Mengapa Oma Rani tak berperikamusiaan. Sama halnya dengan Naysila."Ma, jangan keras-keras bicaranya. Aku baru ingat kalau di rumah ini ada cctvnya." Naysila terlihat berbisik pada Oma Rani. Rupanya dia baru sadar tentang cctv di rumah ini."Ya ampun iya. Mama sampai lupa." Oma Rani menepuk dahinya. Dia kemudian melayangkan tatapan nyalang padaku."Alsava, jangan sampai kamu mengadu yang macam-macam. Kalau sampai itu terjadi maka kamu akan menyesal!" Oma Rani mengancamku. Aku hanya mengangguk saja. Tubuh ini masih berada di atas lantai karena kakiku masih terasa sakit."Ya sudah tunggu apa lagi? Bersihkan kerikil yang ada di taman belakang sekarang!" Oma Rani memerintah terdengar tegas walaupun volume suaranya ia kecilnya.Dengan langkah yang tertatih aku tak berdaya dan tak bisa membantah. Aku berusaha menuju taman belakang kemudian duduk diantara kerikil berukuran diameter sepuluh sentimeter berwarna putih di taman belakang. Satu persatu kerikil itu aku sikat dan kubersihkan. Ini ad
Malam ini mimpi buruk seolah dimulai. Demi terlihat nyata di hadapan Mama Fira, aku terpaksa menuruti perintah untuk tidur di kamar Pak Fikri.Dadaku berdebar panas. Khawatir pria tua itu akan berbuat yang macam-macam. Aku membungkus tubuhku di atas sofa yang ada di ruang kamar Pak Firki."Saya akan tidur di sofa, Pak," ucapku tanpa melirik ke arah Pak Fikri yang sedang berganti pakaian. "Kamu tidur di ranjang. Biarkan saya yang akan di sofa," balas Pak Fikri terdengar ketus."Enggak, Pak. Saya saja yang akan tidur di sofa." Tanpa menunggu persetujuan aku segera membaringkan tubuh di atas sofa yang sudah dililit selimut tebal. Aku berusaha memejamkan mata meski akan sulit tertidur. Malam ini harus berjaga-jaga jangan sampai ketahananku dibobolnya."Kamu tuh susah diatur ya!" Pak Fikri masih mengeluarkan kekesalannya namun aku berpura-pura tak mendengar.Lampu mulai dimatikan. Sunyi sepi tak ada suara di kamar ini. Tak lama terdengar suara dengkuran halus memecah keheningan. Tak kusa
Siang itu tak ada yang kupikirkan selain ingin pergi dengan Rangga sang pujaan hati. Namun niat itu harus pupus manakala suara deru mobil berhenti di depan rumah. Sepertinya aku mengenal suara mobilnya. Gegas kuintai dari balik jendela, ternyata Pak Fikri pulang. Tak biasanya dia pulang secepat ini."Al, gegas siap-siap. Kita akan pergi," titah Pak Fikri begitu dia berhasil menemukanku di ruang belakang. Padahal aku tengah bersembunyi di sana."Mau kemana, Pak?" Aku bertanya lagi."Tak usah banyak tanya, Alsava. Langsung nurut aja bisa 'kan." Pak Fikri langsung masuk ke ruangan kamarnya meninggalkanku yang masih mematung.Majikan jutek itu memang menyebalkan. Padahal aku ingin sekali pergi dengan Rangga. Banyak hal yang ingin aku ceritakan padanya. Tapi perintah Pak Fikri memang tak bisa dibantah. Aku tak punya kekuasaan apa-apa."Jaga rumah saya. Saya akan pergi dalam dua hari. Jaga rumah saya baik-baik!" Pak Fikri memerintah pada Rangga dengan tegas setelah sebelumnya memerintah I
Ibu nampak mengernyitkan dahi. "Tidak, Al. Kamu harus tetap dengan suamimu. Setelah menikah Kamu adalah tanggung jawab suami kamu." "Tidak, Bu. Al tidak mau. Aku akan tinggal bersama ibu di sini. Lagi pula, Pak Fikri pasti tak akan keberatan kok," balasku. Kualihkan pandangan ke arah Pak Fikri."Boleh kan, Pak?" tanyaku pada pria setengah tua itu.Pak Fikri membatu dalam beberapa saat. Dia tampak gugup. "Bolehkah, Pak?" tanyaku sekali lagi padanya."Tidak," jawab Pak Fikri dengan suara tegas. Aku terbelalak mendengarnya. Bisa-bisanya dia melarangku. Memang siapa dia?"Pak, saya hanya ingin tinggal bersama ibu. Tolong jangan paksa saya untuk pulang ke rumah Bapak. Lagi pula kan ada Ijah yang bisa membantu Bapak di rumah," celotehku."Al, jangan bicara seperti itu. Pak Fikri itu suami kamu. Jangan pernah membantah perintah suami," timpal Ibu. Mungkin Ibu tak mau kalau aku jadi istri durhaka. Tapi pernikahanku dengan Pak Firki hanyalah pura-pura dan sementara saja.Oke akhirnya aku akan
Aku sudah membereskan barang-barangku ke dalam koper. Kuputuskan untuk pergi saja dari rumah Pak Fikri.Aku berjalan mengendap-endap menuju ke depan rumah saat benda bundar yang menempel di dinding menunjukkan pukul dua belas malam. Aku yakin kalau Pak Fikri sudah lelap dalam tidurnya."Kamu mau kemana, Al" Tiba-tiba suara bariton mengejutkan jantung. Aku membeliak terkejut dan seketika menunda niatku membuka pintu utama."Pak Fikri!" Aduh bagaimana ini. Mengapa Pak Fikri tiba-tiba ada di situ. Bagaimana kalau dia bisa menebak niatku yang hendak kabur."Kok diam saja, kamu mau kemana?" Dia bertanya lagi padaku dengan melayangkan tatapan nanar penuh selidik."Bawa koper segala. Kamu mau minggat?" Benar saja Pak Fikri bisa menerka niatku."Tidak kok, Pak," bantahku walau sedikit gugup."Lalu mau Kamana?" tanyanya lagi. Aku kembali diam karena bingung harus menjawab apa."Kembali ke kamar kamu sekarang!" Perintahnya dengan tegas. Lagi-lagi aku menurut. Tatapan Pak Fikri yang tajam memb
Lagi-lagi kejadian yang dulu, terulang lagi. Oma Rani dibawa ke rumah sakit karena jantungnya kumat. Aku tidak pernah menginginkan ini terjadi. Beruntung Oma Rani kembali selamat hingga aku bisa bernapas dengan tenang. Meski pun pada akhirnya aku dibuat was-was. Sepulangnya Oma Rani dari rumah sakit semua berkumpul di ruang tengah rumah Pak Fikri. Aku disidang di hadapan semua orang termasuk Oma Rani dan Naysila. Pak Fikri juga mengundang Mama Fira. Sepertinya malam ini harga diriku harus terendahkan oleh aduan dari Oma Rani."Alsava, telah berselingkuh dengan Security baru itu." Oma Rani meluruskan jari telunjuknya ke arah wajah Rangga yang di rumah ini menyamar sebagai Rudi."Tidak, Oma. Itu tidak benar." Aku segera membela diri. Tentu aku tak terima jika disebut selingkuh."Sudahlah, Alsava. Mengaku saja." Naysila menimpali dengan mencibir."Tunggu, apa ada bukti?" Mama Fira rupanya masih menyimpan kepercayaan padaku. Sedikit tenang hati ini."Bukankah di rumah ini ada cctvnya?" t
Aku berusaha melepaskan diri dari genggamannya. Namun kekuatan Pak Fikri terlalu sulit untuk dilawan. Aku tetap memberontak sekuat tenaga."Lepas, Pak. Lepaskan saya," lirihku memohon pada pria yang kini tengah menindihku. Kedua tangan ini dikuncinya. Aku sudah berusaha berteriak, tapi di rumah ini tidak ada siapapun selain kami berdua."Lepaskan, Pak. Sadarlah," lirihku lagi. Aku yakin sesuatu telah membuat Pak Fikri kehilangan akal sehat. Pria itu tetap melanjutkan nafsunya. Dia menikmati tubuhku dengan tergesa-gesa seperti tak mau menunda waktu.Air mataku merembes keluar. Aku tak bisa melawan tubuh kekarnya. Pakaianku bahkan telah dilepaskan seluruhnya. Kini tak ada sehelai benang pun menutupi tubuhku. Hingga akhirnya sesuatu terasa menerobos lubang kecil milikku. Aku kembali berteriak memohon ampunan Pak Fikri. Usahaku tetap saja nihil. Pria itu tak peduli dengan raungan sakit yang keluar dari mulut ini.Aku menangis sejadi-jadinya. Pria itu masih tak perduli. Pak Firki tetap mem
Aku berusaha memasukan beberapa pakaian ke dalam tas ransel milikku, walau Pak Fikri berusaha mencegahku."Al, jangan pergi. Saya mohon," pinta Pak Fikri memohon namun tak kuperdulikan. Aku tetap dengan langkah yang cepat keluar dari ruangan kamarku walau Pak Fikri terus menarik tanganku, namun entah kenapa hari ini tenagaku cukup kuat untuk menepis genggaman suamiku."Al, jangan pergi. Kita selesaikan masalah ini dengan baik-baik," pinta Pak Fikri masih memasang wajah memelas."Lepas, Pak. Jangan pegang tangan saya!" sergahku.Namun ternyata, niatku nyatanya harus tertunda saat kusadari kalau gerbang rumah terkunci rapat."Pak! Buka gerbangnya," titahku pada security yang baru."Jangan, Pak!" Pak Fikri langsung melarang perintahku."Pak, saya mau pergi. Tolong jangan halangi saya," pintaku lagi pada Pak Fikri. Air mataku bahkan turut menetes tatkala perasaan hancur kembali menyeruak."Kita selesaikan bersama, Al. Jangan pergi. Kita bicara baik-baik terlebih dahulu, Al," pinta Pak Fi