Mobil sudah terparkir di halaman kediaman Xie. Revalina bergegas masuk. Hati dan tubuhnya merasa lelah.
"Sudah pulang?" tanya Hanna yang ternyata sedari tadi duduk di kursi menunggu kepulangan sang menantu.
"Ya, ampun, Ma. Bikin Rere kaget aja," seloroh Revalina seraya mengelus dada. "Mama kenapa belum tidur?" lanjutnya.
"Mama jadi ikut cemas memikirkan El. Apa dia baik-baik saja?"
Degh!
Revalina berusaha bersikap tenang. Ia tidak mau Hanna menaruh curiga dengan gelagatnya.
"Suamiku baik-baik saja, Ma. Sangat baik. Mama tenang saja, ya? Sudah malam, lebih baik Mama istirahat. Maaf, Rere bikin repot Mama lagi."
Hanna beranjak dan mengelus lengan menantunya. "Kamu anak Mama. Mana mungkin Mama merasa direpotkan. Ya, sudah, Mama tid-" Hanna tidak meneruskan ucapannya karena melihat ruam-ruam merah pada kulit Revalina.
"Kamu kenapa, Sayang? Kenapa bisa seperti ini?" tanya Hanna cemas.
Sudah lima hari, tetapi Revalina belum mendapatkan kabar dari Raffael kapan ia pulang. Meskipun masih kesal, tetapi wanita itu merasa cemas. Ia sangat khawatir dengan keadaan suaminya itu. Tiga hari yang lalu Raffael menghubunginya jika proyek pembangunan hotel benar-benar bermasalah. Di tambah lagi, Revalina sudah bertanya perihal penurunan saham di Xie Company kepada Carlos. Bukan hanya ia yang cemas, Hanna pun ikut merasakan."Re, lebih baik kita susul El ke sana. Mama tidak tenang. Baru kali ini dia menghadapi masalah besar seperti ini," ujar Hanna."Iya, Ma. Sebelum kita menyusul ke sana, pastikan dulu keadaan di Xie Company, atau Rere akan meminta papa untuk menghandle semuanya. Itu juga jika Mama mengizinkan karena untuk meminta izin Raffael tidak mungkin juga. Suamiku susah dihubungi."Hanna setuju dengan pendapat menantunya. Itu adalah solusi terbaik.Setelah mendapatkan izin dari Hanna, Revalina segera menghubungi Carlos.
Tiba di bandara, Revalina memerintahkan kepada sang pilot untuk pergi ke negara kelahiran Cindy. Air matanya tak henti menetes bahkan ia tersedu-sedu.Angelina --seorang pramugari cantik yang tak lain istri dari sang pilot pun menghampiri. Ia duduk di samping anak dari Tuan Besarnya itu."Ada apa, Dek?"Revalina menghambur ke dalam pelukan sang pramugari yang sudah ia anggap sebagai kakaknya sendiri. Bukannya bercerita, Revalina menumpahkan segala gundahnya dengan menangis. Lambat laun tangis Revalina kian melemah."Astaga! Dek, bangun, Dek!" Revalina pingsan dalam pelukannya.Angelina memanggil dokter pribadi keluarga Carlos yang memang selalu diikut sertakan dalam penerbangan.Revalina dibawa ke dalam sebuah kamar. Perlahan ia dibaringkan dan dokter itu mulai memeriksa keadaan Revalina.Dokter itu menatap lekat wajah sang pramugari."Ada apa? Apa yang terjadi?" tanya Angelina.
Pukul tujuh pagi, Hanna sudah berkunjung ke kediaman Carlos. Sejujurnya ia sangat malu atas kelakuan putranya. Namun, apa boleh buat, ia harus mengatakan sejujurnya kepada besannya."Ayok, duduklah, Han. Ceritakan apa yang sudah terjadi," pinta Cindy saat Hanna baru saja masuk."Sebelumnya aku meminta maaf pada kalian. Sebenarnya aku pun tidak menerima ini," tutur Hanna yang langsung menangis. "Tapi, percayalah, aku yakin putraku dijebak.""Ya, apa? Tolong katakan langsung Hanna," cecar Cindy.Hanna pun menceritakan semua yang menimpa Raffael. Tentang masalah d perusahaan, pembangunan hotel dan kejadian semalam."Tidak ... tidak mungkin!" seru Cindy tidak terima.Cindy menitikkan air mata. Ia ikut merasakan apa yang Revalina rasa. "Putramu benar melakukannya dengan wanita itu, Han?""Iya, maafkan aku. Melihat dari gelagat Raffael, sepertinya dia terpengaruh obat.""Kurang ajar! Aku menyesal tidak memberinya pe
Revalina tiba di Bandar Udara Internasional San Francisco. Pilot dan tim ia tegaskan untuk kembali. Namun, Angelina menolak. Ia ingin menemani Revalina sampai ke tempat tujuan."Kakak kembali saja. Aku sudah hafal kota ini," ujar Revalina.Angelina tersenyum. "Kakak tahu, Cantik. Tapi bukan itu masalahnya. Kakak ingin memastikan kamu sampai dengan selamat."Revalina terkekeh-kekeh. "Baiklah, anggap saja Kakak, Pak Pilot sama Om Dokter istirahat. Aku ajak kalian semua ke rumah nenek. Gimana?""Siapa takut," jawab mereka serempak."Nona Revalina?" tanya seorang pria bertubuh jangkung nan tampan.Revalina mengernyit."Ah, maaf, nama saya Rian. Saya diperintahkan Nenek Claudia untuk menjemput," ujar pria itu."Jadi ... nenek tau jika aku datang? Hmm ... baiklah," ujarnya. "Ayok, kita naik mobil ini saja," lanjutnya mengajak Angelina dan lainnya.Mobil mewah berwarna hitam melesat men
Sudah empat hari Revalina dirawat di rumah sakit. Setelah kepulangan Angelina, hari-harinya ia lalui dengan kesepian. Hanya dinding berwarna putih dan aroma obat yang setia menemani.Ketukan pintu membuyarkan lamunan Revalina. Wanita itu menoleh ke arah suara."Pagi, Nona," sapa Rian saat masuk.Revalina tersenyum. "Pagi. Kau sendirian?" tanya Revalina sambil celingukan mencari sosok Claudia.Rian menyimpan keranjang buah kemudian menjawab, "Nenek belum bisa ke sini, Nona. Makanya aku yang menggantikan nenek.""Kalau boleh tau, kau ini siapanya nenek?" tanya Revalina. "Karena yang aku tau, nenekku itu tidak akan menyuruh sembarang orang," lanjutnya.Rian tersenyum kemudian duduk di kursi dekat Revalina. Pria itu mengatakan jika lima tahun yang lalu dirinya dipertemukan dengan Claudia karena sebuah kecelakaan. Saat itu mobil yang dikemudikan Edward mengalami pecah kemudian tergelincir hingga akhirnya menabrak dir
Waktu berputar terasa sangat cepat. Revalina meninggalkan tanah air sudah tiga minggu lamanya. Ia tidak dapat membendung kesedihannya. Bagaimana tidak? Satu minggu lagi menjelang pesta pernikahannya, ia justru menyaksikan berita tentang rencana pernikahan suaminya dengan Maria. Pesta pernikahan yang ia impikan pupus sudah. Rasa kecewa, marah, sakit hati bercampur aduk, pun ia tidak menampik ada rasa rindu terselip di sana.Revalina mematung di depan cermin. Ia mencoba tegar. Senyum, itu yang Revalina lakukan seraya menatap wajahnya sendiri walau air mata tetap jatuh. "Cih! Harapanmu sudah tidak ada lagi, Re. Lupakanlah dia dan mulailah hidup baru," tutur Revalina.Wanita itu mencari secarik kertas dan sebuah bolpoin. Tangannya dengan luwes menari di atas kertas putih itu.Dear Suamiku,Ahhhh, mungkin lebih tepatnya calon mantan suami. Terima kasih atas cinta dan perhatian yang selama ini kau beri dan terima kasih juga atas pengkhia
Malam menjelang.Revalina benar-benar menikmati waktunya bersama dengan Rian. Lelaki dewasa itu mampu membuat Revalina nyaman. Sosok pria dewasa yang benar-benar mampu mengisi hari-hari Revalina dengan senyuman.Mereka tampak akrab. Sikap Revalina yang manja dan periang, ternyata membuat Rian merasa tidak canggung. Sekarang saja, mereka menikmati makan malam di restoran milik Claudia yang ia kelola."Kakak kenapa tidak punya pacar?" tanya Revalina yang membuat Rian mati kutu."Kapok," jawabnya singkat.Revalina mengernyit. "Kenapa?"Rian menghela napas. "Dulu, dulu sekali, Kakak jatuh cinta kepada seorang gadis. Kami satu sekolah bahkan sangat dekat. Akan tetapi, dia mengatakan jika dirinya menerima wajah Kakak yang tampan ini, tetapi tidak menerima keadaan Kakak yang miskin," ungkap Rian sambil tersenyum masam."Sombong sekali wanita itu. Secantik apa, sih?""Yang jelas cantik. Perlahan dirinya me
Satu minggu telah berlalu.Cuaca pagi kota San Francisco cukup cerah. Udara pagi yang segar membuat siapa saja ingin menikmati suasana dengan berolahraga atau sekadar jalan-jalan. Namun, tidak dengan Revalina. Wanita itu masih betah di bawah kungkungan selimut tebal walau matahari sudah menebarkan hawa panasnya."Happy birthday, Rere ... happy birthday, Rere ...." Alunan lagu selamat ulang tahun menggema memenuhi kamar. Wanita berparas cantik itu terusik dan perlahan membuka matanya. Kedua matanya menangkap jika Rian tengah membawa cake dengan dua buah lilin angka 21 di atasnya. Senyum indah melengkung di bibirnya yang ranum. Selain Rian, Claudia dan Edward, di sana turut hadir Cindy dan Carlos.Revalina beranjak dan memeluk kedua orang tuanya. "Rere kangen kalian," ucapnya sambil menangis."Eh ... sudah, bukan waktunya untuk bersedih. Sekarang tiup dulu lilinnya," titah Cindy seraya melerai pelukan.Rian dengan sigap menyuguhkan