LOGIN“Cih, bikin orang repot aja! Kenapa gak langsung mati aja sih, pakai kritis segala. Buang-buang duit lama-lama di rumah sakit dan buang-buang tenaga untuk mengurusnya,” omel Siska misuh-misuh sendirian dalam kamarnya.
Saat itu, Maisarah dan Raisa sudah bergegas ke rumah sakit dan meninggalkan Siska di rumah yang mengeluh sakit kepala. Padahal ia baik-baik saja dan mengurung diri di kamarnya karena malas menemani ibu mertuanya itu ke rumah sakit. Bu Maisarah duduk di bangku luar ruangan ICU bersama Raisa. Melihat suaminya terbaring dengan semua alat penunjang hidup di tubuhnya membuat wanita paruh baya itu sedih. Walau bagaimanapun, ia masih mencintai suaminya yang sudah memberikan ia dan anak-anaknya hidup nyaman selama ini. “Bu, bagaimana dengan ancaman Juragan Handi pada Ibu? Apa dia benar-benar ingin kita membayar semua uang yang diberikan pada kita lima kali lipat dari jumlah awal?” tanya Raisa dengan wajah bingung dan gelisah bersatu padu dalam pikirannya. “Ssstttt, jangan keras-keras suaranya? Kamu lupa sekarang kita ada di mana?” bentak Bu Maisarah dengan suara dibuat pelan sambil melotot tajam pada Raisa. Raisa langsung menciut mendengar bentakan mertuanya diiringi tatapan tajam wanita paruh baya itu. Ia sungguh takut jika benar-benar harus membayar kembali semua uang yang digunakan suaminya Ghufron pada pilkada beberapa bulan lalu. Ia baru saja mencicipi manisnya menjadi istri pejabat daerah dua bulan belakangan ini. Dan ia tidak ingin apa yang ia nikmati sekarang hilang begitu saja hanya karena ancaman Juragan Handi yang menjadi donatur terbesar dalam karier suaminya. Meski kasihan pada Dea, ia tidak punya pilihan lain selain mengikuti rencana mertuanya. “Bu, bagaimana dengan biaya pengobatan Ayah? Semakin lama di sini membuat biayanya semakin besar, dan dari mana kita dapat uang untuk membayarnya? Satu-satunya kita meminta bantuan sama Juragan Handi, tapi karena masalah ini pasti Juragan Handi belum tentu mau meminjamkan uangnya sama kita.” Bu Maisarah tertegun mendengar ucapan menantunya yang benar adanya. Ia sejujurnya juga bingung mau minta bantuan siapa untuk membayar biaya tagihan rumah sakit suaminya. Sebenarnya dia masih punya simpanan harta. Namun, sebagai wanita yang menyukai perhiasan, ia mana mau menjual asetnya untuk membayar biaya rumah sakit sang suami. “Lebih baik kita pulang saja, dan kita pikirkan lagi nanti di rumah,” ucap Bu Maisarah sembari bangkit dari duduknya. Begitu sampai di rumah, Siska menyambut mereka sambil memasang wajah khawatir. “Gimana keadaan Ayah, Bu?” Bu Maisarah melirik tajam kepada menantu pertamanya itu, sambil memijit keningnya yang pusing. Raisa yang tahu Bu Maisarah lelah menanggapi Siska langsung menjawabnya, “Ayah kritis, Kak, dan bakal dirawat di ICU beberapa hari. Biaya rumah sakitnya juga besar...” Siska mendengus kesal. “Duh! Apa susahnya sih nikahkan saja Dea dengan Juragan Handi! Dengan begitu kan kita tidak perlu pusing mikirin biaya rumah sakit Ayah!” Dia lalu memegang lengan Bu Maisarah seperti membujuknya. “Kita kasih tahu ini kepada Dea saja, Bu, bilang kalau dia tidak segera pisah dari Bang Avin dan menikahi Juragan Handi, kita tidak akan punya uang untuk rumah sakit, kondisi Ayah juga semakin kritis dan...” “Apa yang kalian bicarakan?!” seru Alatas yang tiba-tiba muncul di depan pintu yang tidak ditutup rapat. Bersambung...Begitu melihat anaknya datang, Maisarah langsung duduk dilantai sambil menangis kejer dengan menunjuk-nunjuk pria dan wanita yang mengaku pemilik baru rumah mereka. "Nak, mereka itu komplotan penipu! Mereka mau mengambil rumah kita, dan mengusir kita secara paksa! Suruh mereka pergi, Haidar! Usir mereka dari rumah kita! Rumah kita!" teriak Maisarah dengan memukuli pahanya agar semakin terlihat dramatis. Haidar terkejut mendengarnya, ia bergegas mendekati mereka terutama ibunya yang masih melakoni drama orang yang teraniaya. Pria itu membantu ibunya berdiri dan berhadapan langsung dengan perempuan yang ditunjuk ibunya sebagai seorang penipu. "Saya lihat kamu bukanlah laki-laki yang berpikiran sempit seperti ibu kamu ini! Ini adalah bukti jual beli yang mana saya membeli rumah ini dari pemilik asli sertifikat rumah ini!" ucap wanita itu sambil memperlihatkan kertas kuwitansi pembelian rumah. Haidar mengambil kertas tersebut dan membacanya dengan saksama. Pria itu memejamkan matan
"Tapi, kenapa Ibu juga berbeda perlakuannya pada Alatas, yang lahir dari pernikahannya dengan Ayah mertua?" tanya Siska lagi dengan heran. "Hidup Ibu kan sudah tidak menderita lagi sejak menjadi istri Ayah mertua, tapi kenapa ia juga membedakan kasih sayangnya pada Alatas yang notabene anak kandungnya dengan Ayah mertua?" lanjutnya lagi bertanya pada Haidar. "Aku juga tidak tahu! Hanya saja aku pernah dengar kalau Alatas anak yang sengaja ia kandung agar Ayah Wirata menikahinya! Dan aku mendengar itu semua waktu lulus SMA tanpa disengaja," jawab Haidar dengan nada suara yang tidak bersemangat. Siska membuang kasar napasnya begitu mendengar jawaban dari rasa penasarannya tadi. "Ya sudahlah, Bang! Sekarang hidup kita berdua tergantung sama Abang! Aku memang perempuan yang serakah dan hanya mementingkan diri sendiri, tapi aku bukan wanita yang dengan gampang berpaling hanya karena Abang hidup susah! Asalkan Abang masih mau bekerja memberikan aku nafkah dan tidak selingkuh, aku
"Lancang kamu Haidar!" teriak Maisarah yang sudah dikuasai api amarah saat mendengar protes anak pertamanya itu. Wanita paruh baya yang sudah dipenuhi emosi itu langsung mengayunkan tangan kanannya ke pipi Haidar dengan begitu keras sehingga membuat wajah Haidar tertoleh ke samping. "Ibu," cicit Haidar dengan wajah syok melihat ibunya dengan tega menampar nya dengan sangat keras. Napas Maisarah tersengal-sengal setelah melayangkan tangannya ke pipi Haidar, rasa puas menyelimuti hatinya karena berhasil melampiaskan amarahnya pada Haidar. Haidar kembali menitikkan air mata saat matanya menatap dalam mata Maisarah yang tidak sedikitpun menunjukkan penyesalan karena sudah menampar nya. Siska juga terkejut melihat suaminya di tampar oleh ibu kandungnya sendiri hanya karena protes atas ketidakadilan yang diterimanya selama ini. Ia sungguh tidak menyangka jika mertuanya begitu mengagungkan Ghufron sampai sebegitunya, dan tidak peduli dengan anak pertamanya yang selama ini selal
Alatas berniat membuntuti Haidar pulang, akan tetapi panggilan telepon dari ayahnya membuat ia mengurungkan niatnya tersebut. "Iya, Yah! Al pulang sekarang!" jawab Alatas dengan patuh dan menutup panggilan tersebut sambil bergegas menuju motornya di parkiran. "Kira-kira ada hal apa ya, sampai Ayah ngotot banget mau aku pulang cepat? Dari nada suaranya terdengar seperti ada masalah besar," gumamnya sambil memasang helm.Alatas pun menghidupkan motornya, lalu melesat cepat meninggalkan parkiran menuju tempat tinggalnya bersama sang ayah saat ini.Sementara itu, Haidar kembali ke rumah dengan hati kesal karena tidak mendapatkan apa yang sudah ia rencanakan."Gimana, Bang?" tanya Siska saat menyambut kepulangan Haidar yang memasang wajah lesu dan lecek."Iya, Dar! Apa yang dikatakan anak itu? Apa kamu berhasil membuatnya mengatakan dimana Dea sekarang?" cerca Maisarah ikutan bertanya dengan tidak sabaran.Kepala Haidar langsung pusing mendengar pertanyaan beruntun Ibu dan istrinya. R
"Panggil saya Kaisar saja, Om! Rasanya gak enak didengar kalau Om panggil saya terlalu hormat begitu," ucap Kaisar dengan muka yang tetap datar. "Tapi...," bantahan Fajar terhenti saat Kaisar menaikkan tangannya pertanda kode jika ia memang tidak menginginkan panggilan tersebut. Fajar menghela napas pasrah seraya berkata," Oke lah, karena mungkin usia kita hanya selisih beberapa tahun, saya panggil kamu Kaisar saja dan kamu panggil saya Abang! Saya juga gak tua-tua amat di panggil Om, kecuali untuk Dea dan Alatas." Kaisar mengangguk tanda setuju, Pandangan Kaisar kembali pada Wirata yang terlihat melamun seperti memikirkan sesuatu. "Kaisar, kapan orang-orangmu bisa melakukan yang kamu bilang tadi? Abang rencananya mau mendaftar gugatan cerai Bang Wira besok pagi, karena hari ini mau melengkapi syarat-syaratnya dulu," tanya Fajar dengan nada suara tidak terlalu kencang. "Kapan Abang mau! Sepulang dari sini aku akan menghubungi mereka untuk bersiap-siap! Ini kartu namaku, dan
"Om, bukannya mau menyembunyikannya, tapi aku gak mau Om menjadi emosi saat bertemu wanita itu! Yang jelas, kedua orang itu masih dalam kondisi aman!" jawab Kaisar dengan segala pertimbangannya. Wirata terdiam, menimbang baik buruknya jika ia bertemu dengan orang yang membuat anaknya menderita. "Om, Saat ini ada hal yang lebih penting dari wanita itu yaitu keadaan Dea," ucap Kaisar lagi agar membuka pikiran Wirata. "Dea? Apa yang terjadi sama Dea? Apa Dea baik-baik saja?" tanya Wirata dengan nada suara yang terdengar kencang dan wajah khawatir. "Tenang, Bang! Biarkan Tuan muda bicara dulu," ujar Fajar dengan menepuk pelan punggung tangan Wirata untuk menenangkan pria baya itu. "Dea dirawat di rumah sakit sekarang ini Om! Kita punya kabar baik dan kabar buruk untuk Om, dan aku harap Om tidak lagi mengurus masalah wanita jahat itu selain memikirkan Dea," ucapnya lagi yang membuat Wirata semakin terlihat tidak sabaran. "Katakan saja kabar baik dan buruknya! Jangan buat Om b







