Share

03. Pria Lain

Author: Just Mommy
last update Last Updated: 2023-05-29 20:37:04

Zein menyeringai. "Kamu pikir apa yang akan saya lakukan? Jangan harap!" cibir Zein. Kemudian ia langsung meninggalkan Intan yang sedang mematung itu.

 

Ia menganggap Intan seperti itu karena berharap dicium olehnya.

 

Intan yang terkesiap itu langsung membuka matanya. "Huuuh! Dasar monster menyebalkan. Kalau bukan konsulen, udah pasti aku tendang dia tadi," gumam Intan, kesal. Napasnya menggebu karena terlalu emosi terhadap Zein.

 

Ia tidak terima dianggap seperti itu oleh Zein. ‘Duh, kenapa tadi aku pake tutup mata, sih? Kan dia jadi salah paham,’ batin Intan, menyesal.

 

Saat Intan hendak melangkah, Zein yang sudah berada di ujung koridor pun menghentikan langkahnya. Hal itu membuat Intan kembali tercekat.

 

"Saya tunggu di ruang VVIP lima menit lagi," ucapnya. Kemudian ia membuka pintu koridor dan meninggalkan Intan begitu saja.

 

Intan pun ternganga. Ia baru saja tiba di rumah sakit. Belum sempat menaruh tas dan bersiap. Sementara itu jarak antara ruangannya dan ruangan Zein cukup jauh. Akhirnya Intan pun berlari agar tidak terlambat. Sebab, jika sampai terlambat, Zein sudah pasti akan memarahinya.

 

"Kayak gitu kok mau jadi suami gue? Ya ampun, mimpi apa gue bisa dijodohin sama orang paling menyebalkan se-dunia?" gumam Intan sambil berlari.

 

“Huuh! Huuh! Pagi-pagi gini udah disuruh marathon,” gumam Intan. Kemudian ia meninju angin. “Argh!”

 

Tiba di ruangan, Intan buru-buru menaruh tasnya ke dalam loker dan mengambil perlengkapan prakteknya. Saat itu napasnya masih tersenggal karena berlari. “Ya am-pun, bengek ba-nget,” ucap Intan sambil terputus-putus.

 

Sebagai dokter muda, Intan belum memiliki ruangan sendiri. Sehingga ia hanya bisa menaruh barang-barang miliknya di loker yang ada di ruangan umum untuk para dokter baru.

 

"Duh, bisa kena semprot lagi nih gue," gumam Intan. Ia sangat terburu-buru.

 

Setelah siap, Intan segera mengunci lokernya dan berlari ke arah ruangan VVIP yang berada di lantai 5. Sedangkan ruangan Intan ada di lantai 3.

 

"Lama banget sih?" gumam Intan saat ia menunggu lift. Ia berulang kali melihat jam tangan. Intan meghentak-hentakkan kakinya karena ia memiliki sisa dua menit dari waktu yang diberikan oleh Zein.

 

Meski sudah sering dimarahi oleh Zein, tetapi Intan masih selalu takut dan khawatir jika berhubungan dengannya. Sebab jika sedang marah, Zein tak sungkan mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan. Yang membuat siapa pun akan sakit hati mendengarnya.

 

Ting!

 

Pintu lift terbuka. Intan pun bergegas masuk. Kemudian segera menekan tombol untuk menutup pintu tersebut. Namun, ketika pintu hendak tertutup, ada tangan yang berusaha menahannya hingga pintu itu terbuka kembali.

 

Intan pun kesal karena waktunya semakin terbuang. Kemudian ia segera menekan tombol pintu kembali. "Ke lantai lima dulu ya, saya sedang darurat," ucap Intan pada orang tersebut, tanpa menoleh.

 

"Oke," sahut orang itu. Ia adalah seorang pria berseragam angkatan darat. Wajahnya terlihat tampan dan gagah. Ia dapat melihat bahwa Intan memang sedang dikejar waktu.

 

Selama di dalam lift, Intan terlihat begitu gelisah. Pria berseragam itu pun penasaran padanya.

 

"Ada pasien darurat?" tanyanya.

 

Intan melirik sekilas. "Iya," jawabnya singkat. Saat ini ia sedang tidak ingin berbincang dengan siapa pun. Satu kalimat saja seolah memperlambat waktunya.

 

Melihat sikap Intan yang sedikit ketus, pria itu pun tersenyum simpul. Kemudian ia mengambil roti yang ada di paper bag miliknya dan memberikan roti itu pada Intan.

 

"Nih, pasti dokter belum sarapan, kan?" tanyanya. Ia merupakan pria yang eazy going. Sehingga mudah bekomunikasi dengan siapa pun. Meski orang yang baru dikenal.

 

Intan yang memang belum sarapan itu menoleh ke arah pria tersebut. "Gak usah, terima kasih," jawabnya. Ia tidak ingin berhutang budi pada orang lain. Apalagi dia belum mengenal orang itu.

 

"Gak baik nolak pemberian orang lain. Ini gak ada racunnya, kok," ucap pria itu, bercanda. Tangannya masih terulur sambil memegang roti tersebut.

 

Intan yang malas berdebat pun akhirnya menerima roti tersebut. "Terima kasih," jawabnya.

 

Ting!

 

Pintu lift terbuka. "Saya duluan," ucap Intan. Ia bersikap sopan karena pria itu sudah baik padanya.

 

"Silakan," jawab pria itu. Namun ternyata ia pun keluar dari lift dan berjalan ke arah yang sama dengan Intan.

 

Intan merasa risih karena pria itu mengikutinya. "Ni orang ngapain sih ngikutin aku?" gumamnya, pelan. Bahkan ketika ia berbelok pun pria itu berjalan ke arah yang sama. Hingga akhirnya Intan menghentikan langkah dan balik badan.

 

"Maaf, Mas kenapa ngikutin saya?" tanya Intan dengan yakin.

 

Pria itu menoleh ke belakang untuk memastikan bahwa tidak ada orang lain. "Saya?" tanyanya.

 

"Iya. Memang siapa lagi di sini selain Anda?" Mood Intan sudah terlanjur dirusak oleh Zein. Sehingga, ia bersikap ketus pada orang lain. Padahal biasanya Intan selalu ramah.

 

Pria itu pun tersenyum. "Sorry, tapi saya mau ke ruangan VVIP nomor 503. Arahnya ke sana, kan?" tanya pria itu, sambil menunjuk ke arah yang Intan tuju.

 

Seketika wajah Intan merona dan ia pun tercekat karena sangat malu. "Oh ... iya. Maaf saya salah sangka," jawab Intan, gugup.

 

"It's okay. Kalau begitu saya duluan biar gak dikira ngikutin Dokter," sindir pria itu sambil berlalu. Ia tersenyum karena merasa gemas dengan sikap Intan.

 

"Duh, bodoh banget sih gue. Ini gara-gara beruang kutub itu gue jadi gak waras," gumam Intan, kesal. Ia menyalahkan Zein atas sikapnya pagi ini.

 

Setelah itu Intan bergegas masuk ke ruangan VVIP dan bertanya pada perawat di meja resepsionis bangsal tersebut. "Sus, Prof ada di mana?" tanya Intan.

 

"Di kamar 502, Dok," jawab Suster. Ia sudah paham siapa yang Intan maksud.

 

"Ya udah, terima kasih, ya," ucap Intan. Ia menyusul Zein ke ruangan tersebut.

 

Saat Intan hendak membuka pintu, pintu itu telah terbuka dari dalam. Ia pun berpapasan dengan Zein di ambang pintu. Intan langsung mundur karena Zein pasti akan marah jika langkahnya terhalang.

 

Setelah itu Zein mengarah ke kamar 503, tanpa menghiraukan Intan. Namun ia sudah siap untuk memarahi Intan setelah visit, nanti.

 

"Duh, kenapa harus kamar itu, sih?" gumam Intan. Ia malu jika harus bertemu dengan pria tadi. Namun tidak ada pilihan lain. Ia harus tetap masuk dari pada Zein kembali memarahinya.

 

"Selamat pagi," sapa Zein.

 

"Pagi ...," sahut orang yang ada di ruangan itu. Termasuk pria yang bertemu Intan di lift tadi.

 

Intan pun hanya bisa terdiam sambil berdiri di samping Zein karena masih malu pada pria itu.

 

"Eh, ketemu lagi," ucap pria itu pada Intan. Ia terlihat senang bisa melihat Intan. Ia pun tersenyum kala Intan malu.

 

Zein langsung menoleh ke arahnya. "Kalian saling kenal?" tanyanya, seolah cemburu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dinikahi Profesor Galak   86. Bahagia (S2)

    Hati Ira berdebar-debar kala diminta untuk tes kehamilan oleh ibunya. Ia tak menyangka akan secepat ini mendapatkan momongan. Meski hasilnya belum pasti, tetapi entah mengapa Ira yakin bahwa dirinya memang mengandung.“Kamu ada test pack, gak?” tanya Rani.Ira menggelengkan kepalanya. “Enggak, Mah,” jawabnya.“Ya udah nanti Mamah suruh Bibi beli dulu. Atau kamu mau langsung cek ke rumah sakit?” tanya Rani.“Test aja dulu deh, Mah. Kalau ke rumah sakit, takut hasilnya gak sesuai harapan,” jawab Ira.“Ya udah. Tapi kamu sarapan dulu, ya! Jangan sampai sakit karena telat makan!” nasihat Rani.“Iya, Mah. Terima kasih,” sahut Ira, sambil tersenyum.Setelah itu Rani meninggalkan kamar tersebut, kemudian ia meminta Bibi untuk membeli test pack. “Bi, tolong beliin test pack, dong!” ucap Rani pada ART-nya.“Lho, Mamah hamil?” tanya Muh, kanget.“Yang bener aja, masa Mamah hamil?” timpal Zein yang masih ada di sana.“Kalian ini! Bukan buat Mamah,” ucap Rani, gemas.“Terus buat siapa, dong?” tany

  • Dinikahi Profesor Galak   85. Telat (85)

    “Hehehe, ampun, Ndan!” ucap anak buah Bian sambil cengengesan.“Ya udah, kali ini aku beneran pergi. Assalamualaikum,” ucap Bian. Kemudian ia meninggalkan istrinya itu.“Waalaikumsalam. Hati-hati, Sayang,” sahut Ira.Ia menatap kepergian suaminya itu. “Semoga kamu cepat kembali, Bi. Aku gak sanggup kalau harus pisah terlalu lama lagi,’ batin Ira.“Duh, jadi pingin nikah,” ledek anak buah Bian.“Ya udah, tinggal mengajukan!” sahut Bian, santai.“Yah, saya kan bukan Komandan yang bisa sat set sat set. Mau nikah juga pengajuan dulu, belum lagi prosesnya yang lama,” keluh anak buah Bian.“Ya iya sih masalah utama mah belum ada calonnya! Hahaha,” ledek anak buah Bian yang lain.Mereka semua pun tergelak.Beberapa jam kemudian Ira sudah tiba di rumah Muh kembali. Saat ini ia sedang bersantai di kamarnya, sambil memainkan ponsel.“Kok dia belum ngabarin aku, ya?” gumam Ira.Ia gelisah menanti kabar dari suaminya itu. Padahal Bian tidak sempat untuk memberi kabar pada Ira. Sebab setibanya di

  • Dinikahi Profesor Galak   84. Berpamitan (S2)

    “Mas ... jangan maksa begitu, dong! Lagian kan demi kebaikan Aydin. Aku juga gak akan tenang ninggalinnya,” ucap Intan. Ia tidak enak hati pada mertuanya.“Hehehe, Papah bercanda, kok. Ya udah kalian pergi aja! Biar Aydin sama kami. Lagian Zein kan beberapa bulan terakhir sibuk persiapan alih jabatan, pasti butuh refreshing. Pergilah!” ucap Muh.“Alhamdulillah, gitu dong, Pah! Terima kasih, ya,” ucap Zein. Ia sangat senang karena diizinkan pergi oleh Muh.Zein pun menghampiri dan menggendong anaknya. “Sayang, maaf ya Ayah pergi dulu. Nanti kalau kamu sudah lebih besar, Ayah janji akan ajak kamu jalan-jalan. Oke,” ucap Zein, kemudian ia mencium pipi anaknya.Intan geleng-geleng kepala melihat kelakuan suaminya itu. “Kalau begitu aku mau pumping dulu ya, Mas,” ucapnya.“Iya, Sayang. Pumping yang banyak biar anak ayah gak kelaparan,” ucap Zein, sambil menggoda anaknya.Rani dan Muh tersenyum melihat keluarga kecil itu. Mereka bahagia karena kini anaknya begitu harmonis. Padahal dulu dua

  • Dinikahi Profesor Galak   83. Merengek (S2)

    “Enggaklah! Udah mendingan buruan packing biar kamu gak telat. Perjalanan dari sini ke Jakarta kan gak sebentar!” ucap Ira. Meski mengatakan tidak, tetapi ekspresi wajahnya terlihat sangat kecewa.“Iya, Sayang. Maaf, ya,” ucap Bian. Ia terus meminta maaf karena rasa bersalahnya. Apalagi jika melihat wajah Ira seperti itu. Sebab dirinya telah merusak momen penting.Setelah selesai packing, Bian dan Ira meninggalkan kamar mereka. Kemudian Bian check out di lobby."Kamu tunggu di sini, ya!" pinta Bian, saat Ira sudah berada di mobil."Iya," jawab Ira, singkat.Bian pun meninggalkan mobil, kemudian melakukan check out. Tak lupa Bian menjelaskan bahwa akan ada Zein yang menggantikannya. Ia pun meminta kamarnya dibersihkan dan dihias dengan bunga seperti untuk orang bulan madu."Jadi ini tidak ada biaya tambahan, kan?" tanya Bian."Tidak ada, Mas. untuk buangnya kami berikan free," sahut resepsionis. Mereka memberikan free karena Bian telah memesan hotel dengan kelas kamar paling tinggi sel

  • Dinikahi Profesor Galak   82. Terpaksa Pulang (S2)

    “Tau tuh, siapa tadi yang iseng basahin meja, ya?” canda Bian. Ia sengaja ingin membuat istrinya kesal.Namun kemudian Ira teringat. “Ya ampun, ini karena ulah kamu ya, Bi?” tuduh Ira, sambil ternganga. Ia ingat bagaimana tadi dirinya yang baru naik dari kolam itu langsung direbahkan di atas meja.“Gak salah? Kan kamu yang tadi rebahan di sini,” sahut Bian, santai. Ia sengaja menyudutkan istrinya.“Tapi kan kamu yang bawa aku ke sini!” Ira tidak mau kalah. Ia tak terima disalahkan seperti itu. Sebab memang Bian yang merebahkannya di atas meja.“Ya udah, mendingan makan aja jangan debat! Kan udah lapar,” ucap Bian. Ia pun membuka makanan tersebut dan menyendoknya.“Berarti orang itu lihat, dong?” tanya Ira sambil menyendok makanan. Ia masih tidak enak hati memikirkan meja yang basah tersebut.“Iyalah. Dia kan punya mata,” jawab Bian, tanpa dosa. Berbeda dengan Ira, Bian tak peduli. Baginya orang tadi pasti sudah biasa menghadapi hal seperti itu.“Hiiih, kamu ini!” Ira kesal.“Udah maka

  • Dinikahi Profesor Galak   81. Ini Bulan Madu (S2)

    “Mau ngapain, sih?” tanya Ira. Ia yakin suaminya pasti menginginkan sesuatu.Bian langsung menarik Ira. “Biasakan sama suami itu langsung nurut! Jangan suka ngebantah, nanti tuman!” ucap Bian, gemas.“Ya abisnya kamu suka aneh-aneh, sih,” ucap Ira, manja.“Apanya yang aneh? Namanya suami istri begini tuh wajar, Sayang,” ucap Bian, sambil merangkul pinggang Ira. Kemudian merapatkan tubuh mereka.Ira tersenyum. Ia sangat gemas melihat tingkah suaminya itu. “Tuh, kan. Kamu maaah. Emang wajar, sih. Tapi ini masih siang. Aku risih mesra-mesraan siang hari begini, ihh,” keluh Ira.“Dulu waktu masih pacaran, kamu gak risih. Kenapa sekarang malah menghindar,” bisik Bian, nakal. Kemudian ia menggigit telinga istrinya itu.“Bi!” tegur Ira. Ia malu disebut seperti itu oleh suaminya. Ketika sedang berpacaran mereka memang cukup sering bermesraan. Namun hanya sebatas bibir, tidak lebih. Mungkin karena belum halal, jadi mereka masih sangat menggebu-gebu.Sedangkan saat ini mereka sudah menikah dan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status