 LOGIN
LOGINAvin baru saja kembali lagi ke rumah dan mengunci pintunya dengan benar. Ia pergi sebentar keluar karena ada panggilan darurat yang tia rahasiakan, termasuk Dea istrinya. Saat melewati kamar, ia melihat istri tercintanya sedang tidur di kasur bersama dengan putri cantiknya dengan lelap.
Ia menghela napasnya dengan pelan melihat dua kesayangannya tidur dengan damai. Ia pun lanjut ke belakang sambil mengambil handuk yang tergantung karena mau mandi lagi. Biarpun baru satu jam lebih ia keluar dari rumah, ia harus mandi jika ingin memeluk gadis kecilnya karena sudah terkontaminasi kuman di luaran sana. Deasy yang mendengar suara guyuran air menjadi terbangun. Ia terkejut melihat jendela kamarnya sudah mulai agak gelap. "Astaghfirullah, sudah mau gelap ternyata! Kecapekan nangis membuatku tidur kebablasan. Pasti A'a Avin sudah pulang lagi. Sayangku, ayo bangun, Nak!" ucap Deasy mengusap kasar mukanya dan menepuk pelan bokong putri kecilnya agar terbangun. Usahanya membuahkan hasil, si montok itu pun menggeliat dengan menggemaskan sehingga Deasy tidak kuasa untuk tidak menghujani wajah anaknya dengan ciuman gemas. "Uluh-uluh, anaknya Bubu gemesin banget sih!" ucap Ibu muda tersebut dengan gemas. Terdengar gelak tawa bayi tersebut saat Dea menciumi perutnya dengan brutal sehingga Avin yang selesai mandi tidak bisa untuk tidak tersenyum lebar melihat tawa bahagia dua kesayangannya. "Asyik banget kesayangannya Baba sampai gak ngajak Baba untuk bermain," ucap Avin sembari memasuki kamar dengan menggunakan handuk di pinggangnya. Deasy menoleh dan menelan ludah melihat suaminya dengan santai bertelanjang dada, sehingga ia dengan leluasa melihat otot perutnya yang sangat sempurna dengan kotak-kotak enam, membuat siapapun melihat itu menjadi tergoda. Avin yang melihat mata sang istri mengulum senyum menyeringai. "Gak cuma dilihat dong sayang, di sentuh lebih menyenangkan apalagi kalau dibelai," goda Avin dengan menaikturunkan alisnya. Muka Deasy langsung memerah karena malu ketahuan melihat sang suami dengan tatapan lapar. "Ih, A'a nyebelin! Cepetan sana pakai baju sebelum aku terkam!" sungut Deasy pura-pura kesal dan mulai melucuti pakaian sang putri. "Hehehehe, kalau gitu eksekusinya nanti malam saja ya, Yang!" kekeh Avin gemas melihat sikap Deasy yang selalu membuatnya bergairah. "Dih, itu memang maunya A'a yang gak pernah libur kecuali palang merah," cibir Deasy sambil mengambil perlengkapan mandi sang putri. Avin semakin terkekeh mendengar cibiran sang istri, ia pun memakai pakaian yang ada di lemari plastik. Begitu Deasy memandikan sang putri, Avin menyiapkan pakaian bayi kecilnya dan meletakkannya diatas kasur. Sambil menunggu Deasy memandikan sang putri, Avin mengambil kantong kresek yang berisi uang hasil jualannya dan mengeluarkannya untuk di hitung. "Habis jualannya A'a?" tanya Deasy memasuki kamar dengan menggendong sang putri yang dibalut handuk putih. "Alhamdulillah habis, Neng! Maaf ya Aa kebablasan di luar tadi, padahal udah pulang cepat," jawab Avin sambil menghitung uang tersebut. "Alhamdulillah, gak papa. Eneng cuma gak mau Aa sakit karena pontang panting cari uang. Rezeki sudah ada yang ngatur dan gak perlu dikejar sampai mengabaikan kesehatan," sahut Deasy dengan penuh syukur. "MasyaAllah, pengertian banget istrinya A'a ini! InsyaAllah A'a akan selalu ingat nasihat Eneng. Beruntungnya A'a punya istri yang pengertian, cantik, dan seksi lagi," ujar Avin dengan sangat bangga sambil mencolek pinggang ramping sang istri. "Iya dong, istrinya A'a gitu!" sahut Deasy dengan membanggakan dirinya sehingga membuat Avin tergelak kencang melihat kenarsisan sang istri. --- Di rumah, Maisarah masih menyusun rencana jahat agar ia dan anaknya tidak membayar kembali uang panas yang diberikan Juragan Handi saat kampanye pilkada beberapa waktu lalu. Ia memasuki kamar pribadinya sambil berpikir keras. “Apa aku ambil anaknya saja dan jadikan anak itu untuk mengancam Dea untuk meninggalkan mereka berdua ya? Kalau dia tidak diancam begitu, aku tidak tahu lagi bagaimana caranya bisa memisahkan mereka dan menikahkan Dea dengan Juragan Handi,” gumamnya dengan pelan dan masih ada keraguan untuk melakukan rencana itu. Wanita paruh baya itu sampai ketiduran saat asyik menimbang apakah akan melakukan rencana tersebut atau tidak. Malam harinya saat makan malam, Raisa mendapatkan telepon dari pihak rumah sakit tempat mertua laki-lakinya dirawat. Mereka mengabarkan jika Tuan Wirata Kusuma tiba-tiba saja kritis. “Bu, pihak rumah sakit mengabarkan jika Ayah tiba-tiba kritis dan sekarang mereka sedang memindahkannya ke ruangan ICU. Alatas tidak ada di sana jadi rumah sakit menelepon ke sini,” ucap Raisa memberitahu Maisarah saat wanita paruh baya itu hendak keluar dari kamarnya. “Apa???” pekik Maisarah dengan wajah terkejut. Bersambung...
Prang! Bik Ira tanpa sengaja menyenggol vas bunga yang ada di rak saat membersihkan isi lemari yang berisi beragam vas keramik yang diberi rekan bisnis keluarga Manggal di lantai satu. Oma Farida yang baru saja keluar dari kamarnya mendengar dari kejauhan suara pecahan tersebut, bergegas mendekat dengan langkah kakinya yang sudah tidak lincah seperti dulu. Tidak hanya Oma, Bunda Shafana yang baru turun dari lantai dua mengambil pakaian Audrey ikut berjalan cepat kearah suara. “Ada apa ini? Kenapa vas nya bisa sampai pecah? Kan letaknya di tempat tinggi?” tanya Oma saat ia melihat pecahan vas tersebut di lantai. “Ira, ada apa denganmu? Dari sore kemarin kamu saya lihat seperti banyak pikiran dan karena kecerobohan kamu vas bunga jadi imbasnya! Kamu tahukan kalau dirumah ini ada bayi yang sedang aktif-aktif nya? Kalau pecahan kecil itu luput dibersihkan dan ditemukan Audrey, bagaimana kamu akan bertanggungjawab?” tegur Bunda Shafana dengan menatap tajam Bik Ira yang sudah puc
Saloka tersenyum sumringah di depan layar laptopnya. Ia dengan penuh semangat menekan tombol entar sambil tertawa bahagia. “Hahahaha...,akhirnya ketemu juga petunjuk selanjutnya! Selangkah lagi pasti akan ditemukan pelaku yang sebenarnya dan mengetahui apa motifnya melakukan hal itu pada Kak Dea,” ucap Saloka sambil tertawa. Dilayar laptopnya terpampang informasi menyeluruh tentang pria yang bernama Juanda Bahri sesuai dengan nama orang yang menerima kiriman uang dari Bik Ira. “Aku harus pulang sekarang dan memberitahu Bang Keen dan Bang Kaisar hasil pencarianku ini!” serunya sambil menutup laptop dan membereskan barang-barang nya di meja Cafe tempat ia berada saat ini. Sementara di tempat lain, Avin duduk di ruang tamu di rumah yang berlantai dua dengan kaki bertumpu dan tangan dilipat di dada. Di bawah kakinya ada seorang pria paruh baya sedang memohon sambil menangis terisak seperti anak kecil. “Tuan muda, tolong kasihani saya! Saya berjanji tidak akan menyalahgunakan
Pria yang dipanggil pria botak itu langsung berkeringat dingin dan kakinya terasa seperti dipaku tidak bisa lari untuk kabur dari sana. Juanda hanya bisa diam saat pria botak bernama Yuda berjalan mendekatinya. Pria itu tidak sendirian, ada tiga orang lagi yang berdiri di belakangnya, yang tidak lain adalah anak buahnya. “Juanda, kapan hutang-hutangmu dibayar? Bunganya sudah banyak selama dua tahun ini?” tanya si botak Yuda sambil merangkul santai leher Juanda. “A—Akan saya bayar secepatnya, Bang! To—Tolong kasih sa—saya kelonggaran buat bayar semuanya sampai ke bunganya sekalian,” jawab Juanda dengan terbata-bata. Kakinya gemetaran dan tubuhnya makin berkeringat karena ketakutan. “Juanda, mau sampai kapan aku memberikanmu kelonggaran, hah? Ini bukan dua minggu atau dua bulan, tapi sudah dua tahun aku memberikanmu kelonggaran!” ucap Yuda dengan suara dibuat berat karena menahan emosinya. “Pokoknya, aku kasih kamu kesempatan terakhir! Bawakan uangnya dalam tiga hari ke gedu
Kaivan memijit kepalanya setelah meeting dengan beberapa direktur di kantor cabang beberapa menit yang lalu. Pria itu baru tertidur tiga jam sebelum alarm membangunkannya untuk meninjau keadaan kantor cabang yang saat ini lagi ada masalah. Ia benar-benar mau gila karena bukannya menghilang, bayangan kejadian keduanya malam itu terus berdatangan tanpa henti sehingga membuat Kaivan menjadi frustasi sendiri. “Ah, sial! Tidak pernah gue kayak gini sepanjang gue hidup! Bisa gila gue kalau lama-lama kayak gini! Makin gue mau fokus, makin terbayang hal itu dan rasanya masih terasa sampai sekarang!” umpat Kaivan dengan meraup kasar mukanya dengan tangan. “Apa gue telepon Keenan ya? Mau tanya lagi,” gumamnya sambil menimbang perlu tidaknya menghubungi sang adik. “Tapi sekarang mungkin tuh anak lagi sibuk karena semalam Saloka bilang jika mereka dapatkan petunjuk dari kerabat temannya. Kalau aku hubungi sekarang takutnya mengganggu penyelidikan mereka saat ini,” lanjutnya lagi den
Hannah langsung balik badan dan menutup ponselnya tanpa berpamitan atau berbicara pada lawannya di seberang sana begitu mendengar suara Dea. “Hannah, apa ada yang kamu sembunyikan dari aku dan Aa Avin?” tanya Dea menatap Hannah dengan tatapan curiga. “Eh, Kak Dea! Gak ada kok Kak! Suer deh gak boong! Tadi itu Lendra kasih tahu jika orang yang meneror Kakak malam itu bernama Sunira Bahri, dan sekarang Kak Keenan sama Lendra lagi cari tahu siapa dia,” jawab Hannah yang tidak sepenuhnya berbohong. Melihat tidak ada kebohongan dimata Hannah, Dea menghela napas pelan karena tidak mendapatkan jawaban yang ia inginkan. Ia berjalan menuju sofa dan mendaratkan bokongnya di sofa sambil memijit pelipisnya. “Kak, kenapa? Kakak pusing atau ada yang sakit?” tanya Hannah dengan nada khawatir dan berjalan mendekati Dea lalu duduk di sampingnya. Hannah menyentuh lengan Dea dan mengusapnya dengan lembut. Baru beberapa jam bertemu, ia sudah akrab dengan Dea yang notabene adalah Bos nya. Dea ju
Raisa masih tidur tatkala Andre dan Yuli datang ke kamar rawatnya dengan wajah sumringah. Keduanya memasuki kamar rawat tersebut diam-diam tanpa suara karena tidak mau membangunkan Raisa. “Lu ada sesuatu ya sama tuh cewek sampai-sampai pagi-pagi sudah bawa gue ke sini?” bisik Yuli dengan wajah menggoda Andre dengan sengaja. “Sembarangan lu, gue hanya simpati aja sama nasibnya dan gue memang menyimpan dendam sama lakinya, tapi bukan karena suka sama dia. Klien gue kan sedang berlawanan sama tuh wakil Bupati dan ini kesempatan gue buat bikin tuh orang jatuh sampai ke dasar bumi serta memenangkan klien gue dalam melawan pihak mereka,” bantah Andre juga dengan berbisik. “Kasus apaan? Kok gue gak pernah dengar?” tanya Yuli penasaran. “Sebenarnya ini klien kakak ipar gue, tapi karena ada urusan di Kalimantan alhasil klien tersebut dioper ke gue, dan gak taunya lawan klien gue itu ya suaminya Raisa ini!” jawab Andre dengan suara pelan. “Oh, gitu,” sahut Yuli mangut-mangut dan mem








