Bram tak mau menanggapi ucapan Rafka lagi. Semakin ia membalas, maka akan semakin terlihat jelas tentang perasaannya pada Sabrinal"Ayo bangun, Sabrina." Bram menepuk-nepuk pelan pipi Sabrina supaya bangun.Susah payah, akhirnya Sabrina mampu membuka matanya. Ia melihat sekeliling yang ternyata ia masih berada di kamar Rafka, seperti terakhir yang ia ingat."Syukurlah." Bram merasa lega ketika Sabrina sudah membuka matanya. Namun, berbeda dengan Rafka.Rafka sedikit panik dan takut. Ia takut Sabrina tahu apa yang telah ia lakukan, meskipun kemungkinan tahu sangat kecil karena ia melakukannya saat Sabr tak sadar lalu memakaikan kembali seluruh pakaian Sabrina secara benar. Bahkan ia tanpa jijik membersihkan milik Sabrina supaya tidak meninggalkan jejak."Aku kenapa?" Sabrina bertanya dengan terbata-bata. Kepalanya masih terasa pusing."Kamu kecapean lalu pingsan," balas Bram.Sabrina mencoba mengingat apa yang terjadi. Ia hanya mengingat saat merapikan seprai, Rafka mendekat dan membek
Rafka masuk kamar dan mendapati Sabrina tengah menangis. Membuat pikiran Rafka makin tak tenang tapi ia berusaha menampilkan wajah datar dan seolah tanpa rasa berdosa."Kenapa kamu tega padaku," lirih Sabrina dengan air mata yang berlinang deras membasahi wajah cantiknya."Tega apa?" Rafka menyodorkan minuman yang ia bawa pada Sabrina.Pranggg...Sabrina menepis minuman yang Rafka berikan. Ia benar-benar tak menyangka, adik iparnya sejahat itu padanya."Apa yang kamu lakukan!" suara Rafka meninggi."Harusnya aku yang bertanya, apa yang kamu lakukan!" Sabrina ikut meninggikan suaranya.Tak ada wanita yang mau harga dirinya di injak-injak dan di lecehkan. Seperti halnya dengan Sabrina. Meskipun selama ini ia diam atas perlakuan mertua dan iparnya yang sering menyuruhnya ini itu tapi kelakuan Rafka kali ini sungguh tidak bisa di maafkan.Belum sempat Rafka menimpali ucapan Sabrina, Bram datang. Akhirnya ia memilih untuk bungkam."Ada apa ini?" Bram yang baru datang, merasa heran melihat
Surti tak terima dengan ucapan Sabrina. Lagipula Surti tak akan percaya jika Rafka yang melakukan hal itu pada Sabrina. Rafka masih kecil, tidak mungkin punya pikiran sampai sana."Jangan mencoba fitnah Rafka. Dia masih kecil, kalau dia yang lakukan, sudah jelas pasti kamu yang mengajarkannya." Surti menuduh Sabrina mengada-ada."Tidak ada wanita yang rela memberikan tubuhnya cuma-cuma." Sabrina berucap sembari menghapus air matanya. Menurutnya, ini bukan saatnya untuk menangis tetapi ia harus berusaha tegar dan memperjuangkan keadilan untuk dirinya sendiri. Karena sudah tak ada lagi yang bisa ia harapkan di rumah ini. Suami yang satu-satunya menjadi alasan Sabrina tetap tinggal di rumah ini, kini sudah melukai hati dan perasaannya cukup dalam. Saat ini, lebih baik ia pergi meninggalkan semuanya. Jika Seno tetap tidak mempercayai dirinya."Bisa saja, kamu kan, wanita gatal." Surti mencibir Sabrina."Rafka membekapku dengan saputangan yang telah dia beri obat bius. Dia...." Sabrina me
Bram tak ingin peduli dengan Ibu dan saudaranya. Ia lebih memilih untuk membawa Sabrina pergi dari rumah yang lebih pantas di sebut neraka untuk Sabrina."Mau kemana, Mas?" tanya Sabrina, ia bingung saat Bram membukakan pintu mobil untuknya."Pergi ke tempat yang aman dan nyaman untukmu.""Apa ada tempat seperti itu?" Sabrina bertanya tak yakin. Ia merasa tidak ada tempat seperti itu saat ini baginya."Pasti ada, masuklah!"Sabrina menuruti ucapan Bram, ia juga sudah malas berada di tempat ini. Ia ingin pergi ke tempat yang jauh."Maafkan atas kesalahan-kesalahan yang telah keluargaku lakukan padamu," ucap Bram saat mereka sudah berada di dalam mobil."Aku sudah memaafkannya, Mas. Namun, untuk melupakan, sepertinya itu hal mustahil." Sabrina memang sudah memaafkan semuanya tapi ia tidak akan pernah lupa dengan apa yang telah mereka perbuat, terutama perbuatan Rafka padanya. Tak ada wanita yang ikhlas dan melupakan begitu saja peristiwa buruk yang telah dialaminya. Apalagi peristiwa it
"Ke rumahku?" Sabrina melihat sekeliling jalan yang tengah mereka lalui. Jalan itu nampak tak asing baginya. "Iya. Kamu lebih aman tinggal bersama orangtuamu sementara waktu." Menurut Bram, Sabrina akan aman jika tinggal bersama orangtuanya saat ini."Tidak!" tolak Sabrina cepat. Ia tak mau pulang ke rumah. Ia tak ingin menjadi beban pikiran kedua orangtuanya. Apa yang akan ia katakan nanti jika mereka bertanya. Lalu apa kata mereka jika ia datang tidak bersama Seno malah diantarkan Bram."Kenapa?""Aku tidak mau pulang, aku takut Ibu dan Bapakku kepikiran tentang aku lalu jatuh sakit. Aku tidak mau," tegas Sabrina. "Tapi di sini tempat yang paling aman untukmu. Bilang saja kalau kamu rindu dengan mereka dan ingin menginap beberapa hari, sambil aku mencarikan kontrakan untukmu." Bram mencoba memberikan pengertian pada Sabrina supaya mau tinggal sementara di rumah orangtuanya sampai ia mendapatkan kontrakan yang cocok untuk Sabrina tinggali."Tapi... ""Ini demi kebaikanmu."Akhirnya
Bram bergegas menuju ruangan yang telah ayahnya sebutkan. Ia tak habis pikir kenapa bisa terjadi hal seperti ini."Ayah, bagaimana? Kenapa bisa terjadi seperti ini?" Bram duduk di kursi tunggu samping ayahnya begitu ia sampai."Ayah juga tidak tahu bagaimana detail awalnya tapi saat Seno teriak memanggil, ayah langsung keluar dan sampai sana Rafka sudah tak sadarkan diri, Wati terluka di kepalanya lalu Ibumu pingsan." Ahmad menceritakan apa yang ia ketahui."Kok Ibu bisa pingsan?" Bram melihat ke arah Seno yang tengah duduk diam agak jauh dari tempat duduknya saat ini."Aku tidak tahu," balas Seno singkat. Ia memang tidak tahu kenapa ibunya pingsan karena tadi ia hanya fokus ingin menghabisi adiknya sendiri yang tidak tahu diri itu. Ia tak peduli dengan teriakan dan tangisan ibunya tapi tiba-tiba ibunya jatuh pingsan hal itu yang membuat Seno menghentikan aksinya untuk menghabisi Rafka dan berteriak meminta tolong pada Ayahnya."Lalu apa kata dokter?" Bram mengalihkan kembali pandanga
Seno merasa tak tenang. Belum ada satu hari berpisah dengan Sabrina, ia merasa ada yang kurang. Ia merindukan Sabrina yang selalu siaga untuknya."Dimana dia," gumam Seno sambil berpikir kemana Sabrina pergi. Ia harus cepat-cepat menemukan Sabrina.Daripada terus merasa tak tenang, Seno memilih untuk menemui Bram. Mau tak mau, ia harus memohon pada Bram supaya dia bersedia memberitahukan keberadaan Sabrina. Ia tidak peduli jika nanti Bram mengejek dan meremehkan dirinya karena yang paling terpenting saat ini adalah ia bisa menemui Sabrina, meminta maaf dan membawanya pulang.Tok... Tok... Tok....Beberapa kali Seno mengetuk pintu kamar Bram tapi tak kunjung di buka olehnya. "Mas, buka pintu! Aku mau bicara denganmu!" Seno masih tak menyerah. Ia terus mengetuk pintu kamar Bram dan berharap segera dibuka olehnya. Seno yakin, Bram berada di kamarnya. "Apa tidur?" Seno bermonolog.Semalam Seno pulang lebih awal. Ia malas untuk berjaga di rumah sakit. Lebih baik ia memilih pulang untuk ja
Sabrina segera bersiap-siap setelah mendapatkan kabar dari Bram. Ia penasaran seperti apa kontrakan yang akan ia tempati nantinya. Sebenarnya tidak masalah meski tempat itu kecil, bagi Sabrina yang terpenting nyaman dan banyak orang. Sabrina tidak ingin tinggal di tempat sepi. Ia takut jika terjadi sesuatu yang tidak ia inginkan."Mau kemana?" Lastri melihat bingung pada Sabrina yang sudah rapi padahal masih sangat pagi. "Aku ada janji sama teman, Bu.""Sudah pamit sama suamimu?" Lastri mengingatkan Sabrina untuk minta izin pada suaminya meski saat ini mereka tengah berjauhan. Lagipula, jaman sekarang sudah modern, Sabrina bisa izin melalui telepon atau mengirimkan pesan."Sudah kok," balas Sabrina singkat. 'Maafkan aku, Bu. Aku terus berbohong tapi aku janji, setelah semuanya selesai. Aku akan ceritakan'. Sabrina hanya bisa membatin karena saat ini, ia benar-benar belum siap untuk jujur. Ia belum siap melihat orangtuanya bersedih atas nasib buruknya."Sarapan dulu!""Tidak, Bu. Nan