Share

Bab 2. Merasa Bersalah

“Cepat, kecuali apa!” Rani menatap tajam.

Doni tersenyum menatap Rani yang kebingungan.

Melihat ke arah mana mata Doni, Rani langsung menyilangkan tangan. Andai Rani tahu akan seperti ini akhirnya, lebih baik tadi dia bawa saja anak itu dengan alasan pergi ke dokter.

“Hey, cepat katakan!”

Rani menarik nafas, mencoba tenang dan menunggu apa seterusnya yang akan Doni katakan.

“Kecuali kalau kamu jadi istri saya.”

“APA!” Rani terkejut.

Begitu pun dengan semua orang yang ada, karena kata-kata itu bermakna kan “Ayo kita menikah.”

Mereka tidak percaya dengan apa yang Doni si Tuan mereka katakan, karena selama ini Doni tidak pernah menyinggung tentang pernikahan. Bicara pun seperlunya.

Rani mencoba menormalkan detak jantung dan kembali menatap tajam Doni.

Dasar Orang Tua aneh!

Itulah ungkapan hati Rani dan kalutnya. Dia mencoba menarik nafas perlahan.

“Apa Anda bilang? Kalau Saya jadi Istri Anda! Untungnya untuk Saya apa? Lagian, ya, masa mau minta minum saja harus jadi istri!” Rani menggeleng tidak percaya.

 “Dengar, ya, Tuan lambe beo, Saya itu hanya minta minum satu gelas, bukan minta warisan satu Hektar. Lagian, tidak mungkin Saya mau menjadi istri Tuan Arogan seperti Anda!”

“Kalau begitu, sepertinya kamu harus tetap menahan hausmu sampai_”

“APA!” Rani terkejut, tidak percaya dengan apa yang Doni ucapkan.

“Apa Anda orang waras!”

“Selama anak Saya aman, itu tidak masalah.” Doni pergi santai tanpa beban.

Sedangkan Rani, terdiam. Dia sungguh tidak habis pikir dengan Doni yang pergi tanpa menghiraukan dirinya yang kehausan.

“Sebenarnya ini keluarga macam apa, sih!” Rani menyugar rambut dan kembali berkacak pinggang.

“Hey, Tuan. Sebenarnya apa sih maksud Anda menghalangi Saya untuk minum? Apa Anda takut kalau Saya punya penyakit, atau, Anda ingin balas dendam pada Saya? Tapi, apa salah Saya?” Rani mendekat dan menatap si Tuan yang berhenti melangkah.

“Saya heran, apakah di sini tidak ada lagi hati nurani?” Rani mengetuk dadanya dengan menatap, “tidak sedikit pun merasa iba pada orang lain?”

Doni terkejut, karena kembali ada orang yang berbuat tidak sopan dan orang itu masih sama dengan yang tadi, Rani. Wanita yang begitu mirip dengan istrinya.

“Kenapa diam? Apakah itu_”

“Saya tidak melarang Anda untuk minum, tapi Saya tidak mengizinkan orang asing untuk mengambil milik Saya.”

“Aaah!” Rani mengacak rambut dan kembali berkacak pinggang, “Anda memang tidak melarang, tapi secara tidak langsung, Anda melarangnya karena Anda tidak mau membujuk Fania untuk lepas dari Saya.”

“Jadi?”

Rani mengentakkan kaki, “coba Anda bujuk Fania supaya tidak mengikuti Saya, ini haus banget!” Rani mengusap tenggorokan yang mulai terasa serat.

Dan Aku bisa pergi dengan segera tanpa berhubungan dengan keluarga aneh ini lagi!

Rani kembali meracau dalam hati, dia tersenyum ketika melihat si Tuan menghampiri anaknya.

“Faniaaa, sekarang Fania ikut_”

“Tidak! Fania ingin bersama_”

“Fania!”

Rani melotot tidak percaya ketika Doni dengan entengnya memanggul Fania seperti karung beras dan membawanya masuk.

“Sekarang kamu bisa pergi. Antarkan dia ke mana pun tujuannya.” Ucap Doni pada bawahannya.

“Baik, Tuan. Mari Nona, Saya antarkan.” Sopir yang tadi, mempersilahkan Rani kembali  masuk mobil untuk pulang.

Rani mengangguk dengan mata masih melotot dengan mulut sedikit terbuka, tidak percaya dengan apa yang dia lihat.

Sebenarnya dia merasa sedih, tapi rasa ingin pergi dan haus terus mendorongnya untuk kabur.

“Ya ampuuun! Bisa-bisanya aku berurusan dengan orang aneh dan arogan seperti itu!” Rani mengacak rambut dan menghembuskan nafas kasar.

“Sebenarnya, Tuan Doni itu orang yang baik, Nona. Tapi dia berbuat seperti itu karena sudah tidak tahan dengan sikap Nona Fania yang sering membangkang. Tapi_” Si sopir tersenyum.

“Saya baru melihat kembali, Tuan Doni penurut pada perempuan selain pada Nyonya Tua setelah Nyonya Fani meninggal, dan Tuan pun kembali banyak bicara.”

Rani mengerutkan kening, “maksudnya, dan apakah Fania begitu pembangkang?”

“Maksudnya, ya, seperti itu.”

Rani mengerutkan kening tidak mengerti.

 “Sudah lama, Tuan tidak banyak bicara pada kami di sekelilingnya, walaupun dalam situasi kumpul keluarga.” Si sopir menatap Rani lewat kaca spion depan.

“Nona Fania memang sedikit tidak bisa diatur, apalagi setelah ada rencana Tuan menikah.”

Rani terkejut, “Dia punya rencana mau menikah?” Rani kembali mengacak rambut.

“Dasar Tuan Arogan! Bisa-bisanya bilang Saya mau dijadikan istrinya, padahal dia mau menikah! Iiih, dasar menjengkelkan!”

Si sopir tersenyum, “Tuan memang tidak jauh berbeda dengan Nona Fania. Tapi sepertinya Tuan malah lebih dari itu.”

Rani melipat tangan, “pantas saja anaknya seperti itu, lah bapaknya juga orang arogan!”

Si sopir kembali tertawa mendengar Rani yang menggerutu. Sekarang dia baru sadar, kenapa Tuannya berbeda pada wanita di belakangnya.

“Nona sangat mirip dengan Nyonya Fani, pantas saja Nona Fania sampai memanggil mamah.”

Rani terdiam, dia teringat dengan saudara sepupunya yang memang sangat mirip dengan dirinya.

“Apa Fani meninggal sudah lama, dan apa sebabnya?”

“Nyonya Muda meninggal di rumah saki setelah dirawat selama dua minggu.”

Rani mengangguk, sepupunya pergi sebab kecelakaan tunggal dan suaminya pun pindah keluar Negeri karena merasa terpukul.

Walaupun dia pernah mendengar sepupunya punya satu anak, tapi itu tidak mungkin Fania, karena kepergiannya pun berbeda.

“Sepertinya memang berbeda.” Rani bergumam memandang keluar jendela.

“Nona, di mana Nona akan_” Sang sopir tidak mendengar apa yang di ucapkan Rani, karena ada telepon penting masuk.

“Halo Tuan, siap Tuan!” Dia menyimpan handphone dan memutar arah balik.

“Lah-lah, kita akan ke mana? Kenapa tidak melipir, Saya mau beli minum.”

“Maaf, Nona, sepertinya kita harus segera pergi ke rumah sakit. Nona Fania jatuh dari tangga, dan tidak sadarkan diri, dia terus memanggil Nona!”

“APA!” Rani panik mendengar semua itu, rasa hausnya langsung hilang dan meminta sang sopir untuk mengebut.

Bayangan Fania yang tadi menjerit-jerit terus terngiang dalam telinganya.

“Semua ini salah kamu Raniii! Kenapa tadi kamu malah pergi!” Rani menggerutu karena dia kembali melakukan kesalahan.

Sesampainya di rumah sakit, Rani melangkah cepat mencari kamar tempat Fania di rawat.

“Apa Fania tidak apa_” Rani terkejut ketika Doni, Papah Fania menarik dan mengajaknya masuk.

“Sayaaang, Papah sudah membawa Mamah kamu. Dia sudah ada di depanmu, Sayang. Sekarang cepat buka mata kamu.” Terdengar getaran dalam nada suara Doni.

Rani baru sadar kalau  Doni yang tadi arogan tengah bersedih karena anaknya.

Dia mendekati Fania yang terbaring, “Faniaaa,” Rani memanggil Fania lirih.

Air mata Rani tidak dapat terbendung setelah melihatnya, anak yang tadi masih tersenyum dan merengek padanya dengan memeluk erat karena tidak mau di tinggal, saat ini tengah tergeletak tidak sadarkan diri.

“Kenapa ini bisa terjadi!” Rani menatap laki-laki yang bernama Doni dengan terus menangis.

“Apa Anda tidak bisa menangani anak satu! Dasar laki-laki egois!” Rani memukul Doni membabi buta.

“Kalau Anda tidak becus mengurusnya, kenapa tidak berikan saja pada Saya!” Rani terus memukul Doni yang malah terdiam.

“Kembalikan Faniakuuu!” Rani berteriak dan akhirnya bersimpuh di lantai, dengan terus berteriak meminta Fania untuk di kembalikan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status