Ilona spontan mematikan teleponnya dan menghapus air mata yang membasahi wajahnya ketika tak sengaja mendengar bunyi kunci yang diputar. Sebelum pintu terbuka, wanita itu buru-buru merapikan wajahnya yang terlihat luar biasa menyedihkan. Ia tidak menyangka Reinhard akan kembali membuka kamarnya secepat ini. Ilona dan Reinhard bertemu pandang selama beberapa saat ketika Reinhard membuka pintu kamar tersebut. Namun, Ilona yang masih dalam suasana hati tidak baik langsung membuang muka dan melangkah memasuki toilet yang ada di hadapannya. Ia tidak peduli dengan apa pun yang akan Reinhard lakukan di kamarnya. Wanita muda itu memutuskan untuk membersihkan diri, berharap perasaan campur aduk yang dirinya rasakan sekarang. Cukup lama Ilona berada di dalam toilet padahal urusannya sudah selesai sejak tadi. Ia malas bertemu Reinhard lagi. Siapa tahu saja lelaki itu masih berada di kamarnya saat ini. “Ternyata dia hanya membawakan sarapan untukku? Romantis sekali
Keinginan untuk berpisah bukan hanya sekali dua kali saja Ilona lontarkan. Namun, baru sekarang ia berani mengatakan secara gamblang tentang perpisahan itu. Bahkan, seharusnya sejak awal dirinya sudah mengatakan kalimat tersebut. Namun, entah kenapa Ilona kembali merasakan keanehan dalam dirinya. Seharusnya kata perpisahan itu tidak membuatnya merasa berat. Padahal sudah jelas-jelas tidak ada satu pun alasan untuk mempertahankan hubungan mereka. Lain lagi ceritanya jika dirinya tidak keguguran waktu itu. Ringisan pelan lolos dari bibir Ilona bersamaan dengan punggungnya yang bertubrukan dengan tembok. Piyama tipis yang dirinya kenakan tidak terlalu membantu menghalau hawa dingin yang tiba-tiba menyergap kulitnya. Ditambah lagi dengan nyeri yang tercipta karena punggungnya menghantam tembok yang keras. “Apa yang kamu katakan barusan? Berani-beraninya kamu mengatakan itu!” bentak Reinhard yang sudah mengunci pergerakan Ilona di dinding kamar itu. Air muka
Ilona yang mengintip dari balik pintu kamarnya mengerutkan keningnya. Reinhard tidak terlihat terkejut mendengar kabar kedatangan Merisa. Itu berarti Reinhard memang sudah mengetahui kalau Merisa tidak berada di penjara lagi. Atau mungkin memang tidak pernah masuk penjara. Sebenarnya Ilona tidak ingin ikut campur urusan Merisa dan Reinhard. Tetapi, ada banyak sekali pertanyaan yang bercokol di kepalanya saat ini. Setidaknya jika tidak bisa mengemukakan pertanyaannya, ia ingin tahu apa tujuan kedatangan Merisa. Sakit hatinya pada wanita itu belum tuntas dan sekarang Merisa sudah kembali berkeliaran di sekitarnya. Ilona tidak ingin berpikir negatif. Mungkin saja Merisa sudah berubah dan tidak akan lagi mengganggunya. Seharusnya perbuatan yang Reinhard lakukan waktu itu mampu membuat Merisa jera. “Tidak ada salahnya ‘kan jika aku ingin melihatnya?” gumam Ilona seraya merapikan kembali penampilannya yang sudah acak-acakan di depan cermin. Wanita itu mengedi
“Tidak apa? Kenapa kamu malah diam?” sahut Reinhard menahan kesal. “Jangan pernah menyamakan diriku dengan lelaki lain!” Lelaki itu sibuk menggerutu tanpa menyadari ke mana arah pandang Ilona berlabuh sebenarnya. Tanpa memedulikan gerutuan Reinhard, Ilona masih fokus menatap ke tempat seseorang yang mirip dengan Merisa berada. Ia sangat yakin kalau perempuan itu memang mantan kekasih Reinhard yang membuatnya keguguran itu. Masalahnya, tidak mungkin wanita itu bisa berkeliaran dengan bebas. Apalagi hanya selang beberapa bulan setelah penangkapannya. Karena terlalu fokus dengan pikirannya sendiri, Ilona sampai tidak menyadari jika ada petugas swalayan yang melintas. Nyaris saja mereka bertabrakan jika Reinhard tidak menarik tubuh Ilona ke pinggir. Saat itu juga lamunan Ilona langsung buyar dan wanita itu terkesiap. Ketika Ilona kembali menoleh ke tempat sebelumnya, sosok Merisa sudah tidak berada di sana. Entah ke mana wanita itu pergi, jejaknya
Ekspresi Ilona langsung berubah setelah mendengar kalimat yang kepala pelayan itu ucapkan. Senyum tipis yang semula tersungging di bibirnya langsung lenyap. Berganti dengan ekspresi datar dan tatapan dingin. Namun, detik berikutnya wanita itu kembali menetralkan air mukanya. Seolah-olah kalimat barusan tidak mengusik perasaannya. Ilona merutuk dalam hati, seharusnya ia tidak perlu seperti ini hanya karena satu pertanyaan. Selama ini tak pernah ada yang bertanya seperti itu padanya. Entah kenapa pertanyaan tentang hamil sangat sensitif baginya. Mungkin karena dirinya masih merasa bersalah atas peristiwa yang terjadi beberapa bulan lalu. “Aku tidak hamil,” jawab Ilona seraya menyerahkan cangkir di tangannya yang sudah kosong ke tangan sang kepala pelayan. Sebisa mungkin ia memasang wajah santai. Menyembunyikan hatinya yang tersayat sekarang. Ilona memang belum mendapatkan tamu bulanannya. Namun, tanggalnya memang belum terlewat juga. Kalaupun terlambat, b
Bukan hanya Reinhard yang langsung ke arah Ilona, tetapi beberapa pelayan yang mengantarkan makanan juga. Sedangkan Ilona masih sibuk memijat pelipisnya yang tiba-tiba berdenyut. Hanya karena tak sengaja menghirup aroma makanan yang baru saja diantar itu, ia mendadak merasa mual. “Tolong singkirkan makanan ini, aromanya menyengat sekali, membuatku pusing.” Ilona menunjuk sebuah mangkuk berisi sup iga yang menurutnya beraroma sangat menyengat. Padahal sebelumnya ia sangat menyukai makanan tersebut. Akan tetapi, entah kenapa sekarang makanan ini malah membuatnya pusing dan mual. Suasana hatinya sudah memburuk sejak mengetahui tujuan Reinhard memerintahkan orang untuk membawanya ke tempat ini. Tak cukup sampai di sana, sekarang ia malah merasa pusing dan mual luar biasa. Ia memang merasa kurang sehat dan agak lemas seharian ini. “Apa maksudmu? Bukannya kamu menyukai makanan itu?” sahut Reinhard dengan tatapan penuh perhitungan. “Jangan