Share

Dinodai Pria Berseragam, Dicintai Teman SMA
Dinodai Pria Berseragam, Dicintai Teman SMA
Penulis: Seema Zuhda

Part 1

Menikah di usia muda adalah impianku, apalagi berjodoh dengan Aparatur Negara, seorang lelaki berprofesi TNI AD bernama Hendra, berkulit sawo matang khas mas-mas Jawa, dengan tubuh proporsional, dan wajah bersih berseri layaknya mentari pagi.

Ah, maha baik Allah yang telah menciptakanku dari tulang rusuk manusia sesempurna Mas Hendra.

[Dek Najma, lagi apa?] Sebuah pesan W******p dari orang yang baru saja kuceritakan, Mas Hendra.

[Ini baru pulang habis ngantar Hanan ngaji, Mas.] Balasku, Hanan adalah adikku yang ketiga, sedangkan yang kedua bernama Kiara.

[Biasanya Ibu yang ngantar?]

[Iya, Ibu sama Ayah lagi keluar kota, dolan ke rumahnya Pakde, sekalian mau ngasih tau tentang pernikahan kita,]

[Sendirian di rumah berarti?]

[Iya,]

[Mas jemput, ya? Ibuku pengen kamu main ke rumah,] Aku melotot melihat pesan Mas Hendra, entah kenapa, bukannya senang justru gelisah beradu takut yang kini menguasai hati.

Mungkin karena bertentangan dengan prinsip yang lahir dari pengetahuanku sebagai makhluk beragama, bahwa pantang bersama sebelum terikat akad.

Rumah Mas Hendra lumayan jauh, butuh waktu kurang lebih tiga puluh lima menit untuk sampai di sana, hanya berdua dalam satu kendaraan?

Mungkin orang sekitar menganggap wajar karena sudah berkhitbah, tapi tetap saja melanggar, bukankah sesuatu yang dimulai dengan perkara salah nanti ujungnya akan semakin bermasalah? Apakah Mas Hendra belum mengetahui tentang hal seperti ini?

[Mas barusan sudah video call Ayah Mertua, beliau mengijinkan, Dek. Kata beliau nanti adik Hanan biar dijemput sama adik Kiara sekalian pulang les, Mas jemput kamu sekarang, ya!] Satu pesan lagi dari Mas Hendra yang membuat kepalaku berdenyut, pikiranku semakin kalut.

Segera kuambil kembali smartphone yang barusan kulempar diatas ranjang, mengirim pesan pada kontak bernama Ayah, tak berselang lama bukanya mendapat balasan pesan, Ayah malah melakukan panggilan video.

Sesuatu yang sangat tidak aku suka meskipun pada Ayah sendiri, Ayah masih saja belum mengerti bahwa anak sulungnya ini seorang introvert sejati, sangat tidak nyaman jika harus berhaha-hihi lewat panggilan telepon, pada siapapun tanpa terkecuali.

Kugeser logo bulat hijau bergambar telepon genggam itu ke atas, kuletakan di atas ranjang, sedangkan aku duduk di lantai tepi tempat tidur, menenggelamkan wajah di kasur dengan tangan memijat kepala bagian belakang.

Bahkan untuk masalah seringan ini aku tidak bisa tegas, jika tidak mau bilang saja tidak, jika konsekuensinya harus membatalkan pernikahan demi sebuah prinsip, kenapa tidak? Ah, Allah tolonglah hambamu yang lemah ini.

"Kenapa, Nduk? Mas Hendra belum sampai? Tadi dia sudah telepon Ayah, katanya mau jemput kamu, Bu Besan mau ketemu kamu, pengen kamu main ke rumahnya, dari awal kenal sampai mau nikah kamu belum pernah kerumahnya sama sekali, masa Ayah sama Ibu terus yang kesana, enggak apa-apa, kan sudah dilamar, manut orang pada umumnya aja, Nduk!" ucap ayah panjang lebar di seberang sana, telingaku yang mendengarnya, tapi kenapa netraku yang merespon dengan air mata?

Segera kumatikan sambungan telepon itu, dan kembali mengatur napas yang mulai berat, ada sesal yang teramat sangat karena dengan bodohnya aku membalas pesan Mas Hendra, memberitahunya kalau aku tengah sendirian di rumah.

***

Terlintas kembali bayangan satu bulan yang lalu, ketika mas Hendra datang ke rumah untuk mengkhitbah, aku yang berada di ruang tengah dibuat salah tingkah dengan tutur kata Mas Hendra yang ada di ruang tamu.

"Pak Qomar, maksud kedatangan saya sekeluarga kesini mau meminang putri sulung Bapak, dan besar harapan saya agar pinangan ini diterima oleh putri Bapak,"

"Nak Hendra, usiamu berapa kalau Bapak boleh tau?"

"Tiga puluh dua tahun, Pak."

"Putri Sulung Bapak namanya Najma, dia baru saja lulus SMA, awalnya Bapak belum ada niat sama sekali untuk menikahkan Najma di usia muda, dia masih delapan belas tahun, dia juga alhamdulillah selalu juara saat sekolah, jadi Bapak maunya dia melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, lalu datanglah Bapak kamu menawarkan perjodohan, dikasih lihat foto kamu, berpikir ulang lah Bapak, melihat maraknya pergaulan bebas anak muda jaman sekarang, mungkin ada baiknya putri Bapak menikah dahulu, biar ada pasangan halal, biar ada yang jaga, apalagi sama nak Hendra, dengan usia yang sudah matang dan tentara pula, jadi bikin bapak lebih yakin, untuk urusan pendidikan toh bisa dilanjutkan setelah menikah kalau mau, akhirnya Bapak beritahu Najma perihal ini, agak takut juga Bapak waktu itu, takut dibilang Bapak punya utang sama Bapaknya nak Hendra, atau takut dibilang mau menjadikan anak sendiri senasib dengan Siti Nurbaya, tapi tidak Bapak sangka ternyata Najma dengan senang hati menerima perjodohan ini, alasannya karena cita-citanya memang ingin menikah di usia muda, menjadi ibu rumah tangga, dan jadi mama muda, mungkin sudah takdirnya nak Hendra berjodoh dengan putri Bapak, Najma."

senang bercampur haru yang kurasakan mendengar Ayah menceritakan semua itu, air mata bahagia tumpah seketika.

terdengar sorak ramai diruang tamu, entah karena apa, aku tidak perduli, kusandarkan kepala di pundak Ibuku yang menemaniku di ruang tengah, kini aku hanya ingin menikmati rasa bahagia ini.

"Pak Qomar, saya mohon ijin untuk menyematkan cincin ini di jari manis putri Bapak,"

aku terperanjat, rasa bahagia berganti ragu, benarkah Mas Hendra yang barusan berucap? tidakkah Mas Hendra tau bahwa keinginannya itu sebuah larangan?

"Baik, sebentar Bapak panggilkan, ya!"

"Nduk, ayo ke ruang tamu."

"Ayah, ini salah, aku sama Mas Hendra belum halal, belum boleh bersentuhan meskipun hanya sekedar memakaikan cincin," jelasku berbisik pada ayah yang tengah berdiri di depanku.

"Enggak masalah, Nduk. Kan, pada akhirnya kamu juga bakalan jadi istri Mas Hendra, ini mau disematkan cincin juga sebagai tanda awal kalau kamu sudah milik Mas Hendra,"

"Tetap saja, belum boleh bersentuhan sebelum terikat akad, Ayah! begini saja, Najma mau dipakaikan cincin kalau yang menyematkan Ibunya Mas Hendra,"

"Iya, sudah, ayo ke ruang tamu."

Aku pun duduk di antara keluarga Mas Hendra yang perempuan, sedangkan Mas Hendra yang dalam sekelebat aku lihat tengah duduk di antara Bapak-bapak, dengan celana panjang hitam dan kemeja batik warna navy, membuatku tak hentinya berucap istighfar karena takut tidak bisa mengendalikan pandangan akan ketampanan Mas Hendra yang luar biasa.

Saat aku tengah sibuk memaksa diri untuk terus menundukkan pandangan, tiba-tiba sosok laki-laki duduk di depanku dan tangannya meraih tangan kananku, sontak aku mendongak, wajah tampan itu tersenyum melihatku, aku dengan cepat melepas tanganku, lalu menatap ke arah Ayah.

"Mohon Maaf sebelumnya, nak Hendra, untuk prosesi lamaran ini Najma maunya yang memakaikan cincin itu Ibunya nak Hendra,"

"Baik, Pak. Tidak masalah," ucap Mas Hendra dengan nada suara seperti tengah menahan marah dan kecewa.

***

setelah kejadian itu, dan saat ini Mas Hendra yang mau menjemputku untuk di ajak kerumahnya, kenapa aku merasa Mas Hendra sama sekali tidak mengerti tentang bagaimana aturan agama?

Mau lari kemana? minta tolong ke siapa? bahkan Ayah menganggap wajar, apalagi orang lain, sesulit inikah hidup ditengah masyarakat yang selalu menganggap wajar sesuatu hal, tanpa peduli dengan pelanggaran terhadap aturan agama.

Kuambil boneka angry bird merah untuk menutup wajahku, duduk di kursi rias dan menenggelamkan wajah pada boneka yang kuletakan diatas meja rias, mencoba meredam tangis yang datang sebab amarah yang menguasai diri.

Namun, tiba-tiba sepasang tangan melingkari perutku dari belakang, berlanjut kepala yang bersandar manja di punggungku.

Aku terperanjat.

Bersambung.

Oleh : Seema Zuhda

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status