Lily terdiam mendengar penjelasan Bibi Jess. Dia merengkuh tubuh Oddy dan memeluknya dengan hangat untuk menenangkan, tetapi ternyata itu tak cukup membantu dan tetap tak membuat Oddy berhenti menangis. “Mama mana?” rengeknya sejak tadi. Lily menoleh pada Bibi Jess yang panik dan kebingungan. “Saya hanya takut kalau mental Oddy terganggu karena terus menangis mencari ibunya,” kata Bibi Jess. Lily pun bingung. Dia akhirnya melepas pelukan lalu menatap Oddy sambil berkata, “Oddy ikut Mama Audrey, ya.” Lily menggandeng Oddy ke ruang makan, sesampainya di sana Arsen sudah memandang ke arahnya. “Oddy kangen Ellla, tapi kata Bibi Jess, Ella bahkan tak bisa dihubungi,” kata Lily. “Ella memang sangat keterlaluan. Dia sudah melewati batas sebagai orang ibu,” geram Arsen. Lily mengangguk lalu menoleh sekilas pada Oddy sebelum berkata, “Apa boleh Oddy bermain dengan Audrey agar dia tidak merasa kesepian?” Arsen menatap Oddy yang sesenggukan, lalu mengangguk pelan. Akhirnya
Lily menipiskan senyum melihat penampilan Ella yang sudah sangat berubah dan kini menatap sombong padanya.“Soal tuduhanmu padaku, aku akan melaporkannya ke polisi,” ancam Ella penuh percaya diri.Kembali menipiskan senyumnya, Lily membalas, “Laporkan saja. Aku tidak takut. Bukti CCTV sudah jelas menunjukkan kalau kamu mengajak Audrey tanpa izin. Dengan trackrecord-mu, lihat saja siapa yang akan dipenjara.”Ella syok sampai mulutnya menganga dan tidak bisa membalas ucapan Lily.Soraya mendekat pada Ella, lalu memegang tangan Ella. “Lebih baik tidak mencari keributan di sini,” katanya.Ella menoleh pada Soraya, lalu membalas, “Apa Tante tidak tahu? Dia sudah menuduhku sebagai penculik sampai aku menjadi pusat perhatian banyak orang.”Tanpa membalas ucapan Ella, Soraya memilih menarik tangan Ella untuk menjauh pergi dari toko itu.Setelah berada jauh dari toko, Soraya melepas tangan Ella lalu mulai menatap datar.“Bukan begitu caranya melawan. Dengan posisimu sekarang, orang lain tentu
Lily dan Dini akhirnya pergi ke Mall. Siang itu Mall dipenuhi hiruk pikuk orang-orang yang mulai berdatangan. Lampu-lampu toko berpendar lembut, aroma kopi dan roti panggang dari cafe di lantai bawah tercium samar. Lily menurunkan stroller Audrey dari bagasi, lalu menaruh Audrey di atasnya. Dini menutup pintu mobil dan menguncinya. “Ayo,” ajak Dini dan membantu Lily mendorong stroler Audrey. Langkah mereka menuju lift. Saat pintu lift terbuka, mereka pun masuk dan naik bersama dengan pengunjung lain. Tak lama pintu lift kembali terbuka, mereka pun keluar dan menghirup aroma khas Mall yang menenangkan. Udara di mall terasa seperti hembusan segar yang Lily butuhkan. Ada rasa lega yang perlahan menepis sisa-sisa ketegangan yang menempel di dadanya. “Ramai sekali, apa karena tanggal muda?” gumam Lily pelan, matanya berbinar-binar menatap keramaian orang-orang yang lalu lalang dengan wajah ceria. Audrey, yang duduk di stroller, tak bisa menahan kegembiraannya. Tangannya menepuk-nep
Hari berikutnya di Mansion Arsen Cahaya matahari memasuki celah-celah tirai kamar Audrey yang masih terlelap di kamarnya. Napasnya teratur dengan wajah yang begitu tenang. Seolah tak ada yang terjadi kemarin. Lily berbaring di samping putri kecilnya itu, memeluk erat seolah takut kehilangan. Perasaan cemas masih memenuhi hatinya. Membuat Lily tidak mau berpisah sedetik pun hingga memutuskan tidur di kamar Audrey. Namun, nyatanya Lily kesulitan tidur dengan tenang, sesekali ia terbangun hanya untuk memastikan Audrey masih ada di sampingnya. Ketukan lembut terdengar dari arah pintu. Lily menoleh pelan, memastikan Audrey masih terlelap sebelum ia bangkit, melangkah hati-hati ke pintu dan membukanya hanya sedikit. Bibi Jess berdiri di sana dengan senyum kecil yang terlihat ragu. “Nona Lily, apa Anda tidak bekerja hari ini? Tuan Arsen sudah menunggu di meja makan,” tanya heran karena biasanya Lily sudah rapi. Lily menarik napas panjang, sejenak menoleh kembali pada Audrey yang
Di lantai bawah, Teddy dan Wisnu masih saling tatap dengan pikiran yang tidak sejalan. Setelah kepergian Soraya dan Ella, Teddy menarik napas panjang sebelum mulai menjelaskan.“Pa, aku sengaja membawa Ella ke rumah ini untuk menyelamatkan aku. Menyelamatkan kita dari bencana yang mungkin akan menimpa kita,” jelas Teddy mencoba menahan diri dari amarah.Wisnu menatap tajam masih belum bisa memahami maksud dari ucapan anaknya itu.“Menyelamatkan dari apa? Kenapa kamu bicara setengah-setengah!” tanya Wisnu masih kurang puas dengan jawaban Teddy.Teddy menghela napas berat. “Papa tahu sendiri pabrik hampir terkena masalah karena memproduksi barang palsu? Pabrik bisa disegel dan aku akan ditangkap polisi cepat atau lambat,” ucap Teddy masih setengah-setengah.“Ya terus apa hubungannya dengan kamu membawa dia ke sini?” tanya Wisnu geram. Ia masih tidak bisa menangkap maksud dari semua pembicaraan ini.Teddy melirik ke atas tangga, takut-takut jika Ella muncul dan mendengarkan pembicaraan i
Tanpa ragu Ella menghubungi Teddy dan meminta pria itu untuk menjemputnya di halte yang tak jauh dari rumahnya. Langkah Ella memecah keheningan di gang sempit rumahnya. Dengan koper di tangannya, Ella menariknya dengan cepat. Seolah tidak ingin berlama-lama berada di lingkungannya yang lama. Tak berapa lama, dia sudah sampai di halte dekat rumah. Ella menunggu beberapa saat sampai Teddy datang. Teddy menatap Ella dari kaca jendela mobil dengan senyuman lebar di wajah. Pria itu turun lantas membukakan pintu dan mempersilahkan Ella untuk naik. Teddy mengambil alih koper yang dipegang Ella sebelum masuk. “Aku tidak menyangka kamu akan menelpon secepat ini,” ucap Teddy sambil memasukkan kopernya ke dalam bagasi. Ella menarik napas, lalu berkata, “Aku tidak ingin berlama-lama berada di rumah itu. Lagi pula kamu sendiri yang bilang jika aku ikut denganmu, hidupku akan berubah. Aku sudah muak dengan hidupku yang miskin ini,” jawab Ella dengan penuh keyakinan. “Pilihan tepat,” ucap Ted