Ia terbaring di atas ranjang besar dengan tirai sutra yang menjuntai lembut di sekelilingnya. Cahaya temaram lilin berpendar samar, menciptakan bayangan-bayangan halus di dinding berukir indah. Udara di ruangan itu terasa hangat, dipenuhi aroma samar dupa yang membuai.
Namun yang paling mengejutkan bukanlah kemewahan ruangan itu.
Melainkan tubuh pria yang tengah mendekapnya erat.
Kaisar.
Arcelia menelan ludahnya, jantungnya berdetak lebih cepat saat menyadari dirinya terjebak dalam pelukan pria itu—pria yang kini menjadi suaminya, Kaisar Azrael. ‘Oh tidak, begini rasanya dipeluk dengan penuh minat!’
Dada bidangnya yang telanjang terasa begitu hangat di kulitnya, keras dan kuat, seakan tubuh itu terbuat dari batu. Nafasnya yang dalam dan teratur terdengar di dekat telinganya, menghembuskan udara hangat ke lehernya, membuatnya menggigil tanpa sebab.
Jemari Arcelia tanpa sadar terangkat, menyentuh dada pria itu dengan hati-hati.
Keras.
Hangat.
Kuat.
Ia menelan ludah sekali lagi, lalu dengan berani menggerakkan jemarinya, mengikuti lekukan otot-ototnya yang begitu sempurna. Ia nyaris tak bisa mempercayai betapa sempurnanya sosok pria ini—seperti dewa perang yang turun dari langit, memiliki tubuh yang diciptakan untuk mendominasi dan melindungi.
Tanpa sadar, senyum kecil muncul di wajahnya.
Seumur hidupnya, ia tidak pernah berada sedekat ini dengan seorang pria. Ia bahkan tidak pernah membayangkan dirinya akan berada dalam situasi seperti ini—berbagi ranjang dengan seorang Kaisar, dalam kehangatan yang begitu nyata.
Namun, senyuman itu lenyap seketika ketika suara berat dan dalam terdengar di telinganya.
“Kau sedang apa?”
Arcelia membeku.
Dengan panik, ia mengangkat wajahnya dan mendapati sepasang mata merah pekat milik Kaisar menatapnya dengan sorot tajam.
Dingin. Dalam. Menghanyutkan.
Seperti bara api yang tersembunyi di balik lapisan es, penuh dengan sesuatu yang tidak bisa ia pahami.
“Uh… aku…” Suaranya tercekat, bibirnya sedikit gemetar.
Tatapan itu seolah menelanjangi pikirannya, membuatnya merasa seakan telah tertangkap basah melakukan sesuatu yang terlarang.
Namun alih-alih menjauh, Kaisar justru menariknya lebih dekat. Satu lengannya yang kuat melingkari pinggangnya dengan mudah, sementara tangannya yang besar menyentuh punggungnya, menahannya dalam genggaman yang tak mungkin ia hindari.
Arcelia terperangkap.
Dan yang lebih parah lagi… ia tidak tahu apakah ia ingin melarikan diri atau tetap di sana, dalam kehangatan pria ini. Dia ingin meraba jantungnya yang terasa ingin melompat dari rongga dadanya saat ini.
"Mm...Kaisar, aku sangat mengagumimu" sebenarnya itu yang terjadi ucap sang Ratu lembut, Arcelia melihat senyum tipis di wajah sang kaisar walau sebentar. Sangat jujur. Polos.
"begitu?" tanya kaisar pelan. "Tapi aku melihat seperti ada yang mengusik pikiranmu?" tanya Kaisar.
"Kamu benar kaisar, aku seperti bermimpi melihat pamanku yang lumpuh, dia sedang sedih tapi berdoa sambil menangis untukku" jawab sang Ratu.
Kaisar berusaha membaca hati Arcelia.. Ia mengangkat tangannya, jemarinya yang besar dan kuat menyentuh rambut Arcelia, membelainya dengan lembut seakan tengah menenangkan kegelisahan yang membebani sang Ratu.
“Kamu menyayanginya?” tanya Kaisar pelan, suaranya serak namun penuh pengertian.
Arcelia mengangguk perlahan. “Iya… sangat. Di dunia ini hanya dia yang peduli padaku.”
Kaisar terdiam sejenak, menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ada sesuatu dalam sorot matanya—sesuatu yang lebih dari sekadar ketertarikan. Mungkin, untuk pertama kalinya, ia benar-benar mencoba memahami perempuan di hadapannya.
“Kamu bisa turun ke dunia manusia saat purnama api,” ujar Kaisar akhirnya, suaranya terdengar seperti titah yang tak bisa diganggu gugat. “Tapi tidak bisa lama. Saat ada lolongan serigala, itu pertanda bahwa gerbang antara dunia kita akan ditutup. Kamu harus kembali sebelum itu terjadi.”
Arcelia menatapnya, sedikit terkejut dengan kebijaksanaan yang baru ia dengar. “Kenapa?” tanyanya pelan.
Kaisar menghela napas ringan, satu tangannya masih bermain di helai rambutnya. “Karena kamu adalah Ratu di dunia kami,” jawabnya. “Jika kamu terlalu lama berada di dunia manusia, keseimbangan akan terganggu. Dunia mereka bisa hancur.”
Arcelia merasakan sesuatu mencengkeram hatinya—perasaan yang tidak ia pahami sepenuhnya. Ia ingin bertemu dengan pamannya, ingin meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja. Tapi di saat yang sama, ia sadar bahwa dirinya bukan manusia biasa lagi. Ada beban besar yang kini berada di pundaknya.
“Jadi… aku tidak bisa kembali selamanya?” bisiknya lirih.
Kaisar menatapnya dalam-dalam sebelum akhirnya menjawab, “Tidak, Arcelia. Takdirmu ada di sini, bersamaku. Setelah ritual di Purnama Api pertamamu, kamu akan mengerti keberadaanmu,”
Keheningan menyelimuti mereka. Dalam kehangatan pelukan Kaisar, Arcelia merasakan dua hal yang bertolak belakang—rasa kehilangan atas masa lalunya, dan rasa aman yang perlahan-lahan mulai tumbuh di dunia barunya.
“Dengan dirimu sekarang,” lanjut Kaisar, “kamu bisa mengobatinya.”
Arcelia membeku. Matanya membelalak sedikit, menatap kosong ke arah dadanya sendiri seolah baru saja mendengar sesuatu yang mustahil.
“Apa… maksudmu?” bisiknya.
Kaisar menurunkan kepalanya sedikit, sehingga bibirnya hampir menyentuh ubun-ubun Arcelia. “Kau bukan manusia biasa lagi, Arcelia. Kau adalah Ratu di dunia ini. Dan seorang Ratu iblis memiliki kekuatan yang bisa melampaui batas manusia. Jika kau menginginkannya, kau bisa menyembuhkan pamanmu.”
Jantung Arcelia berdegup lebih cepat. Seumur hidupnya, ia selalu merasa tak berdaya, selalu menjadi korban keadaan. Tapi sekarang… Kaisar mengatakan bahwa ia memiliki kekuatan? Bahwa ia bisa menyembuhkan satu-satunya orang yang peduli padanya?
Tangannya mengepal di dada Kaisar. Ini terlalu besar untuk dipahami dalam satu malam.
“Kaisar,” ucapnya pelan, “bolehkah aku bertanya sesuatu?
Kaisar menurunkan pandangannya, sorot merah matanya menatapnya dengan penuh perhatian. Jemari besarnya mulai bermain di bahu terbuka Arcelia, memberikan sensasi aneh yang membuat napasnya sedikit tersendat.
“Tentu, Ratuku,” jawabnya, suara beratnya terdengar menggema di udara yang hening.
Arcelia menatap mata Kaisar dalam-dalam. Ada satu pertanyaan yang sejak awal menghantuinya, sesuatu yang tidak bisa ia abaikan begitu saja.
“Kenapa kalian memilih aku?”
Kaisar tersenyum tipis—senyum yang jarang sekali muncul di wajahnya. Jemarinya terus menelusuri kulit bahu Arcelia, menciptakan percikan perasaan yang sulit dijelaskan.
“Karena itu yang tertulis di kitab kuno,” jawabnya akhirnya, suaranya terdengar seperti bisikan yang datang dari masa lalu. “Untuk kelangsungan kerajaan iblis. Keseimbangan dua dunia,”
Arcelia terdiam. Jawaban itu tidak terlalu jelas, tapi ia bisa merasakan bahwa ada banyak hal yang belum dikatakan Kaisar.
Namun, ia tidak ingin bertanya lebih jauh, tidak sekarang.
Untuk saat ini, informasi itu sudah cukup.
“Baiklah,” bisiknya, “aku mengerti.”
Dan di bawah cahaya temaram kamar pengantin, di dalam dekapan seorang Kaisar yang tidak pernah ia bayangkan akan menjadi suaminya, Arcelia menutup matanya—membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan yang mungkin perlahan mulai ia terima.
---
Arcelia merasakan sesuatu yang hangat menyentuh bibirnya. Lembut, namun memiliki ketegasan yang tak terbantahkan. Sentuhan itu membangunkannya perlahan dari tidurnya yang lelap, membawa kembali ingatan samar tentang malam yang panjang—malam penuh bisikan, sentuhan, dan debaran yang masih ia rasakan di tubuhnya.
Matanya mengerjap perlahan, dan hal pertama yang ia lihat adalah wajah Kaisar Azrael yang begitu dekat, menatapnya dengan sorot mata merah yang dalam.
“Bangunlah, Ratuku,” bisiknya tepat di telinganya, suaranya begitu rendah dan dalam hingga mengirimkan getaran halus ke seluruh tubuh Arcelia.
Jantungnya langsung berpacu lebih cepat.
Seketika, kesadaran penuh menghantamnya. Ia ingat segalanya. Malam yang panas, keintiman yang membuatnya kewalahan, dan bagaimana tubuhnya seakan tenggelam dalam kekuatan pria ini.
Pipinya langsung memanas.
“Ka-Kaisar…” suaranya bergetar, hampir tidak berani menatap pria yang kini tengah menunggunya dengan ekspresi tenang namun berbahaya itu.
Kaisar tersenyum tipis melihat wajahnya yang merona. “Pelayan sudah menyiapkan air mandi,” ujarnya santai, tangannya mengelus rambut Arcelia yang masih kusut setelah malam panjang itu.
Arcelia mengangguk kecil, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih belum normal. Namun, sebelum ia sempat bergerak, Kaisar melanjutkan,
“Untuk kita berdua.”
Deg.
Arcelia membeku.
Jantungnya, yang tadi sudah berdetak cepat, kini seolah berhenti sejenak. “Kita… berdua?” ulangnya dengan suara hampir berbisik.
Kaisar mengangguk tanpa sedikit pun ragu. “Tentu saja. Kau adalah Ratu iblis, Arcelia. Ritual malam pengantin kita belum selesai.”
Arcelia menelan ludah. Belum selesai?
“Kita akan melakukannya selama tujuh malam berturut-turut.”
Tatapan Kaisar yang tajam membuatnya sulit untuk bernapas. Ia tidak bercanda.
Arcelia hampir tidak bisa memproses kata-kata itu saat Kaisar menariknya dengan mudah ke dalam pelukannya, mengangkatnya seolah tubuhnya tak memiliki berat sama sekali.
Sebelum ia sempat membantah, tubuhnya sudah berada dalam dekapan pria itu, menuju tempat yang ia tahu pasti akan membuat wajahnya semakin panas—pemandian kerajaan.
---
Kolam air itu memancarkan aura megah sekaligus misterius.
Arcelia berdiri kaku di tepi kolam, jari-jarinya saling mencengkeram erat.
Sementara itu, Kaisar sudah lebih dulu masuk ke dalam air, tubuhnya yang kuat dan berotot tampak semakin mengintimidasi di bawah cahaya lilin yang redup. Rambut peraknya yang sedikit basah membuatnya terlihat semakin tak nyata—bagaikan makhluk yang diciptakan hanya untuk menggoda dan menghancurkan ketahanan dirinya.
“Masuklah,” suara Kaisar terdengar santai, namun memiliki nada perintah yang tak bisa dibantah.
Arcelia menggigit bibirnya. “Aku… aku bisa sendiri…”
Kaisar menatapnya dengan satu alis terangkat. “Kau yakin?” tanyanya pelan, namun ada sesuatu di balik suaranya yang membuat Arcelia berpikir dua kali.
Tentu saja ia tidak yakin. Bahkan berdiri pun rasanya sulit setelah malam yang panjang itu.
Mata Kaisar menyipit sedikit, lalu tanpa peringatan, ia mengulurkan tangan dan menarik Arcelia ke dalam air.
“Ahh—!” Arcelia tersentak ketika tubuhnya jatuh ke dalam dekapan Kaisar, air hangat menyelimuti kulitnya, namun yang lebih ia rasakan adalah tubuh keras yang kini begitu dekat dengannya.
Kaisar menahannya erat, memastikan ia tidak bisa bergerak ke mana pun. “Kau terlalu kaku, Ratuku,” gumamnya, tangannya bergerak ke bahu Arcelia, mulai memijatnya dengan tekanan yang pas. “Tubuhmu harus rileks.”
Arcelia berusaha mengatur nafasnya, tapi sulit ketika ia bisa merasakan setiap inci tubuh pria ini begitu dekat dengannya.
Namun, sentuhan tangannya di kulitnya begitu nyaman, begitu… membuatnya kehilangan pertahanan.
“Kau harus mengembalikan elastisitas tubuhmu, khususnya bagian intimu itu dengan berendam semua akan kembali seperti semula,” ujar kaisar, suaranya sedikit lebih lembut, namun tetap memiliki nada yang membuat Arcelia tak bisa mengabaikan maknanya. “Karena malam-malam kita masih panjang.”
Arcelia hanya bisa memejamkan matanya. Ia tahu, bahwa dirinya tidak akan bisa memenangkan pertarungan ini melawan Kaisar. Karena Kaisar terlalu kuat dan perkasa dan sang Ratu mulai candu.
Malam pengantin mereka baru saja dimulai.
Malam di dunia bawah tak lagi kelam. Langitnya tidak sepenuhnya gelap, tapi dihiasi garis-garis cahaya lembut seperti tenunan perak yang ditarik dari bintang-bintang tua. Dan di balkon tertinggi istana, di antara angin hangat dan harum bunga Aetheris yang mekar malam hari, Arcelia berdiri dalam diam.Rambutnya tergerai, jatuh lembut di punggung. Kain tipis tidurnya menari perlahan diterpa angin. Di tangannya, sebuah cangkir teh herbal yang masih mengepulkan uap pelan.Tapi bukan teh itu yang membuat jantungnya tenang. Melainkan langkah kaki yang ia kenali sejak dulu. Langkah yang bahkan dalam kehidupan sebelumnya… telah menggetarkan relung jiwanya.Azrael datang dari belakang. Tak berkata apa-apa. Ia hanya memeluknya dari belakang, seperti biasa.“Kau mencariku, Kaisar?” gumam Arcelia tanpa menoleh.“Aku tidak pernah berhenti.” Suara Azrael serak, namun tenang.“Bahkan ketika waktu membelah kita. Bahkan ketika dunia memaksa kita lupa. Hatiku... tetap mencari napasmu.”Arcelia menu
Hari itu, langit dunia bawah cerah. Tidak seperti biasanya.Bukan karena warna. Tapi karena suasana.Karena tidak semua cahaya berasal dari matahari.Beberapa berasal dari rumah. Dari ruang makan kecil. Dari suara tawa yang muncul tanpa dipaksa.Arcelia sedang memangku Caelion di teras istana. Kain hangat membungkus tubuh kecil itu, sementara Azrael duduk tak jauh, membaca gulungan kuno dengan mata yang tetap awas mengawasi keduanya.Di tengah kebiasaan sederhana itu, dunia terasa lengkap.Namun jauh di balik tawa lembut dan udara manis itu…dunia tak tidur.Dan Arcelia tahu.Ia bisa merasakannya dalam detak hati yang tiba-tiba tak serasi dengan alunan waktu.Dalam mimpi-mimpi aneh yang menyelinap seperti bayangan samar.Dalam keheningan yang terlalu panjang… bahkan untuk dunia bawah.Elder Daemon tidak mati.Mereka hanya berganti bentuk.Bukan menjadi monster.Bukan menjadi kabut berduri atau sosok bermahkota api.Tapi menjadi rasa.Mereka adalah keraguan dalam hati istri yang lelah
Waktu berjalan berbeda di dunia bawah.Di antara rerimbun kristal hitam dan udara hangat yang mengalir dari inti bumi, Arcelia belajar kembali… menjadi ibu.Ia tidak memakai jubah kebesaran hari itu. Tak ada hiasan mahkota atau batu sihir di dahinya. Ia hanya mengenakan kain lembut berwarna kelabu pucat, rambutnya disanggul sederhana, dan di pelukannya, Caelion tertidur dengan napas damai.Azrael memperhatikannya dari balik tirai tipis ruang keluarga yang menghadap ke taman bawah tanah. Ratu yang dulu berdiri di medan perang dengan tatapan membakar kini duduk di atas permadani empuk, membacakan kisah kuno pada anaknya dengan suara seperti aliran sungai kecil.“Dulu ada seorang bayi,” ucap Arcelia pelan, membelai rambut Caelion, “yang lahir bukan dari rahim yang sempurna, tapi dari doa-doa yang terluka…”Azrael tersenyum tipis. Ia tahu cerita itu adalah kisahnya.Bukan hanya tentang Caelion, tapi tentang dirinya, tentang Arcelia, tentang setiap jiwa yang pernah nyaris tenggelam tapi ak
Gerbang sihir di langit dunia bawah terbuka perlahan, disertai desiran angin yang mengusik pilar-pilar batu. Awan hitam yang biasanya bergulung tenang seperti bergetar—menyambut kehadiran seorang yang tak hanya membawa tubuh… tapi juga nyawa-nyawa yang kembali menemukan harapan.Arcelia melangkah melewati celah itu.Langkahnya tenang. Bajunya tak semegah biasanya. Rambutnya sedikit berantakan oleh angin dunia fana. Tapi di matanya… ada cahaya yang tidak bisa dibeli oleh ribuan musim perang.Di tangannya, sebuah bunga liar tergenggam.Bunga yang mekar di tanah yang hancur.Dan ketika ia menuruni tangga altar, Azrael sudah berdiri menunggunya.Tak ada mahkota di kepala Kaisar Iblis itu hari ini. Tak ada jubah hitam panjang.Hanya seorang pria. Seorang suami.Yang merindukan istrinya.Caelion berlari lebih dulu dengan tertawa kecil, tangannya terjulur, mata bayinya yang bersinar menyala lebih terang dari biasanya.“Sayangku…” bisik Arcelia, menekuk lutut, memeluk sang bayi dengan kedua l
Langit di atas istana Eden tampak pucat. Bukan karena fajar—melainkan karena medan energi yang mulai berubah. Ujung-ujung sihir kegelapan mulai goyah oleh gelombang kecil dari dalam: suara-suara hati yang kembali mengenal nurani.Isara berdiri di pelataran belakang istana. Rambutnya dikepang sederhana. Pakaian lusuh sengaja ia kenakan untuk menyatu dengan para pelayan. Tak ada yang tahu bahwa gadis ini pernah duduk di hadapan Ratu Dunia Bawah dan menerima misi cinta.Ia menggenggam kain lap di tangannya. Tapi bukan untuk mencuci, melainkan untuk menutupi luka di telapak tangannya—luka yang muncul setiap kali ia terlalu dalam menyalurkan energi penyembuhan.“Jangan bersinar terlalu terang,” bisik Isara kepada dirinya sendiri, “atau mereka akan mencium niatku.”Di lorong yang gelap dan sunyi, Isara bertemu dengan seorang penjaga tua yang menatapnya sekilas, lalu tersenyum samar.“Kau dari kelompok baru?” tanyanya pelan.Isara mengangguk. “Dari desa barat. Aku datang... karena tak punya
Istana itu tetap megah. Tak ada dinding yang retak. Tak ada pilar yang runtuh.Tapi jiwa Eden—untuk pertama kalinya dalam waktu yang tak bisa ia hitung—mengalami getaran yang tak ia kenali.Ia duduk di atas singgasananya. Tapi hari itu, sorot matanya tidak mengarah ke pelataran… melainkan ke perempuan-perempuan yang berdiri di sisi ruang tahta. Mereka tetap memakai topeng seperti biasa.Tapi bagi Eden… topeng-topeng itu kini terasa mengerikan.Bukan karena bentuknya.Tapi karena ia sadar, ia yang meminta mereka memakainya—agar ia tak perlu menatap mata mereka.Agar ia tak perlu melihat kemanusiaan yang ia buang.Salah satu dari mereka—seorang wanita berambut hitam panjang—tertatih memanggul kendi air. Tangan kirinya gemetar, ada bekas luka lama di pergelangan tangan yang belum sepenuhnya pulih.Eden menatapnya… lama.Dan untuk pertama kali sejak bertahun-tahun, ia tidak melihat “Persembahan.”Ia melihat seseorang.Seorang anak perempuan yang mungkin dulu memiliki nama.Yang mungkin du