"Jelaskan apa?" tanya Yuksel sedikit ketus.
"Menjelaskan semuanya." Namun Kimberly berusaha bersikap tenang.Mata Yuksel menyorot sangat tajam, seolah bisa menembus wajah Kimberly. Tangan mencengkram pundak cukup erat. Persis seperti ingin memarahi istri habis-habisan."Kau pasti ingin kabur ke perbatasan kan? Bertemu selingkuhanmu itu kan!" seru Yuksel tertahan, mengingat mereka berdua berada di ruang tengah."Ya?" Seketika Kimberly melongo."Apa maksudmu Grand Duke?"Netra Yuksel masih menatap tajam. "Jangan berlagak bodoh. Aku tahu di perbatasan itu kau memiliki kekasih, makanya kau berniat kabur untuk menemuinya malam ini kan?"Tiba-tiba saja Kimberly tertawa kecil. Ternyata hal yang ia cemaskan seperti angin lalu saja. Padahal jantung rasanya mau copot, memikirkan Yuksel tahu alasannya menikah. Rupanya pria ini mengira keinginannya kabur di malam hari, karena merindukan sosok pria lain.Dahi Yuksel mengerut marah. "Berani sekali kau tertawa di de"Bohong!" seru Arabella marah, "Grand Duke, jelas-jelas Lady Kimberly menendang pelayanku."Mata Yuksel melirik pada pelayan yang hanya menunduk. Kaki nampak baik-baik saja, tapi raut wajah yang penuh keringat dingin itu. Tanpa menelaah lebih pun, Yuksel bisa menyimpulkan. Kalau sang istri memang telah melakukan yang Arabella adukan.Namun, bukannya mengaku salah. Kimberly justru masih menangis dengan mulut mengaduh sakit pada kakinya. Arabella mengepalkan tangan dan hendak mengamuk, sayangnya mata Yuksel menatap serius pada kedua istri."Bangun dari tubuh Arabella," ujar Yuksel sedikit pelan.Kimberly berhenti dari tangisnya. "Aku tidak bisa berdiri, kakiku sungguh sakit."Meski berusaha untuk tetap sabar. Pada akhirnya, Yuksel mendengkus. Semakin mendekat, kemudian mulai mengangkat tubuh Kimberly begitu mudahnya. Hal itu jelas mengundang tatapan iri dari Arabella."Grand Duke," panggil Arabella dengan manja serta kedua tangan minta diraih.Melihat perhatian Yuksel yang tertuju pada
Tubuh Kimberly bergerak mundur perlahan. Sementara Yuksel terburu meninggalkan meja hanya untuk berlari ke arahnya. Kimberly sendiri bersiap kabur, namun tangan Aiden lebih cepat tanggap saat diperintah."Tangkap Kimberly.""Baik Grand Duke."Kimberly menjerit takut, tangan yang semula dicekal oleh Aiden langsung diraih oleh Yuksel. Tangan yang bersentuhan itu membuat Kimberly semakin ketakutan. Kematian adalah hal yang paling menakutkan untuknya."Grand Duke tolong lepaskan aku, aku masih ingin hidup," rengeknya dengan air mata menggenang.Yuksel mengusap sudut matanya. "Tenang saja, aku pakai sarung tangan, kau tidak akan kenapa-kenapa."Madam Ane yang mulai keluar dari ruangan, nampak saling bertatapan dengan Aiden. Biasanya Grand Duke, orang yang selalu menutupi kelemahan itu. Sementara Yuksel tidak menyangkal sama sekali racun itu. Nampak mempercayakan fakta itu pada Kimberly."Tapi, aku akan mati," ujarnya dengan sorot ketakutan."Tidak istriku, ini sarung tangan dari penyihir,
Yuksel mengira, kalau Kimberly hanya benar kaget saja hingga butuh waktu. Namun, ternyata jauh lebih banyak waktu yang dibutuhkan untuk kembali dekat. Terbukti dari Kimberly yang terus saja menghindar.Contohnya sekarang. Kimberly berada di taman hanya untuk sarapan. Alih-alih menikmati sejuknya pagi hari, Kimberly justru menghindar. Dari balik jendela warna coklat itu, berdiri pangeran kelima dengan Madam Ane nampak di belakang."Jadi, wanita rendahan itu tahu. Kalau Yuksel punya racun di tubuhnya?" Suara pangeran kelima terdengar serius."Benar sekali Yang Mulia," sahut Madam Ane hormat."Kenapa dia ceroboh sekali setelah mengenal cinta? Dia tidak belajar dari pengalaman, betapa buruknya wanita itu dalam menggosip," gerutu pangeran kelima membuat Madam Ane membisu.Rumor kematian Yuksel di tangan bandit. Memang sudah merajai kota Lefan, hingga ada beberapa pejabat yang berdatangan untuk berbelasungkawa. Namun, Madam Ane berperan sebagai pembawa pesan, dan tepat waktu mengabarkan fak
"Lepaskan aku," pinta Kimberly pelan.Seolah tak ingin dunia tahu, kalau ia adalah istri pemberontak. Padahal di kediaman Kimberly termasuk pembuat masalah, apalagi telah bertengkar dengan Arabella. Tapi anehnya, tak ada satu pun berita yang bocor keluar."Tidak mau," tolak Yuksel dengan mata membingkai pelayan yang sedang membungkus kue.Jemari Yuksel yang memegang pedang, mulai menunjuk kue lainnya. Cukup banyak sampai membuat Kimberly menatap Yuksel. Orang ini sekalinya beli, bisa membuat toko tutup karena sudah dapat untung. "Kau akan membagikannya pada istri-istrimu?" bisik Kimberly, padahal semua orang tahu Yuksel punya puluhan istri.Yuksel meliriknya. "Aku membelinya hanya untuk istri yang diakui."Diakui oleh siapa? Jika itu pangeran kelima, maka jelas sekali itu Arabella. Selang beberapa menit, begitu keluar dari toko. Dua tangan Emma juga Aiden penuh dengan bingkisan kue. "Tolong letakkan di kereta--eh kalian mau membawanya ke mana?" Kimberly protes ketika Aiden dan Emma
Aiden benar-benar mengikuti Emma yang keluar kediaman pangeran kelima. Namun, Emma sama sekali tidak sadar dengan penunggang kuda yang memakai tudung topi itu. Hingga kereta yang ditumpangi Emma berhenti di dalam kediaman Barnes. Saat itu juga Aiden mulai memacu kuda untuk menjauh."Kau bisa menyerahkan suratnya padaku, tuan Barnes sudah istirahat."Di dalam kediaman, Emma dicegah oleh pelayan pribadi Aaron Barnes. "Kalau begitu saya akan menunggu.""Menunggu hingga pagi? Lekaslah kembali sebelum tengah malam tiba."Pelayan pribadi Aaron ini merampas paksa surat dari tangan Emma. Bahkan menghindar dan menyuruh pelayan lain untuk membawa Emma keluar dari kediaman. Rupanya Aiden masih ada di sana, dan tetap mengikuti Emma yang kembali dengan kereta kuda dari belakang."Pelayan kecil itu mengirim surat ke kediaman Count Barnes." Itulah yang dilaporkan oleh Aiden begitu sampai dan berada di ruang kerja Yuksel."Benarkah?""Tapi tidak lama langsung keluar lagi, pelayan kecil itu nampak mur
"Di labirin juga, kita bisa menikmati sesuatu yang tidak bisa didapatkan di kedai mana pun," lanjut Yuksel dengan mata menatapnya antusias.Sementara Kimberly gelagapan sendiri. Apalagi ketika Emma, meski mulut diam dan pandangan tertunduk. Tapi, mata menunjukkan keingin tahuan atas kenikmatan yang ditawarkan labirin itu. "Omong kosong," keluhnya hendak menutup mulut Yuksel, supaya tak bertingkah.Tapi, tangannya langsung dicekal. "Istriku, jangan buat Emma terkejut."Justru Kimberly yang tertegun. Benar, jika sampai tangannya membungkam mulut Yuksel secara langsung. Maka kematian akan menimpanya. Lantas menimbulkan kegaduhan karena Emma menjerit cemas."Aku juga ingin bicara dengan ayahku, jadi biarkan aku pergi dan jangan mengikutiku," pintanya.***Entah mengapa, ketika Kimberly mengungkit ayahnya. Lalu ada hal serius yang ingin ia katakan. Yuksel mengizinkan untuk makan di luar dan tidak akan mengikuti dengan alasan ada pekerjaan mendadak.Makan itu hanya sebuah alasan. Sejujurny
Pembicaraan antara Yuksel dan Aaron ternyata berakhir baik. Serta Aaron orang yang bisa diajak tukar pendapat. Setidaknya itulah yang Aiden simpulkan. "Mungkin saat ini Kimberly masih di rumahmu, Tuan Aaron," ujar Yuksel memberi tahu."Ada keperluan apa dia ke rumah saya?"Yuksel menatap surat yang sudah hangus menjadi abu itu. "Karena dia tak kunjung mendapat balasan."Aaron membisu. Karena tak dibalas, sang anak justru menemui langsung untuk mendengarkan langsung. Sorot mata Aaron ikut membingkai kertas berwarna abu yang sempat menyita perhatian Yuksel itu."Bujuk Kimberly untuk tidak cerai," pinta Yuksel.Tepat seperti apa yang Yuksel katakan. Begitu kembali dari pertemuan rahasia. Aaron mendapati cerita dari pelayan, kalau Kimberly telah datang dan sekarang sudah pergi. Aaron terlambat sedikit dari perkiraan, padahal sudah memacu kereta kuda lebih cepat."Ayah!"Dari kejauhan, Rosalind mendekat. Dia berlari, namun tetap terlihat anggun. Meski melihat sang anak yang cantik luar bi
Selepas makan malam. Kimberly dan Yuksel berada di depan labirin ajaib. Kimberly melotot, ada apa dengannya? Kenapa ia menurut saja dibawa ke labirin. Padahal harusnya menolak."Aku sedang tidak enak badan," tolaknya membuat Yuksel melirik."Bisakah kita jalan-jalan saja di sekitar taman? Taman yang jauh dari labirin," lanjutnya.Meski kelihatannya, Yuksel enggan untuk pergi dari area labirin. Tapi, begitu melihat sorot matanya yang dipenuhi kebimbangan. Yuksel mengangguk mengerti dan mulai menggenggam tangannya.Netra Kimberly membingkai tangannya. Ah, ternyata tangannya lebih kecil dari Yuksel. Hingga tatapan begitu fokus pada sarung tangan yang membalut kulit suaminya. Pernah ia melihat langsung tangan yang putih pucat itu."Sejak kapan kau memakainya?" Pada akhirnya, Kimberly penasaran.Yuksel menoleh. "Memakai apa?""Sarung tangan.""Pastinya aku tidak tahu, tapi kalau tidak salah saat kecil. Ketika seluruh pelayan di kediamanku mati satu persatu."Sontak, Kimberly langsung menol