Terhitung sejak akad telah diucapkan, aku tahu kalau aku sudah berubah status menjadi istri seorang Haikal Malik Agustian.
Aku bukan lagi adik dari pria berpostur gagah dengan lesung pipi yang menghiasi wajahnya tersebut. Namun, meski begitu status tinggal status, rasanya tetap saja ada yang janggal.Mas Haikal tetap tidak bisa bertindak selayaknya suami, begitu pun aku.Semua itu terjadi karena bisa jadi Mas Haikal masih menganggap pernikahan itu nggak penting dan aku masih memiliki perasaan pada Randi.Layaknya kutub utara dan selatan yang tolak menolak. Kami menjadi dua orang dewasa yang tengah berpura-pura bahagia di depan para sanak saudara dan orang tua tapi di belakang itu yang tersisa hanyalah ... dingin.Aku yang berusaha bertahan karena balas budi dan dia yang bertahan karena kepatuhan. Kami memiliki alasan berbeda untuk tetap menjalani pernikahan ini tapi tak tahu sampai kapan bisa bersandiwara. Sebab, sampai sekarang pun aku dan Mas Haikal masih saling membatasi diri.Aku bahkan tak berani membuka bajuku di depannya. Kami tidur sekamar tapi tak seranjang dan kami sudah sepakat jika nanti pindah ke apartemen, kehidupan kami akan tetap sama seperti kami sebelum menikah.Hari ini hari pertama aku menjadi istri Mas Haikal. Selayaknya istri, walau tak dianggap aku membantu Bunda menyiapkan makan pagi untuk suamiku yang kabarnya akan pergi ke kantor terlebih dahulu sebelum kami pindah sore ini. Sambil menunggu Mas Haikal, aku juga berencana pergi dulu ke sekolah untuk menyerahkan hasil nilai ulangan anak-anak."Kal, ayo makan dulu!"Suara Bunda membuatku yang sejak tadi merapikan meja makan terpaksa mendongak. Melihat Mas Haikal turun dari lantai dengan setelan kerjanya yang rapi, membuat aku tanpa sadar menahan napas sampai akhirnya dia menuju ke arah meja makan melintasiku.Aku tegang menatapnya, dia enggan menatapku."Enggak Bun, Ikal udah telat. Nanti aja di kantor," jawabnya sambil tersenyum pada Bunda.Harap digaris-bawahi bukan padaku. Bisa hujan gede kalau dia ramah saat ini."Oalah jangan gitu dong, itu lihat Ana udah capek-capek bikin nasi goreng kesukaanmu loh. Makan dulu, ya?" bujuk Bunda sambil melirikku yang membisu.Aku menundukan kepala karena merasa kecewa. Waktu identitasku belum berubah, dia akan senang menyantap nasi goreng kampungku sampai lahap. Bahkan dia sempat memuji kalau seseorang yang menjadi suamiku pasti bahagia.Terus, sekarang?"Udah telat Bun, gak sempat," jawab Mas Haikal lagi-lagi menolak."Oh ya udah, kalau gitu Ana ikut nebeng sama kamu, ya?""Loh? Aku bareng sama Mas Haikal, Bun?" tanyaku langsung mengangkat kepala melihat Bunda.Bisa kiamat kalau aku bareng sama Mas-ku yang jut-ek itu. Aku tahu adat Mas Haikal, dia itu orangnya kalau udah jutek tetap jut-ek, bisa-bisa aku sesak napas kalau satu mobil dengannya."Ya iyalah An, mau sama siapa lagi? Dia ini suamimu, kalian harus terbiasa gimana kalau Bunda udah gak ada? Nanti kalian ....""Oke, baik. Ana mau Bun, selama Mas Haikal nggak keberatan," potongku cepat sebelum Bunda mengadakan drama dadakan layaknya Ibu yang tersakiti. Terus pura-pura mengutuk walau akhirnya dia sendiri yang bingung.Cape deh.Bunda tersenyum sumringah tapi tak begitu dengan Mas Haikal."Haikal pasti gak keberatan dong. Iya kan, Kal?"Diberi pertanyaan yang lebih mirip pernyataan tersebut, Mas Haikal hanya mengangguk sekali. Tanda persetujuan karena di bawah tekanan."Ya udah, ayo cepat ambil tasmu Ana! Mas tunggu di bawah," ujar Mas Haikal seraya memutar bola mata malas.Kelihatan sekali kalau aku hanyalah beban untuknya. Padahal jika boleh jujur dan boleh memilih, lebih baik aku tak usah menikah saja kalau akhirnya jadi seperti ini."Eh, kok gitu Kal? Baik-baik dong sama bojomu. Caranya itu, hampiri Ana terus ajak dengan lembut. Genggam tangannya, kalian ini bukan musuh, toh?"Aku terkejut mendengar Bunda menasehati anaknya sampai detail begitu. Darahku langsung berdesir sepanjang tubuh dan kurasa Mas Haikal juga merasa yang sama. Tapi, demi kesejahteraan telinga kami pura-pura tak ada apa-apa.Sebagai anak laki-laki satu-satunya Mas Haikal memang penurut karena dia tahu dulu Bundanya hampir meninggal karena melahirkannya. Namun, aku tidak tahu sikap ini akan bertahan sampai berapa lama karena sekarang pun terlihat sekali dia mencoba mengendalikan egonya."Oh oke," jawab Mas Haikal akhirnya singkat seraya melangkah ke arahku.Dia berhenti tepat di depanku dengan raut wajah yang dibuat tenang. Tatapan matanya yang menukik bagai elang membuatku takut ditelan bulat-bulat."Ayo, Ana istriku mari kita berangkat!" ajaknya dengan senyuman yang lebih mirip dengan seringai dibanding keramahan.Tangannya yang putih terulur ke depan wajahku seolah menantang.Ambil atau enyahlah!Sadar kalau Mas Haikal udah kesal. Aku menelan ludah panik.Sumpah detik ini, diri ini ingin sekali melarikan diri. Tapi, melihat Bunda yang mengulum senyum bahagia aku pun menganggukkan kepala."Ba-baik Mas, ayo!" jawabku sambil menyambut tangannya dan berdoa semoga aku selamat sampai ke sekolah.Aku benar-benar takut dimutilasi olehnya di jalan karena melihat matanya yang dingin dan mematikan.(***)Sampai di sekolah aku bernapas lega. Untungnya, walau sepanjang jalan serasa berada di rumah hantu, horor dan menegangkan. Akhirnya dia memberhentikanku di tempat yang semestinya.Mas Haikal tampak bingung ketika melihat sekolah tempatku mengajar. Tak heran sih, ini kali pertama Mas Haikal mengantarku, selama ini kan dia sibuk merantau hingga lupa punya adik yang sudah dewasa."Ini sekolahmu?" tanya Mas Haikal seraya mematikan mesin mobil dan membuka jendela."Bukan. Ini punya yayasan," jawabku.Dia mengerang. "Iya saya tahu ini punya yayasan. Maksudnya kamu kerja di sini?"Aku menahan tawa melihat ekspresinya yang lebih mirip orang nge-gas dibanding meralat.Tahan ini ujian!"Iya Mas. Makanya kalau udah di Malang itu inget pulang jangan keasyikan," celetukku keceplosan.Sontak aku menutup mulut merasa kesal dengan ucapanku lalu menoleh ke arahnya yang sudah menyorotkan mata tajam padaku.Aku tersenyum masam. "Eh, anu maksudnya nggak gitu ... maksudnya aku it--""Turun! Mobil saya jadi penuh gara-gara kamu!""Loh, penuh gimana? Luas gini kok," protesku bingung."Iya, penuh soalnya kamu ngabisin tempat," dalihnya seraya membuang muka.As-ta-ga! Kejamnya no debat. Padahal aku hanya 50 kilo doang.Apalah aku dibanding Hulk?Pasrah. Aku pun akhirnya turun dari mobil tanpa berniat membalas lalu dengan perasaan gondok berjalan menuju kelas.Eh, baru beberapa langkah dia manggil lagi."Ana! Tunggu!" teriaknya membahana sampai semua orang yang hadir di halaman sekolah saat itu memperhatikan.Reflek aku berhenti dan gegas memutar tubuh."Apa lagi, Mas?" tanyaku malas.Dia tersenyum licik sambil berlari ke arahku, saat itu kulihat beberapa guru perempuan sampai berhenti melihat kami.Salah, bukan melihat kami tapi melihat Mas Haikal. Baiklah, dari dulu dia memang suka mencuri perhatian."Cium tangan dulu! Kalau jadi istri itu yang hormat sama suami, masa kayak gini aja diajarin? Nih!"Di luar dugaan Mas Haikal malah menyodorkan tangannya, aku ingat dulu aku juga suka mencium punggung tangan itu tapi bukan sebagai istri.Tahu kan sebagai apa? Hanya sebatas adik. A-D-I-K.Aku menatap Mas Haikal penuh tanda tanya, rasa-rasanya ada yang salah dengan lelaki satu ini. Tapi, tiba-tiba aku tersenyum karena sebuah ide begitu saja melintas di kepalaku.Kuraih saja tangan Mas Haikal dan kudekatkan ke bibirku tapi tak sampai seinci langsung kugigit saja punggung tangan Mas Haikal dan dia pun menjerit kesakitan."Aw! Ana?!""Tuh udah cium tangannya! Babay, Mas! Makasih udah dianterin!" teriakku seraya berlari meninggalkannya yang masih berteriak kesal.Dan aku pun tertawa puas merasa berhasil membalas kejutekannya.Skor sementara satu-satu. Tapi, kalau pulang nanti mungkin aku kalah telak.Ah, apa aku nggak usah pulang aja?Semenjak menikah dengan Mas Haikal, aku tak pernah membayangkan hal-hal yang menyenangkan akan terjadi. Aku tahu benar posisiku di rumah Bunda hanyalah sebagai pelengkap. Bahkan sampai sekarang pun aku tetap menjadi orang asing yang dipaksa masuk ke keluarga Bunda karena aku tak punya keluarga dan orang tuaku entah di mana.Aku yakin seandainya orang tuaku normal, bisa jadi mereka tak akan membiarkanku dirawat orang lain. Namun, takdir emang seunik itu. Kita tidak pernah memilih akan lahir dari rahim siapa dan bagaimana bentuk orang tua kita. Betul, kan?Lalu, apa aku harus mengeluhkan keadaan? Kurasa tidak! Aku akan pasrah jika nanti sekali pun pada akhirnya Mas Haikal menceraikanku saat dia sudah tak tahan, paling tidak bukan aku yang melepasnya lebih dulu. Itu bukti komitmen seorang anak yang tahu balas budi.Kusadari banyak yang takut menikahkan anaknya denganku karena orang tuaku, tapi tidak dengan Bunda. Bunda bilang, sebelum dia mengajukan Mas Haikal menjadi suami, dia suda
Kata orang, memiliki tapi tak mencintai itu rasanya lebih menyedihkan dibanding mencintai tapi tak memiliki dan tampaknya aku setuju setelah melihatnya sendiri.Dulu aku berpendapat kalau memiliki tapi tak mencintai itu tak ada salahnya, toh kita punya raga seseorang itu dan cinta akan tumbuh seiring waktu. Namun, sekarang aku mulai ragu sebab Mas Haikal tetap tak berubah.Ema adalah cinta pertamanya dan kami hanya bertahan karena keadaan, meski kadang mungkin suatu saat bisa saling menyakiti, dimulai dari sekarang.Aku mengedip-ngedipkan mata berharap apa yang kulihat itu salah, tapi ternyata berapa kali pun aku mencoba meragu tetap saja sosok pria yang ada di depanku tak berubah wujud begitu juga dengan wanita yang ada di hadapannya.Sang lelaki tetaplah Mas Haikal dan si perempuan adalah Ema. Ah, aku paham mungkin mereka sedang bernostalgia. Sementara aku dan Bang Dhimas hanya nyamuk.Oiya, mulai hari ini Dokter Dhimas memintaku merubah nama panggilannya menjadi Bang Dhimas.Terden
Mas Haikal adalah kulkas berjalan. Itu pendapat ter-valid yang bisa kukatakan sekarang.Jangan harap ada rasa di antara kami, jika untuk memegang barangnya saja aku sudah dilarang sedemikian rupa sampai-sampai aku merasa sesak dan ingin segera turun dari mobilnya.Untuk apa mobil mewah jika yang menyetirnya tak memiliki kehangatan? Sekarang aku paham, mobil dan yang nyetir sama-sama kayak es. Dingin dan bikin hati ngilu.Sebenarnya, tadi aku sempat menganggap dia sudah mulai berubah dan melunak padakusetelah pertemuan dengan Ema dan Bang Dhimas di sekolah, tapi ternyata aku salah.Sepanjang jalan menuju rumah tadi ada saja larangannya padaku."Dont touch my car!""Duduk yang bener, kamu bikin saya gak konsen!"Eh, itu spionnya jangan dihalangin, saya gak bisa liat!"Astaga! Ada saja keluhannya padaku membuat hatiku tak nyaman dan menyesal tak pulang bareng Bang Dhimas saja.Teganya lagi.Aku kira sikap menyebalkan Mas Haikal itu akan berakhir di mobil tapi lagi-lagi aku terlalu ber-bu
Honeymoon ambyar. Mungkin itu judul yang tepat untuk bulan madu kami selama di puncak Cipanas.Please! Jangan membayangkan hal yang indah akan terjadi padaku dan Mas Haikal karena itu suatu keajaiban yang mustahil karena dari mulai perjalanan dari kota sampai ke villa Mas Haikal itu bersikap seperti aku bukan istrinya.Nasib. Mungkin begini fakta menyakitkan menikah dengan kakak angkat, apa-apa diatur dan apa-apa dia yang merencanakan. Sampai tempat tidur pun dia yang memisahkan.Apes sekali.Sepertinya memang benar, di hati Mas Haikal ada orang lain. Sehingga dia lebih senang menutup diri dibanding membuka hati. Aku paham dan mawas diri, lagi pula perasaanku masih teringat Randi.Miris.Sempat kukira wanita itu adalah Ema ternyata aku salah. Ada wanita lain yang ia idamkan selain Ema dan sosok itu tersimpan rapat di dompetnya.Kenapa aku tahu? Karena saat membayar di pom bensin tadi malam, mataku yang jeli ini tak sengaja melihat foto lawas seorang perempuan cantik berpakaian SMA ada
"Haikal, dunia emang sempit, ya? Bertahun-tahun kepisah ternyata kita malah ketemu di sini. Kamu apa kabar?" Lagi-lagi si wanita cantik, berambut panjang dan berjari lentik ini hanya fokus pada Mas Haikal seakan tak ada aku di sini. Kacang! Kacang! Kira-kira kacang di pasar berapa ya, Bu? Kok, perasaan murah banget sampai aku merasa dikacangin. "Baik." Mas Haikal berdehem seraya melihatku. Paling enggak dia sadar ada makhluk cantik yang sedang merasa tak percaya diri di sampingnya. "Ini siapa? Adiknya Haikal kan, ya? Aku ingat wajah kamu suka ada di walpaper ponselnya dulu. Ternyata wajah kamu gak banyak berubah ya, Dek?" tanya si wanita kutilang (kuku cantik, tinggi dan langsing) ke arahku yang sedang monyong ke depan. Tadinya sih, aku mau protes tapi demi norma kesopanan aku memaksakan senyum. "Iya, Mbak. Aku adiknya Mas Haikal," jawabku singkat yang langsung diberi lirikan maut Mas Haikal. Aku tahu dia tak setuju atas jawabanku. Namun, daripada nanti akhirnya si wanita kutil
Kalau boleh nih jodoh dianulir atau diremedial, pasti aku akan mengisi angket perjodohan dengan nama-nama seperti Tom Cruise, Lee Min Ho, Lee Seung Gi sampai Kim Seon Ho sebagai pengganti Mas Haikal.Namun, takdir memang terkadang kejam kalau kata Desi Ratnasari. Setelah bulan madu gagal, bertemu ibuku pun gagal sekarang bayangan untuk berjalan-jalan di taman bunga pun gagal.Itu semua adalah ulah Mas Haikal yang suka berbuat seenak udelnya. Tanpa mempedulikan perasaan seorang anak terbuang sepertiku. Dia dengan gaya diktatornya tiba-tiba menginfokan akan pulang hari ini karena dia ada urusan. Padahal semalam kami sudah sepakat akan menemaniku refreshing dan mencari ibu sekali lagi.Jadilah, semua acara dicancel dan aku hanya bisa gigit jari ... iya jari kaki.A-P-E-S!"Ngapain kamu lihatin saya? Mau nyantet saya?" tanyanya menyebalkan saat mataku tak henti memelototinya."Enggak itu ngeliat boxer. Eh bukan, maksudnya kesel," jawabku keceplosan. Aneh nih otak, setiap melihat Mas Haik
Yang namanya nikah sama kakak angkat, aku tidak pernah berharap tinggi akan berakhir dengan romantisme seperti film India apalagi drama Korea.Enggak ada adegan mesra-mesra atau apa pun namanya. Berharap dia tidak menghinaku saja sudah lebih dari bersyukur.Mas Haikal jadi suami perhatian? Nonsense!Aku takut global warming semakin tinggi kalau dia mengubah sikap jadi baik. Kami itu seperti Tom and Jerry atau Spongebob dan Squidward yang tak pernah saling mengisi dan tahu keburukan satu sama lain sampai ke akarnya.Dia tahu aku yang suka ngupil dan aku tahu dia yang suka kentut sembarangan.Di balik wajah tampannya, sifat Mas Haikal itu ... ah, entahlah. Aku takut kualat kalau menceritakannya.Namun, asumsi ini ternyata tak sepenuhnya tepat. Aku tak bisa berbohong, pelukan dadakan Mas Haikal di pasar Cipanas tempo hari membuat bulu kudukku sukses meremang dan jantungku berdegup kencang. Sedikit banyak perbuatannya yang sok perhatian itu mulai mempengaruhiku sampai-sampai kurasa di
Sebagai wanita yang sudah menikah aku ingin bersikap dewasa. Tidak cemburu, tidak julid, tidak dengki, tidak kepo dan tidak melakukan hal bodoh yang menyebabkan diri tersiksa tapi semua itu hanya teori karena Mas Haikal membuatku bingung setengah mati.Seusai acara keceplosan di restoran Mas Haikal tiba-tiba menjadi pendiam, dia sama sekali tak berbicara apa pun bahkan sampai kami tiba di apartemen dan masuk ke kamar masing-masing.Aku paham pasti dia tidak menyangka kalau reaksi Alvia akan sekeras itu hingga mereka pun cukup lama bicara. Terlebih banyak orang yang harus ia berikan klarifikasi walau akhirnya Alvia berjanji akan merahasiakannya dari yang lain.Oya, mungkinkah sikap diam suamiku itu dikarenakan ia menyesal mengakuiku sebagai istri di depan Alvia?Apa sepenting itu seorang Alvia dalam hatinya? Apa aku hanya bayang-bayang? Lalu, bolehkah aku menyerah saja? Dan mundur dari arena ini.Ah ... sial! Ternyata melelahkan, ya? Menjadi istri dari suami yang hatinya milik wanita l