Avin baru saja kembali lagi ke rumah dan mengunci pintunya dengan benar. Ia pergi sebentar keluar karena ada panggilan darurat yang tia rahasiakan, termasuk Dea istrinya. Saat melewati kamar, ia melihat istri tercintanya sedang tidur di kasur bersama dengan putri cantiknya dengan lelap.
Ia menghela napasnya dengan pelan melihat dua kesayangannya tidur dengan damai. Ia pun lanjut ke belakang sambil mengambil handuk yang tergantung karena mau mandi lagi. Biarpun baru satu jam lebih ia keluar dari rumah, ia harus mandi jika ingin memeluk gadis kecilnya karena sudah terkontaminasi kuman di luaran sana. Deasy yang mendengar suara guyuran air menjadi terbangun. Ia terkejut melihat jendela kamarnya sudah mulai agak gelap. "Astaghfirullah, sudah mau gelap ternyata! Kecapekan nangis membuatku tidur kebablasan. Pasti A'a Avin sudah pulang lagi. Sayangku, ayo bangun, Nak!" ucap Deasy mengusap kasar mukanya dan menepuk pelan bokong putri kecilnya agar terbangun. Usahanya membuahkan hasil, si montok itu pun menggeliat dengan menggemaskan sehingga Deasy tidak kuasa untuk tidak menghujani wajah anaknya dengan ciuman gemas. "Uluh-uluh, anaknya Bubu gemesin banget sih!" ucap Ibu muda tersebut dengan gemas. Terdengar gelak tawa bayi tersebut saat Dea menciumi perutnya dengan brutal sehingga Avin yang selesai mandi tidak bisa untuk tidak tersenyum lebar melihat tawa bahagia dua kesayangannya. "Asyik banget kesayangannya Baba sampai gak ngajak Baba untuk bermain," ucap Avin sembari memasuki kamar dengan menggunakan handuk di pinggangnya. Deasy menoleh dan menelan ludah melihat suaminya dengan santai bertelanjang dada, sehingga ia dengan leluasa melihat otot perutnya yang sangat sempurna dengan kotak-kotak enam, membuat siapapun melihat itu menjadi tergoda. Avin yang melihat mata sang istri mengulum senyum menyeringai. "Gak cuma dilihat dong sayang, di sentuh lebih menyenangkan apalagi kalau dibelai," goda Avin dengan menaikturunkan alisnya. Muka Deasy langsung memerah karena malu ketahuan melihat sang suami dengan tatapan lapar. "Ih, A'a nyebelin! Cepetan sana pakai baju sebelum aku terkam!" sungut Deasy pura-pura kesal dan mulai melucuti pakaian sang putri. "Hehehehe, kalau gitu eksekusinya nanti malam saja ya, Yang!" kekeh Avin gemas melihat sikap Deasy yang selalu membuatnya bergairah. "Dih, itu memang maunya A'a yang gak pernah libur kecuali palang merah," cibir Deasy sambil mengambil perlengkapan mandi sang putri. Avin semakin terkekeh mendengar cibiran sang istri, ia pun memakai pakaian yang ada di lemari plastik. Begitu Deasy memandikan sang putri, Avin menyiapkan pakaian bayi kecilnya dan meletakkannya diatas kasur. Sambil menunggu Deasy memandikan sang putri, Avin mengambil kantong kresek yang berisi uang hasil jualannya dan mengeluarkannya untuk di hitung. "Habis jualannya A'a?" tanya Deasy memasuki kamar dengan menggendong sang putri yang dibalut handuk putih. "Alhamdulillah habis, Neng! Maaf ya Aa kebablasan di luar tadi, padahal udah pulang cepat," jawab Avin sambil menghitung uang tersebut. "Alhamdulillah, gak papa. Eneng cuma gak mau Aa sakit karena pontang panting cari uang. Rezeki sudah ada yang ngatur dan gak perlu dikejar sampai mengabaikan kesehatan," sahut Deasy dengan penuh syukur. "MasyaAllah, pengertian banget istrinya A'a ini! InsyaAllah A'a akan selalu ingat nasihat Eneng. Beruntungnya A'a punya istri yang pengertian, cantik, dan seksi lagi," ujar Avin dengan sangat bangga sambil mencolek pinggang ramping sang istri. "Iya dong, istrinya A'a gitu!" sahut Deasy dengan membanggakan dirinya sehingga membuat Avin tergelak kencang melihat kenarsisan sang istri. --- Di rumah, Maisarah masih menyusun rencana jahat agar ia dan anaknya tidak membayar kembali uang panas yang diberikan Juragan Handi saat kampanye pilkada beberapa waktu lalu. Ia memasuki kamar pribadinya sambil berpikir keras. “Apa aku ambil anaknya saja dan jadikan anak itu untuk mengancam Dea untuk meninggalkan mereka berdua ya? Kalau dia tidak diancam begitu, aku tidak tahu lagi bagaimana caranya bisa memisahkan mereka dan menikahkan Dea dengan Juragan Handi,” gumamnya dengan pelan dan masih ada keraguan untuk melakukan rencana itu. Wanita paruh baya itu sampai ketiduran saat asyik menimbang apakah akan melakukan rencana tersebut atau tidak. Malam harinya saat makan malam, Raisa mendapatkan telepon dari pihak rumah sakit tempat mertua laki-lakinya dirawat. Mereka mengabarkan jika Tuan Wirata Kusuma tiba-tiba saja kritis. “Bu, pihak rumah sakit mengabarkan jika Ayah tiba-tiba kritis dan sekarang mereka sedang memindahkannya ke ruangan ICU. Alatas tidak ada di sana jadi rumah sakit menelepon ke sini,” ucap Raisa memberitahu Maisarah saat wanita paruh baya itu hendak keluar dari kamarnya. “Apa???” pekik Maisarah dengan wajah terkejut. Bersambung...Dea sedang menyuapi bayi kecilnya yang sudah mulai memakan MPASI di usianya yang baru menginjak enam bulan saat Ibu mertuanya datang menghampiri. “De, Keenan bilang kamu pengen belajar jadi perempuan anggun yang bermartabat ya?” tanya Mami Berliana tanpa basa basi. “Iya, Mi. Dea mau jadi istri yang nggak malu-maluin Aa kalau ikut pertemuan penting. Dea mau mengangkat kepala dengan tegak saat bertemu orang-orang penting, bukan menunduk karena merasa minder atau tidak percaya diri,” jawab Dea dengan mimik muka yang serius dan sungguh-sungguh. “Kalau begitu, Mami sarankan kamu belajar tentang etika perempuan bangsawan dan belajar kepribadian perempuan. Hanya saja belajar semua itu lumayan berat untuk orang yang belum pernah belajar hal itu? Mami aja dulunya sering pura-pura sakit biar bisa bolos belajar kelas etika dan kepribadian,” sahut Mami Berliana sedikit mengeluh sambil menceritakan tentang dirinya dulu. Bukannya ketakutan, Dea justru terlihat bersemangat mendengar cerita m
Kediaman Juragan Handi di kampung sebelah.. “Kayaknya si Juragan sudah gak terlalu ngebet lagi sama Mbak Dea semenjak terkuak jika suaminya itu ternyata orang kaya,” ucap Joko pelan pada rekannya sambil duduk santai di bawah pohon Mangga. “Masa sih, Jon? Kalau memang sudah gak ngebet lagi kenapa Juragan masih nyuruh kita nyari perempuan yang mirip sama Mbak Dea, sampai-sampai biniku marahin aku katanya jangan-jangan aku yang mau nyari daun muda,” sahut Darman dengan wajah tidak percaya. Dua bawahan Juragan Handi baru saja selesai kerja di lumbung padi milik pria tua itu setelah beberapa hari lalu berkelana mencari perempuan yang mirip dengan Dea tanpa seorang pun yang tahu yang mereka berdua lakukan. Istrinya Darman langsung marah-marah karena gara-gara hal itu ia dan anaknya kesulitan ke mana-mana karena kendaraan mereka satu-satunya di bawa Darman. “Iya, ya, baru kepikiran aku, Man. Memangnya si Juragan mau cari yang gimana lagi sih? Istri aja sudah dua, masa gak pernah pu
Tidak hanya Bu Maisarah yang kaget, Siska dan Raisa ikutan kaget sehingga pelukan Raisa pada lengan suaminya terlepas. “Bang, kamu gak lagi nge-prank kami kan?” tanya Raisa dengan wajah tidak percaya. Siska ikutan mengangguk tanpa suara membenarkan pertanyaan Raisa. “Raisa benar, Nak! Kamu tidak lagi mempermainkan kami semua kan? Kapan pria tua itu menghubungimu? Dan apa alasan pria itu tiba-tiba menarik uang yang ia berikan waktu itu?” cerca Bu Maisarah sambil menahan gemuruh di dadanya. Ghufron memasang raut gusar sembari membuang kasar napasnya. “Ini bukan permainan atau candaan, Bu. Juragan Handi mengirim pengacaranya mendatangi tempat aku kunjungan kerja sehingga membuat aku kaget akan kedatangannya. Karena tidak ingin ada yang mencurigai, aku membawanya ke Cafe terdekat. Dari situ aku tahu jika Juragan Handi sengaja mengikutiku keluar agar bisa menemuiku dengan leluasa. Pengacaranya meminta agar aku mengembalikan bantuan dana yang Juragan Handi berikan saat pilkada kem
Alatas kembali ke rumah pada pagi harinya setelah mampir sebentar ke rumah sakit melihat keadaan ayahnya. Ia menginap di hotel setelah pesta bersama sepupunya Avin, Syailendra. Karena sama-sama masih kuliah, keduanya cepat akrab. Meskipun dengan yang lainnya juga dekat, ia paling dekat dengan Syailendra karena mempunyai hobi dan umur yang sama. “Tahu pulang juga kamu!” semprot Bu Maisarah di depan pintu begitu melihat putra bungsunya pulang ke rumah. Alatas diam saja dan menatap malas dengan sorot matanya sambil memasang wajah datar saat melepaskan sepatunya. Wanita tua itu sengaja menunggu putra bungsunya pulang karena semalaman ia tidak bisa tidur hanya karena menunggu Alatas pulang. “Ibu bukannya tahu kalau pestanya baru dimulai sore hari? Tentu saja selesainya malam, karena itu pesta orang kaya yang dibagi dengan beberapa sesi,” jawab Alatas dengan sindiran. Ia menyindir ibunya yang datang bersama para iparnya di pesta tadi dan membuat keributan. Wajah Bu Maisarah m
“Kenapa Neng? Apa ada yang mengganggu pikiranmu?” tanya Avin dengan lembut ketika melihat Dea bengong tanpa memakan makanannya. Padahal tadi istrinya itu mengeluh kelaparan, tetapi sekarang makanannya hanya dilihat dan diaduk saja tanpa kurang sedikit pun. “A’, menurut Aa, Eneng pantas gak menjadi bagian dari keluarga ini?” tanya Dea dengan menatap dalam suaminya. Kening Avin mengerut mendengar pertanyaan istrinya yang tidak ia duga. “Kenapa bertanya seperti itu? Siapa yang bilang Eneng gak pantas menjadi bagian dari keluarga ini? Aa gak suka Eneng ngomong ngawur kayak gitu lagi,” sahut Avin, wajahnya menunjukkan tidak suka. “Kalau gitu, apa pendapat Aa jika Eneng ingin jadi perempuan yang kuat, hebat dan bermartabat sebagai pendamping hidup Aa?” tanya Dea lagi sehingga membuat ekspresi wajah Avin semakin berat. Pria tampan itu berpindah duduk dan duduk di samping Dea yang duduk di sofa kamar. Ia mendorong meja troli kecil yang menyajikan tempat makan ke ruang kosong di su
Dea dan Avin sampai di kediaman keluarga Manggala setelah menempuh tiga puluh lima menit perjalanan. “A’, bawa Audrey duluan ke kamar ya? Neng mau ambil makanan dulu di dapur, perut Neng lapar lagi, dan tadi gak bisa makan banyak karena diajak keliling sama Mami dan Oma,” pinta Dea dengan mengusap perutnya yang lapar lagi. Beberapa saat lalu, ia baru selesai mengasihi Audrey hingga bayi itu kekenyangan, nafsu makannya yang kuat saat menyusui selalu membuat ia lapar. Dea sudah tidak malu-malu lagi menyuarakan apa yang ia rasakan, berbeda dengan saat pertama kali mereka datang ke rumah ini. “Ya sudah, Aa tidurin si gemoy dulu di kamar. Nanti giliran Bubunya yang Aa tidurin,” sahut Avin dengan mengerling nakal. “Ish, dasar mesum!” balas Dea mencibir dengan suara pelan. Avin terkekeh geli sambil menggendong putrinya yang nemplok manja di dadanya. Mereka memasuki rumah dengan wajah bahagia, lalu berpisah karena beda arah, Avin naik menggunakan lift, dan Dea berbelok ke arah dap