Home / Rumah Tangga / Dinikahi Profesor Galak / 02. Manusia Paling Menyebalkan

Share

02. Manusia Paling Menyebalkan

Author: Just Mommy
last update Last Updated: 2023-05-29 20:36:36

Uhuk, uhuk!

 

Intan yang sedang mengunyah makanan itu langsung tersedak. Bak tersambar petir di siang bolong, ia sangat terkejut mendengar bahwa dirinya akan dijodohkan dengan profesor yang paling ia benci itu.

 

'Aku yakin ini pasti mimpi. Mana mungkin aku menikah dengan manusia jahat seperti itu? Oh no! Itu bagaikan musibah,' batin Intan sambil meneguk air mineral.

 

Ia tidak berani mengatakan apa pun karena khawatir penyakit ibunya kumat.

 

Sementara itu Zein masih berusaha bersikap tenang meski sebenarnya ia pun tak kalah terkejut dari Intan. 'Mimpi apa aku harus menikahi gadis manja seperti itu?' batin Zein. Ia tidak mengatakan apa pun, sehingga Muh dan Rani menganggap bahwa Zein setuju dengan perjodohan ini.

 

"Emm ... sepertinya kalian berdua tidak keberatan? Wajar, sih. Kalian kan sudah saling mengenal, jadi tidak sulit untuk membangun chemistery. Bukan begitu?" ujar Rani tanpa dosa.

 

Padahal, jangankan chemistrery. Sekadar hubungan baik antara konsulen dan koas saja tidak ada. Mereka lebih sering berdebat meski hanya karena hal sepele.

 

"Saya juga senang kalau kalian berdua setuju," timpal Fatma yang sejak tadi hanya menjadi pendengar setia.

 

"Apalagi saya, Bu. Almarhum ayahnya Intan pun pasti akan bahagia jika mengetahui hal ini. Sebab beliau pernah menitipkan Intan pada saya. Semoga Zein bisa menjaga amanah ini, ya?" ujar Muh dengan wajah yang terlihat begitu bahagia.

 

‘Cih! Mana mungkin. Yang ada aku akan menderita jika harus hidup dengannya,’ gumam Intan dalam hati.

 

Zein hanya tersenyum getir. Ia ingin menolak, akan tetapi dirinya yang menjunjung tinggi etika itu tidak mungkin langsung menolak di hadapan Fatma begitu saja. Jika hanya Intan mungkin ia tidak akan peduli. Namun ia memikirkan perasaan Fatma yang sebelumnya memang pernah ia kenal itu.

 

Beberapa saat kemudian, mereka keluar dan berpamitan di depan restoran tersebut. "Zein, apa kamu bisa mengangtar Intan dan Bu Fatma?" tanya Muh. Ia tidak tega melihat dua wanita itu pulang berdua.

 

Zein terlihat keberatan. Ia tidak ingin mengantar Intan karena khawatir gadis itu akan merasa diperhatikan. Menyadari hal itu, Intan pun segera menjawab ucapan Muh.

 

"Gak usah, Om! Saya bawa motor," sahut Intan. Saat ini ia pun tidak ingin terlalu dekat dengan makhluk paling menakutkan baginya itu.

 

"Wah, tapi gak apa-apa kalian naik motor berdua malam-malam begini?" tanya Muh.

 

"Gak apa, Om. Aku udah biasa, kok. Bahkan biasanya aku pulang dini hari dari rumah sakit," ucap Intan sambil melirik ke arah Zein. Ia sengaja menyindir konsulen yang menurutnya tidak punya perasaan itu.

 

"Ya Tuhan, itu berbahaya sekali. Zein, kamu gimana, sih? Masa kamu biarin Intan pulang malam sendirian?" Muh protes pada Zein. Ia menganggap anaknya keterlaluan karena itu sangat berbahaya.

 

"Papah kayak gak tau aja. Kalau lagi koas kan emang gitu. Dokter lain juga gak ada yang ngeluh, kok. Ya ... kecuali kalau emang manja," sindir Zein. Ia kesal karena Intan mengadu.

 

"Ya udah, kami duluan ya, Om," Intan bergegas pamit. Ia tidak ingin berdebat dengan calon suaminya itu.

 

"Oke, hati-hati!" sahut Muh. Mereka pun pulang ke rumahnya.

 

Tiba di rumah Muh, Zein langsung protes pada orang tuanya itu. "Apa Papah dan Mamah tidak salah? Dia itu masih kecil, Pah. Bahkan masih banyak yang harus ia lalui untuk menjadi dokter."

 

"Why not? Bukankah dulu kalian cukup dekat? Apa kamu lupa, Zein? Kamu bahkan dulu sangat menyayangi Intan," ujar Muh. Tadi mereka tidak sempat membahas masa lalu karena hari sudah cukup malam.

 

"Apa?" Zein mengerutkan keningnya. Ia seolah tak percaya atas apa yang Muh katakan.

 

"Kamu ingat ibunya Intan, kan? Tante Fatma," Muh berusaha membangkitkan ingatan Zein.

 

Zein terlihat berpikir. "Lupa-lupa ingat, sih. Kenapa?" tanyanya.

 

"Nah, dulu kan kita tetanggaan. Waktu tante Fatma melahirkan, usia kamu sudah 11 tahun. Kala itu kamu sudah hampir lulus SD. Tapi kamu ini sangat menyukai anak kecil. Jadi kamu yang mengasuh Intan. Ingat?" tanya Muh.

 

"Hah? Jadi dia ...?" Zein seolah tak percaya bahwa gadis yang akan ia nikahi adalah bayi yang dulu pernah ia asuh.

 

"Iya, benar. Sekarang dia sudah besar dan akan segera menjadi dokter. Hebat, kan?" tanya Muh tanpa dosa.

 

"Astaghfirullah, Pah. Masa aku harus nikahin anak kecil, sih? Bisa-bisa aku merasa berdosa jika mengingat bagaimana dia ketika bayi dulu," protes Zein.

 

"Sekarang kan dia sudah dewasa, Zein. Lebih baik kamu kenali dulu bagaimana dia. Sedikit banyak papah sudah tahu Intan seperti apa. Papah yakin jika kamu mengenal dia lebih dekat lagi, kamu pasti akan jatuh hati padanya," jelas Muh.

 

Zein sudah tidak dapat berkata-kata lagi. Berontak pun percuma karena jika papahnya sudah membuat keputusan maka tidak bisa diganggu gugat.

 

"Lagi pula kamu itu kan sebentar lagi harus menggantikan Papah, Zein. Jika kamu belum menikah, maka pemegang saham yang lain tidak akan setuju. Kamu tahu itu, kan?" timpal Rani.

 

"Ya sudah," jawab Zein. Kemudian ia pamit pergi ke kamarnya.

 

Zein merupakan calon pewaris rumah sakit Harapan Keluarga. Ia harus menikah dengan Intan agar bisa menjadi direktur. Sebab, Ayah Intan yang sudah meninggal pernah berjasa pada orang tua Zein yang merupakan pemilik rumah sakit itu.

 

Sedangkan Intan hanya gadis yang berasal dari keluarga biasa. Ia bisa menjadi dokter karena mendapat beasiswa. Sebab, sejak ayahnya meninggal keuangan keluarga mereka tidak sebaik dulu.

 

Di tempat lain, Intan pun meminta penjelasan dari ibunya. Ia masih tidak habis pikir mengapa tiba-tiba dirinya dijodohkan seperti itu. Padahal jalan untuk menjadi dokter saja masih cukup panjang.

 

Setibanya di rumah, Intan membersihkan tubuh, kemudian duduk di samping ibunya, lalu ia menaruh kepalanya di paha Fatma.

 

"Bu, maaf. Aku bukan mau protes. Tapi kenapa Ibu tiba-tiba menjodohkan aku?" tanya Intan sambil merasakan usapan tangan Fatma yang menenangkan di kepalanya itu.

 

"Maaf ya, Sayang. Ibu belum sempat cerita sama kamu. Sebenarnya ini adalah permintaan Almarhum ayahmu. Awalnya Ibu sempat menolak. Namun ayah memohon dan mengatakan bahwa ini semua demi kebaikan kamu. Akhirnya ibu setuju dan kemarin Pak Muh menghubungi Ibu. Mengundang kita makan malam, untuk membahas perjodohan ini," jelas Fatma panjang kali lebar.

 

"Bagaimana jika aku menolak, Bu?" tanya Intan sambil melirik ke arah ibunya.

 

"Begini, Nak. Ibu harap kamu jalani saja dulu. Kalian tidak perlu langsung menikah. Nanti kalian akan tunangan lebih dulu sebagai proses penjajakan. Selama itu, kamu bisa saling mengenal lebih dekat dan jika memang merasa tidak cocok, maka tidak perlu dilanjutkan. Bagaimana?" tawar Fatma.

 

"Beneran, Bu?" Intan begitu bersemangat saat Fatma mengatakan bahwa dirinya boleh membatalkan jika memang merasa tidak cocok.

 

"Iya, Nak. Ibu tidak ingin memaksa kamu. Namun Ibu harap kamu mencobanya dulu sebelum menolak," jawab Fatma. Meskipun begitu, ia yakin nantinya Intan mau menikah dengan Zein.

 

"Oke, aku setuju kalau begitu," jawab Intan, bersemangat.

 

***

 

Pagi hari, Intan yang baru tiba di rumah sakit Harapan Keluarga bergegas menuju ruangan Zein. Ia ingin meminta agar Zein membatalkan perjodohan mereka karena bagaimana pun ia sangat membenci Profesor galak yang selalu memarahinya itu.

 

Tuk, tuk, tuk!

 

Intan mengetuk pintu ruangan Zein dengan gelisah.

 

“Masuk!” ucap Zein dari dalam tanpa menoleh ke arah pintu.

 

Ceklek!

 

Intan pun masuk dan menutup pintunya dari dalam karena khawatir ada yang mendengar pembahasan mereka. Kemudian ia mendekat ke arah Zein dan langsung bicara tanpa basa-basi.

 

"Saya harap Prof bisa membatalkan perjodohan ini!" pinta Intan pada Zein yang sedang sibuk dengan laptopnya.

 

Zein pun menghentikan pergerakan jarinya. Kemudian ia menoleh ke arah Intan.

 

"Siapa kamu berani menyuruh saya? Jika memang kamu tidak menginginkan perjodohan ini, silakan kamu sendiri yang membatalkannya!" sahut Zein, dingin. Kemudian ia kembali melanjutkan kegiatannya, tanpa memerhatikan Intan.

 

Intan mengerutkan keningnya. "Oh, jadi Anda memang ingin menikah dengan saya?" tuduhnya.

 

Zein menyeringai. "Bagi saya, pernikahan itu tidak penting. Saya menerima perjodohan ini hanya karena menghargai orang tua. Jika kamu bisa membatalkannya, silakan! Tapi maaf, saya tidak ada waktu untuk membahas hal remeh itu," ucap Zein. Kemudian ia beranjak dan meninggalkan Intan di ruangannya.

 

Zein kesal karena Intan begitu berani menolaknya. Baginya, jika ada yang menolak itu harusnya dia, bukan Intan.

 

Intan pun semakin kesal karena Zein tidak bisa diajak bekerja sama. Dia sendiri tidak mungkin membatalkannya begitu saja. Sebab posisi keluarganya bukan pihak yang pantas untuk membatalkan.

 

Namun, Intan pantang menyerah dan menyusul Zein yang berjalan keluar ruangan. "Prof! Tolong jangan seperti ini! Prof kan tau saya masih koas. Jalan saya masih panjang. Mana mungkin saya menikah, apalagi sama Profesor galak seperti Anda," cibir Intan.

 

Ia sudah sangat emosi sehingga kelepasan.

 

Dicibir seperti itu oleh Intan, Zein pun merasa tertantang. Ia berbalik menghadap ke Intan yang ada di belakangnya.

 

"Memang kenapa menikah dengan Profesor galak, kamu takut?" tanya Zein, sambil menatap Intan dengan tatapan yang sulit diartikan. Zein melangkah maju ke arah Intan hingga gadis itu mundur ketakutan.

 

Kebetulan saat itu koridor ruangan pejabat rumah sakit tersebut sedang sepi. Sehingga mereka bisa membahas hal seperti itu tanpa takut ada yang mendengar.

 

"Iya, saya takut. Saya gak mau punya suami galak kayak Prof," jawab Intan secara berani. Namun ia takut melihat tatapan Zein yang seperti hewan buas sedang ingin menerkam mangsanya. Ia semakin gugup kala punggungnya menabrak dinding dan posisinya terkukung oleh Zein.

 

"Bagus! Kalau begitu kita harus menikah. Supaya kamu tahu bagaimana rasanya memiliki suami galak seperti saya," bisik Zein.

 

Saat ini wajah mereka hanya berjarak lima centi. Sehingga Intan tercekat dan mematung ketakutan. Ia khawatir Zein melakukan sesuatu yang tidak ia harapkan.

 

Melihat Intan ketakutan, Zein malah sengaja mendekatkan bibirnya ke bibir Intan. Seolah hendak mencium bibir gadis itu hingga Intan memejamkan mata sambil menunduk.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dinikahi Profesor Galak   86. Bahagia (S2)

    Hati Ira berdebar-debar kala diminta untuk tes kehamilan oleh ibunya. Ia tak menyangka akan secepat ini mendapatkan momongan. Meski hasilnya belum pasti, tetapi entah mengapa Ira yakin bahwa dirinya memang mengandung.“Kamu ada test pack, gak?” tanya Rani.Ira menggelengkan kepalanya. “Enggak, Mah,” jawabnya.“Ya udah nanti Mamah suruh Bibi beli dulu. Atau kamu mau langsung cek ke rumah sakit?” tanya Rani.“Test aja dulu deh, Mah. Kalau ke rumah sakit, takut hasilnya gak sesuai harapan,” jawab Ira.“Ya udah. Tapi kamu sarapan dulu, ya! Jangan sampai sakit karena telat makan!” nasihat Rani.“Iya, Mah. Terima kasih,” sahut Ira, sambil tersenyum.Setelah itu Rani meninggalkan kamar tersebut, kemudian ia meminta Bibi untuk membeli test pack. “Bi, tolong beliin test pack, dong!” ucap Rani pada ART-nya.“Lho, Mamah hamil?” tanya Muh, kanget.“Yang bener aja, masa Mamah hamil?” timpal Zein yang masih ada di sana.“Kalian ini! Bukan buat Mamah,” ucap Rani, gemas.“Terus buat siapa, dong?” tany

  • Dinikahi Profesor Galak   85. Telat (85)

    “Hehehe, ampun, Ndan!” ucap anak buah Bian sambil cengengesan.“Ya udah, kali ini aku beneran pergi. Assalamualaikum,” ucap Bian. Kemudian ia meninggalkan istrinya itu.“Waalaikumsalam. Hati-hati, Sayang,” sahut Ira.Ia menatap kepergian suaminya itu. “Semoga kamu cepat kembali, Bi. Aku gak sanggup kalau harus pisah terlalu lama lagi,’ batin Ira.“Duh, jadi pingin nikah,” ledek anak buah Bian.“Ya udah, tinggal mengajukan!” sahut Bian, santai.“Yah, saya kan bukan Komandan yang bisa sat set sat set. Mau nikah juga pengajuan dulu, belum lagi prosesnya yang lama,” keluh anak buah Bian.“Ya iya sih masalah utama mah belum ada calonnya! Hahaha,” ledek anak buah Bian yang lain.Mereka semua pun tergelak.Beberapa jam kemudian Ira sudah tiba di rumah Muh kembali. Saat ini ia sedang bersantai di kamarnya, sambil memainkan ponsel.“Kok dia belum ngabarin aku, ya?” gumam Ira.Ia gelisah menanti kabar dari suaminya itu. Padahal Bian tidak sempat untuk memberi kabar pada Ira. Sebab setibanya di

  • Dinikahi Profesor Galak   84. Berpamitan (S2)

    “Mas ... jangan maksa begitu, dong! Lagian kan demi kebaikan Aydin. Aku juga gak akan tenang ninggalinnya,” ucap Intan. Ia tidak enak hati pada mertuanya.“Hehehe, Papah bercanda, kok. Ya udah kalian pergi aja! Biar Aydin sama kami. Lagian Zein kan beberapa bulan terakhir sibuk persiapan alih jabatan, pasti butuh refreshing. Pergilah!” ucap Muh.“Alhamdulillah, gitu dong, Pah! Terima kasih, ya,” ucap Zein. Ia sangat senang karena diizinkan pergi oleh Muh.Zein pun menghampiri dan menggendong anaknya. “Sayang, maaf ya Ayah pergi dulu. Nanti kalau kamu sudah lebih besar, Ayah janji akan ajak kamu jalan-jalan. Oke,” ucap Zein, kemudian ia mencium pipi anaknya.Intan geleng-geleng kepala melihat kelakuan suaminya itu. “Kalau begitu aku mau pumping dulu ya, Mas,” ucapnya.“Iya, Sayang. Pumping yang banyak biar anak ayah gak kelaparan,” ucap Zein, sambil menggoda anaknya.Rani dan Muh tersenyum melihat keluarga kecil itu. Mereka bahagia karena kini anaknya begitu harmonis. Padahal dulu dua

  • Dinikahi Profesor Galak   83. Merengek (S2)

    “Enggaklah! Udah mendingan buruan packing biar kamu gak telat. Perjalanan dari sini ke Jakarta kan gak sebentar!” ucap Ira. Meski mengatakan tidak, tetapi ekspresi wajahnya terlihat sangat kecewa.“Iya, Sayang. Maaf, ya,” ucap Bian. Ia terus meminta maaf karena rasa bersalahnya. Apalagi jika melihat wajah Ira seperti itu. Sebab dirinya telah merusak momen penting.Setelah selesai packing, Bian dan Ira meninggalkan kamar mereka. Kemudian Bian check out di lobby."Kamu tunggu di sini, ya!" pinta Bian, saat Ira sudah berada di mobil."Iya," jawab Ira, singkat.Bian pun meninggalkan mobil, kemudian melakukan check out. Tak lupa Bian menjelaskan bahwa akan ada Zein yang menggantikannya. Ia pun meminta kamarnya dibersihkan dan dihias dengan bunga seperti untuk orang bulan madu."Jadi ini tidak ada biaya tambahan, kan?" tanya Bian."Tidak ada, Mas. untuk buangnya kami berikan free," sahut resepsionis. Mereka memberikan free karena Bian telah memesan hotel dengan kelas kamar paling tinggi sel

  • Dinikahi Profesor Galak   82. Terpaksa Pulang (S2)

    “Tau tuh, siapa tadi yang iseng basahin meja, ya?” canda Bian. Ia sengaja ingin membuat istrinya kesal.Namun kemudian Ira teringat. “Ya ampun, ini karena ulah kamu ya, Bi?” tuduh Ira, sambil ternganga. Ia ingat bagaimana tadi dirinya yang baru naik dari kolam itu langsung direbahkan di atas meja.“Gak salah? Kan kamu yang tadi rebahan di sini,” sahut Bian, santai. Ia sengaja menyudutkan istrinya.“Tapi kan kamu yang bawa aku ke sini!” Ira tidak mau kalah. Ia tak terima disalahkan seperti itu. Sebab memang Bian yang merebahkannya di atas meja.“Ya udah, mendingan makan aja jangan debat! Kan udah lapar,” ucap Bian. Ia pun membuka makanan tersebut dan menyendoknya.“Berarti orang itu lihat, dong?” tanya Ira sambil menyendok makanan. Ia masih tidak enak hati memikirkan meja yang basah tersebut.“Iyalah. Dia kan punya mata,” jawab Bian, tanpa dosa. Berbeda dengan Ira, Bian tak peduli. Baginya orang tadi pasti sudah biasa menghadapi hal seperti itu.“Hiiih, kamu ini!” Ira kesal.“Udah maka

  • Dinikahi Profesor Galak   81. Ini Bulan Madu (S2)

    “Mau ngapain, sih?” tanya Ira. Ia yakin suaminya pasti menginginkan sesuatu.Bian langsung menarik Ira. “Biasakan sama suami itu langsung nurut! Jangan suka ngebantah, nanti tuman!” ucap Bian, gemas.“Ya abisnya kamu suka aneh-aneh, sih,” ucap Ira, manja.“Apanya yang aneh? Namanya suami istri begini tuh wajar, Sayang,” ucap Bian, sambil merangkul pinggang Ira. Kemudian merapatkan tubuh mereka.Ira tersenyum. Ia sangat gemas melihat tingkah suaminya itu. “Tuh, kan. Kamu maaah. Emang wajar, sih. Tapi ini masih siang. Aku risih mesra-mesraan siang hari begini, ihh,” keluh Ira.“Dulu waktu masih pacaran, kamu gak risih. Kenapa sekarang malah menghindar,” bisik Bian, nakal. Kemudian ia menggigit telinga istrinya itu.“Bi!” tegur Ira. Ia malu disebut seperti itu oleh suaminya. Ketika sedang berpacaran mereka memang cukup sering bermesraan. Namun hanya sebatas bibir, tidak lebih. Mungkin karena belum halal, jadi mereka masih sangat menggebu-gebu.Sedangkan saat ini mereka sudah menikah dan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status