Share

aku akan

"Aku akan ke tempat Filza sore nanti, apa kau ingin menitipkan sesuatu sepulangnya?"

Wow, dia menawariku sesuatu, tumben dia melakukannya.

"Tidak ada Mas, terima kasih."

Bukannya aku sok Sholehah, tapi aku memang sedang tidak membutuhkan apa apa.

"Yakin, kau tidak mau dibelikan martabak susu keju?"

"Tidak, Mas," jawabku dengan senyum getir.

"Baiklah, aku berangkat dulu." Dia mendekatiku lalu mengecup kening ini dengan penuh kasih sayang.

"Aku harap kau tak akan memupuk kecemburuan lagi. Memang saat wanita cemburu seorang pria harusnya mengalah, karena mereka akan mendebat perasaan dan hati. Aku minta maaf atas kesalahanku yang sudah menuntutmu barusan."

Sepertinya luka di hatiku seakan diringankan dengan permintaan maaf darinya. Meski hanya ucapan kecil, aku merasa beban dipundakku berkurang.

Kuiringi kepergian Mas Albi berangkat kerja dengan doa dan harapan semoga Tuhan akan menjaganya di mana pun dia berada.

*

"Ummi, boleh kita ke taman hiburan malam Minggu dengqn Abi?" tanya Fatimah sepulang sekolah.

"Mengapa tiba tiba ingin ke taman hiburan?"

"Enggak ada, pengen aja, pengen ditemani Abi."

"Kita tanya Abi dulu ya."

"Iya, sejak ada Tante Filza, kalau mau ajak Abi kita harus bertanya dan minta izin dulu, susah sekali ya," keluh Fatimah.

"Enggak susah kok, Abi akan prioritaskan agar bisa bersama kalian anak anaknya, Abi pasti akan setuju kok."

"Bagaimana kalau tidak, apa bunda mau tebak tebakan dengan Fatimah?" sepertinya ada keraguan di hati anakku, keraguan yang sama persis kurasakan sekarang akan cinta dan ketulusan Mas Albi.

Apakah setelah poligami, masihkah dia mencintaiku seperti dulu atau perasaannya sudah berubah. Mungkinkah, kehadiran Filza menggeser tempat yang seharusnya hanya ada aku di sana? Lalu bagaimana dengan anak anak? Masihkah kami penting untuk ayah mereka, astaghfirullah, hatiku jadi galau memikirkannya.

*

Pukul enam sore, Mas Albi belum kunjung pulang, padahal secara teknis hari ini adalah jatah waktu yang akan dia habiskan bersama kami. Apakah mungkin Filza menahannya di sana, ataukah Mas Albi sendiri yang betah? Ya Allah, mengapa keimanan dan keyakinanku terhadap keutuhan rumah tangga kami mulai goyah ya? Apakah ini adalah sinyal bahwa suatu hari kami aka berpisah? Allah, aku takut.

*

"Halo, assalamualaikum Mas." Pada akhirnya, aku yang penasaran segera menelpon suamiku untuk menanyakan kabarnya.

"Sudah kuduga kau akan cemas dan menelpon, aku baik baik saja. Aku akan telat pulang karena saat ini Gibran sedang rewel."

"Tapi, aku tak mendengar suara bayi menangis, Mas," protesku di mana aku tak mendengar suara anak anak rewel di latar belakang.

"Baru saja ditidurkan Um, tadi agak rewel karena pilek dan demam. Filza kebingungan dan agak frustasi, maklum baru pertama punya anak. Jadi, tolomh maklumi ya," pintanya dengan sedikit tawa kecil.

Ya all,h manja sekali, dulu aku juga kerepotan mengurus Fatimah dan Fatin yang jaraknya hampir berdekatan. Aku berjibaku dengan tugas rumah dan kenakalan anak anak sementara ayah mereka selalu di luar mencari nafkah, aku tak pernah mengeluh repot atau harus minta bantuan kok. Malah Mas Albi tetap bisa melakukan hobinya main bola dan mancing, dia tetap bisa bertemu dengan teman temannya, duduk ngopi di cafe atau hadir di acara mereka. Bahkan suamiku cenderung bebas dan bahagia. Ada apa kehadiran Filza, apakah wanita itu amat istimewa sehingga Mas Albi tak rela setetes keringat pun mengucur dari kening istri mudanya.

Hmm, aku cemburu dan kesal lagi.

"Ya udah deh, nanti pulangnya hati hati," jawabku sambil menahan perasaan. Kututup telpon sambil mengigit bibir, aku lupa bahwa tadi niatku ingin menyampaikan keinginan Fatimah saking sudah sakit hati duluan mendengar perkataan Mas Albi.

(Mas, anak anak ingin ke taman hiburan denganmu. Aku pikir itu ide bagus karena kita sudah lama tak ke sana. Anak anak merindukan kebersamaan denganmu, jadi aku mohon ya, Mas.) Kirim pesan seperti itu, berharap bahwa suamiku akan sedikit berpikir dan memberi waktunya untuk kami.

(Insya Allah, kalau aku tak sibuk di akhir pekan. Oh ya, aku lupa jika Filza mengajakku kondangan ke pernikahan sepupunya. Dia ingin aku membaur dengan keluarganya. Jadi sekarang aku ingin minta izin denganmu, semoga kau membolehkannya.)

Astagfirullah malah dia yang balik minta izin.

(Jadi gak bisa ya Mas?) Kuketuk pesan itu sambil menahan napas. (Bukannya besok jatah waktunya masih dengan kami ya, Mas?)

(Aku mohon pengertianmu, aku akan menggantinya di hari lain. Tolong katakan pada anak anak bahwa abinya berhalangan.)

(Jadi, kami tak lebih baik darinya, tak lebih penting?)

(Astagfirullah, ya Tuhan beri aku kesabaran atas perilakumu yang aneh, Aini....)

(Kok malah kamu yang mengeluh, Mas? Harusnya aku dong, untuk kesekian kalinya kamu bikin kami kecewa, Mas.)

(Kondangan gak setiap hari, aini. Sementara taman hiburan tak akan lari kemana mana. Tolonglah, jangan bersikap dan menempatkan kepalamu seperti fatimah dan Fatin. Jangan kekanakan!)

Sampai di sana aku hanya bisa menggeleng pelan sambil mengusap air mata yang tak sengaja meleleh. Aku sangat kecewa, kecewaku tak tergambarkan. Aku sedih, tapi bukan untuk diri sendiri. Aku hanya hancur untuk anak anakku yang pada akhirnya perlahan akan kehilangan momen momen penting bersama ayah kandungnya.

Ya Allah. Mengapa segini rumitnya rumah tangga kami.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status