Tok...Tok...Tok Pintu ruang presdir diketuk dari luar, sehingga Kaisar yang asyik berkutat dengan tumpukan berkas-berkas langsung mengangkat wajahnya. “Masuk!” perintahnya dengan suara berat dan dingin. Kaisar kembali sibuk dan tidak peduli dengan siapa yang mengetuk pintu ruangannya. Pasalnya di lantai ini hanya ada satu ruangan yaitu ruangan khusus Presiden Direktur yaitu milik Papinya yang diwariskan pada Keenan sang adik bungsu. Berhubung karena Keenan tidak bisa melakukan tanggung jawabnya, maka hal ini dilimpahkan pada Kaisar selaku wakil presdir karena Kaisar juga sibuk mengurus bisnisnya yang sudah ia jalankan sejak masih kuliah. “Sibuk banget ya, Bang?” tanya seseorang yang sangat ia kenal suaranya. “Sudah datang? Duduk!” sahut Kaisar sambil memerintahkan orang itu untuk duduk. “Ck, kaku bener jadi orang, gak ada basa basi tanyai adiknya capek gak? Atau sudah makan gak?” sungut Saloka ngomel-ngomel sambil melepaskan tas ransel di punggungnya. Ia lalu
Dokter Ana menggigit bibirnya karena bingung mau bicara apa terkait tawaran tersebut. Genta yang juga mendengar ucapan Keenan berdiri dari duduknya menghampiri mereka yang masih berdiri di ambang pintu. “An, bicarakan di dalam saja! Tunda dulu ke hotelnya,” pinta Genta sambil menarik lengan baju Ana untuk kembali duduk. Avin mendorong kakaknya juga untuk masuk. Ia meninggalkan mereka sejenak dan melihat keadaan istrinya apakah masih tidur atau sudah bangun. Tirai pembatas masih ia tutup saat melihat istrinya masih tidur dengan napas yang teratur. Setelah memastikan istrinya masih tidur, Avin kembali menghampiri semua orang guna membicarakan masalah tempat tinggal dokter Ana tadi. “Bagaimana Dok? Masih bingung mau terima atau menolak kesempatan ini?” tanya Avin lagi sambil duduk di samping kakaknya. “Katakan saja apa yang ingin kamu katakan, Na. Jika kamu menolak, mereka juga tidak memaksa. Jika kamu menerimanya, otomatis pekerjaan kamu dalam merawat Dea tidak akan
Alatas menarik Maisarah sehingga wanita paruh baya itu duduk di kursi dan Alatas duduk dilantai dengan tangannya yang tidak melepaskan genggaman pada tangan keriput Maisarah. “Apa yang terjadi, Bu? Kenapa Ibu bisa dirawat di rumah sakit? Kenapa kalian tidak memberitahuku? Apa aku bukan anak dan adik di rumah ini?” cecar Alatas. “Kenapa kalian tega padaku? Aku tidak bisa tidur selama dua hari ini karena mencari Ayah, dan ketika ibuku sakit, tidak ada yang berniat untuk memberitahuku?” lanjutnya lagi sambil menangis dengan memegang tangan Maisarah. Tanpa Maisarah sadari, tangan kiri Alatas mencubit pahanya sendiri agar ia bisa menitikkan air mata dengan alami tanpa berpura-pura menangis. Suara tangisan Alatas membuat anak menantu Maisarah keluar dari ruang makan dan mendapati mereka berdua di ruang tamu, termasuk Haidar yang masih cuti satu hari lagi. Mulut Haidar bahkan tidak dilap, sehingga sisa-sisa makanan masih menempel di sekitar bibir pria itu, membuat Alatas jijik dala
Avin memandang lama kakak keduanya, Kaivan, sehingga pria itu balik menoleh dengan kening berkerut seakan-akan bertanya ada apa. Avin mendengkus ketus dengan sikap tidak peka sang kakak. Ia malah semakin lebar membuka matanya, melotot pada pria itu dengan terang-terangan. “Hei, adik durhaka! Beraninya kau melotot padaku seperti itu!” geram Kaivan dengan gerakan hendak memukul adiknya itu. Interaksi keduanya dilihat Genta dan Ana sambil saling berpandangan satu sama lain dengan wajah bingung. “Mas Gen, dokter Ana, kalian tunggu di sini sebentar! Tolong awasi jika istriku terbangun,” ucap Avin dengan langsung menarik tangan kakaknya keluar dari kamar rawat sang istri. Ia bahkan tidak membiarkan kedua orang itu untuk membalas ucapannya, dengan buru-buru keluar sambil membawa kakaknya yang menyedihkan ini. “Keenan kampret! Lepaskan tanganku!” teriak Kaivan dengan kesal karena lengannya mati rasa dipegang kuat oleh adiknya itu. Pria itu benar-benar tidak menyangka jika adikny
Avin baru saja keluar dari kantin rumah sakit untuk membeli makanan untuk dirinya di saat Dea masih tidur. Ia berlari ke Poli anak saat dihubungi sang Mami kalau mereka membawa Audrey ke dokter anak di rumah sakit yang sama. Mami Berliana membawa cucunya hanya bersama Papi Satya dan Warti sang pengasuh Audrey. Meskipun demamnya sudah reda, si mungil montok itu masih terus menangis meskipun sempat tertidur karena kelelahan menangis. Kasihan melihat cucunya begitu menderita, pasangan suami istri itu langsung membawa si kecil ke dokter anak di rumah sakit milik mereka. Avin melihat papinya berdiri di luar ruang praktik dokter anak dengan mondar-mandir sendirian. “Pi, mana Mami? Apa yang terjadi sama Audrey, Pi? Demamnya gak turun-turun ya?” cecar Avin menanyai papinya dengan wajah cemas dan panik. Makanan yang ia beli masih dipegangnya dan belum sempat makan karena keburu mendapatkan kabar sang anak. “Mami kamu masih di dalam sama Warti, Audrey sudah turun demamnya, tapi kare
Tanpa Alatas lihat, kilatan penuh kebencian muncul dimata Tuan Wirata saat putra bungsunya menanyakan hal yang tidak ingin ia ungkit dan ia ingat. Kedua tangan yang mulai berkerut karena usia terkepal erat di balik selimut dengan kepala sedikit menunduk. Alatas yang merasa pertanyaannya tidak kunjung dijawab sang Ayah, langsung memutar lehernya menoleh ke arah sang Ayah. “Ayah, kenapa diam? Apa pertanyaanku tadi salah?” tanya Alatas membangunkan Tuan Wirata dari lamunannya. Sorot mata kebencian itu lenyap seketika saat Tuan Wirata mengangkat mukanya menatap lembut wajah sang anak. “Tidak, hanya saja Ayah sedikit lupa apa yang terjadi saat itu. Ayah tadi berusaha mengingatnya, tapi semuanya samar-samar dalam ingatan Ayah,” jawab Tuan Wirata. “Hmm, mungkin saja itu karena Ayah sudah terlalu lama tidur, jadi alam bawah sadar Ayah juga ikutan tidur sehingga ingatan Ayah terpecah belah,” sahut Alatas dengan gaya sok tahu. “Ya, mungkin benar yang kau katakan,” balas Tuan Wirat