Share

Tidak, Mas

Suara dentingan sendok beradu dengan piring terdengar nyaring. Hingga mengalihkan semua pandangan ke arah suara itu.

"Makanan macam apa ini!" seru Wati.

"Memangnya kenapa?" tanya Seno yang baru saja akan bergabung untuk sarapan.

"Kamu coba saja sendiri," balas Wati ketus pada Seno, adiknya.

Seno segera duduk dan mengambil nasi beserta lauk secukupnya. Namun, baru satu kali suapan. Seno mengambil tisu dan memuntahkannya. Ia langsung merasa mual dan menyambar air putih yang ada di hadapannya kemudian meminumnya hingga tandas.

"Bagaimana rasanya?" Wati tertawa mengejek Seno.

Semoga tak menjawab pertanyaan Wati, ia justru melihat ke arah Sabrina_istrinya. "Kamu ini gimana sih, Yang!" Seno menegur.

"Aku tidak tahu, tadi padahal tidak asin seperti ini," ujar Sabrina bingung saat ia mencicipi masaknya sendiri barusan.

Saat memasak tadi, Sabrina sudah mencicipi semua masakkan yang ia buat. Semuanya, rasanya enak tapi entah mengapa, masakkan yang ia buat menjadi sangat asin seperti sekarang ini.

"Bagaimana bisa kamu tidak tahu dengan masakkan yang kamu buat sendiri? Dan apa kamu bilang? Tadi tidak asin? Kamu menduga ada yang berbuat jahil padamu?" cerocos Wati.

"Iya, apa kamu mau mengalihkan kesalahanmu dengan bicara seperti itu." Kini Rafka ikut menimpali ucapan Wati, kakaknya. Rafka anak paling kecil di rumah itu.

Sabrina makin menundukkan wajahnya malu, semua mata tertuju padanya dan di tambah kedua saudara iparnya terus mencaci maki dirinya.

Tapi, ada satu hal yang buat Sabrina sedih. Seno, suaminya. Tidak membela dirinya. Justru ikut menyalah-nyalahkan dirinya. Seolah ia seperti istri yang tak becus. Padahal selama ini, Seno tak pernah komplen dengan masakkan yang ia buat. Namun, beberapa bulan belakangan ini, setelah mereka tinggal bersama orang tua Seno. Sikap Seno berubah.

Dulu saat Seno sebelum di PHK, mereka tinggal di kontrakan berdua. Dan selama itu, hubungan mereka sangat harmonis. Berbeda dengan sekarang. Ada saja masalah yang muncul. Dan semua masalah itu, berasal dari iparnya yang tak suka pada dirinya.

Sabrina tak mengerti, mengapa Wati dan Rafka membencinya. Apa pun yang ia lakukan, selalu salah di mata mereka.

Sabrina juga sudah pernah mencoba mengadukan, masalah itu pada suaminya. Tapi justru ia yang disalahkan dan di tuduh yang tidak-tidak. Seno juga memarahinya seolah ia yang sering mencari gara-gara.

Harusnya sebagai seorang menantu, Sabrina berharap mendapatkan perlakuan yang sama seperti anak-anaknya. Namun, hal itu hanya sekedar harapan. Kenyataannya, ibu mertuanya selalu ikut memarahi dan menuduhnya yang bukan-bukan. Namun, Sabrina masih bersyukur karena ada Bapak mertua dan Kakak laki-laki Seno yang selalu mendukung dan menyemangati dirinya.

"Sudah-sudah, kita bisa makan diluar nanti." Ahmad menengahi keributan yang terjadi di meja makan. Sebagai kepala keluarga ia harus bisa mengambil sikap.

"Bapak selalu saja seperti itu, sesekali Bapak perlu memarahi Sabrina. Supaya dia belajar," timpal Wati tak suka.

"Semua orang pernah melakukan kesalahan. Sudah-sudah, kamu berangkat kerja saja sana!" perintah Ahmad pada anak pertamanya.

Wati adalah anak pertama di keluarga itu dan anak perempuan satu-satunya. Mereka semua total 4 bersaudara. Setelah Wati, ada Bram kemudian Seno dan terakhir Rafka.

Seno menikah lebih dahulu, melangkahi kedua kakaknya. Sedangkan Rafka masih duduk di bangku SMA.

"Bapak selalu saja begitu," gerutu Rafka sambil beranjak dari tempat duduknya. Ia meraih tas ranselnya kemudian bersalaman kepada semua yang ada di ruang makan dan tentu saja kecuali Sabrina.

"Kamu tidak salaman sama, Mbak Sabrina?" tanya Bram pada Rafka.

"Gak, malas," sahut Rafka berlalu pergi tanpa peduli dengan raut wajah Sabrina yang sedih merasa tak dihargai.

"Maafkan kelakuan Rafka," ucap Bram.

Bram merasa kasihan dengan Sabrina. Keluarganya seolah memusuhnya dan Seno sebagai seorang suami tidak bisa bertindak tegas. Malah terkadang ikut menyudutkan Sabrina.

"Buat apa juga minta maaf. Wajar Rafka marah, dia mau sekolah dan harus sarapan tapi masakkan ini tidak layak sama sekali. Merugikan, pengeluaran rumah ini juga jadi bertambah karena harus memberikan uang lebih untuk makan diluar," sahut Surti.

"Huss, tidak boleh seperti itu, Bu!" Ahmad menegur istrinya. Ia tak enak dengan Sabrina, menantunya yang kini hampir menangis karena ulah keluarganya.

"Terus saja belain menantu kesayangan kamu itu, padahal lebih baik Melati kemana-mana, malah pilih dia yang tidak bisa apa-apa," ucap Surti yang memang sejak awal tidak setuju Seno menikah dengan Sabrina.

"Ini sudah menjadi keputusan, Seno. Kita sebagai orang tua harusnya mengajari dia." Ahmad tak suka dengan ucapan istrinya.

Menurut Ahmad justru lebih baik Sabrina daripada Melati yang hanya bisa berdandan dan menghambur-hamburkan uang.

"Tetap saja, kalau Bapak tidak setuju, Seno anak kita tidak akan menikah dengan dia!" Surti menggebrak meja lalu pergi di ikuti oleh Wati.

"Ibu, Bu." Ahmad ikut pergi mengejar istrinya.

"Aku berangkat kerja dulu." Bram pamit berangkat kerja. Ia pusing melihat kekacauan di rumahnya.

Kini hanya tinggal Seno dan Sabrina di ruang makan itu.

"Apa sekarang kamu puas?" ucap Seno tiba-tiba.

"Apa maksudnya?" Sabrina tak paham dengan ucapan suaminya.

"Jika kamu tidak suka dengan keluargaku, katakan baik-baik. Bukan begini caranya."

Sabrina menggelengkan kepalanya. "Tidak, Mas. Sungguh." Sabrina berusaha membela diri.

"Mas kecewa sama kamu." Seno beranjak pergi meninggalkan Sabrina sendirian.

"Mas, Mas Seno!" Sabrina mengikuti Seno tapi Seno malah mendorongnya hingga hampir saja terjatuh jika ia tak berpegang pada dinding.

Hati Sabrina terasa teriris, suaminya kini tega berbuat kasar padanya tanpa mau mendengarkan penjelasan darinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status