Share

03. Pria Lain

Zein menyeringai. "Kamu pikir apa yang akan saya lakukan? Jangan harap!" cibir Zein. Kemudian ia langsung meninggalkan Intan yang sedang mematung itu.

 

Ia menganggap Intan seperti itu karena berharap dicium olehnya.

 

Intan yang terkesiap itu langsung membuka matanya. "Huuuh! Dasar monster menyebalkan. Kalau bukan konsulen, udah pasti aku tendang dia tadi," gumam Intan, kesal. Napasnya menggebu karena terlalu emosi terhadap Zein.

 

Ia tidak terima dianggap seperti itu oleh Zein. ‘Duh, kenapa tadi aku pake tutup mata, sih? Kan dia jadi salah paham,’ batin Intan, menyesal.

 

Saat Intan hendak melangkah, Zein yang sudah berada di ujung koridor pun menghentikan langkahnya. Hal itu membuat Intan kembali tercekat.

 

"Saya tunggu di ruang VVIP lima menit lagi," ucapnya. Kemudian ia membuka pintu koridor dan meninggalkan Intan begitu saja.

 

Intan pun ternganga. Ia baru saja tiba di rumah sakit. Belum sempat menaruh tas dan bersiap. Sementara itu jarak antara ruangannya dan ruangan Zein cukup jauh. Akhirnya Intan pun berlari agar tidak terlambat. Sebab, jika sampai terlambat, Zein sudah pasti akan memarahinya.

 

"Kayak gitu kok mau jadi suami gue? Ya ampun, mimpi apa gue bisa dijodohin sama orang paling menyebalkan se-dunia?" gumam Intan sambil berlari.

 

“Huuh! Huuh! Pagi-pagi gini udah disuruh marathon,” gumam Intan. Kemudian ia meninju angin. “Argh!”

 

Tiba di ruangan, Intan buru-buru menaruh tasnya ke dalam loker dan mengambil perlengkapan prakteknya. Saat itu napasnya masih tersenggal karena berlari. “Ya am-pun, bengek ba-nget,” ucap Intan sambil terputus-putus.

 

Sebagai dokter muda, Intan belum memiliki ruangan sendiri. Sehingga ia hanya bisa menaruh barang-barang miliknya di loker yang ada di ruangan umum untuk para dokter baru.

 

"Duh, bisa kena semprot lagi nih gue," gumam Intan. Ia sangat terburu-buru.

 

Setelah siap, Intan segera mengunci lokernya dan berlari ke arah ruangan VVIP yang berada di lantai 5. Sedangkan ruangan Intan ada di lantai 3.

 

"Lama banget sih?" gumam Intan saat ia menunggu lift. Ia berulang kali melihat jam tangan. Intan meghentak-hentakkan kakinya karena ia memiliki sisa dua menit dari waktu yang diberikan oleh Zein.

 

Meski sudah sering dimarahi oleh Zein, tetapi Intan masih selalu takut dan khawatir jika berhubungan dengannya. Sebab jika sedang marah, Zein tak sungkan mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan. Yang membuat siapa pun akan sakit hati mendengarnya.

 

Ting!

 

Pintu lift terbuka. Intan pun bergegas masuk. Kemudian segera menekan tombol untuk menutup pintu tersebut. Namun, ketika pintu hendak tertutup, ada tangan yang berusaha menahannya hingga pintu itu terbuka kembali.

 

Intan pun kesal karena waktunya semakin terbuang. Kemudian ia segera menekan tombol pintu kembali. "Ke lantai lima dulu ya, saya sedang darurat," ucap Intan pada orang tersebut, tanpa menoleh.

 

"Oke," sahut orang itu. Ia adalah seorang pria berseragam angkatan darat. Wajahnya terlihat tampan dan gagah. Ia dapat melihat bahwa Intan memang sedang dikejar waktu.

 

Selama di dalam lift, Intan terlihat begitu gelisah. Pria berseragam itu pun penasaran padanya.

 

"Ada pasien darurat?" tanyanya.

 

Intan melirik sekilas. "Iya," jawabnya singkat. Saat ini ia sedang tidak ingin berbincang dengan siapa pun. Satu kalimat saja seolah memperlambat waktunya.

 

Melihat sikap Intan yang sedikit ketus, pria itu pun tersenyum simpul. Kemudian ia mengambil roti yang ada di paper bag miliknya dan memberikan roti itu pada Intan.

 

"Nih, pasti dokter belum sarapan, kan?" tanyanya. Ia merupakan pria yang eazy going. Sehingga mudah bekomunikasi dengan siapa pun. Meski orang yang baru dikenal.

 

Intan yang memang belum sarapan itu menoleh ke arah pria tersebut. "Gak usah, terima kasih," jawabnya. Ia tidak ingin berhutang budi pada orang lain. Apalagi dia belum mengenal orang itu.

 

"Gak baik nolak pemberian orang lain. Ini gak ada racunnya, kok," ucap pria itu, bercanda. Tangannya masih terulur sambil memegang roti tersebut.

 

Intan yang malas berdebat pun akhirnya menerima roti tersebut. "Terima kasih," jawabnya.

 

Ting!

 

Pintu lift terbuka. "Saya duluan," ucap Intan. Ia bersikap sopan karena pria itu sudah baik padanya.

 

"Silakan," jawab pria itu. Namun ternyata ia pun keluar dari lift dan berjalan ke arah yang sama dengan Intan.

 

Intan merasa risih karena pria itu mengikutinya. "Ni orang ngapain sih ngikutin aku?" gumamnya, pelan. Bahkan ketika ia berbelok pun pria itu berjalan ke arah yang sama. Hingga akhirnya Intan menghentikan langkah dan balik badan.

 

"Maaf, Mas kenapa ngikutin saya?" tanya Intan dengan yakin.

 

Pria itu menoleh ke belakang untuk memastikan bahwa tidak ada orang lain. "Saya?" tanyanya.

 

"Iya. Memang siapa lagi di sini selain Anda?" Mood Intan sudah terlanjur dirusak oleh Zein. Sehingga, ia bersikap ketus pada orang lain. Padahal biasanya Intan selalu ramah.

 

Pria itu pun tersenyum. "Sorry, tapi saya mau ke ruangan VVIP nomor 503. Arahnya ke sana, kan?" tanya pria itu, sambil menunjuk ke arah yang Intan tuju.

 

Seketika wajah Intan merona dan ia pun tercekat karena sangat malu. "Oh ... iya. Maaf saya salah sangka," jawab Intan, gugup.

 

"It's okay. Kalau begitu saya duluan biar gak dikira ngikutin Dokter," sindir pria itu sambil berlalu. Ia tersenyum karena merasa gemas dengan sikap Intan.

 

"Duh, bodoh banget sih gue. Ini gara-gara beruang kutub itu gue jadi gak waras," gumam Intan, kesal. Ia menyalahkan Zein atas sikapnya pagi ini.

 

Setelah itu Intan bergegas masuk ke ruangan VVIP dan bertanya pada perawat di meja resepsionis bangsal tersebut. "Sus, Prof ada di mana?" tanya Intan.

 

"Di kamar 502, Dok," jawab Suster. Ia sudah paham siapa yang Intan maksud.

 

"Ya udah, terima kasih, ya," ucap Intan. Ia menyusul Zein ke ruangan tersebut.

 

Saat Intan hendak membuka pintu, pintu itu telah terbuka dari dalam. Ia pun berpapasan dengan Zein di ambang pintu. Intan langsung mundur karena Zein pasti akan marah jika langkahnya terhalang.

 

Setelah itu Zein mengarah ke kamar 503, tanpa menghiraukan Intan. Namun ia sudah siap untuk memarahi Intan setelah visit, nanti.

 

"Duh, kenapa harus kamar itu, sih?" gumam Intan. Ia malu jika harus bertemu dengan pria tadi. Namun tidak ada pilihan lain. Ia harus tetap masuk dari pada Zein kembali memarahinya.

 

"Selamat pagi," sapa Zein.

 

"Pagi ...," sahut orang yang ada di ruangan itu. Termasuk pria yang bertemu Intan di lift tadi.

 

Intan pun hanya bisa terdiam sambil berdiri di samping Zein karena masih malu pada pria itu.

 

"Eh, ketemu lagi," ucap pria itu pada Intan. Ia terlihat senang bisa melihat Intan. Ia pun tersenyum kala Intan malu.

 

Zein langsung menoleh ke arahnya. "Kalian saling kenal?" tanyanya, seolah cemburu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status