“Jangan pernah mendekati ruangan ini!” bentak Reinhard dengan sorot tajam.
Ringisan pelan lolos dari bibirnya saat wanita itu berusaha untuk berdiri. Wanita itu sontak menunduk, ternyata pergelangan kakinya memerah. Sakit sekali, Reinhard benar-benar tak punya hati. Ilona kembali mengangkat kepalanya dengan tatapan murka. “Kenapa kamu mendorongku? Kamu membuat kakiku terkilir!” protes Ilona dengan kedua alis menukik tajam. Berulang kali wanita itu berusaha berdiri, bukannya berhasil, kakinya malah semakin berdenyut nyeri. Reinhard membungkukkan tubuhnya di hadapan Ilona dengan rahang mengetat. Lelaki itu memaksa Ilona membalas tatapannya. “Apa yang sedang kamu lakukan di sini, hah? Tidak ada satu pun orang yang aku izinkan masuk ke kamarku, bahkan seorang pelayan sekalipun, termasuk kamu!” Ilona menatap Reinhard dengan sorot tak percaya. Ilona tidak habis pikir mengapa Reinhard sampai berlebihan seperti ini. Sepertinya lelaki itu benar-benar sakit jiwa sampai membuat peraturan aneh yang tidak masuk akal. Seolah-olah dirinya akan mencuri sesuatu jika masuk ke sana. Keributan tersebut memancing perhatian seluruh penghuni rumah. Beberapa pelayan yang penasaran langsung mendekati tempat itu dengan jarak aman. Tak ada satu pun dari mereka yang berani mendekat karena mereka tahu seperti apa sang tuan saat marah. “Jika kamu berani mendekat ke kamarku lagi, aku tidak akan segan-segan mengurungmu di kamarmu!” sambung Reinhard penuh peringatan. Reinhard mengedarkan pandangannya ke arah belakang, kemudian menyunggingkan senyum miring. “Aku tidak membuat tontonan gratis di sini. Jika ada salah satu dari kalian yang berani menolongnya, maka bersiaplah untuk angkat kaki dari rumah ini.” Ultimatum Reinhard berhasil membuat semua orang yang berada di sana mulai membubarkan diri. Tidak ada yang berani melanggar perintah Reinhard karena mereka tahu bagaimana tabiat sang tuan. Mereka masih menyayangi pekerjaan mereka. Suasana mencekam yang melingkupi tempat itu masih sangat terasa. Namun, sorot ketakutan tak terlihat sama sekali dari mata Ilona. Wanita itu berusaha untuk berdiri perlahan-lahan sembari berpegangan dengan meja yang ada di belakangnya. Ilona membalas tatapan Reinhard tak kalah tajam. “Jika aku tahu ruangan itu adalah kamarmu, aku tidak akan pernah sudi mendekat ke sana!” serunya sembari menahan ringisan. Wanita itu sampai mencengkeram meja di belakangnya untuk menyalurkan rasa sakit di pergelangan kakinya. Rasa penasarannya pada ruangan itu langsung lenyap seketika. Hanya karena ingin mengetahui isi ruangan tersebut, kakinya sampai terkilir seperti ini. Seharusnya, ia tidak perlu terobsesi untuk mengetahui isi ruangan tersebut hanya karena tampak berbeda dari ruangan lain. “Dengar ini baik-baik, kamu tidak bisa melakukan sesuatu seenaknya di sini. Semuanya harus mendapat izin dariku terlebih dahulu,” tegas Reinhard sembari menggertakkan giginya. “Memangnya apa yang akan kamu lakukan padaku jika aku berani melanggar? Kamu akan mengusirku dari rumah ini? Kalau begitu silakan saja, aku tidak keberatan pergi dari sini sekarang juga,” balas Ilona seraya menyunggingkan tersenyum miring. Ilona tidak mengerti dengan jalan pikiran Reinhard yang sangat aneh. Ada banyak sekali aturan tak masuk akal yang lelaki itu buat. Pantas saja semua orang yang bekerja di sini selalu menunduk ketakutan saat berpapasan dengan Reinhard. Lelaki itu pasti bersikap semena-mena pada semua orang yang bekerja untuknya. Reinhard menggerakkan kakinya ke arah Ilona. Sorot membunuh dari terpancar dari kedua matanya. “Sayang sekali aku tidak akan melakukan itu. Semakin kamu berusaha memberontak, maka ruang gerakmu akan semakin terbatas, Sayang.” Reinhard melirik arloji yang melingkar di tangannya, kemudian berdecak pelan. “Kamu membuatku hampir terlambat. Masuklah ke kamarmu sekarang, jangan banyak bertingkah. Aku harus pergi.” Ilona menatap punggung Reinhard yang semakin menjauh dengan sorot penuh permusuhan. Setelah Reinhard tak lagi terlihat, barulah ia menjauh dari tempat itu dengan langkah tertatih-tatih. Reinhard benar-benar tak berperasaan, seharusnya lelaki itu bertanggungjawab dan membantunya berjalan ke kamar. Pergelangan kakinya semakin berdenyut nyeri karena dipaksakan berjalan. Wanita itu harus berpegangan pada benda-benda di sekitarnya di sepanjang jalan. Beberapa kali dirinya nyaris terjatuh karena tak kuat menahan rasa sakit itu. Jika dirinya terjatuh lagi, kondisi kakinya pasti semakin parah. Ilona menghela napas lega setelah berhasil mencapai pintu kamarnya. Wanita itu segera masuk dan berbaring di atas ranjang seraya memeriksa kakinya. Untung saja jarak antara kamar yang ia tempati dengan kamar Reinhard tidak terlalu jauh. “Dia benar-benar gila!” umpat Ilona kesal. “Aku bukan tawanan. Aku tidak bisa mendekam di sini terus,” gumam Ilona setelah cukup lama mendekam di kamar tanpa melakukan apa pun. Ilona menggerakkan kakinya perlahan-lahan. Wanita itu tidak mengobati kakinya sama sekali karena tak punya salep. Kalau harus dikompres, ia malas mengambil air kompresan di dapur. Setelah memastikan kakinya agak membaik, Ilona langsung merapikan diri dan keluar dari kamarnya. Reinhard pasti sudah pergi dan rumah ini biasanya sangat sepi. Tidak ada yang bisa menghalanginya untuk pergi juga. Bukan melarikan diri, Ilona hanya ingin menghirup udara segar sejenak. Sebelum kembali ke realita yang membuatnya sesak. “Nyonya mau pergi ke mana? Sudah mendapat izin dari tuan Reinhard?” Salah seorang bodyguard Reinhard yang berjaga di dekat pintu utama langsung menghampiri Ilona. Ilona mengumpat dalam hati. Langkahnya yang masih terseok-seok membuatnya tak bisa bergerak cepat. Padahal seharusnya ia bisa menghindari bodyguard tersebut. Ilona menoleh dengan ekspresi jengah, baru sehari tinggal di sini, ia sudah muak dengan aturan yang Reinhard buat. “Apa aku perlu izin darinya? Aku bukan tawanan!” tegas Ilona yang merasa tak perlu meminta izin pada Reinhard. “Tapi, Nyonya tidak bisa meninggalkan rumah ini tanpa izin dari tuan,” jawab sang bodyguard tegas. “Aku tidak akan kabur! Kamu pikir aku bisa menghubungi Reinhard? Aku tidak punya ponsel!” seru Ilona yang sudah tersulut emosi. Reinhard hanya membual saat berkata akan mengganti ponselnya yang telah lelaki itu buang. Reinhard pasti sengaja membuatnya tak punya alat komunikasi untuk membatasi ruang geraknya. Namun, lelaki itu tidak bisa mengurungnya di dalam rumah ini. Snag bodyguard pun langsung mengambil ponselnya dan menghubungi Reinhard. Kemudian, menyerahkan ponselnya pada Ilona. “Tuan Reinhard ingin bicara dengan nyonya.” Ilona terpaksa menyambar ponsel tersebut dan menempelkan di telinganya. “Aku hanya ingin jalan-jalan sebentar, bukan kabur! Jangan berlebihan!” semburnya tanpa basa-basi. [“Tidak boleh. Kamu di rumah saja. Jangan membuat masalah.”] Nada bicara Reinhard terdengar seperti tak ingin dibantah. “Kalau kamu melarangku pergi, aku akan membuat masalah!” ancam Ilona. [“Bukannya kakimu sakit? Jangan banyak tingkah!”] Reinhard langsung mengakhiri panggilan tersebut Ilona mengumpat dalam hati. Ia langsung mengembalikan ponsel tersebut pada pemiliknya setelah Reinhard mengakhiri panggilan tersebut. Reinhard benar-benar tak bisa diajak kompromi sama sekali. Padahal ia hanya ingin jalan-jalan. “Saya antar ke kamar, Nyonya,” ucap sang bodyguard. Ilona tak punya pilihan lain selain menurut dan kembali ke kamarnya. Bodyguard itu benar-benar mengantarnya sampai ke kamar. Seolah ingin memastikan jika dirinya tak akan mencoba melarikan diri. Namun, hanya seperti ini saja tak akan membuat Ilona menyerah. Tak lama setelah bodyguard itu pergi, Ilona kembali keluar dari kamarnya. Kali ini dirinya lebih berhati-hati, jangan sampai ada yang menghalangi jalannya lagi. Meskipun harus menempuh jalan lebih lama, akhirnya Ilona berhasil keluar dari kediaman mewah itu. Ilona masih memiliki sedikit uang untuk menaiki kendaraan umum. Tadinya, ia hendak kembali kr rumahnya dan menemui ibunya. Namun, akhirnya Ilona malah berakhir mengunjungi taman kota yang berdekatan dengan pusat perbelanjaan. “Akhirnya aku bisa menghirup udara segar,” gumam Ilona yang sudah menempati salah satu bangku taman yang kosong. “Seandainya aku tidak perlu pulang ke sana lagi,” monolog wanita itu. Jika memiliki uang lebih, Ilona ingin masuk ke mall di depannya. Sayang sekali, ia hanya bisa menikmati pemandangan dari luar. Namun, begini saja sudah cukup baginya. Daripada harus seharian mendekam di rumah Reinhard yang terasa seperti penjara. Taman tempatnya berada pun cukup ramai. Kebanyakan yang berada di sini adalah keluarga kecil yang sedang bermain-main dengan anak-anak mereka. Wisata masa depan yang Ilona impikan, namun sayangnya impiannya hancur tak bersisa. “Ilona? Kamu ada di sini?” Suara yang familiar itu membuat Ilona spontan menoleh. Matanya membulat sempurna saat mendapati Romeo—kekasihnya berdiri di sampingnya. Ia belum siap bertemu dengan lelaki itu. Ilona belum siap untuk menceritakan statusnya sekarang. Ilona langsung berdiri. “Romeo aku—” “Kamu ke mana saja? Kenapa ponselmu tidak aktif? Kamu baik-baik saja, ‘kan?” cerca Romeo sembari menangkup wajah Ilona. “Aku—” “Singkirkan tanganmu dari wajah istriku!”“Jangan ganggu dia! Dan berhenti menghubunginya!” tegas Reinhard yang tiba-tiba berdiri di samping Ilona. Ilona dan Romeo terkesiap. Ilona spontan menyingkirkan tangan Romeo dari wajahnya. Ia tak ingin lelaki itu terkena masalah hanya karena berdekatan dengannya. Sebab, Ilona tahu bagaimana gilanya Reinhard saat ingin menghancurkan sesuatu. Ilona sedang tak ingin bertemu siapa pun. Namun, tiba-tiba Romeo datang bersamaan dengan Reinhard juga. Jika hanya bertemu Romeo saja, ia tak masalah. Akan tetapi, kedatangan Reinhard benar-benar mengacaukan ketenangannya. “Istri?” gumam Romeo yang tampak terkejut bukan main. “Kamu tidak tahu? Kami sudah menikah,” jawab Reinhard dengan senyum pongah. Jantung Ilona berdebar semakin keras saat Romeo tiba-tiba menarik tangannya. Ia pikir Romeo tidak mendengar ucapan Reinhard sebelumnya. Ilona ingin mencari waktu yang tepat untuk membicarakan persoalan dan tentunya waktu yang tepat bukanlah sekarang. “Kamu benar-benar menikah dengannya? Bag
“Kamu yang menyuruhku memasak, kenapa kamu malah membuang semuanya?! Bahkan kamu tidak mencicipinya sama sekali! Apa kamu tidak bisa menghargai aku sedikit pun?” murka Ilona dengan tatapan berapi-api. Kekesalan yang sedari tadi Ilona rasakan berubah menjadi amarah tertahan yang memuncak. Ia sengaja mengikuti keinginan lelaki itu tanpa banyak protes karena tidak ingin menambah masalah. Tetapi, Reinhard malah sengaja mengerjainya.Ilona sudah bersusah payah membuat makanan itu dengan kaki yang masih pincang dan berdenyut nyeri. Namun, Reinhard malah membuang makanan itu begitu saja tanpa merasa bersalah sedikit pun. “Aku sudah mengikuti keinginanmu! Kemarin kamu berkata tidak akan macam-macam jika aku tidak berulah, mana buktinya? Kamu tetap saja mengerjaiku!” sembur wanita itu dengan kedua tangan mengepal. Tahu begini Ilona tidak akan bersusah payah membuatkan lelaki itu makanan. Ia sudah berusaha mengalah untuk meminimalisir masalah baru. Namun, Reinhard tetap saja tak kunjung puas
Ilona langsung menoleh ke belakang setelah berhasil menegakkan tubuhnya. Seorang lelaki muda yang sepertinya seumuran dengan Reinhard lah yang membantu menopang tubuhnya. Wanita itu meringis malu seraya menyunggingkan senyum kaku. “Maaf, tiba-tiba kepalaku sedikit pusing. Tetapi, sekarang sudah tidak lagi. Terima kasih sudah menolongku,” tutur Ilona seraya melangkah mundur, memperlebar jarak di antara mereka. Ilona merutuk dalam hati. Karena terlampau kesal pada sikap Reinhard hari ini, ia sampai lupa makan sejak pagi. Wanita itu baru menyadarinya saat dalam perjalanan menuju ke kantor Reinhard. Itulah salah satu alasannya mampir ke tempat ini. “Sama-sama. Bagaimana jika kita masuk saja? Kebetulan cafe ini milikku,” balas lelaki itu sembari mempersilakan Ilona masuk. Ilona semakin merasa segan setelah mengetahui jika lelaki itu adalah pemilik cafe ini. Ia ingin mengurungkan niatnya mengunjungi cafe tersebut, namun tidak enak menolak ajakan lelaki di hadapannya ini. Kepala Ilona
Walaupun ruang geraknya sangat terbatas, Ilona terus berusaha meronta dan menendang kaki Reinhard. Bukannya berhasil, Reinhard malah semakin mengimpit tubuhnya. Tak kehabisan akal, wanita itu menggigit bibir bawah Reinhard sekuat tenaga. Perbuatannya berhasil membuat Reinhard melepaskan bibirnya. Deru napas Ilona dan Reinhard yang memburu saling beradu. Wajah keduanya sama-sama memerah menahan amarah yang berkobar. Tatapan tajam mereka terkunci selama beberapa saat sebelum Ilona lebih dulu mengalihkan pandangannya dengan ekspresi muak. Reinhard mengelap bibirnya yang berdarah dengan gerakan kasar. Sorot matanya semakin tajam dengan aura membunuh yang menguar ke mana-mana. “Berani-beraninya kamu melukaiku!” bentaknya menggelegar. Sebelum Ilona sempat memberi tanggapan, Reinhard langsung menarik dan membanting tubuhnya di atas ranjang. Tidak sakit memang, tetapi itu membuat kepala Ilona mendadak pening. Wanita itu berusaha bangkit, tetapi Reinhard lebih dulu menindih tubuhnya. “Diam
Ilona spontan meraih paper bag di sampingnya. Raut heran di wajahnya semakin terlihat di wajahnya saat menemukan sehelai gaun pesta berwarna biru tua di dalam paper bag tersebut. “Dalam rangka apa kamu memberiku gaun seperti ini?”Ilona menatap Reinhard dengan sorot memicing. Wanita itu yakin jika Reinhard sedang merencanakan sesuatu. Tidak mungkin lelaki itu tiba-tiba berbaik hati padanya sampai memberi gaun mahal secara cuma-cuma. Apalagi setelah berbuat tak senonoh padanya beberapa jam lalu. “Besok malam, kamu harus ikut bersamaku mendatangi pesta pernikahan salah satu rekan bisnisku dan kamu harus memakai gaun itu, tidak ada penolakan,” jawab Reinhard dengan nada perintah. Ilona mendengus pelan. “Kamu pikir aku sudi mendampingimu dalam acara seperti itu? Pergi saja sendiri! Aku tidak mau pergi ke sana bersamamu!” balasnya ketus. Ilona lebih memilih mendekam di dalam kamar seharian penuh daripada harus pergi bersama Reinhard. Ia sudah bisa menebak jika selama berada di sana nant
Ilona spontan menyentuh wajahnya yang terasa panas akibat bekas tamparan itu. Ketika wanita itu mendongak, matanya langsung bertemu dengan tatapan kebencian dari seseorang yang selama ini selalu menatapnya penuh kasih sayang. Kegaduhan tersebut berhasil memancing atensi seluruh tamu undangan yang hadir. Semua orang yang tadinya sibuk dengan urusan masing-masing, kini menatap penuh minat ke arah Ilona dan wanita paruh baya yang baru saja menamparnya. “Tidak perlu memasang wajah pura-pura sedih seperti itu! Saya tidak akan tertipu lagi dengan segala tipu muslihat yang kamu lakukan!” Wanita paruh baya itu kembali meluapkan amarahnya sembari menunjuk wajah Ilona. Kedua bola mata Ilona langsung berkaca-kaca. Bukan karena perih dan panas yang terasa di pipinya, tetapi luka yang menggores hatinya. Ia tak pernah menyangka akan mendapat perlakuan seperti ini dari wanita yang selama ini selalu menyayanginya sepenuh hati. Bahkan, Ilona sudah menganggap wanita itu seperti ibunya sendiri. Wani
Ilona tak bisa menahan ringisannya saat dokter mengobati luka di tangan dan pelipisnya. Kepalanya masih pening dengan sekujur tubuh remuk redam. Walaupun kondisinya cukup mengenaskan seperti ini, ia bersyukur karena dirinya berhasil selamat dari sekumpulan pemuda yang hendak melecehkannya. Ilona tidak bisa membayangkan jika orang-orang itu berhasil menjamah tubuhnya. Terserempet mobil jauh lebih baik dibanding harus menyerahkan kehormatan yang ia jaga selama ini untuk orang yang tidak pantas. Karena tidak memperhatikan keadaan sekitarnya saat berlari, Ilona terserempet sebuah mobil. Beruntungnya, mobil tersebut sedang tidak melaju kencang dan sang pengemudi menginjak rem tepat waktu. Jika tidak, mungkin kondisi Ilona jauh lebih mengenaskan dibanding saat ini. Ilona hanya mendapat luka lecet di area dagu, lengan dan kaki kirinya, selebihnya ia baik-baik saja. Yang terpenting orang-orang itu tak sampai melakukan sesuatu yang buruk padanya. “Ini
Ilona langsung keluar dari toilet dan melangkah cepat menyeberangi ruangan menuju ranjang yang masih ditempati oleh Reinhard. Tanpa basa-basi wanita itu langsung menyingkap selimut yang Reinhard kenakan. Ia tidak terima lelaki itu menjamah tubuhnya tanpa permisi. “Bangun! Apa yang kamu lakukan padaku semalam? Berani-beraninya kamu melakukan—”Luapan amarah Ilona berubah menjadi pekikan karena Reinhard tiba-tiba membuka mata dan menarik tubuhnya hingga terjatuh di ranjang dan menimpa tubuh Reinhard. Dalam hitungan detik, lelaki itu sudah membalikkan posisi mereka. Kemarahan Ilona langsung menguap, wajahnya berubah memucat. Posisi seperti ini membuat dirinya merasa dejavu. Kenangan menjijikkan itu kembali berputar di kepalanya. Ilona berdeham pelan, menutupi ketakutannya serapat mungkin. “Mi-minggir! Jangan macam-macam!” sentak Ilona sembari melotot. Ilona berusaha memasang wajah garang dengan tatapan berkobar. Semalam dirinya memang le
Ilona langsung keluar dari toilet dan melangkah cepat menyeberangi ruangan menuju ranjang yang masih ditempati oleh Reinhard. Tanpa basa-basi wanita itu langsung menyingkap selimut yang Reinhard kenakan. Ia tidak terima lelaki itu menjamah tubuhnya tanpa permisi. “Bangun! Apa yang kamu lakukan padaku semalam? Berani-beraninya kamu melakukan—”Luapan amarah Ilona berubah menjadi pekikan karena Reinhard tiba-tiba membuka mata dan menarik tubuhnya hingga terjatuh di ranjang dan menimpa tubuh Reinhard. Dalam hitungan detik, lelaki itu sudah membalikkan posisi mereka. Kemarahan Ilona langsung menguap, wajahnya berubah memucat. Posisi seperti ini membuat dirinya merasa dejavu. Kenangan menjijikkan itu kembali berputar di kepalanya. Ilona berdeham pelan, menutupi ketakutannya serapat mungkin. “Mi-minggir! Jangan macam-macam!” sentak Ilona sembari melotot. Ilona berusaha memasang wajah garang dengan tatapan berkobar. Semalam dirinya memang le
Ilona tak bisa menahan ringisannya saat dokter mengobati luka di tangan dan pelipisnya. Kepalanya masih pening dengan sekujur tubuh remuk redam. Walaupun kondisinya cukup mengenaskan seperti ini, ia bersyukur karena dirinya berhasil selamat dari sekumpulan pemuda yang hendak melecehkannya. Ilona tidak bisa membayangkan jika orang-orang itu berhasil menjamah tubuhnya. Terserempet mobil jauh lebih baik dibanding harus menyerahkan kehormatan yang ia jaga selama ini untuk orang yang tidak pantas. Karena tidak memperhatikan keadaan sekitarnya saat berlari, Ilona terserempet sebuah mobil. Beruntungnya, mobil tersebut sedang tidak melaju kencang dan sang pengemudi menginjak rem tepat waktu. Jika tidak, mungkin kondisi Ilona jauh lebih mengenaskan dibanding saat ini. Ilona hanya mendapat luka lecet di area dagu, lengan dan kaki kirinya, selebihnya ia baik-baik saja. Yang terpenting orang-orang itu tak sampai melakukan sesuatu yang buruk padanya. “Ini
Ilona spontan menyentuh wajahnya yang terasa panas akibat bekas tamparan itu. Ketika wanita itu mendongak, matanya langsung bertemu dengan tatapan kebencian dari seseorang yang selama ini selalu menatapnya penuh kasih sayang. Kegaduhan tersebut berhasil memancing atensi seluruh tamu undangan yang hadir. Semua orang yang tadinya sibuk dengan urusan masing-masing, kini menatap penuh minat ke arah Ilona dan wanita paruh baya yang baru saja menamparnya. “Tidak perlu memasang wajah pura-pura sedih seperti itu! Saya tidak akan tertipu lagi dengan segala tipu muslihat yang kamu lakukan!” Wanita paruh baya itu kembali meluapkan amarahnya sembari menunjuk wajah Ilona. Kedua bola mata Ilona langsung berkaca-kaca. Bukan karena perih dan panas yang terasa di pipinya, tetapi luka yang menggores hatinya. Ia tak pernah menyangka akan mendapat perlakuan seperti ini dari wanita yang selama ini selalu menyayanginya sepenuh hati. Bahkan, Ilona sudah menganggap wanita itu seperti ibunya sendiri. Wani
Ilona spontan meraih paper bag di sampingnya. Raut heran di wajahnya semakin terlihat di wajahnya saat menemukan sehelai gaun pesta berwarna biru tua di dalam paper bag tersebut. “Dalam rangka apa kamu memberiku gaun seperti ini?”Ilona menatap Reinhard dengan sorot memicing. Wanita itu yakin jika Reinhard sedang merencanakan sesuatu. Tidak mungkin lelaki itu tiba-tiba berbaik hati padanya sampai memberi gaun mahal secara cuma-cuma. Apalagi setelah berbuat tak senonoh padanya beberapa jam lalu. “Besok malam, kamu harus ikut bersamaku mendatangi pesta pernikahan salah satu rekan bisnisku dan kamu harus memakai gaun itu, tidak ada penolakan,” jawab Reinhard dengan nada perintah. Ilona mendengus pelan. “Kamu pikir aku sudi mendampingimu dalam acara seperti itu? Pergi saja sendiri! Aku tidak mau pergi ke sana bersamamu!” balasnya ketus. Ilona lebih memilih mendekam di dalam kamar seharian penuh daripada harus pergi bersama Reinhard. Ia sudah bisa menebak jika selama berada di sana nant
Walaupun ruang geraknya sangat terbatas, Ilona terus berusaha meronta dan menendang kaki Reinhard. Bukannya berhasil, Reinhard malah semakin mengimpit tubuhnya. Tak kehabisan akal, wanita itu menggigit bibir bawah Reinhard sekuat tenaga. Perbuatannya berhasil membuat Reinhard melepaskan bibirnya. Deru napas Ilona dan Reinhard yang memburu saling beradu. Wajah keduanya sama-sama memerah menahan amarah yang berkobar. Tatapan tajam mereka terkunci selama beberapa saat sebelum Ilona lebih dulu mengalihkan pandangannya dengan ekspresi muak. Reinhard mengelap bibirnya yang berdarah dengan gerakan kasar. Sorot matanya semakin tajam dengan aura membunuh yang menguar ke mana-mana. “Berani-beraninya kamu melukaiku!” bentaknya menggelegar. Sebelum Ilona sempat memberi tanggapan, Reinhard langsung menarik dan membanting tubuhnya di atas ranjang. Tidak sakit memang, tetapi itu membuat kepala Ilona mendadak pening. Wanita itu berusaha bangkit, tetapi Reinhard lebih dulu menindih tubuhnya. “Diam
Ilona langsung menoleh ke belakang setelah berhasil menegakkan tubuhnya. Seorang lelaki muda yang sepertinya seumuran dengan Reinhard lah yang membantu menopang tubuhnya. Wanita itu meringis malu seraya menyunggingkan senyum kaku. “Maaf, tiba-tiba kepalaku sedikit pusing. Tetapi, sekarang sudah tidak lagi. Terima kasih sudah menolongku,” tutur Ilona seraya melangkah mundur, memperlebar jarak di antara mereka. Ilona merutuk dalam hati. Karena terlampau kesal pada sikap Reinhard hari ini, ia sampai lupa makan sejak pagi. Wanita itu baru menyadarinya saat dalam perjalanan menuju ke kantor Reinhard. Itulah salah satu alasannya mampir ke tempat ini. “Sama-sama. Bagaimana jika kita masuk saja? Kebetulan cafe ini milikku,” balas lelaki itu sembari mempersilakan Ilona masuk. Ilona semakin merasa segan setelah mengetahui jika lelaki itu adalah pemilik cafe ini. Ia ingin mengurungkan niatnya mengunjungi cafe tersebut, namun tidak enak menolak ajakan lelaki di hadapannya ini. Kepala Ilona
“Kamu yang menyuruhku memasak, kenapa kamu malah membuang semuanya?! Bahkan kamu tidak mencicipinya sama sekali! Apa kamu tidak bisa menghargai aku sedikit pun?” murka Ilona dengan tatapan berapi-api. Kekesalan yang sedari tadi Ilona rasakan berubah menjadi amarah tertahan yang memuncak. Ia sengaja mengikuti keinginan lelaki itu tanpa banyak protes karena tidak ingin menambah masalah. Tetapi, Reinhard malah sengaja mengerjainya.Ilona sudah bersusah payah membuat makanan itu dengan kaki yang masih pincang dan berdenyut nyeri. Namun, Reinhard malah membuang makanan itu begitu saja tanpa merasa bersalah sedikit pun. “Aku sudah mengikuti keinginanmu! Kemarin kamu berkata tidak akan macam-macam jika aku tidak berulah, mana buktinya? Kamu tetap saja mengerjaiku!” sembur wanita itu dengan kedua tangan mengepal. Tahu begini Ilona tidak akan bersusah payah membuatkan lelaki itu makanan. Ia sudah berusaha mengalah untuk meminimalisir masalah baru. Namun, Reinhard tetap saja tak kunjung puas
“Jangan ganggu dia! Dan berhenti menghubunginya!” tegas Reinhard yang tiba-tiba berdiri di samping Ilona. Ilona dan Romeo terkesiap. Ilona spontan menyingkirkan tangan Romeo dari wajahnya. Ia tak ingin lelaki itu terkena masalah hanya karena berdekatan dengannya. Sebab, Ilona tahu bagaimana gilanya Reinhard saat ingin menghancurkan sesuatu. Ilona sedang tak ingin bertemu siapa pun. Namun, tiba-tiba Romeo datang bersamaan dengan Reinhard juga. Jika hanya bertemu Romeo saja, ia tak masalah. Akan tetapi, kedatangan Reinhard benar-benar mengacaukan ketenangannya. “Istri?” gumam Romeo yang tampak terkejut bukan main. “Kamu tidak tahu? Kami sudah menikah,” jawab Reinhard dengan senyum pongah. Jantung Ilona berdebar semakin keras saat Romeo tiba-tiba menarik tangannya. Ia pikir Romeo tidak mendengar ucapan Reinhard sebelumnya. Ilona ingin mencari waktu yang tepat untuk membicarakan persoalan dan tentunya waktu yang tepat bukanlah sekarang. “Kamu benar-benar menikah dengannya? Bag
“Jangan pernah mendekati ruangan ini!” bentak Reinhard dengan sorot tajam. Ringisan pelan lolos dari bibirnya saat wanita itu berusaha untuk berdiri. Wanita itu sontak menunduk, ternyata pergelangan kakinya memerah. Sakit sekali, Reinhard benar-benar tak punya hati. Ilona kembali mengangkat kepalanya dengan tatapan murka. “Kenapa kamu mendorongku? Kamu membuat kakiku terkilir!” protes Ilona dengan kedua alis menukik tajam. Berulang kali wanita itu berusaha berdiri, bukannya berhasil, kakinya malah semakin berdenyut nyeri. Reinhard membungkukkan tubuhnya di hadapan Ilona dengan rahang mengetat. Lelaki itu memaksa Ilona membalas tatapannya. “Apa yang sedang kamu lakukan di sini, hah? Tidak ada satu pun orang yang aku izinkan masuk ke kamarku, bahkan seorang pelayan sekalipun, termasuk kamu!” Ilona menatap Reinhard dengan sorot tak percaya. Ilona tidak habis pikir mengapa Reinhard sampai berlebihan seperti ini. Sepertinya lelaki itu benar-benar sakit jiwa sampai membuat peraturan