merugikanmu boleh, tapi jika hal yang mereka bicarakan bisa membuatmu dalam bahaya maka jangan ikut-ikutan.""Apalagi sekarang yang sedang mereka gosipkan adalah Lady Arabella. Jika sampai ketahuan kalian bergosip, maka tidak a