Setelah merasa tenang, Rani mengurai pelukan.
“Terima kasih.” Tangannya mengusap jejak air mata dan ingus.
“Sudah tenang?” Doni menatap.
Anggukan Rani terlihat lemah, dia melirik baju yang Doni pakai, “baju Mas, jadi basah, dan ... dan ada ingusnya. Nanti Rani cucikan.” Rani memalingkan wajah dan menutup mata malu, dengan apa yang dilakukan.
“Sekalian saja dengan baju kotor yang ada di rumah Saya!”
“Yeeey! Dikasih hati malah minta jantung! Yang aku kotorin kan Cuma baju yang Mas pake, masa jadi semua.”
“Lagian, kamu itu ada-ada saja! Membuat Saya malu.” Doni kembali menatap ke jalanan.
Rani mengerutkan kening, menoleh, “maksud Mas?”
“Seperti orang miskin! Baju kotor, di cuci sendiri, kan ada ART dan Loudry. Ngapain Saya perkerjakan mereka kalau masih pake tangan sendiri!”
Rani mendengus, kembali kesal dengan sifat Don
Rani tidak percaya dengan apa yang dia lihat, di depannya sudah terpampang layar besar yang memperlihatkan detik-detik peluit panjang tanda permainan akan segera di mulai.“Mas, ini_”“Supaya seru, mereka akan menjadi saksi taruhan kita. Mas, harap kamu tidak mengingkari janji.”Panggilan Doni sudah berubah, dia menyebut dirinya dengan kata Mas. Membuat Rani malu, dan tersipu.“Kenapa, apa Saya harus_” Rani menutup mulut Doni.“Aku senang, Mas sudah mulai baik.”“Itu harus, karena sebentar lagi kita akan menikah, sesuai taruhan kita.”Rani menelan ludah, dia gugup, dengan apa yang akan terjadi nanti.“Jangan gugup, nikmati saja semua. Tapi Mas yakin, Mas yang akan menang.” Bisikan itu membuat Rani semakin tegang.Namun, setelah peluit panjang terdengar, Rani melupakan semua dan masuk jauh dengan situasi riuh para penonton.Pertandingan selesai membuat Rani menurunkan pundak. Dia menatap Doni yang melipat tangan dan memperlihatkan kesombongannya.“Ayo kita pulang, besok kita siapkan_”
Rani terdiam dia lebih memilih mengalah dengan tidak bicara lagi setelah melihat keseriusan Doni. “Jangan pernah mencari cara untuk menggagalkan perjanjian kita dengan otak kecil ini!” Rani menghembuskan nafas dan akhirnya turun setelah mereka sampai di depan rumah. “Jangan berharap ada yang menyambut orang rumah, karena mereka pasti sudah tidur.” Doni berucap ketika melihat Rani melihat sekeliling. “Aku lebih suka seperti ini!” Rani mendengus. “Lagian, siapa yang berharap di sambut.” Doni tersenyum, merangkul Rani untuk berjalan masuk. “Mas, lepaskan. Tidak enak_” “Mamih kira Fania berbohong.” Rani buru-buru melepaskan rangkulan Doni. “Eh, Tante. Maaf, Rani bertamu malam-malam.” Mamih Doni tersenyum, “tidak apa. Kamu sudah makan?” “Sudah, Tante.” “Syukurlah. Kalau begitu, Ran. Kita bicara besok saja, ya. Tante mengantuk.” “Eh, iya, Tanten. Sil
“Mudah-mudaaan Fania tidak bicara_”“Bicara tentang apa_ Kamu belum mandi juga!”Rani mendongak, “kiyaaa! Apa yang Mas lakukan di kamarku!” Rani terkejut sampai dia kepala terbentur tempat tidur.“Awh!” Rani meringis dan melihat Doni dari ujung mata.Bibirnya mengerucut, “biasanya laki-laki akan sigap menolong, kaya di novel-novel, begitu. Ini, malah diam saja.”“Itu salah kamu, karena tidak hati-hati. Lagian, Mas bukan laki-laki di novel, yang lebay dan terus-menerus ngurusin wanita tanpa bekerja. Ingaaat, kita itu hidup bukan cuma butuh pendamping, tapi juga butuh uang.”“Tapi apa salahnya perhatian, lagian, uang tidak akan di bawa mati.” Rani masih cemberut dan kesal.Doni mendengus, menyentil kening Rani, “uang memang tidak dibawa mati, tapi seseorang tanpa uang akan mati. Memangnya, kebutuhan untuk hidup itu gratis! Yaaa, kecuali, kalau kamu
Rani meringis, andai bisa, Rani ingin pergi segera dari acara sarapan ini. Apa lagi ketika melihat orang-orang tersenyum mendengar perkataan Pram.“Jadi, Mamah yang meminta Fania bicara seperti itu?” Doni bertanya dengan mata menatap Rani.“Emmm, tadi pagi Mamah bicara seperti itu.” Ucap Fania dengan terus mengunyah.Doni menautkan alis dan tersenyum, “gadis nakal, lihat, apa yang akan Mas lakukan padamu.”Itulah arti dari tatapan Doni pada Rani ketika mereka beradu pandang. Membuat Rani langsung menunduk.Bulu kuduknya berdiri, merasa takut dengan apa kemungkinan yang akan terjadi.“Faniaaa, apa kamu tahu, kalau Papah dan Mamah menikah, kamu akan bisa mempunyai adik bayi seperti yang kamu inginkan.”Mendengar adik bayi membuat Fania langsung antusias dan mengangguk, “benarkah itu?”“Yaaa, Papah tidak berbohong kali ini.”“Nenek, apakah itu benar?” Fania menatap Mamih Doni.“Itu mungkin saja terjadi, Sayang.”“Horeee, Fania akan punya adik bayi!”Rani mengepalkan tangan, dia tidak ha
Doni menatap, menghela nafas lalu mengambil tas di sampingnya.“Bayaran segini, cukup, kan?” Doni memberikan lima lembar uang merah.Rani langsung mengambilnya, “sudah lebih dari cukup.”Doni mendengus, melihat Rani yang mata duitan, lalu kembali pada pekerjaannya.Akhirnya Rani dan Doni sudah sampai di tempat tujuan.“Setelah ini, aku bisa pergi, kan?”“Bibi menelepon terus, kami harus bicara, Mas.” Ucap Rani ketika Doni menatapnya.“Baiklah. Bawa mobil itu, nanti kamu jemput lagi Mas.”“Kemari?” Rani menatap tidak percaya.“Ke kantor saja, Mas pergi ke sana selepas ini selesai.”Rani menghembuskan nafas lega. Karena, kalau sampai kembali ke sini, Rani akan menangis dan memilih di marahi.“Siap! Kalau begitu, aku pergi dulu.” Rani memberi hormat dan kembali ke balik kemudi.“Jangan ngebut. Ini tamba
Rani merasa lega, walaupun bau asap kendaraan mengelilinginya. Dia tidak menghiraukan itu, yang Rani rasakan saat ini kelegaan, karena sebentar lagi dia bisa lepas dari beban walaupun hanya sebentar.“Apakah aku tinggal bersama nenek saja, ya, di sana.”“Kamu tidak Saya izinkan!”“Kenapa tidak_ aaah!” Rani terlonjak, hampir saja terjungkal andai Doni tidak segera menangkapnya.“Ke, kenapa, kenapa Mas ada di sini?” ucap Rani gugup.“Saya ingin pergi ke suatu tempat, tapi sayang, tempat itu sudah di tutup karena seseorang tidak datang menjemput sampai saat ini!” Doni menatap dengan ujung matanya.Rani meringis, “maaf, aku sedikit mau kabur, karena belum siap_”Rani melotot ketika Doni meraih tengkuknya dan melumat habis bibirnya yang masih bergetar.“Sekali ucapan kabur, keluar dari mulutmu, Saya tidak akan segan menghisap, bahkan menggigit bibir dan lehermu!”Rani menutup mulut dan memegang leher dengan mata melotot.“Mas, Mas bukan hantu kan?” Rani menatap sekeliling, bulu kuduknya mu
Di ranjang rumah sakit, Tori mengerjapkan mata menatap sekeliling dan tersenyum, orang pertama yang dia lihat ternyata Rani. Tangannya menggapai dan menggenggam, “kamu di sini.” Ucapnya lemah. “Kamu sudah bangun.” Rani tidak kuasa menahan air mata, “maaf, karena aku kamu jadi seperti ini.” Tori menggeleng dan tersenyum, “ini bukan salah kamu, aku yang ceroboh dan terlalu memaksakan kehendak. Sudah tahu dari dulu kalau kamu itu_” “Tori, anakku!” Mamah Tori mendekat menggeser Rani menjauh. “Kamu tidak apa-apa, Sayang? Ada yang sakit? Oh, iya. Mamah harus memanggil dokter!” Mamah Tori tidak diam, membuat Tori tersenyum. “Maaah, Tori tidak apa-apa.” “Tidak apa-apa bagaimana! Wajah dan tubuhmu babak belur begini!” Mamah Tori menatap Rani, “Ini salah kamu! Ingat, ya! Kamu harus tanggung jawab menjaga anak Saya! Bila perlu Saya akan meminta Bibimu untuk menikahkan kalian saat ini juga!” Mamah Tori menatap Rani benci. “Maah, jangan paksa_” “Dia memang harus di paksa, supaya sadar! S
“Maaas, aku tidak butuh_””Jangan banyak bicara! Pokonya malam ini kita menilah, tidak ada penolakan!” Doni kembali melajukan mobil tanpa menatap Rani yang sudah tidak tenang.Dan pada akhirnya Rani pun menikah malam itu tanpa bisa mengelak. Saat ini, dia tengah duduk diranjang kesakitan yang mungkin Doni akan meminta haknya.Tubuhnya bergetar, benar-benar ketakutan dengan apa yang akan terjadi setelah ini.Terdengar pintu kamar terbuka dan derap langkah masuk membuat hati Rani semakin tidak karuan.Rani gelisah tangannya tidak henti diremas dengan nafas yang terus berembus kasar.“Kenapa kamu tidak pergi ganti baju?” Doni mendekat, “atau kamu berharap, Mas yang membuka baju kamu!”Rani mendongak, jantungnya berdegup tidak normal ketika merasakan embusan panas dari nafas Doni yang terlalu dekat.Dengan cepat Rani menggeleng dan menjauhkan kepalanya.Dia menatap Doni dengan mata yang membulat.“Kenapa_ eh, bukannya itu yang_”Rani menyilangkan tangan dan menggeleng kuat, “aku mau man