Share

Part 2

Sontak aku berdiri, melepaskan diri dari sosok yang membuat aku terkejut setengah mati, aku hanya bisa menatap tajam lelaki yang berbuat lancang padaku barusan, mulutku seakan kaku, selalu saja begitu, meskipun dada bergemuruh ingin meluapkan api amarah, namun mulut rapat terkunci.

Sosok yang tadinya aku sangat merasa beruntung bisa berjodoh dengannya, tapi semakin kesini Allah seperti sedang menunjukkan bagaimana Mas Hendra yang sebenarnya, ekpektasi rumah tangga ideal nan harmonis itu seketika runtuh oleh kenyataan.

"Kenapa, Dek? tadi aku ketuk pintu berkali-kali enggak ada respon, pintu tidak terkunci jadi aku masuk, manggil kamu berulangkali juga enggak ada jawaban, terus aku lihat pintu kamar kamu terbuka, lihat kamu sesenggukan aku enggak tega, jadi aku peluk kamu dari belakang, siapa tau bisa bikin kamu tenang. Ayolah, jangan sok suci, sok agamis kamu, Dek! Seminggu lagi kita nikah!" gertak Mas Hendra dengan suara tinggi, Mas Hendra tampak marah melihat tatapan nyalang mataku.

Seperti tidak terima dengan sikapku yang sama sekali tidak mau disentuh, seperti sebulan lalu ketika melamar, Mas Hendra dengan senyum sumringah meraih tanganku untuk memakaikan cincin pertunangan, tapi aku tolak, dan meminta agar cincin dipakaikan oleh Ibunya Mas Hendra, Mas Hendra langsung maklum dan memberikan cincin itu kepada Ibunya, namun sekelebat aku melihat wajah Mas Hendra tampak sangat kesal.

"Seperti inikah kamu, Mas? Sama sekali tidak ada aturan agama yang kamu patuhi? Bersentuhan sebelum halal, masuk rumah orang seenaknya, marah ketika tau salah, kamu salat enggak, sih, Mas?" entah darimana aku memiliki keberanian untuk merangkai kalimat yang akhirnya terucap dengan lantang, mungkin inilah wujud dari pertolongan Allah, bagian dari doaku agar lisan ini bisa dengan jelas berucap untuk kebenaran.

"Salatku bukan urusanmu, Najma! Mau aku salat atau enggak jangan ikut campur untuk hal itu, perlu kamu tau bahwa aku hidup hanya untuk harta, tahta, dan wanita. Itu lebih memuaskanku daripada agama, Ingat itu!"

"Pergi sekarang, Mas! Pernikahan kita batal, aku tidak sudi memiliki imam seperti kamu, Ingat itu!"

"Tidak bisa, Najma sayang. Keputusan ada ditanganku, pernikahan ini akan tetap terjadi, kamu wanitaku, tugasmu hanya untuk memuaskanku seumur hidup!" Ucap Mas Hendra melunak, dengan senyum menakutkan kaki Mas Hendra melangkah mendekat padaku, aku meraih gunting yang terletak di antara alat tulis di atas meja rias.

Mas Hendra tertawa keras saat melihatku ketakutan, Mas Hendra yang kini hanya berjarak sejengkal denganku itu segera mengambil gunting yang aku pegang dengan tangan gemetar, lalu melemparnya, aku mendorong tubuh kekar itu dari hadapanku, namun nihil, tanganku yang lemah karena takut ini tidak bisa mengubah posisi sama sekali, ingin berlari pun tak bisa, aku hanya bisa menangis dan menatap marah Mas Hendra.

"Kamu cantik tanpa kerudung dan gamis longgarmu itu, Dek. Tubuhmu yang sempurna ini akan kunikmati malam ini!" bisik Mas Hendra tepat ditelinga kananku.

"Sebelum itu langkahi dulu mayatku, Mas!" ucapku gemetar, memberanikan diri melawan tingkah Mas Hendra yang semakin di luar kendali.

Aku melangkah menuju pintu kamar, mengambil gamis dan kerudung yang selalu aku siapkan dibelakang pintu, agar ketika tiba-tiba ada tamu bisa langsung dipakai tanpa harus berlama-lama mencari di lemari, semoga Allah mengampuni aku yang tidak menutup aurat didepan Mas Hendra tadi.

Kupakai gamis dan kerudung sambil berlari kecil keluar kamar, ku usap sisa air mata yang seketika berhenti membersamai nyali untuk melawan Mas Hendra yang bertingkah seperti monster.

Kuambil kaus kaki yang tadi aku geletakan di sofa ruang tamu sehabis mengantar Hanan ngaji, aku yang akhirnya bisa sampai di pintu depan segera menekan gagang pintu ke bawah, namun tidak bisa terbuka.

Kulihat kunci yang biasanya terpasang dipintu itu tidak ada, dan pintu itu terkunci dari dalam, sudah pasti ini perbuatan Mas Hendra, perbuatan yang sudah direncanakan.

Aku segera berlari menuju jendela yang ada disebelah pintu, menarik besi mungil yang berbentuk L ke depan lalu ke atas, dan akhirnya terlepas, lalu ku dorong jendela dengan sekuat tenaga.

Namun tiba-tiba seseorang menarik bagian belakang kerudungku dengan kasar, siapa lagi kalau bukan Mas Hendra, tangan kirinya membekap mulutku, lalu tangan kanannya mengunci kembali jendela yang hampir menjadi jalan keluarku untuk melarikan diri dari monster berwujud manusia bernama Hendra.

Kerudungku dilepas paksa oleh Mas Hendra, begitupun gamisku, menjadi seperti kain perca yang dirobeknya hanya dengan satu tangan.

Tubuhku yang hanya tertutup dengan setelan piyama berwarna navy tidak berhenti berontak dari cengkraman Mas Hendra, mulutku mencoba mengeluarkan suara dalam bekapan tangan Mas Hendra, berharap tetangga ada yang mendengarnya.

Kutatap Mas Hendra dengan mata yang kembali basah karena air mata, memohon agar jangan melakukan hal hina, namun Mas Hendra seperti orang kesetanan, memadamkan seluruh lampu ruangan, lalu menyeretku kembali ke kamar, mengunci pintu kamar dengan tetap membungkam mulutku.

"Layani aku, atau seluruh keluargamu kembali ke rumah ini sebagai mayat?" ucap Mas Hendra sembari menunjukan handphonenya kepadaku, disitu tertulis percakapan Mas Hendra dengan nama kontak Berandal, tubuhku seketika lunglai dan jatuh kelantai, Mas Hendra ternyata sudah merencanakan semua ini, dia bisa tau seluruh titik tempat Ayah, Ibu, dan kedua adikku berada, dan menyiapkan sekelompok berandal untuk mengintai mereka.

"Bejat kamu, Mas! Nyawa manusia kamu pertaruhkan hanya demi pemuasan nafsu kamu? Ternyata ada yang lebih buruk dari binatang, seburuk apa nasibku kedepan jika harus hidup bareng psikopat kayak kamu, Mas?" teriakku merasa putus asa dengan keadaan.

Mas Hendra tertawa lepas, hinaan itu seperti angin lalu, ia berjongkok menatapku yang tertunduk pasrah dilantai, tangannya menyingkap rambutku yang menutupi wajah.

Rasa putus asa benar-benar telah menguasaiku, air mata seakan bersumber dari mata air yang tidak ada habisnya, detik berikutnya Mas Hendra benar-benar melancarkan niat bejatnya, dan aku telah menjadi gadis yang tidak lagi perawan.

Selanjutnya bagaimana aku akan melanjutkan hidup dalam bayang-bayang dosa zina? Rasanya aku ingin mengakhiri hidupku malam ini.

"Aku akan tetap menikahimu, Dek. Terima kasih untuk rasa nikmat ini," bisik Mas Hendra setelah melakukan aksi bejatnya, lalu pergi dengan tanpa rasa bersalah sedikitpun.

"Mas Hendra sejak kapan di sini?" samar-samar aku dengar suara adikku Kiara, segera aku bangkit untuk membereskan kamar yang berantakan, aku tidak mau seorangpun tau tentang dosa besar ini, aib memalukan yang harus aku tutup rapat agar tidak diketahui oleh siapapun.

"Dimana Mbak Najma?" tanya Hanan pada Mas Hendra, aku tidak mendengar jawaban dari Mas Hendra, justru suara deru motor yang aku dengar, semakin menjauh lalu hilang.

"Mbak Najma," teriak Kiara berlari masuk kedalam rumah.

"Ada apa, Ra? Mbak dikamar" jawabku dengan suara lemah.

"Mas Hendra ngapain kesini, Mbak?" Kiara yang dua tahun lebih muda dariku itu kini sudah berada di tengah pintu kamarku, menatapku dengan wajah heran.

"Mbak, kok, pucat? Mata Mbak juga sembab," ucapnya sembari memegang kedua pipiku, tatapannya kini berubah cemas, aku hanya menggeleng pelan, lalu berjalan pelan menahan sakit menuju tempat tidur.

"Mbak hanya kurang enak badan, Ra,"

Kulihat Kiara tidak lagi memedulikanku, ia sibuk dengan ponselnya.

"Ayah pulang kapan? Mas Hendra habis dari sini tadi, anehnya Mbak Najma sekarang matanya sembab, wajahnya pucat banget, Ayah pulang saja sekarang!" Kiara menelpon Ayah rupanya, adikku itu sangat berbeda denganku, aku introvert dan dia ekstrovert.

"Mbak, ini apa?" Aku terkejut melihat apa yang ditunjuk Kiara.

Bersambung.

Oleh : Seema Zuhda

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status