Share

Bab 3. Diantar Suami

Terhitung sejak akad telah diucapkan, aku tahu kalau aku sudah berubah status menjadi istri seorang Haikal Malik Agustian.

Aku bukan lagi adik dari pria berpostur gagah dengan lesung pipi yang menghiasi wajahnya tersebut. Namun, meski begitu status tinggal status, rasanya tetap saja ada yang janggal.

Mas Haikal tetap tidak bisa bertindak selayaknya suami, begitu pun aku.

Semua itu terjadi karena bisa jadi Mas Haikal masih menganggap pernikahan itu nggak penting dan aku masih memiliki perasaan pada Randi.

Layaknya kutub utara dan selatan yang tolak menolak. Kami menjadi dua orang dewasa yang tengah berpura-pura bahagia di depan para sanak saudara dan orang tua tapi di belakang itu yang tersisa hanyalah ... dingin.

Aku yang berusaha bertahan karena balas budi dan dia yang bertahan karena kepatuhan. Kami memiliki alasan berbeda untuk tetap menjalani pernikahan ini tapi tak tahu sampai kapan bisa bersandiwara. Sebab, sampai sekarang pun aku dan Mas Haikal masih saling membatasi diri.

Aku bahkan tak berani membuka bajuku di depannya. Kami tidur sekamar tapi tak seranjang dan kami sudah sepakat jika nanti pindah ke apartemen, kehidupan kami akan tetap sama seperti kami sebelum menikah.

Hari ini hari pertama aku menjadi istri Mas Haikal. Selayaknya istri, walau tak dianggap aku membantu Bunda menyiapkan makan pagi untuk suamiku yang kabarnya akan pergi ke kantor terlebih dahulu sebelum kami pindah sore ini. Sambil menunggu Mas Haikal, aku juga berencana pergi dulu ke sekolah untuk menyerahkan hasil nilai ulangan anak-anak.

"Kal, ayo makan dulu!"

Suara Bunda membuatku yang sejak tadi merapikan meja makan terpaksa mendongak. Melihat Mas Haikal turun dari lantai dengan setelan kerjanya yang rapi, membuat aku tanpa sadar menahan napas sampai akhirnya dia menuju ke arah meja makan melintasiku.

Aku tegang menatapnya, dia enggan menatapku.

"Enggak Bun, Ikal udah telat. Nanti aja di kantor," jawabnya sambil tersenyum pada Bunda.

Harap digaris-bawahi bukan padaku. Bisa hujan gede kalau dia ramah saat ini.

"Oalah jangan gitu dong, itu lihat Ana udah capek-capek bikin nasi goreng kesukaanmu loh. Makan dulu, ya?" bujuk Bunda sambil melirikku yang membisu.

Aku menundukan kepala karena merasa kecewa. Waktu identitasku belum berubah, dia akan senang menyantap nasi goreng kampungku sampai lahap. Bahkan dia sempat memuji kalau seseorang yang menjadi suamiku pasti bahagia.

Terus, sekarang?

"Udah telat Bun, gak sempat," jawab Mas Haikal lagi-lagi menolak.

"Oh ya udah, kalau gitu Ana ikut nebeng sama kamu, ya?"

"Loh? Aku bareng sama Mas Haikal, Bun?" tanyaku langsung mengangkat kepala melihat Bunda.

Bisa kiamat kalau aku bareng sama Mas-ku yang jut-ek itu. Aku tahu adat Mas Haikal, dia itu orangnya kalau udah jutek tetap jut-ek, bisa-bisa aku sesak napas kalau satu mobil dengannya.

"Ya iyalah An, mau sama siapa lagi? Dia ini suamimu, kalian harus terbiasa gimana kalau Bunda udah gak ada? Nanti kalian ...."

"Oke, baik. Ana mau Bun, selama Mas Haikal nggak keberatan," potongku cepat sebelum Bunda mengadakan drama dadakan layaknya Ibu yang tersakiti. Terus pura-pura mengutuk walau akhirnya dia sendiri yang bingung.

Cape deh.

Bunda tersenyum sumringah tapi tak begitu dengan Mas Haikal.

"Haikal pasti gak keberatan dong. Iya kan, Kal?"

Diberi pertanyaan yang lebih mirip pernyataan tersebut, Mas Haikal hanya mengangguk sekali. Tanda persetujuan karena di bawah tekanan.

"Ya udah, ayo cepat ambil tasmu Ana! Mas tunggu di bawah," ujar Mas Haikal seraya memutar bola mata malas.

Kelihatan sekali kalau aku hanyalah beban untuknya. Padahal jika boleh jujur dan boleh memilih, lebih baik aku tak usah menikah saja kalau akhirnya jadi seperti ini.

"Eh, kok gitu Kal? Baik-baik dong sama bojomu. Caranya itu, hampiri Ana terus ajak dengan lembut. Genggam tangannya, kalian ini bukan musuh, toh?"

Aku terkejut mendengar Bunda menasehati anaknya sampai detail begitu. Darahku langsung berdesir sepanjang tubuh dan kurasa Mas Haikal juga merasa yang sama. Tapi, demi kesejahteraan telinga kami pura-pura tak ada apa-apa.

Sebagai anak laki-laki satu-satunya Mas Haikal memang penurut karena dia tahu dulu Bundanya hampir meninggal karena melahirkannya. Namun, aku tidak tahu sikap ini akan bertahan sampai berapa lama karena sekarang pun terlihat sekali dia mencoba mengendalikan egonya.

"Oh oke," jawab Mas Haikal akhirnya singkat seraya melangkah ke arahku.

Dia berhenti tepat di depanku dengan raut wajah yang dibuat tenang. Tatapan matanya yang menukik bagai elang membuatku takut ditelan bulat-bulat.

"Ayo, Ana istriku mari kita berangkat!" ajaknya dengan senyuman yang lebih mirip dengan seringai dibanding keramahan.

Tangannya yang putih terulur ke depan wajahku seolah menantang.

Ambil atau enyahlah!

Sadar kalau Mas Haikal udah kesal. Aku menelan ludah panik.

Sumpah detik ini, diri ini ingin sekali melarikan diri. Tapi, melihat Bunda yang mengulum senyum bahagia aku pun menganggukkan kepala.

"Ba-baik Mas, ayo!" jawabku sambil menyambut tangannya dan berdoa semoga aku selamat sampai ke sekolah.

Aku benar-benar takut dimutilasi olehnya di jalan karena melihat matanya yang dingin dan mematikan.

(***)

Sampai di sekolah aku bernapas lega. Untungnya, walau sepanjang jalan serasa berada di rumah hantu, horor dan menegangkan. Akhirnya dia memberhentikanku di tempat yang semestinya.

Mas Haikal tampak bingung ketika melihat sekolah tempatku mengajar. Tak heran sih, ini kali pertama Mas Haikal mengantarku, selama ini kan dia sibuk merantau hingga lupa punya adik yang sudah dewasa.

"Ini sekolahmu?" tanya Mas Haikal seraya mematikan mesin mobil dan membuka jendela.

"Bukan. Ini punya yayasan," jawabku.

Dia mengerang. "Iya saya tahu ini punya yayasan. Maksudnya kamu kerja di sini?"

Aku menahan tawa melihat ekspresinya yang lebih mirip orang nge-gas dibanding meralat.

Tahan ini ujian!

"Iya Mas. Makanya kalau udah di Malang itu inget pulang jangan keasyikan," celetukku keceplosan.

Sontak aku menutup mulut merasa kesal dengan ucapanku lalu menoleh ke arahnya yang sudah menyorotkan mata tajam padaku.

Aku tersenyum masam. "Eh, anu maksudnya nggak gitu ... maksudnya aku it--"

"Turun! Mobil saya jadi penuh gara-gara kamu!"

"Loh, penuh gimana? Luas gini kok," protesku bingung.

"Iya, penuh soalnya kamu ngabisin tempat," dalihnya seraya membuang muka.

As-ta-ga! Kejamnya no debat. Padahal aku hanya 50 kilo doang.

Apalah aku dibanding Hulk?

Pasrah. Aku pun akhirnya turun dari mobil tanpa berniat membalas lalu dengan perasaan gondok berjalan menuju kelas.

Eh, baru beberapa langkah dia manggil lagi.

"Ana! Tunggu!" teriaknya membahana sampai semua orang yang hadir di halaman sekolah saat itu memperhatikan.

Reflek aku berhenti dan gegas memutar tubuh.

"Apa lagi, Mas?" tanyaku malas.

Dia tersenyum licik sambil berlari ke arahku, saat itu kulihat beberapa guru perempuan sampai berhenti melihat kami.

Salah, bukan melihat kami tapi melihat Mas Haikal. Baiklah, dari dulu dia memang suka mencuri perhatian.

"Cium tangan dulu! Kalau jadi istri itu yang hormat sama suami, masa kayak gini aja diajarin? Nih!"

Di luar dugaan Mas Haikal malah menyodorkan tangannya, aku ingat dulu aku juga suka mencium punggung tangan itu tapi bukan sebagai istri.

Tahu kan sebagai apa? Hanya sebatas adik. A-D-I-K.

Aku menatap Mas Haikal penuh tanda tanya, rasa-rasanya ada yang salah dengan lelaki satu ini. Tapi, tiba-tiba aku tersenyum karena sebuah ide begitu saja melintas di kepalaku.

Kuraih saja tangan Mas Haikal dan kudekatkan ke bibirku tapi tak sampai seinci langsung kugigit saja punggung tangan Mas Haikal dan dia pun menjerit kesakitan.

"Aw! Ana?!"

"Tuh udah cium tangannya! Babay, Mas! Makasih udah dianterin!" teriakku seraya berlari meninggalkannya yang masih berteriak kesal.

Dan aku pun tertawa puas merasa berhasil membalas kejutekannya.

Skor sementara satu-satu. Tapi, kalau pulang nanti mungkin aku kalah telak.

Ah, apa aku nggak usah pulang aja?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status