LOGINBaru saja keluar dari kontrakan Dea, tiba-tiba saja wajah Raisa berubah pucat saat ponselnya berbunyi dengan nama Juragan Handi terpampang dilayarnya.
Ia bergeser mendekati Bu Maisarah dan menyerahkan ponselnya pada wanita itu tanpa membuka suaranya. “Angkat, katakan padanya jika kita masih ada urusan di luar!” perintah Bu Maisarah sambil menyerahkan ponsel tersebut pada Siska. Wajah Siska merengut dan mengambil ponsel tersebut dengan sedikit keberatan. Perempuan mengembalikan ponsel itu karena panggilan tersebut sudah berakhir saat ia mau menjawabnya. “Udah keburu mati,” ucapnya dengan malas. Raisa mengambil kembali ponselnya dan sebuah pesan masuk saat ia akan memasukkan ponsel itu ke dalam tas. Ia membuka pesan tersebut dan menunjukkan isi pesan itu pada mertuanya yang mukanya langsung berubah menjadi panik. Ketiga perempuan beda usia itu bergegas pergi dari rumah Dea. Pasalnya, Juragan Handi mengatakan jika ia sudah ada di rumah mereka saat ini dan hendak bertemu mereka, terutama dengan Bu Maisarah. “Duh, apalagi yang diinginkan Juragan Handi kali ini? Setiap dia mau datang pasti bikin kita gak tenang,” keluh Raisa saat mereka sudah ada di dalam mobil. “Apalagi kalau bukan tentang Dea. Anak itu sok suci banget, zaman sekarang masih mau hidup susah dan gak mau hidup santai dengan banyak harta. Emang apa salahnya jadi istri ketiga kalau hidup kita bergelimang harta,” gerutu Siska dengan menyalahkan Dea. “Diam kamu, Siska! Jangan bikin kepala saya bertambah pusing dengan semua ocehanmu itu!” bentak Bu Maisarah dengan kesal pada menantu pertamanya itu. Siska diam dengan muka merenggut kesal dan sepanjang perjalanan ke rumah ketiganya tidak ada yang membuka suara karena sibuk dengan pikiran masing-masing. Bu Maisarah memasang wajah ramah saat keluar mobil menghampiri Juragan Handi yang duduk di kursi teras dengan muka angkuhnya. “Mari Juragan kita masuk! Maaf jika Juragan kelamaan menunggu kami karena saya dan anak-anak baru saja pulang dari rumah Dea,” ucap Bu Maisarah dengan mulutnya yang manis dan tersenyum palsu. “Oh, jadi kalian semua dari sana. Bagaimana? Apa putrimu mau menikah denganku? Atau ia masih menolak karena tidak mau meninggalkan laki-laki miskin tukang sayur itu,” sahut Juragan Handi santai dengan langsung mencerca Bu Maisarah dengan berbagai dugaan. Bu Maisarah menunduk diam karena bingung mau menjawab apa dan alasan apa pada laki-laki seumuran suaminya itu. Diamnya Bu Maisarah membuat dugaan Juragan Handi semakin kuat sehingga pria paruh baya itu menatapnya dengan tatapan tajam. “Ingat, Bu Maisarah, janji Anda setengah tahun yang lalu. Saya tidak suka pembohong dan orang yang suka ingkar janji. Sekali Anda berjanji, seumur hidup akan saya tagih sampai janji itu Anda tepati,” kata Juragan Handi dengan tajam. Bu Maisarah hanya menelan ludah dengan gugup. “Apalagi, saya sudah memberikan banyak bantuan atas jabatan yang saat ini dipegang oleh anak Anda, Ghufron!” lanjut Juragan Handi dengan nada mengancam. “Dana bantuan pilkada Ghufron bukanlah uang yang sedikit, Maisarah! Jangan sampai saya menagih bantuan yang saya berikan dengan ganti rugi lima kali lipat dari bantuan awal saya! Pikirkan semua itu karena saya akan memberikan Anda keringanan waktu selama enam bulan ke depan. Saya pamit dulu.” Raisa dan Siska yang ada di sana tidak mampu untuk bersuara karena takut dengan sosok Juragan Handi yang terlihat begitu menakutkan di mata mereka. Bu Maisarah langsung lesu dan lemas begitu Juragan Handi pergi dari rumah mereka. Ia sangat takut dengan ancaman pria tua itu karena ia tidak mau anak keduanya, Ghufron, kehilangan jabatannya karena ia gagal memberikan Dea pada pria tua itu. “Bu, bagaimana ini? Apa yang harus kita lakukan sekarang? Uang dari mana untuk mengembalikan uang Juragan Handi dalam pilkada Bang Ghufron?” rengek Raisa dengan wajah gelisah pada Maisarah mertuanya. “Gak, Ghufron tidak boleh berakhir hanya karena anak itu! Apapun akan saya lakukan agar Ghufron tetap berada diposisinya sebagai wakil Bupati,” batin Bu Maisarah dengan niat yang kuat. Bersambung...Begitu melihat anaknya datang, Maisarah langsung duduk dilantai sambil menangis kejer dengan menunjuk-nunjuk pria dan wanita yang mengaku pemilik baru rumah mereka. "Nak, mereka itu komplotan penipu! Mereka mau mengambil rumah kita, dan mengusir kita secara paksa! Suruh mereka pergi, Haidar! Usir mereka dari rumah kita! Rumah kita!" teriak Maisarah dengan memukuli pahanya agar semakin terlihat dramatis. Haidar terkejut mendengarnya, ia bergegas mendekati mereka terutama ibunya yang masih melakoni drama orang yang teraniaya. Pria itu membantu ibunya berdiri dan berhadapan langsung dengan perempuan yang ditunjuk ibunya sebagai seorang penipu. "Saya lihat kamu bukanlah laki-laki yang berpikiran sempit seperti ibu kamu ini! Ini adalah bukti jual beli yang mana saya membeli rumah ini dari pemilik asli sertifikat rumah ini!" ucap wanita itu sambil memperlihatkan kertas kuwitansi pembelian rumah. Haidar mengambil kertas tersebut dan membacanya dengan saksama. Pria itu memejamkan matan
"Tapi, kenapa Ibu juga berbeda perlakuannya pada Alatas, yang lahir dari pernikahannya dengan Ayah mertua?" tanya Siska lagi dengan heran. "Hidup Ibu kan sudah tidak menderita lagi sejak menjadi istri Ayah mertua, tapi kenapa ia juga membedakan kasih sayangnya pada Alatas yang notabene anak kandungnya dengan Ayah mertua?" lanjutnya lagi bertanya pada Haidar. "Aku juga tidak tahu! Hanya saja aku pernah dengar kalau Alatas anak yang sengaja ia kandung agar Ayah Wirata menikahinya! Dan aku mendengar itu semua waktu lulus SMA tanpa disengaja," jawab Haidar dengan nada suara yang tidak bersemangat. Siska membuang kasar napasnya begitu mendengar jawaban dari rasa penasarannya tadi. "Ya sudahlah, Bang! Sekarang hidup kita berdua tergantung sama Abang! Aku memang perempuan yang serakah dan hanya mementingkan diri sendiri, tapi aku bukan wanita yang dengan gampang berpaling hanya karena Abang hidup susah! Asalkan Abang masih mau bekerja memberikan aku nafkah dan tidak selingkuh, aku
"Lancang kamu Haidar!" teriak Maisarah yang sudah dikuasai api amarah saat mendengar protes anak pertamanya itu. Wanita paruh baya yang sudah dipenuhi emosi itu langsung mengayunkan tangan kanannya ke pipi Haidar dengan begitu keras sehingga membuat wajah Haidar tertoleh ke samping. "Ibu," cicit Haidar dengan wajah syok melihat ibunya dengan tega menampar nya dengan sangat keras. Napas Maisarah tersengal-sengal setelah melayangkan tangannya ke pipi Haidar, rasa puas menyelimuti hatinya karena berhasil melampiaskan amarahnya pada Haidar. Haidar kembali menitikkan air mata saat matanya menatap dalam mata Maisarah yang tidak sedikitpun menunjukkan penyesalan karena sudah menampar nya. Siska juga terkejut melihat suaminya di tampar oleh ibu kandungnya sendiri hanya karena protes atas ketidakadilan yang diterimanya selama ini. Ia sungguh tidak menyangka jika mertuanya begitu mengagungkan Ghufron sampai sebegitunya, dan tidak peduli dengan anak pertamanya yang selama ini selal
Alatas berniat membuntuti Haidar pulang, akan tetapi panggilan telepon dari ayahnya membuat ia mengurungkan niatnya tersebut. "Iya, Yah! Al pulang sekarang!" jawab Alatas dengan patuh dan menutup panggilan tersebut sambil bergegas menuju motornya di parkiran. "Kira-kira ada hal apa ya, sampai Ayah ngotot banget mau aku pulang cepat? Dari nada suaranya terdengar seperti ada masalah besar," gumamnya sambil memasang helm.Alatas pun menghidupkan motornya, lalu melesat cepat meninggalkan parkiran menuju tempat tinggalnya bersama sang ayah saat ini.Sementara itu, Haidar kembali ke rumah dengan hati kesal karena tidak mendapatkan apa yang sudah ia rencanakan."Gimana, Bang?" tanya Siska saat menyambut kepulangan Haidar yang memasang wajah lesu dan lecek."Iya, Dar! Apa yang dikatakan anak itu? Apa kamu berhasil membuatnya mengatakan dimana Dea sekarang?" cerca Maisarah ikutan bertanya dengan tidak sabaran.Kepala Haidar langsung pusing mendengar pertanyaan beruntun Ibu dan istrinya. R
"Panggil saya Kaisar saja, Om! Rasanya gak enak didengar kalau Om panggil saya terlalu hormat begitu," ucap Kaisar dengan muka yang tetap datar. "Tapi...," bantahan Fajar terhenti saat Kaisar menaikkan tangannya pertanda kode jika ia memang tidak menginginkan panggilan tersebut. Fajar menghela napas pasrah seraya berkata," Oke lah, karena mungkin usia kita hanya selisih beberapa tahun, saya panggil kamu Kaisar saja dan kamu panggil saya Abang! Saya juga gak tua-tua amat di panggil Om, kecuali untuk Dea dan Alatas." Kaisar mengangguk tanda setuju, Pandangan Kaisar kembali pada Wirata yang terlihat melamun seperti memikirkan sesuatu. "Kaisar, kapan orang-orangmu bisa melakukan yang kamu bilang tadi? Abang rencananya mau mendaftar gugatan cerai Bang Wira besok pagi, karena hari ini mau melengkapi syarat-syaratnya dulu," tanya Fajar dengan nada suara tidak terlalu kencang. "Kapan Abang mau! Sepulang dari sini aku akan menghubungi mereka untuk bersiap-siap! Ini kartu namaku, dan
"Om, bukannya mau menyembunyikannya, tapi aku gak mau Om menjadi emosi saat bertemu wanita itu! Yang jelas, kedua orang itu masih dalam kondisi aman!" jawab Kaisar dengan segala pertimbangannya. Wirata terdiam, menimbang baik buruknya jika ia bertemu dengan orang yang membuat anaknya menderita. "Om, Saat ini ada hal yang lebih penting dari wanita itu yaitu keadaan Dea," ucap Kaisar lagi agar membuka pikiran Wirata. "Dea? Apa yang terjadi sama Dea? Apa Dea baik-baik saja?" tanya Wirata dengan nada suara yang terdengar kencang dan wajah khawatir. "Tenang, Bang! Biarkan Tuan muda bicara dulu," ujar Fajar dengan menepuk pelan punggung tangan Wirata untuk menenangkan pria baya itu. "Dea dirawat di rumah sakit sekarang ini Om! Kita punya kabar baik dan kabar buruk untuk Om, dan aku harap Om tidak lagi mengurus masalah wanita jahat itu selain memikirkan Dea," ucapnya lagi yang membuat Wirata semakin terlihat tidak sabaran. "Katakan saja kabar baik dan buruknya! Jangan buat Om b







