Ilona menggeram kesal. “Kamu pasti sengaja melakukan ini untuk mengerjai aku, 'kan?!” Ia tidak bodoh untuk menyadari jika kamar itu memang sengaja dibuat kotor sebelum dirinya datang.
Suasana hatinya masih belum benar-benar membaik karena ulah Reinhard sebelumnya. Sekarang, lelaki itu malah kembali mengerjai dirinya. Baru sehari mereka resmi menikah, Reinhard sudah membuat suasana hatinya hancur berantakan. Reinhard menyeringai lebar, kemudian melirik arloji yang melingkar di tangannya. “Waktu yang kamu miliki hanya satu jam. Jika kamu tidak menuruti keinginanku, aku bisa menghentikan pengobatan ibumu sekarang juga.” “Bisakah kamu berhenti mengancamku dengan cara itu?” desis Ilona muak. Reinhard selalu mengetahui di mana letak kelemahannya yang membuat dirinya tidak memiliki pilihan lain. Reinhard tiba-tiba menyanggupi membayar biaya pengobatan Haura secara rutin. Ternyata inilah yang lelaki itu rencanakan. Reinhard ingin menggunakan pengobatan itu untuk menekannya. Dan Ilona tak bisa berbuat apa-apa karena ia ingin ibunya sembuh. “Laksanakan saja perintahku, maka semuanya akan baik-baik saja,” balas Reinhard santai. “Kamu tahu apa tujuanku menikahimu. Waktu yang kamu miliki kurang dari satu jam lagi.” Ilona memejamkan matanya sejenak sebelum menggerakkan kakinya memasuki kamar itu. Ia meraih peralatan kebersihan yang sudah tersedia di sana dengan gerakan kasar. Ilona terpaksa membersihkan kamar itu sesuai dengan keinginan Reinhard. Berulang kali Ilona terbatuk karena tak sengaja menghirup debu yang beterbangan di udara. Kotornya ruangan itu sampai melebihi gudang yang tidak dibersihkan selama bertahun-tahun. Ilona semakin yakin jika Reinhard sengaja melakukan ini untuk menyusahkan dirinya. Reinhard memperhatikan Ilona dari pintu kamar dengan senyum misterius yang tersungging di bibirnya. Lelaki itu benar-benar menunggu Ilona hingga selesai membersihkan semuanya. “Simpan saja semua kardus itu di depan ruangan ini, kamu cukup membersihkan seisi ruangan. Anggap saja aku sedang meringankan tugasmu,” ucap Reinhard dengan ekspresi yang menyiratkan kepuasan. Setelah Reinhard pergi, Ilona langsung terduduk di lantai yang baru selesai dirinya bersihkan. Seluruh tubuhnya terasa kebas karena dipaksa membersihkan ruangan yang cukup luas ini dengan cepat. Ilona tak berhenti mengutuk Reinhard dalam hati. Entah sampai kapan dirinya bisa bertahan dengan keadaan seperti ini. Ilona bergegas membersihkan tubuhnya di toilet yang tersedia di dalam kamar itu. Setelahnya, wanita itu memilih langsung beristirahat. Ia hanya berharap Reinhard tidak kembali datang dan mengacaukan harinya. Reinhard tidak mengganggu Ilona lagi setelah itu. Ilona lebih memilih mendekam di dalam kamar seharian penuh. Wanita itu juga mengabaikan waktu makan siang dan makan malamnya. Suara ketukan yang berasal dari pintu kamarnya, membuat Ilona mengalihkan atensinya dari ponsel yang berada di genggamannya. Wanita itu segera beranjak dari ranjang dan menggerakkan kakinya ke arah pintu. Ilona berdecak pelan melihat dua orang perempuan berusia pertengahan 30 tahun-an berdiri di depan pintu kamarnya. Keduanya sama-sama membawa nampan yang penuh dengan berbagai menu makanan. “Sudah kukatakan jika tidak lapar,” ucap Ilona sembari mendengus. Sama seperti yang dirinya lakukan saat waktu makan siang tadi. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan makanan yang mereka bawa. Semua menu itu adalah makanan yang menggugah selera. Namun, hidangan tersebut tak mampu menggugah selera makan Ilona. “Nyonya belum makan apa pun seharian ini. Anda bisa sakit jika tidak makan,” jawab salah seorang dari pelayan itu dengan ekspresi takut-takut. “Tidak perlu memedulikan aku! Aku tidak ingin makan apa pun! Bawa semua makanan ini pergi dari sini!” perintah Ilona dengan kedua alis menukik, tatapannya semakin tajam dan penuh peringatan. “Tetapi, Tuan Reinhard akan marah jika Nyonya tidak mau makan sama sekali—” “Aku tidak suka dipaksa! Lebih baik sekarang kalian pergi dari kamarku. Katakan saja padanya jika aku sudah makan, dia tidak akan marah jika tidak tahu apa-apa,” pungkas Ilona tak ingin dibantah. Tanpa memedulikan pelayan yang masih membujuknya, Ilona langsung menutup pintu kamarnya kembali. Sebelum pintu kamarnya benar-benar tertutup, tiba-tiba ada tangan yang menahannya. Tak sampai di sana, orang itu juga mendorong pintu kamar Ilona agar kembali terbuka lebar. “Ternyata hukuman yang kuberikan beberapa jam lalu belum bisa membuatmu jera,” desis Reinhard tajam. Ketika Reinhard mulai merangsek maju, Ilona bergerak mundur dengan tatapan waspada. Lelaki yang memakai kemeja biru gelap itu melonggarkan dasi yang melingkar di lehernya. Rahangnya mengetat sempurna dengan urat-urat di lehernya yang mulai terlihat. Nyali Ilona mendadak menciut melihat ekspresi murka lelaki itu. Alih-alih diam di tempat dan membalas tatapan Reinhard seperti biasanya, Ilona terus melangkah mundur hingga punggungnya menabrak tembok. Sebelum Ilona sempat beranjak dari sana, Reinhard lebih dulu tiba dan mengunci pergerakan wanita itu. Ia menyejajarkan wajahnya dengan wajah Ilona dan memaksa sang istri menatap ke arahnya juga. “Aku baru pergi sebentar, tetapi kamu sudah berani membuat onar lagi.” “Minggir!” seru Ilona berusaha mendorong dada Reinhard. Sayangnya, lelaki itu tetap tidak bergerak seinchi pun dari posisinya. Bukannya menyingkir, Reinhard malah semakin menekan tubuhnya ke dinding. “Sudah kukatakan berulang kali jika kamu harus mengikuti semua aturanku. Apa maksudmu menolak makan seharian ini?” desis Reinhard sinis. “Aku tidak lapar! Aku akan makan jika aku lapar, kalian tidak bisa memaksaku!” jawab Ilona lantang. Reinhard menyeringai keji. “Semua orang yang tinggal di rumah ini harus mengikuti aturanku tanpa terkecuali, terutama dirimu. Aku paling tidak suka jika ada seseorang yang berani melanggarnya. Kamu tahu apa yang akan aku lakukan jika kamu melanggar aturanku.” Melihat Ilona hanya diam dan tercenung membuat Reinhard menyeringai penuh kepuasan. Lelaki itu memberi kode pada pelayan yang masih berdiri di belakang pintu kamar Ilona, memerintahkan dua orang itu masuk. Ilona langsung membuang muka saat Reinhard menampilkan ekspresi seolah-olah sedang mengejeknya. Wanita itu mengumpat dalam hati. Ia benci menjadi lemah apalagi di hadapan Reinhard seperti sekarang. Tetapi, dirinya memang tidak memiliki apa pun jika dibandingkan dengan kekuasaan yang Reinhard miliki. Setelah dua pelayan yang membawa makanan itu beranjak pergi, Reinhard melangkah mendekati Ilona. “Jangan berulah lagi jika kamu ingin semua orang yang kamu sayangi hidup tenang. Habiskan makanan itu, jangan coba-coba membuangnya.” Setelah itu, Reinhard langsung memutar tubuhnya dan melangkah pergi dari kamar Ilona. Pagi-pagi sekali, kamar Ilona kembali diketuk dan muncullah salah seorang dari pelayan itu. Sang pelayan berkata jika Ilona harus sarapan bersama Reinhard di meja makan saat itu juga. Ilona yang malas berdebat memilih langsung mengiyakan tanpa banyak protes. Setelah selesai membersihkan diri, Ilona mengambil pakaian yang tersedia di lemari secara acak dan bergegas melangkah menuju meja makan. Ketika Ilona datang, beberapa pelayan baru saja meletakkan berbagai jenis makanan di atas meja. Aromanya begitu sedap dan menggiurkan, tetapi tetap saja Ilona malas mencicipinya. Ilona tidak melirik ke arah Reinhard sama sekali selama berada di meja makan. Ia memilih langsung mengambil jatah makanannya dan melahap makanan tersebut dengan gerakan cepat agar bisa segera pergi dari sana. “Aku akan lembur sampai malam, jangan membuat ulah hingga aku kembali,” ucap Reinhard yang sudah lebih menghabiskan jatah sarapannya. “Aku tidak peduli dengan urusanmu,” sahut Ilona sarkas. Reinhard mendengus pelan. “Jadilah penurut hari ini atau hukumanmu akan segera datang,” peringat Reinhard sembari mendorong kursinya dan pergi meninggalkan ruang makan. Ketika matahari mulai meninggi, Ilona kembali keluar dari kamarnya. Ia mulai bosan mendekam terlalu lama di sana. Apalagi tidak ada kegiatan apa pun yang bisa dirinya lakukan. Bahkan, ponsel pun tidak ada. Ilona mulai ragu Reinhard akan menepati janji dan mengganti ponselnya dengan ponsel baru. Bisa saja lelaki itu hanya ingin membuatnya semakin tersiksa. Orang yang sangat picik seperti Reinhard tidak bisa dipercaya begitu saja. Ilona tidak tahu harus pergi ke mana. Rumah ini memang sangat luas, tetapi dirinya hanya mengetahui area yang ia lewati bersama Reinhard tempo hari. Mungkin berkunjung ke taman rumah ini sebentar bisa sedikit menyegarkan pikirannya. Langkah Ilona terhenti di depan sebuah pintu berwarna abu-abu yang menurutnya aneh. Pintu itu memiliki warna yang kontras dengan pintu-pintu lain. Padahal seluruh pintu di rumah itu memiliki warna selaras. Hanya karena warna yang berbeda, dirinya mendadak tertarik untuk melihat apa yang ada di dalam sana. Wanita yang mengenakan gaun rumahan berwarna biru muda itu menoleh ke belakang, menatap sekelilingnya. Tidak ada siapa pun selain dirinya di sana, tidak ada satu pun orang yang bisa ditanya tentang ruangan itu. Sepertinya tidak ada salahnya jika ia melihat isi dari ruangan tersebut. Lagi pula tak ada niat jahat sedikit pun dalam benaknya. Setelah meyakinkan diri, jemari Ilona langsung terulur untuk menyentuh gagang pintu tersebut. Namun, sebelum ia berhasil membuka pintu di hadapannya, sudah ada seseorang yang menariknya menjauh dari sana. Tubuhnya terhempas keras karena tarikan dan dirinya yang begitu kuat. Bahkan, tubuhnya nyaris menghantam meja yang ada di dekat tempatnya terjatuh. Dengan wajah yang masih sangat terkejut, Ilona mendongak dan menemukan tatapan murka Reinhard di hadapannya. “Jangan pernah mendekati ruangan ini!” bentak Reinhard dengan sorot tajam.“Jangan pernah mendekati ruangan ini!” bentak Reinhard dengan sorot tajam. Ringisan pelan lolos dari bibirnya saat wanita itu berusaha untuk berdiri. Wanita itu sontak menunduk, ternyata pergelangan kakinya memerah. Sakit sekali, Reinhard benar-benar tak punya hati. Ilona kembali mengangkat kepalanya dengan tatapan murka. “Kenapa kamu mendorongku? Kamu membuat kakiku terkilir!” protes Ilona dengan kedua alis menukik tajam. Berulang kali wanita itu berusaha berdiri, bukannya berhasil, kakinya malah semakin berdenyut nyeri. Reinhard membungkukkan tubuhnya di hadapan Ilona dengan rahang mengetat. Lelaki itu memaksa Ilona membalas tatapannya. “Apa yang sedang kamu lakukan di sini, hah? Tidak ada satu pun orang yang aku izinkan masuk ke kamarku, bahkan seorang pelayan sekalipun, termasuk kamu!” Ilona menatap Reinhard dengan sorot tak percaya. Ilona tidak habis pikir mengapa Reinhard sampai berlebihan seperti ini. Sepertinya lelaki itu benar-benar sakit jiwa sampai membuat peraturan
“Jangan ganggu dia! Dan berhenti menghubunginya!” tegas Reinhard yang tiba-tiba berdiri di samping Ilona. Ilona dan Romeo terkesiap. Ilona spontan menyingkirkan tangan Romeo dari wajahnya. Ia tak ingin lelaki itu terkena masalah hanya karena berdekatan dengannya. Sebab, Ilona tahu bagaimana gilanya Reinhard saat ingin menghancurkan sesuatu. Ilona sedang tak ingin bertemu siapa pun. Namun, tiba-tiba Romeo datang bersamaan dengan Reinhard juga. Jika hanya bertemu Romeo saja, ia tak masalah. Akan tetapi, kedatangan Reinhard benar-benar mengacaukan ketenangannya. “Istri?” gumam Romeo yang tampak terkejut bukan main. “Kamu tidak tahu? Kami sudah menikah,” jawab Reinhard dengan senyum pongah. Jantung Ilona berdebar semakin keras saat Romeo tiba-tiba menarik tangannya. Ia pikir Romeo tidak mendengar ucapan Reinhard sebelumnya. Ilona ingin mencari waktu yang tepat untuk membicarakan persoalan dan tentunya waktu yang tepat bukanlah sekarang. “Kamu benar-benar menikah dengannya? Bag
“Kamu yang menyuruhku memasak, kenapa kamu malah membuang semuanya?! Bahkan kamu tidak mencicipinya sama sekali! Apa kamu tidak bisa menghargai aku sedikit pun?” murka Ilona dengan tatapan berapi-api. Kekesalan yang sedari tadi Ilona rasakan berubah menjadi amarah tertahan yang memuncak. Ia sengaja mengikuti keinginan lelaki itu tanpa banyak protes karena tidak ingin menambah masalah. Tetapi, Reinhard malah sengaja mengerjainya.Ilona sudah bersusah payah membuat makanan itu dengan kaki yang masih pincang dan berdenyut nyeri. Namun, Reinhard malah membuang makanan itu begitu saja tanpa merasa bersalah sedikit pun. “Aku sudah mengikuti keinginanmu! Kemarin kamu berkata tidak akan macam-macam jika aku tidak berulah, mana buktinya? Kamu tetap saja mengerjaiku!” sembur wanita itu dengan kedua tangan mengepal. Tahu begini Ilona tidak akan bersusah payah membuatkan lelaki itu makanan. Ia sudah berusaha mengalah untuk meminimalisir masalah baru. Namun, Reinhard tetap saja tak kunjung puas
Ilona langsung menoleh ke belakang setelah berhasil menegakkan tubuhnya. Seorang lelaki muda yang sepertinya seumuran dengan Reinhard lah yang membantu menopang tubuhnya. Wanita itu meringis malu seraya menyunggingkan senyum kaku. “Maaf, tiba-tiba kepalaku sedikit pusing. Tetapi, sekarang sudah tidak lagi. Terima kasih sudah menolongku,” tutur Ilona seraya melangkah mundur, memperlebar jarak di antara mereka. Ilona merutuk dalam hati. Karena terlampau kesal pada sikap Reinhard hari ini, ia sampai lupa makan sejak pagi. Wanita itu baru menyadarinya saat dalam perjalanan menuju ke kantor Reinhard. Itulah salah satu alasannya mampir ke tempat ini. “Sama-sama. Bagaimana jika kita masuk saja? Kebetulan cafe ini milikku,” balas lelaki itu sembari mempersilakan Ilona masuk. Ilona semakin merasa segan setelah mengetahui jika lelaki itu adalah pemilik cafe ini. Ia ingin mengurungkan niatnya mengunjungi cafe tersebut, namun tidak enak menolak ajakan lelaki di hadapannya ini. Kepala Ilona
Walaupun ruang geraknya sangat terbatas, Ilona terus berusaha meronta dan menendang kaki Reinhard. Bukannya berhasil, Reinhard malah semakin mengimpit tubuhnya. Tak kehabisan akal, wanita itu menggigit bibir bawah Reinhard sekuat tenaga. Perbuatannya berhasil membuat Reinhard melepaskan bibirnya. Deru napas Ilona dan Reinhard yang memburu saling beradu. Wajah keduanya sama-sama memerah menahan amarah yang berkobar. Tatapan tajam mereka terkunci selama beberapa saat sebelum Ilona lebih dulu mengalihkan pandangannya dengan ekspresi muak. Reinhard mengelap bibirnya yang berdarah dengan gerakan kasar. Sorot matanya semakin tajam dengan aura membunuh yang menguar ke mana-mana. “Berani-beraninya kamu melukaiku!” bentaknya menggelegar. Sebelum Ilona sempat memberi tanggapan, Reinhard langsung menarik dan membanting tubuhnya di atas ranjang. Tidak sakit memang, tetapi itu membuat kepala Ilona mendadak pening. Wanita itu berusaha bangkit, tetapi Reinhard lebih dulu menindih tubuhnya. “Diam
Ilona spontan meraih paper bag di sampingnya. Raut heran di wajahnya semakin terlihat di wajahnya saat menemukan sehelai gaun pesta berwarna biru tua di dalam paper bag tersebut. “Dalam rangka apa kamu memberiku gaun seperti ini?”Ilona menatap Reinhard dengan sorot memicing. Wanita itu yakin jika Reinhard sedang merencanakan sesuatu. Tidak mungkin lelaki itu tiba-tiba berbaik hati padanya sampai memberi gaun mahal secara cuma-cuma. Apalagi setelah berbuat tak senonoh padanya beberapa jam lalu. “Besok malam, kamu harus ikut bersamaku mendatangi pesta pernikahan salah satu rekan bisnisku dan kamu harus memakai gaun itu, tidak ada penolakan,” jawab Reinhard dengan nada perintah. Ilona mendengus pelan. “Kamu pikir aku sudi mendampingimu dalam acara seperti itu? Pergi saja sendiri! Aku tidak mau pergi ke sana bersamamu!” balasnya ketus. Ilona lebih memilih mendekam di dalam kamar seharian penuh daripada harus pergi bersama Reinhard. Ia sudah bisa menebak jika selama berada di sana nant
Ilona spontan menyentuh wajahnya yang terasa panas akibat bekas tamparan itu. Ketika wanita itu mendongak, matanya langsung bertemu dengan tatapan kebencian dari seseorang yang selama ini selalu menatapnya penuh kasih sayang. Kegaduhan tersebut berhasil memancing atensi seluruh tamu undangan yang hadir. Semua orang yang tadinya sibuk dengan urusan masing-masing, kini menatap penuh minat ke arah Ilona dan wanita paruh baya yang baru saja menamparnya. “Tidak perlu memasang wajah pura-pura sedih seperti itu! Saya tidak akan tertipu lagi dengan segala tipu muslihat yang kamu lakukan!” Wanita paruh baya itu kembali meluapkan amarahnya sembari menunjuk wajah Ilona. Kedua bola mata Ilona langsung berkaca-kaca. Bukan karena perih dan panas yang terasa di pipinya, tetapi luka yang menggores hatinya. Ia tak pernah menyangka akan mendapat perlakuan seperti ini dari wanita yang selama ini selalu menyayanginya sepenuh hati. Bahkan, Ilona sudah menganggap wanita itu seperti ibunya sendiri. Wani
Ilona tak bisa menahan ringisannya saat dokter mengobati luka di tangan dan pelipisnya. Kepalanya masih pening dengan sekujur tubuh remuk redam. Walaupun kondisinya cukup mengenaskan seperti ini, ia bersyukur karena dirinya berhasil selamat dari sekumpulan pemuda yang hendak melecehkannya. Ilona tidak bisa membayangkan jika orang-orang itu berhasil menjamah tubuhnya. Terserempet mobil jauh lebih baik dibanding harus menyerahkan kehormatan yang ia jaga selama ini untuk orang yang tidak pantas. Karena tidak memperhatikan keadaan sekitarnya saat berlari, Ilona terserempet sebuah mobil. Beruntungnya, mobil tersebut sedang tidak melaju kencang dan sang pengemudi menginjak rem tepat waktu. Jika tidak, mungkin kondisi Ilona jauh lebih mengenaskan dibanding saat ini. Ilona hanya mendapat luka lecet di area dagu, lengan dan kaki kirinya, selebihnya ia baik-baik saja. Yang terpenting orang-orang itu tak sampai melakukan sesuatu yang buruk padanya. “Ini
Ilona langsung keluar dari toilet dan melangkah cepat menyeberangi ruangan menuju ranjang yang masih ditempati oleh Reinhard. Tanpa basa-basi wanita itu langsung menyingkap selimut yang Reinhard kenakan. Ia tidak terima lelaki itu menjamah tubuhnya tanpa permisi. “Bangun! Apa yang kamu lakukan padaku semalam? Berani-beraninya kamu melakukan—”Luapan amarah Ilona berubah menjadi pekikan karena Reinhard tiba-tiba membuka mata dan menarik tubuhnya hingga terjatuh di ranjang dan menimpa tubuh Reinhard. Dalam hitungan detik, lelaki itu sudah membalikkan posisi mereka. Kemarahan Ilona langsung menguap, wajahnya berubah memucat. Posisi seperti ini membuat dirinya merasa dejavu. Kenangan menjijikkan itu kembali berputar di kepalanya. Ilona berdeham pelan, menutupi ketakutannya serapat mungkin. “Mi-minggir! Jangan macam-macam!” sentak Ilona sembari melotot. Ilona berusaha memasang wajah garang dengan tatapan berkobar. Semalam dirinya memang le
Ilona tak bisa menahan ringisannya saat dokter mengobati luka di tangan dan pelipisnya. Kepalanya masih pening dengan sekujur tubuh remuk redam. Walaupun kondisinya cukup mengenaskan seperti ini, ia bersyukur karena dirinya berhasil selamat dari sekumpulan pemuda yang hendak melecehkannya. Ilona tidak bisa membayangkan jika orang-orang itu berhasil menjamah tubuhnya. Terserempet mobil jauh lebih baik dibanding harus menyerahkan kehormatan yang ia jaga selama ini untuk orang yang tidak pantas. Karena tidak memperhatikan keadaan sekitarnya saat berlari, Ilona terserempet sebuah mobil. Beruntungnya, mobil tersebut sedang tidak melaju kencang dan sang pengemudi menginjak rem tepat waktu. Jika tidak, mungkin kondisi Ilona jauh lebih mengenaskan dibanding saat ini. Ilona hanya mendapat luka lecet di area dagu, lengan dan kaki kirinya, selebihnya ia baik-baik saja. Yang terpenting orang-orang itu tak sampai melakukan sesuatu yang buruk padanya. “Ini
Ilona spontan menyentuh wajahnya yang terasa panas akibat bekas tamparan itu. Ketika wanita itu mendongak, matanya langsung bertemu dengan tatapan kebencian dari seseorang yang selama ini selalu menatapnya penuh kasih sayang. Kegaduhan tersebut berhasil memancing atensi seluruh tamu undangan yang hadir. Semua orang yang tadinya sibuk dengan urusan masing-masing, kini menatap penuh minat ke arah Ilona dan wanita paruh baya yang baru saja menamparnya. “Tidak perlu memasang wajah pura-pura sedih seperti itu! Saya tidak akan tertipu lagi dengan segala tipu muslihat yang kamu lakukan!” Wanita paruh baya itu kembali meluapkan amarahnya sembari menunjuk wajah Ilona. Kedua bola mata Ilona langsung berkaca-kaca. Bukan karena perih dan panas yang terasa di pipinya, tetapi luka yang menggores hatinya. Ia tak pernah menyangka akan mendapat perlakuan seperti ini dari wanita yang selama ini selalu menyayanginya sepenuh hati. Bahkan, Ilona sudah menganggap wanita itu seperti ibunya sendiri. Wani
Ilona spontan meraih paper bag di sampingnya. Raut heran di wajahnya semakin terlihat di wajahnya saat menemukan sehelai gaun pesta berwarna biru tua di dalam paper bag tersebut. “Dalam rangka apa kamu memberiku gaun seperti ini?”Ilona menatap Reinhard dengan sorot memicing. Wanita itu yakin jika Reinhard sedang merencanakan sesuatu. Tidak mungkin lelaki itu tiba-tiba berbaik hati padanya sampai memberi gaun mahal secara cuma-cuma. Apalagi setelah berbuat tak senonoh padanya beberapa jam lalu. “Besok malam, kamu harus ikut bersamaku mendatangi pesta pernikahan salah satu rekan bisnisku dan kamu harus memakai gaun itu, tidak ada penolakan,” jawab Reinhard dengan nada perintah. Ilona mendengus pelan. “Kamu pikir aku sudi mendampingimu dalam acara seperti itu? Pergi saja sendiri! Aku tidak mau pergi ke sana bersamamu!” balasnya ketus. Ilona lebih memilih mendekam di dalam kamar seharian penuh daripada harus pergi bersama Reinhard. Ia sudah bisa menebak jika selama berada di sana nant
Walaupun ruang geraknya sangat terbatas, Ilona terus berusaha meronta dan menendang kaki Reinhard. Bukannya berhasil, Reinhard malah semakin mengimpit tubuhnya. Tak kehabisan akal, wanita itu menggigit bibir bawah Reinhard sekuat tenaga. Perbuatannya berhasil membuat Reinhard melepaskan bibirnya. Deru napas Ilona dan Reinhard yang memburu saling beradu. Wajah keduanya sama-sama memerah menahan amarah yang berkobar. Tatapan tajam mereka terkunci selama beberapa saat sebelum Ilona lebih dulu mengalihkan pandangannya dengan ekspresi muak. Reinhard mengelap bibirnya yang berdarah dengan gerakan kasar. Sorot matanya semakin tajam dengan aura membunuh yang menguar ke mana-mana. “Berani-beraninya kamu melukaiku!” bentaknya menggelegar. Sebelum Ilona sempat memberi tanggapan, Reinhard langsung menarik dan membanting tubuhnya di atas ranjang. Tidak sakit memang, tetapi itu membuat kepala Ilona mendadak pening. Wanita itu berusaha bangkit, tetapi Reinhard lebih dulu menindih tubuhnya. “Diam
Ilona langsung menoleh ke belakang setelah berhasil menegakkan tubuhnya. Seorang lelaki muda yang sepertinya seumuran dengan Reinhard lah yang membantu menopang tubuhnya. Wanita itu meringis malu seraya menyunggingkan senyum kaku. “Maaf, tiba-tiba kepalaku sedikit pusing. Tetapi, sekarang sudah tidak lagi. Terima kasih sudah menolongku,” tutur Ilona seraya melangkah mundur, memperlebar jarak di antara mereka. Ilona merutuk dalam hati. Karena terlampau kesal pada sikap Reinhard hari ini, ia sampai lupa makan sejak pagi. Wanita itu baru menyadarinya saat dalam perjalanan menuju ke kantor Reinhard. Itulah salah satu alasannya mampir ke tempat ini. “Sama-sama. Bagaimana jika kita masuk saja? Kebetulan cafe ini milikku,” balas lelaki itu sembari mempersilakan Ilona masuk. Ilona semakin merasa segan setelah mengetahui jika lelaki itu adalah pemilik cafe ini. Ia ingin mengurungkan niatnya mengunjungi cafe tersebut, namun tidak enak menolak ajakan lelaki di hadapannya ini. Kepala Ilona
“Kamu yang menyuruhku memasak, kenapa kamu malah membuang semuanya?! Bahkan kamu tidak mencicipinya sama sekali! Apa kamu tidak bisa menghargai aku sedikit pun?” murka Ilona dengan tatapan berapi-api. Kekesalan yang sedari tadi Ilona rasakan berubah menjadi amarah tertahan yang memuncak. Ia sengaja mengikuti keinginan lelaki itu tanpa banyak protes karena tidak ingin menambah masalah. Tetapi, Reinhard malah sengaja mengerjainya.Ilona sudah bersusah payah membuat makanan itu dengan kaki yang masih pincang dan berdenyut nyeri. Namun, Reinhard malah membuang makanan itu begitu saja tanpa merasa bersalah sedikit pun. “Aku sudah mengikuti keinginanmu! Kemarin kamu berkata tidak akan macam-macam jika aku tidak berulah, mana buktinya? Kamu tetap saja mengerjaiku!” sembur wanita itu dengan kedua tangan mengepal. Tahu begini Ilona tidak akan bersusah payah membuatkan lelaki itu makanan. Ia sudah berusaha mengalah untuk meminimalisir masalah baru. Namun, Reinhard tetap saja tak kunjung puas
“Jangan ganggu dia! Dan berhenti menghubunginya!” tegas Reinhard yang tiba-tiba berdiri di samping Ilona. Ilona dan Romeo terkesiap. Ilona spontan menyingkirkan tangan Romeo dari wajahnya. Ia tak ingin lelaki itu terkena masalah hanya karena berdekatan dengannya. Sebab, Ilona tahu bagaimana gilanya Reinhard saat ingin menghancurkan sesuatu. Ilona sedang tak ingin bertemu siapa pun. Namun, tiba-tiba Romeo datang bersamaan dengan Reinhard juga. Jika hanya bertemu Romeo saja, ia tak masalah. Akan tetapi, kedatangan Reinhard benar-benar mengacaukan ketenangannya. “Istri?” gumam Romeo yang tampak terkejut bukan main. “Kamu tidak tahu? Kami sudah menikah,” jawab Reinhard dengan senyum pongah. Jantung Ilona berdebar semakin keras saat Romeo tiba-tiba menarik tangannya. Ia pikir Romeo tidak mendengar ucapan Reinhard sebelumnya. Ilona ingin mencari waktu yang tepat untuk membicarakan persoalan dan tentunya waktu yang tepat bukanlah sekarang. “Kamu benar-benar menikah dengannya? Bag
“Jangan pernah mendekati ruangan ini!” bentak Reinhard dengan sorot tajam. Ringisan pelan lolos dari bibirnya saat wanita itu berusaha untuk berdiri. Wanita itu sontak menunduk, ternyata pergelangan kakinya memerah. Sakit sekali, Reinhard benar-benar tak punya hati. Ilona kembali mengangkat kepalanya dengan tatapan murka. “Kenapa kamu mendorongku? Kamu membuat kakiku terkilir!” protes Ilona dengan kedua alis menukik tajam. Berulang kali wanita itu berusaha berdiri, bukannya berhasil, kakinya malah semakin berdenyut nyeri. Reinhard membungkukkan tubuhnya di hadapan Ilona dengan rahang mengetat. Lelaki itu memaksa Ilona membalas tatapannya. “Apa yang sedang kamu lakukan di sini, hah? Tidak ada satu pun orang yang aku izinkan masuk ke kamarku, bahkan seorang pelayan sekalipun, termasuk kamu!” Ilona menatap Reinhard dengan sorot tak percaya. Ilona tidak habis pikir mengapa Reinhard sampai berlebihan seperti ini. Sepertinya lelaki itu benar-benar sakit jiwa sampai membuat peraturan