Share

Bab 8 Penerimaan

Bab 8 Penerimaan

“Baik, tapi ijinkan aku mencari tau yang sebenar-benarnya dan seperti apa sosok Utari,” pintaku

“Memang itu yang aku harapkan, aku tidak berselingkuh di belakangmu, aku tidak pernah berdua-dua an seperti yang kamu fikirkan, aku ingin kamu yang mencari tau tentang Utari dan mencoba membuka wawasan tentang poligami. Jangan berfikiran sempit, bukankah dalam surat an nisa ayat 3 dijelaskan bahwa...dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat,” ujar suamiku mengutip sebagian terjemahan surat an nisa ayat 3

Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, jangan lupa sambungan ayat lengkap nya!!!” seru ku tak mau kalah.

“In shaa Allah aku akan berlaku adil,” ujar suami ku dengan rasa penuh percaya diri.

“Apa sih alasan kamu ingin menikahi nya?” tanyaku masih sangat penasaran.

“Apa ada yang kurang dalam diri aku? Coba jujur, aku ga akan marah jika memang ada sikap atau sifatku yang tidak kamu sukai, atau apa yang harus aku lakukan agar kamu mencintaiku lagi,” ucapku lagi sambil terisak, akhir-akhir ini air mata sering mengalir tak tertahan.

“Aku masih mencintaimu seperti dulu, ga ada yang berubah!! Kamu istri ku yang sempurna, kamu ga punya kekurangan apapun, bahkan banyak kelebihan yang kamu miliki, nih salah satu kelebihan yang kamu punya....kelebihan lemak,” ujar nya polos dengan nada bercanda sambil tersenyum menggodaku.

Tapi itu tak lucu lagi bagiku, candaan nya itu malah membuatku pesimis dengan bentuk tubuhku kini.

“Jadi aku terlalu gendut untuk jadi istri mu?” tanyaku sedih.

“Aku ga bermagsud seperti itu, aku suka koq bagaimana pun penampilanmu,” ujarnya merasa bersalah.

“Udah sekarang kita tidur, besok pagi aku harus ke kantor dan kamu harus kembali mengurus Syafia, Yusuf dan juga aku. Kamu butuh tenaga untuk itu, sekarang kita istirahat ya,” ajak nya sambil mendorongku perlahan untuk berbaring dan mulai menyelimuti ku.

Aku bersyukur karena kami telah melewati perang dingin ini, Suamiku mulai mencair dan kembali memberi perhatian padaku dan mau bicara lagi denganku, tapi aku masih menyayangkan bahwa dia masih bersikeras untuk berpoligami, meskipun aku belum rela dan rasanya tak mungkin untuk ku merestui pernikahan kedua suamiku, tapi untuk saat ini aku harus bermain cantik, akan kucari tau dulu yang sebenarnya hubungan Utari dan suamiku, apakah benar mereka tidak berselingkuh dibelakangku, dan apa motif sebenarnya suamiku ingin berpoligami?

Pikiranku jauh melayang melintasi waktu, aku teringat saat dimana ayah dan mama ku bersama dulu, pertengkaran sering menghiasi kehidupan rumah tangga mereka bahkan sejak aku kecil, ayah ku pun melakukan kekerasan fisik dan verbal kepada ku dan kepada mama, masih teringat jelas dalam memory ku cubitan, tamparan dan bentakan ayah kepadaku pun pada mama saat mereka bertengkar, Aku hanya bisa diam dan menangis di balik pintu. Ayah sering menyalahkan mama atas segala kejadian, ‘Kamu ga bisa ngurus suami, kamu ga bisa ngurus rumah, kamu ga bisa bersyukur, kamu ga bisa bantu suami,’ kalimat-kalimat itulah yang sering terlontar dari mulut ayah.

Apakah benar bahwa segala perbuatan suami adalah hasil dari perbuatan istri? Apakah istri harus selalu berkaca diri dan instrospeksi sebelum menyalahkan suami? Apakah benar ketika suami berpaling dan menginginkan wanita lain itu karena kekurangan sang istri??

Aku mencoba berkaca diri, kekurangan apa yang aku miliki hingga suamiku ingin mengisi nya dengan menghadirkan sosok istri yang lain?

Lagi.....malam ini akan jadi malam yang panjang dengan sejuta tanya yang mengisi relung hati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status