Lily menatap pria di hadapannya.
Wajahnya tampak familier, seolah dia pernah melihatnya di suatu tempat.
Namun, pikirannya masih terlalu kacau untuk mengingat dengan jelas. Jantungnya yang berdetak kencang karena nyaris tertabrak mobil pun belum kembali normal.
“Anda baik-baik saja, Nona?” Suara pria yang khawatir itu menyadarkan Lily dari lamunannya.
“Oh… ya. Aku baik-baik saja,” jawabnya cepat.
Dia berusaha berdiri, tetapi begitu sedikit menggerakkan kakinya, rasa nyeri langsung menjalar dari lututnya. Lily mengerutkan dahi, lalu menurunkan pandangan ke arah kaki.
“Lutut Anda berdarah,” ucap sang pria, terdengar semakin prihatin.
Sepertinya, tarikan sang pria tidak cukup cepat dan mobil tadi sempat menyerempet kaki Lily.
Namun, anehnya, rasa sakit dari luka itu tidak terasa. Mungkin … karena luka di hati Lily lebih besar.
Dikhianati tunangannya.
Diusir oleh ayahnya sendiri.
Dikeluarkan dari perusahaan keluarganya.
Dibandingkan itu semua, luka di lututnya sama sekali bukan apa-apa.
Lily mengangkat kepalanya, melihat pria itu memperhatikan kondisinya dengan sorot mata kasihan.
Dia tersenyum tipis, meski terasa dipaksakan. “Terima kasih sudah membantuku, Tuan. Aku bisa mengurusnya sendiri. Maaf sudah merepotkan.”
Tanpa menunggu balasan, Lily membungkuk sedikit untuk menunjukkan rasa terima kasih, lalu berjalan pergi dengan langkah pincang.
Pria itu hanya menatap dalam diam, memperhatikan hingga sosok gadis itu benar-benar menghilang di ujung jalan.
Kemudian, dia menghela napas, berbalik, lalu melangkah menuju mobil hitam yang terparkir tak jauh dari sana.
Begitu masuk ke dalam, dia mengeluarkan ponselnya dan menelepon seseorang.
“Tuan, sepertinya ada masalah dengan Nona Mahesa.”
**
“Papamu memecatmu?”
Haris—paman Lily sekaligus orang terdekat yang masih bisa dia percaya—menatapnya dengan ekspresi terkejut dan marah.
“Tega sekali pria itu!”
Nada suaranya dipenuhi ketidakpercayaan.
Haris meraih ponselnya, tampak bersiap menelepon Adhitama.
“Aku akan bicara padanya. Apa pun masalahnya, caranya memperlakukanmu ini sudah keterlaluan!”
Namun, Lily buru-buru menahan tangan pamannya.
“Paman, jangan.”
Haris menatapnya tajam. “Kenapa? Kamu masih mau membela pria yang bahkan tidak berpikir dua kali sebelum membuangmu dari keluarganya itu?”
Lily menggigit bibirnya. Ada sesuatu yang begitu menyakitkan dalam ucapan pamannya, tetapi dia tidak bisa menyalahkan siapa pun selain dirinya sendiri.
“Papa tidak salah kalau marah,” kata Lily pelan. “Aku memang salah karena pergi ke bar malam itu… aku juga salah karena bicara tanpa berpikir di depan banyak orang. Aku tidak akan mencari alasan untuk membenarkan diriku.”
Haris menghela napas panjang.
Dia menatap Lily lama, sebelum akhirnya bertanya, “Lalu, sekarang apa rencanamu?”
Lily terdiam sesaat.
Dia tahu sang ayah pasti telah menutup semua fasilitasnya. Mobilnya pun ditinggalkan di kantor Mahesa Group. Hari ini saja, dia harus datang ke rumah pamannya dengan taksi.
Setelah berpikir sejenak, Lily mendongak.
“Paman, apa Paman punya kenalan yang perusahaannya sedang butuh karyawan? Aku ingin mencari pekerjaan.”
Haris mengangkat alisnya, memerhatikan Lily dengan seksama.
“Kamu tidak mau mencoba bicara pada papamu dulu?” tanyanya. “Siapa tahu dia bisa mempertimbangkan kembali.”
Lily menggeleng.
“Masalah ini tidak sesederhana itu.” Suaranya penuh tekad. “Dan kali ini… aku ingin membuktikan ke Papa kalau aku bisa mandiri.”
Haris menghela napas lagi.
Melihat keponakannya yang biasanya manja tiba-tiba berubah menjadi seseorang yang penuh tekad membuatnya tak punya pilihan selain membantu.
Akhirnya, dia berkata, “Cobalah melamar ke sini.”
Haris menyebutkan nama perusahaan yang dimaksud, lalu memberikan informasi mengenai lowongan pekerjaan yang diketahuinya.
Lily mengangguk, menerima informasi itu dengan mata berbinar penuh harapan.
“Terima kasih, Paman.”
Usai pertemuan dengan Haris, Lily tidak membuang waktu dan langsung melamar keesokan harinya ke perusahaan yang diberi tahu sang paman.
Dia membawa segala berkas penting yang dibutuhkan dari perusahaan ini untuk melamar pekerjaan.
Namun, begitu sampai di depan gedung, Lily sempat terpana.
ARS Company.
Sebuah perusahaan multinasional yang berpengaruh di negara ini.
Gedungnya megah, lobby-nya luas dengan interior yang mewah dan modern.
Keraguan sempat menghinggapi benaknya. Apakah dia benar-benar pantas bekerja di sini?
Lily menelan ludah, lalu melangkah masuk.
Namun, belum sempat dia bertanya ke resepsionis, suara yang sangat dikenal membuatnya membeku.
“Lihat siapa yang terdampar di sini?”
Lily menoleh, dan matanya langsung menyipit.
Sonia.
Wanita itu berdiri dengan tangan terlipat di depan dada, menatapnya dengan sinis.
Lily menekan rahangnya. Dari sekian banyak tempat di dunia ini, mengapa dia harus bertemu wanita ini lagi?
Sonia menyeringai, lalu melirik berkas yang Lily peluk. “Apa ini? Kamu mau melamar kerja di sini?”
Lily tetap memasang ekspresi datar. “Bukan urusanmu.”
Namun, kedua alisnya bertaut ketika melihat ekspresi meremehkan di wajah Sonia.
Wanita itu tertawa pelan. “Kusarankan lebih baik kamu mundur sebelum menyesal karena melamar bekerja di sini.”
Nada suaranya terdengar penuh ancaman.
“Asal kamu tahu saja, posisiku di sini cukup tinggi.” Dia menyeringai. “Jadi, kalau kamu bergabung di sini, aku bisa memastikan kamu akan menderita.”
Lily menepis telunjuk Sonia yang menusuk bahunya dengan kasar.
“Singkirkan tanganmu dariku.”
Nada suaranya terdengar dingin.
Sonia mendelik. “Kamu pikir kamu siapa, huh? Sudah kubilang–”
“Apa yang terjadi di sini?”
Suara dingin dan berat itu terdengar di antara mereka.
Lily tersentak. Dia segera menoleh ke sumber suara dan tubuhnya pun membeku.
Arsen.
Pria itu berdiri di sana dengan ekspresi dingin dan mata tajam yang menusuk.
Kenapa pria ini ada di sini?
Namun, kemudian kalimat Sonia membuat Lily semakin terkejut.
“P-Pak CEO….”
CEO?!
ARS Company. Arsen.
Jantung Lily langsung mencelos.
Perusahaan ini milik Arsen?!
Arsen meminta pria itu dibawa ke mansion.Sepanjang perjalanan pria itu marah dan terus berkata kalau dia akan melaporkan Arsen dan yang lainnya ke polisi karena tuduhan penculikan.Arsen yang duduk di depan tampak tersenyum miring. Dia meminta Thomas menepi ke bahu jalan.Thomas menoleh pada Arsen, atasannya itu terlihat tenang dengan tatapan mata terus tertuju ke depan.Setelah menepikan mobil, Thomas kaget karena Arsen turun dari mobil dan membuka pintu belakang kursi penumpang.Semua orang syok saat Arsen mencengkeram kerah baju pria itu dan menariknya keluar.Arsen memberikan bogem mentah ke wajah hingga pria itu jatuh tersungkur. Dia tak membiarkan pria itu bangun dan langsung memberikan tendangan ke muka pria itu.“Sudah diam saja, tapi malah cari mati,” ucap Jerry seraya menggelengkan kepala. “Kamu saja yang turun,” titahnya ke Thomas. Dia kemudian melirik Indah yang tampak ketakutan.Arsen menarik kerah baju pria itu lagi, dia tak peduli dengan kendaraan yang melintas.“Lapor
Hari ini. Thomas dan yang lain akan menjalankan rencana untuk menjebak pria yang menghubungi Indah. Di mansion Arsen. Thomas dan Arsen kini menatap pada Indah yang berdiri dengan kepala tertunduk di hadapan mereka. Mereka sudah siap pergi tetapi sebelum itu Thomas memberikan arahan pada Indah agar tak berbuat macam-macam. “Kamu harus melakukan sesuai dengan apa yang sudah kita sepakati. Kalau tidak, jangan harap kamu bisa lepas dari kami,” ancam Thomas agar Indah tidak kabur saat ada kesempatan. “Ba-baik, Pak.” Indah langsung mengangguk. Arsen menatap dingin pada Indah, jika saja tidak membutuhkan bantuan Indah, Arsen sudah mencekik wanita itu atau menjebloskan Indah ke penjara. “Pakai ini di tempat tersembunyi agar kami bisa mendengar apa saja yang kalian bicarakan.” Thomas mengulurkan sebuah alat berbentuk mikrofon kecil lengkap dengan penjepitnya. Indah menerima benda itu. Lalu dia mulai mencari tempat mana yang akan dipasangi alat itu, lalu dia memasangnya di balik kerah k
Malam itu Audrey terus saja menangis. Tangisannya begitu lama hingga membuat semua orang panik.Arsen, Risha, Adhitama dan beberapa perawat sudah berusaha menenangkan, tapi bayi mungil itu masih saja tak bisa berhenti menangis.Perawat juga sudah mencoba memberikan ASIP bahkan dengan persetujuan Arsen memberi tambahan susu formula. Namun, usaha mereka tetap nihil.“Apa mungkin ada yang tidak beres dengannya? Panggilkan dokter agar bisa diperiksa,” ucap Arsen. Dia sedikit frustasi. Ternyata merawat bayi tak semudah seperti apa yang dia sangka.Semua orang gaduh di dalam ruang perawatan Lily, hingga tak ada seorangpun yang menyadari kalau Lily menggerakkan tangannya.Dalam tidurnya, Lily mendengar semua ucapan, perdebatan bahkan tangis bayinya. Dia merasa sudah berteriak, memanggil nama Risha, Arsen dan juga Adhitama. Akan tetapi tidak ada yang menoleh padanya.“Sebaiknya bayi ini kami bawa ke ruang bayi dulu, takutnya malah mengganggu pasien yang lain,” ucap perawat.Arsen menolak ment
Arsen berdiri untuk melihat langsung kondisi Lily. “Benarkah?” tanya Arsen. Risha menatap sedih pada Lily. Meskipun tadi melihat jari Lily bergerak, tapi nyatanya Lily masih tak bergerak sama sekali. “Sepertinya bunda yang terlalu berharap,” ucap Risha dengan tatapan penuh kekecewaan. Arsen sudah sampai di samping ranjang Lily dan ikut menatap wajah istrinya itu. “Kita panggil dokter saja untuk memastikan.” Risha mengangguk setuju. Dia menekan tombol untuk memanggil dokter dan perawat, lalu beberapa saat kemudian dokter datang dan diminta memeriksa kondisi Lily. “Kondisi pasien masih sama, mungkin benar kalau Anda hanya salah melihat,” kata dokter. Risha menatap kecewa. Dia sadar ternyata hanya terlalu berharap bisa segera melihat putrinya bangun. “Tidak apa-apa, Bun. Setelah ini Lily pasti akan segera bangun,” ucap Arsen untuk menenangkan Risha. Risha mengangguk pelan, tetapi tetap saja tak bisa menyembunyikan kesedihan dari raut wajahnya. Dokter dan perawat kemudian pamit
Thomas pergi ke rumah sakit menemui Arsen. Dia sekarang berada di luar kamar inap bersama Arsen, mereka duduk di kursi selasar panjang yang ada di koridor rumah sakit. “Rencana yang saya lakukan berhasil, Pak. Indah sudah mengaku dan sekarang kami sedang membuat rencana agar bisa bertemu dengan orang yang dia hubungi,” ujar Thomas. Arsen menoleh pada Thomas yang duduk di sampingnya. “Kapan? Aku akan ikut bersama kalian.” “Jika rencana berjalan lancar, lusa kami akan bergerak.” Arsen mengangguk-angguk pelan. “Bagaimana kondisi Nona Lily, Pak?” tanya Thomas sambil menatap wajah Arsen yang sudah tak sesuram sebelumnya. “Masih sama seperti sebelumnya,” jawab Arsen lalu mengembuskan napas kasar, “aku juga bingung, kenapa jadi begini padahal organ vitalnya semua baik.” Thomas terdiam. “Carikan informasi soal dokter atau rumah sakit luar negeri yang bisa menangani pasien koma. Aku ingin memberikan penanganan terbaik untuk Lily,” perintah Arsen. “Baik, Pak. Saya akan segera mencarik
Yogyakarta. Juna memilih untuk mulai bekerja seperti biasa setelah kembali. Dia merasa di atas awan, karena masih bisa bekerja di ARS, padahal menjadi dalang di balik celakanya istri pemilik perusahaan. Staf yang memiliki jabatan lebih rendah darinya menyambut seperti biasa, memujanya, seolah tak ada yang berubah. Juna merasa semuanya baik-baik saja, hingga dia terkejut menyaksikan berita yang sedang ditayangkan. Dia menunggu berita tentang Lily yang ditemukan mati, tetapi yang didapat malah hanya berita penemuan bekas darah dan tali ikatan di bangunan kosong. “Apa mungkin ada yang menyelamatkan Lily? Apa jangan-jangan dia tidak mati?” Juna menatap tajam ke layar televisi yang masih menayangkan berita penemuan bekas darah itu. Juna seketika teringat dengan kamera yang terpasang di boneka beruang milik Dini. Dia bergegas mengecek aplikasi pada ponselnya yang terhubung dengan kamera di boneka Dini, tetapi hasilnya nihil. Hanya warna hitam yang dilihatnya. “Sialan! Apa kam