LOGINBeberapa karyawan di lobi yang sejak tadi diam-diam mengamati pertengkaran Lily dan Sonia langsung menoleh bersamaan ketika sosok Arsen muncul. Thomas, sang asisten pribadi, ada di belakangnya.
Mereka menyapa pemimpin perusahaan mereka dengan penuh hormat, tetapi sebagian besar karyawati tidak bisa menyembunyikan kekaguman mereka.
CEO mereka, yang jarang terlihat di kantor, kini berdiri di tengah lobi—tinggi, berkarisma, dan memancarkan aura dominasi yang mengintimidasi.
Sonia, yang menyadari keberadaan Arsen, segera mengubah ekspresinya. Senyumnya melebar, seolah tidak terjadi apa-apa.
“Maaf, Pak. Saya tidak bermaksud membuat keributan, hanya saja saya sedang memperingatkannya karena sepertinya dia tidak tahu aturan saat masuk ke sini,” ucap Sonia dengan nada manis, tetapi matanya melirik Lily dengan penuh penghinaan.
Arsen tidak memberikan reaksi.
Sejak pertama kali menginjakkan kaki di lobi, tatapannya hanya terfokus pada satu orang—Lily.
Mata pria itu mengamati Lily dengan dalam, seakan membaca pikirannya.
Sadar diperhatikan seperti itu, Lily merasa salah tingkah.
Mengapa pria ini menatapnya dengan cara seperti itu?
Senyum tipis terangkat di bibir Arsen. "Apa yang membuatmu kemari?"
Nada suaranya terdengar lebih lembut dibandingkan saat berbicara dengan orang lain.
Sonia terperangah.
Seumur-umur bekerja di perusahaan ini, dia hampir tidak pernah bertemu Arsen secara langsung, kecuali dalam urusan bisnis. Namun, kini pria itu justru menatap Lily dengan sorot mata yang membuat semua wanita di sana iri.
Bagaimana bisa Lily mengenal Arsen?
Sonia tidak bisa menerima ini.
Sementara itu, Lily sendiri tertegun.
Namun, sebelum dia bisa merespons, tubuhnya terkesiap saat Arsen merengkuh bahunya dengan santai dan membawanya pergi dari sana.
“Bereskan kekacauan di sini,” perintah Arsen pada Thomas sebelum melangkah menuju lift.
Lily tersentak.
Saat pria bernama Thomas menunduk hormat dan menjawab perintah itu, Lily baru menyadari sesuatu.
Thomas… pria itu…
Bukankah dia pria yang menolongnya tadi pagi, saat hampir tertabrak mobil!?
Lily meliriknya dengan tatapan penuh keterkejutan, tetapi Thomas tetap bersikap professional dan hanya tersenyum tipis.
Lily ingin mengatakan sesuatu, tetapi sebelum dia sempat berpikir lebih jauh, Arsen sudah membawanya masuk ke dalam lift.
**
Di ruang CEO…
Lily masih diam, mencoba mencerna situasi yang terjadi.
Mengapa Arsen membawanya ke sini?
Pria itu berjalan menuju meja kerjanya, lalu menatap Lily dengan santai.
“Duduk.”
Lily tanpa sadar menuruti perintah itu.
Sebenarnya, dia ingin bertanya mengapa pria ini tiba-tiba menariknya dari lobi, tetapi sesuatu dalam ekspresi Arsen membuatnya memilih diam.
Sebuah firasat buruk muncul dalam benaknya.
Apakah pria ini ingin membahas malam itu?
Malam yang seharusnya tidak pernah terjadi.
Lily menunduk, tangannya mengepal di atas pahanya.
Jika Arsen membongkar rahasia itu… keluarganya pasti akan hancur.
Namun, suara pria itu membuyarkan pikirannya.
"Bagaimana dengan lututmu? Masih sakit?"
Lily tersentak.
Dia mendongak, menatap Arsen dengan bingung.
Bagaimana pria ini tahu kalau lututnya terluka?
Seolah membaca pikirannya, Arsen menjawab santai, "Thomas memberitahuku."
Lily mengerjapkan mata.
Thomas adalah asisten pribadi Arsen… tentu saja pria itu melaporkan semua hal kepadanya.
Namun, kenapa?
Mengapa mereka begitu memperhatikannya?
Lily menarik napas, berusaha tenang.
“Lututku baik-baik saja.”
Setelah beberapa detik, dia melanjutkan, “Terima kasih karena sudah membantuku keluar dari situasi tadi.”
Arsen mengangguk.
Namun, detik berikutnya, pria itu menajamkan tatapan.
"Kamu belum menjawab pertanyaanku. Kenapa kemari?"
Nada suaranya terdengar lebih dalam.
Mata pria itu memindai berkas yang dibawa Lily.
Lily ragu sejenak, tetapi akhirnya menjawab, “Aku mendapat informasi bahwa perusahaan ini sedang membuka lowongan pekerjaan, jadi aku berniat melamar.”
Arsen menautkan alisnya.
Melamar pekerjaan?
Putri dari keluarga Mahesa yang ternama… datang ke perusahaannya untuk mencari pekerjaan?
Lily menambahkan cepat, “Tapi aku tidak menyangka Anda pemiliknya….”
Alis kanan Arsen meninggi. “Kalau aku pemiliknya, apa itu masalah bagimu?”
Lily mendelik ke arah pria itu.
Masalah?
Pria ini serius baru menanyakan hal itu!?
Pertikaiannya dengan Bryan, hubungan buruknya dengan sang ayah, dan juga… hilangnya keperawanannya…
Semua itu jelas ada hubungannya dengan Arsen!
Tapi, pria ini bertanya seakan tidak tahu apa-apa!?
Lily menggeleng cepat.
Tidak.
Arsen memang terlibat, tetapi ini bukan sepenuhnya salahnya.
“Aku tidak masalah,” katanya akhirnya. “Tapi seperti yang Anda lihat, saya memiliki hubungan buruk dengan salah satu karyawan Anda. Jadi, saya akan mencari perusahaan lain. Permisi.”
Lily membungkuk hormat, lalu berbalik untuk pergi.
Namun—
"Menikahlah denganku."
Langkah Lily terhenti.
Perlahan, dia menoleh.
“Apa?”
Arsen menyandarkan tubuhnya ke sofa, menyilangkan tangan di depan dada.
"Menikahlah denganku, dan bukan hanya pekerjaan, aku bisa memberikan apa pun untukmu.
Termasuk pembalasan dendam kepada mantan tunanganmu yang berkhianat itu.”
Lily membeku.
Arsen … sudah tahu semuanya?
“Jika kamu keberatan, kita bisa menikah kontrak selama tiga tahun. Setelah itu, kamu bebas bercerai dariku.”
Pernikahan kontrak?
Tangan Lily mengepal.
“Setelah tahu mengenai bagaimana Bryan menghinaku dengan pengkhianatannya, juga bagaimana aku menolak pernikahan dengan pria yang tidak setia, kamu malah menawarkan pernikahan kontrak padaku? Apa kamu sengaja ingin menghinaku?!”
Namun, Arsen tetap tenang.
Dengan gerakan perlahan, dia bangkit dari duduknya.
Lily bergerak mundur.
Namun, punggungnya kini menempel di pintu.
Arsen berdiri tepat di hadapannya—lebih dekat dari yang Lily inginkan.
“Kamu yakin tidak ingin menikah?”
Suara pria itu lebih pelan, lebih rendah.
“Bukankah aku pria pertama yang tidur denganmu?”
Jantung Lily mencelos.
Tangan pria itu menangkap pergelangan tangannya, mengangkatnya ke atas kepalanya.
“Lepaskan aku! Lepaskan atau aku akan—"
“Aku tidak mengenakan pengaman di malam itu.”
Lily membeku. Dia langsung membuka mata dan menatap Arsen lurus.
Pria ini bilang apa?
Reaksi Lily membuat Arsen tersenyum, dan dia pun melanjutkan, “Oleh karena itu, menikahlah denganku, Lily Mahesa. Hanya dengan itu aku bisa membantumu menjaga reputasimu… dan membalaskan dendammu."
Arsen menyetarakan pandangannya dan kembali bertanya, “Bagaimana?”
Hari berikutnya. Arsen pergi ke ARS seperti biasa. Dia kembali bekerja mengurus berkas-berkas yang sudah menumpuk di mejanya. Arsen tampak biasa saja, hingga saat Thomas masuk ke dalam ruangannya, lalu kembali meletakkan tumpukan berkas di meja, Arsen berhenti membalikkan lembaran kertas dan tatapannya kini tertuju pada Thomas. “Ada apa, Pak?” tanya Thomas saat menyadari tatapan tak biasa dari atasannya ini. Arsen mengembuskan napas kasar, dia memijat keningnya sejenak, sebelum kembali menatap pada Thomas yang masih berdiri di depan meja, menunggu dirinya bicara. “Aku mulai lelah mengurus dua perusahaan sekaligus,” kata Arsen. Thomas diam sesaat, dia bisa melihat rasa lelah itu memancar dari sorot mata Arsen. “Jika seperti itu, apa tidak lebih baik dimarger saja perusahaannya agar lebih enak untuk Anda dalam mengelolanya?” tanya Thomas memberi usulan. Arsen lagi-lagi mengembuskan napas kasar, sebelum menjawab, “Aku takut kalau mertuaku salah paham.” Thomas terdiam lagi, menc
Mobil Arsen akhirnya sampai di mansion. Lily segera turun bersama Audrey disusul Arsen. “Hera, ajak Audrey mandi dulu, ya,” kata Lily saat Hera datang menyambut mereka. “Baik, Nona.” Hera mengangguk, lalu dia segera menggandeng tangan Audrey untuk diajak pergi ke kamar. Lily juga pergi ke kamarnya, saat Arsen masuk ke kamar, Lily langsung menghampiri kemudian bertanya, “Soal apa yang Audrey tanyakan tadi, kenapa kamu jawab begitu? Maksudnya apa?” Arsen tersenyum kecil mendengar pertanyaan Lily. “Tentu saja aku mau memberi pengertian dan pelajaran baik untuk Audrey,” balas Arsen. Lily mengerutkan kening, sampai dia kembali bertanya, “Pelajaran apa?” Arsen melangkah lebih dekat ke Lily, sambil memeluk pinggang Lily, Arsen menjelaskan. “Besok, Audrey libur, kan?” Lily mengangguk-angguk masih tak paham hubungan antara libur dengan nasib anak kecil tadi. “Agar Audrey paham, besok aku ingin mengajaknya ke panti asuhan,” ucap Arsen lagi. Lily terkejut, tapi juga senang dengan ide
Anthony terkejut mendengar pertanyaan Arsen. Dia diam beberapa saat, sebelum akhirnya membalas, “Aku sudah berusaha untuk bersikap baik ke Mama dan Dini. Dan, aku juga tahu jika harus memilih.” Arsen menatap Anthony yang gelisah, setelahnya dia kembali bertanya, “Lalu, siapa yang akan kamu pilih? Ibumu atau istrimu?” Anthony tersentak mendengar pertanyaan Arsen. Dia meremat jemarinya, ekspresi wajahnya begitu panik dan gelisah. Dia diam, Anthony tidak mampu menjawab pertanyaan Arsen yang satu ini. Arsen sudah menebak kalau Anthony tidak akan bisa memilih. Dia membuang napas, lalu menepuk pelan lengan Anthony beberapa kali. ** Beberapa saat kemudian “Kami pulang dulu, ya. Kalau ada apa-apa, hubungi aku,” kata Lily saat berpamitan dengan Dini setelah acara syukuran rumah baru Dini selesai. Dini mengangguk-angguk mendengar ucapan Lily, dia tahu kalau Lily sangat mencemaskan dirinya. “Iya, terima kasih karena sudah datang,” balas Dini. Kini Lily yang mengangguk-angguk p
Hari berikutnya Rumah baru Dini dan Anthony sudah ramai dengan keluarga yang datang untuk acara syukuran rumah baru mereka. Lily datang bersama Arsen juga Risha dan Adhitama, tak lupa mengajak Audrey juga. Mereka menikmati acara syukuran rumah baru Dini, Diana juga Rina dan Dhea juga berkumpul bersama di sana. “Bu, makan buahnya,” kata Dini sambil menyodorkan piring berisi potongan buah ke Rina. “Iya, nanti ibu ambil,” kata Rina. Diana hanya mengamati tanpa mengajak bicara Rina, hingga saat dia mengecek ponselnya, Diana tiba-tiba berdiri sampai membuat Dini dan Rina terkejut. Dini memperhatikan Diana pergi meninggalkan mereka, Dini bertanya-tanya Diana mau pergi ke mana. Namun, beberapa saat kemudian, terdengar suara tawa dari arah pintu luar. Dini dan yang lain sampai menoleh dan mendapati Diana datang bersama teman-teman sosialitanya. ‘Mama benar-benar mengundang mereka,’ batin Dini. Dia langsung tidak nyaman, tapi Dini juga tidak bisa berbuat apa-apa. “Ayo semuanya
Lily menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskan perlahan. Meski sedikit takut-takut, akhirnya Lily menghubungi Dini. Ponsel kini sudah menyentuh telinga, Lily mendengar suara nada dering dari panggilan, menunggu beberapa saat, sampai akhirnya panggilannya dijawab oleh Dini. “Halo, Lily. Ada apa?” tanya Dini dari seberang panggilan. Lily lebih dulu menggigit bibir bawahnya, sebelum akhirnya dia berkata, “Tidak ada apa-apa, hanya ingin menghubungi saja.” “Kukira ada masalah apa.” Mendengar lagi suara Dini dari seberang panggilan, akhirnya Lily memberanikan diri menyampaikan apa yang didengarnya tadi. “Din, sebenarnya aku menghubungimu karena ada sesuatu yang harus kusampaikan,” kata Lily pada akhirnya. “Iya, dan apa itu?” tanya Dini. “Aku mendengar dari Bunda kalau Bu Diana mau mengundang teman-teman sosialitanya ke acara syukuran rumah barumu nanti. Apa kamu tahu soal itu? Apa kamu akan baik-baik saja?” tanya Lily dengan sangat hati-hati. Hening, tidak terdengar suara Dini
Dini tersenyum lalu mengusap punggung tangan Rina. “Mana mungkin aku memberitahu ibu kalau Mama belum mengizinkan,” jawabnya. “Ibu datang ya besok ke acaraku, datanglah bersama Dhea, nanti aku pesankan taksi,”imbuhnya. Rina terlihat berpikir, ia seperti ragu-ragu untuk mengiyakan permintaan putrinya itu. "Ibu malu, Din, Ibu tidak usah datang saja ya? Biar Dhea saja. Lagipula, tamu-tamu Anthony pasti banyak, Ibu malu kalau ada di sana nantinya.” Dini mencoba menyembunyikan rasa sesak di dada mendengar ucapan Rina. "Ibu jangan khawatir, ini bukan seperti pesta yang Ibu bayangkan, hanya syukuran biasa saja, tidak ada yang istimewa. Tidak banyak yang diundang. Jadi Ibu mau ya datang?" Dini mencoba merayu Rina. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya Rina pun setuju. "Baiklah, Ibu dan Dhea akan datang ke rumah baru kalian." Rina mengelus kepala Dini lembut. Merasa senang karena melihat Dini yang juga terlihat senang. Mereka masih mengobrol, saat tiba-tiba terdengar notifikasi pesan







