Share

Part 3

Aku segera menutup bercak darah yang terlihat sangat jelas di bad cover berwarna putih dengan motif bunga mawar itu dengan selimut, dan berusaha mengatur diri dari rasa panik yang tiba-tiba hinggap, mencoba tertawa pada Kiara untuk mengusir berbagai kemungkinan yang Kiara pikirkan.

"Mbak lagi haid, Ra," ucapku dengan senyum terpaksa untuk menutupi kebohongan.

"Mbak enggak usah bohong, ya? Kalau aku yang ngomong gitu mungkin orang akan langsung percaya, karena aku jorok, mageran, berbeda dengan Mbak Najma yang bukan tipe pemalas, selalu tau kapan harus ganti pembalut, dan menurut pengalamanku, nih, ya, Mbak! Sebagai adikmu, aku tidak pernah sekalipun melihat Mbak lagi haid trus bocor kayak gitu, jelas banget kalau Mbak lagi bohong," bukan Kiara jika tidak blak-blakan kayak gini, adikku ini sangat tau bagaimana aku.

Aku terdiam, cemas mulai menyapa diri, aku tau benar jika Kiara tidak pernah bisa dibohongi, namun untuk kebohongan yang aku tutupi saat ini bukan kebohongan biasa, aib luar biasa buruk yang tidak bisa aku bongkar dan beritahukan kepada siapapun.

"Mbak, kok, diem? Jadi makin kelihatan kalau Mbak lagi bohong,"

"Eng-enggak, kok, Ra! Mbak emang lagi haid. Udah, ya! Mbak ngantuk, mau tidur,"

Kiara melengos, dan beranjak pergi dari kamarku, aku hanya tersenyum kecut, biasanya ketika aku berbohong, adikku itu akan terus menggiringku dengan berbagai pertanyaan hingga ancaman lucu yang membuatku akhirnya mengaku. Mataku kembali berair, sesenggukan dibalik selimut yang menutupi seluruh tubuhku.

Ketukan pintu kamar membangunkan ku dari tidur sedihku, kulihat jam menunjukkan pukul dua belas malam.

Sudah hampir empat jam aku tertidur setelah menguras air mata dengan hebatnya, segera aku berjalan pelan menuju pintu, rasa sakit kembali menjalar di seluruh tubuhku akibat peristiwa keji beberapa jam yang lalu.

"Nduk, ada apa to? Katanya Kiara setelah tadi Mas Hendra pulang dari sini kamu jadi aneh?" ucap Ibu yang baru saja tiba dari luar kota, memegang lembut kepalaku, tatapan matanya tampak sangat khawatir melihatku.

Air mataku kembali luruh dengan derasnya, perhatian dan pelukan Ibu memang sangat aku butuhkan untuk saat ini, aku membenamkan wajahku pada pundak kiri Ibuku yang masih berpakaian lengkap.

Kerudung lebarnya basah karena air mataku yang tak kunjung berhenti mengalir, mampukah aku kembali berbohong? Setelah tadi Kiara, bagaimana aku akan membohongi Ibu setelah aku menunjukkan kesedihan ini padanya?

"Mau cerita sekarang?" tanya ibuku lembut setelah tangisku mereda.

Aku hanya menggeleng pelan, dari aku kecil, ketika aku sedih Ibu selalu menyuruhku menangis dalam pelukannya, setelah tangis reda Ibu baru bertanya kenapa, namun ketika aku belum mau bercerita, Ibu tidak memaksa, yang dilakukan hanya kembali memelukku dan menunggu hingga aku siap untuk menceritakan seluruhnya, dan bukan hanya kepadaku, Ibu juga memperlakukan kedua adikku sama sepertiku.

Ibu kembali memelukku, lalu mencium keningku, dan menyuruhku untuk kembali tidur, ketika ibu sampai di ambang pintu kamar, kulihat Ayah baru muncul, mungkin baru beres memarkir mobilnya, Ayah menatapku lalu melihat Ibu, Ibu menggeleng pelan, mengisyaratkan pada Ayah agar jangan dulu menggangguku.

Getaran ponsel tanda panggilan masuk membuyarkan lamunanku, segera kuambil gawai itu, kulihat panggilan itu tanpa nama, hanya deretan angka dengan foto profil salah satu tokoh anime Jepang.

Kumatikan sambungan telepon itu, dan mengecek pesan teks dari aplikasi hijau, dua belas pesan dari nomor yang barusan menelpon, tertera jam setengah tujuh tadi pesan ini masuk.

[Assalamualaikum, Najma.]

[Aku Irsyad,]

[Kuliah dimana sekarang, Ma?]

[Maaf, ya. Cuma mau ngasih tau kamu sesuatu,]

[Aku cinta sama kamu, bisa dibilang pada pandangan pertama, dari awal ospek kita waktu SMA,]

[Mengagumimu dalam diam, mendoakan yang terbaik untuk rasa ini,]

[Bahkan saat pindah kesini, rasa ini tidak pernah pudar, meskipun tanpa pernah tau bagaimana kabarmu,]

[Sejak pindah kesini aku menyibukkan diri dengan banyak hal. Prestasi akademik, ikut serta dalam kegiatan dakwah, dan juga bisnis yang Alhamdulillah sudah mencapai pasif income saat ini,"]

[Insya Allah bukan karena kamu, aku mencapai semua itu,]

[Tapi aku hanya ingin merayu Allah, dengan berusaha melayakkan diri menjadi suami di usia muda,]

[Tanpa basa-basi, aku ingin kamu jadi istriku, aku ingin memilikimu dengan cara halal, untuk kedepannya kita bareng-bareng melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya, karena aku tau, kamu sangat bersenang-senang jika menyangkut pendidikan, untuk biaya sepenuhnya aku yang bertanggung jawab,]

[Jika kamu berkenan untuk menerima niatku ini, kamu bisa memberitahukan alamat lengkap rumahmu, ya.

Nb : sangat berharap agar tidak menerima penolakan, Terima kasih,"]

Aku memicingkan mata setelah membaca seluruh pesan manis ini, Irsyad? Aku bahkan tidak tau nama itu, mencoba mengingat seluruh kawan SMA yang belum lama ini aku berpisah dari mereka.

Ah! Aku mengingatnya, Irsyad yang pernah menjadi pembicaraan panas seluruh pelajar khususnya pelajar wanita, anak IPS yang disebut-sebut ketampanannya sekelas aktor Korea, bahkan ada yang bilang Irsyad adalah adiknya Lee Dong Wook, karena saking miripnya.

Waktu kelas satu SMA semester akhir, tersiar kabar bahwa si tampan Irsyad pindah sekolah, hingga membuat banyak dari pelajar wanita atau bahkan semuanya galau berat, tidak termasuk aku tapi, ya.

Karena aku hanya sekilas melihat Irsyad di mushola sekolah, aku yang waktu itu baru datang memasuki serambi mushola, dan Leni temenku tiba-tiba jingkrak-jingkrak kegirangan melihat Irsyad dengan wajah basah karena baru saja wudhu, aku melihat sekilas, dan pandangan kami bertemu, itu saja, aku tidak pernah lagi melihat Irsyad, meskipun kami satu sekolah, tapi tidak satu kelas, aku kelas IPA, dan Irsyad IPS.

Aku memang seperti yang dibilang Irsyad, bahwa pendidikan adalah duniaku, aku sangat senang dengan dunia akademik, untuk urusan cinta aku pernah satu kali mengagumi kakak kelas yang sangat genius, tapi ketika tau bahwa dia sudah berpacaran dengan teman sekelasnya, aku tidak lagi tertarik dengan urusan rasa.

Namun setelah lulus SMA, aku menjadi tertarik dengan urusan jodoh, tiba-tiba saja aku ingin menikah di usia muda. Toh, aku tetap bisa melanjutkan pendidikan setelah menikah, seru aja gitu waktu di bayangkan.

Dan datanglah tawaran perjodohan, dengan lelaki yang awalnya aku anggap kisahku nantinya akan penuh romansa, namun seperti dibuat terbang setinggi-tingginya, lalu dijatuhkan hingga hancur tak tersisa, bayangan indah itu berganti mimpi buruk yang akan selalu menghantui duniaku.

Lagi-lagi, air mata ini tidak pernah bosan membasahi pipi, rasa marah yang tak bisa kutahan, akhirnya mengarahkan tanganku untuk melepas kasar bad cover dengan noda darah diatasnya, memasukkan pada kantong kresek, dan berniat membuangnya esok.

Setelahnya aku pasang bad cover baru, aku melihat jam dinding yang terpasang di atas pintu kamarku, jam satu pagi kurang seperempat, aku terkejut setelah Ingat bahwa aku belum salat isya', aku berjalan pelan ke kamar mandi, rasa sakit di area bawah tubuhku seakan mengingatkanku agar aku mandi wajib dahulu sebelum menunaikan salat.

Meskipun merasa malu bertemu Allah karena dosa besar ini, aku ingin tetap melaksanakan kewajiban, dengan terisak aku memohon ampun dan mengadu pada penciptaku, bahwa dosa ini bukan salahku, aku sama sekali tidak menginginkan perbuatan itu terjadi, jika boleh aku meminta, agar waktu berputar mundur, aku ingin sekali menolak perjodohan ini, aku ingin kembali melanjutkan pendidikan, dan berjodoh dengan lelaki yang dekat dengan-Mu, bukan seperti Mas Hendra, manusia angkuh yang tidak percaya akan keberadaan-Mu.

[Jangan buat aku menunggu terlalu lama, maksimal satu kali dua puluh empat jam, ya! Terima kasih,]

Satu pesan lagi masuk, aku yang tadinya berniat mematikan data lalu tidur, mau tidak mau harus membalas pesan yang mungkin akan menyakiti hati si penerima pesan.

"Maafkan aku, Syad," ucapku hampir berbisik, sembari mengetik lalu mengirim pesan singkat sebagi balasan.

Bersambung..

Oleh : Seema Zuhda

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status