"Aku akan ke tempat Filza sore nanti, apa kau ingin menitipkan sesuatu sepulangnya?"
Wow, dia menawariku sesuatu, tumben dia melakukannya."Tidak ada Mas, terima kasih."Bukannya aku sok Sholehah, tapi aku memang sedang tidak membutuhkan apa apa."Yakin, kau tidak mau dibelikan martabak susu keju?""Tidak, Mas," jawabku dengan senyum getir."Baiklah, aku berangkat dulu." Dia mendekatiku lalu mengecup kening ini dengan penuh kasih sayang."Aku harap kau tak akan memupuk kecemburuan lagi. Memang saat wanita cemburu seorang pria harusnya mengalah, karena mereka akan mendebat perasaan dan hati. Aku minta maaf atas kesalahanku yang sudah menuntutmu barusan."Sepertinya luka di hatiku seakan diringankan dengan permintaan maaf darinya. Meski hanya ucapan kecil, aku merasa beban dipundakku berkurang.Kuiringi kepergian Mas Albi berangkat kerja dengan doa dan harapan semoga Tuhan akan menjaganya di mana pun dia berada.*"Ummi, boleh kita ke taman hiburan malam Minggu dengqn Abi?" tanya Fatimah sepulang sekolah."Mengapa tiba tiba ingin ke taman hiburan?""Enggak ada, pengen aja, pengen ditemani Abi.""Kita tanya Abi dulu ya.""Iya, sejak ada Tante Filza, kalau mau ajak Abi kita harus bertanya dan minta izin dulu, susah sekali ya," keluh Fatimah."Enggak susah kok, Abi akan prioritaskan agar bisa bersama kalian anak anaknya, Abi pasti akan setuju kok.""Bagaimana kalau tidak, apa bunda mau tebak tebakan dengan Fatimah?" sepertinya ada keraguan di hati anakku, keraguan yang sama persis kurasakan sekarang akan cinta dan ketulusan Mas Albi.Apakah setelah poligami, masihkah dia mencintaiku seperti dulu atau perasaannya sudah berubah. Mungkinkah, kehadiran Filza menggeser tempat yang seharusnya hanya ada aku di sana? Lalu bagaimana dengan anak anak? Masihkah kami penting untuk ayah mereka, astaghfirullah, hatiku jadi galau memikirkannya.*Pukul enam sore, Mas Albi belum kunjung pulang, padahal secara teknis hari ini adalah jatah waktu yang akan dia habiskan bersama kami. Apakah mungkin Filza menahannya di sana, ataukah Mas Albi sendiri yang betah? Ya Allah, mengapa keimanan dan keyakinanku terhadap keutuhan rumah tangga kami mulai goyah ya? Apakah ini adalah sinyal bahwa suatu hari kami aka berpisah? Allah, aku takut.*"Halo, assalamualaikum Mas." Pada akhirnya, aku yang penasaran segera menelpon suamiku untuk menanyakan kabarnya."Sudah kuduga kau akan cemas dan menelpon, aku baik baik saja. Aku akan telat pulang karena saat ini Gibran sedang rewel.""Tapi, aku tak mendengar suara bayi menangis, Mas," protesku di mana aku tak mendengar suara anak anak rewel di latar belakang."Baru saja ditidurkan Um, tadi agak rewel karena pilek dan demam. Filza kebingungan dan agak frustasi, maklum baru pertama punya anak. Jadi, tolomh maklumi ya," pintanya dengan sedikit tawa kecil.Ya all,h manja sekali, dulu aku juga kerepotan mengurus Fatimah dan Fatin yang jaraknya hampir berdekatan. Aku berjibaku dengan tugas rumah dan kenakalan anak anak sementara ayah mereka selalu di luar mencari nafkah, aku tak pernah mengeluh repot atau harus minta bantuan kok. Malah Mas Albi tetap bisa melakukan hobinya main bola dan mancing, dia tetap bisa bertemu dengan teman temannya, duduk ngopi di cafe atau hadir di acara mereka. Bahkan suamiku cenderung bebas dan bahagia. Ada apa kehadiran Filza, apakah wanita itu amat istimewa sehingga Mas Albi tak rela setetes keringat pun mengucur dari kening istri mudanya.Hmm, aku cemburu dan kesal lagi."Ya udah deh, nanti pulangnya hati hati," jawabku sambil menahan perasaan. Kututup telpon sambil mengigit bibir, aku lupa bahwa tadi niatku ingin menyampaikan keinginan Fatimah saking sudah sakit hati duluan mendengar perkataan Mas Albi.(Mas, anak anak ingin ke taman hiburan denganmu. Aku pikir itu ide bagus karena kita sudah lama tak ke sana. Anak anak merindukan kebersamaan denganmu, jadi aku mohon ya, Mas.) Kirim pesan seperti itu, berharap bahwa suamiku akan sedikit berpikir dan memberi waktunya untuk kami.(Insya Allah, kalau aku tak sibuk di akhir pekan. Oh ya, aku lupa jika Filza mengajakku kondangan ke pernikahan sepupunya. Dia ingin aku membaur dengan keluarganya. Jadi sekarang aku ingin minta izin denganmu, semoga kau membolehkannya.)Astagfirullah malah dia yang balik minta izin.(Jadi gak bisa ya Mas?) Kuketuk pesan itu sambil menahan napas. (Bukannya besok jatah waktunya masih dengan kami ya, Mas?)(Aku mohon pengertianmu, aku akan menggantinya di hari lain. Tolong katakan pada anak anak bahwa abinya berhalangan.)(Jadi, kami tak lebih baik darinya, tak lebih penting?)(Astagfirullah, ya Tuhan beri aku kesabaran atas perilakumu yang aneh, Aini....)(Kok malah kamu yang mengeluh, Mas? Harusnya aku dong, untuk kesekian kalinya kamu bikin kami kecewa, Mas.)(Kondangan gak setiap hari, aini. Sementara taman hiburan tak akan lari kemana mana. Tolonglah, jangan bersikap dan menempatkan kepalamu seperti fatimah dan Fatin. Jangan kekanakan!)Sampai di sana aku hanya bisa menggeleng pelan sambil mengusap air mata yang tak sengaja meleleh. Aku sangat kecewa, kecewaku tak tergambarkan. Aku sedih, tapi bukan untuk diri sendiri. Aku hanya hancur untuk anak anakku yang pada akhirnya perlahan akan kehilangan momen momen penting bersama ayah kandungnya.Ya Allah. Mengapa segini rumitnya rumah tangga kami.Ah, kenapa jadi begini lagi. Hmm, kalau aku diam saja, maka kisah lama akan terulang kembali. Sebenarnya secara tidak langsung Mas Albi juga menyimak percakapan kami, hanya saja ia pura pura tidak mendengar dan tidak peduli."Oh, hehe, benarkah? Uhm ... kurasa kau akan punya kehidupan lebih baik setelah ini. Kau tumbuh jadi wanita yang terbuka dan mendewasa sekarang.""Aku menyesal tidak bersikap baik seperti ini dari dulu.""Sudahlah, jangan ungkit masa lalu, karena dari sana kita membuat kesalahan dan belajar untuk tidak mengulanginya lagi. Ayo makan" ucapku sambil meraih sendok saji.Di meja kaca, terhidang aneka lauk dan sayur yang dia letakkan dalam mangkuk kaca dengan sisi keemasan, piring dan gelas terlihat mewah dan ditata cantik di meja, ada gulai ayam, tumis brokoli wortel, ikan sambal dan aneka makanan lain. Aku benar benar terkejut bahwa wanita ini akhirnya bisa mengurus rumah dan menyambut tamu dengan baik."Kelihatannya enak," gumamku sambil duduk dan mencicipi makanan i
"Kalau kau ragu untuk memulai percakapan maka aku yang akan menghubungi filsa untukmu," ucapku lembut."Ya, tolong lakukan itu," jawabnya dengan binar mata penuh harap."Kuharap dia merespon baik dan kita bisa bertemu dengan damai, tanpa air mata dan luka lagi.""Semoga saja," desah Mas Albi sambil menganggukkan kepala.*Setelah Mas Albi ke kantor, tugas tugas rumah sudah beres, aku segera mengambil inisiatif untuk menghubungi mantan maduku yang kini tinggal dengan kedua orang tuanya.Kupencet nomor ponselnya dan berharap bahwa itu masih nomor yang sama namun ternyata sudah tidak aktif. Untungnya aku menyimpan nomor telepon rumah ibunya Filza jadi aku segera menghubunginya."Halo, Assalamualaikum Bu," sapaku berhati hati."Halo, walaikum salam, Nak Aini, apa kabar Nak? kok tumben baru menelpon sekarang ya?""Begini Bu, Mas Albi ingin menjumpai Gibran," jawabku."Oh tentu saja, kalian bisa mendatanginya ke rumah," jawab Ibunya Filza."Apakah itu akan baik Bu?""Tentu saja, tak ada ma
"Kau yakin dengan ini? Jika kau merasa tidak baik-baik saja, Gibran boleh kau titipkan dulu pada kami?""Tidak usah, aku sudah rindu anakku dan ingin membawanya pulang.""Tapi Filza ....""Tolong kemasi barang Gibran!" Wanita itu memberi penekanan dengan perintahnya yang terdengar sangat tegas."Baiklah," gumamku lirih. "... Kami memang tidak berhak menahan anakmu tetap di sini Jadi kau tidak perlu terlalu tegang dan marah.""Aku akan berterima kasih jika kau melakukannya dengan cepat Mbak," jawabnya."Iya, baiklah." Aku beranjak ke kamar sambil memperhatikan wajah Mas Albi sementara pria itu hanya terlihat bingung dan tercenung.Kukemasi barang barang Gibran, pakaian selimut, batal, botol susu hingga buku edukasi dini yang setiap malam kubacakan untuknya. Entah kenapa, hatiku merasa sangat berat dan sedih, ada rasa sulit melepaskan dan tidak rela, juga rasa sesak yang menghimpit hati. Aku tahu Gibran bukan anakku, tapi kehadirannya membawa cahaya baru dalam hidupku. Ya Tuhan ... kena
Dua Minggu berlalu setelah percakapan terakhir Mas Albi dengan fIlza, sudah berhari hari wanita itu tak pernah menghubungi lagi, tak memberi kabar atau biasanya meminta Mas Albi untuk mendatanginya.Entah dia sudah berubah pikiran atau hanya sedang sibuk dengan pengobatan, aku tak tahu. Fokusku sekarang adalah mengurus anak dan suami, malah aku beruntung sekali kalau Mas Albi tidak diganggu ganggu lagi.*"Sedang apa Um?" Tanya suamiku yang mendekat di teras belakang."Menjahit," jawabku sambil memperlihatkan kain di tangan dan jarum."Kau tampak ceria, apa ada hal yang membuatku senang.""Lebih tepatnya hal yang membuat kita senang," balas Mas Albi."Apa itu aku penasaran sekali," jawabku antuasias."Lihatlah ini," ucapnya sambil menyodorkan brosur padaku. Brosur itu adalah informasi sebuah perumahan dengan gambar hunian berlantai dua yang terlihat modern dan mewah."Apa ini?""Kupikir rumah kita terlalu kecil untuk 3 orang anak, dan anggota keluarga boleh jadi akan bertambah lagi, j
Itu yang selalu aku ajarkan pada diriku dan kuyakinkan pada hatiku, bahwa suatu hari semua masalah ini akan berakhir dan kami akan hidup bahagia.Boleh jadi kisah yang berputar sekarang ini hanya tentang hidupku dan kegilaan Filza, tentang Mas Albi yang masih saja galau dan kasihan pada mantan istrinya. Tentang aku yang kadang-kadang baik dan merasa iba pada orang yang berbuat zholim, tidak bisa kupungkiri perasaan hatiku selalu ingin bersikap tulus pada orang lain. Mungkin itu sudah alami terjadi.Kubaringkan diriku di dekat suami dan Gibran yang tertidur pulas dengan posisi saling memeluk. Kurapikan rambutku agar tidak berserakan di bantal lalu menyelimuti diri. Mas Albi yang posisinya berada di antara aku dan Gibran segera membalikkan badan dan memeluk diri ini dengan erat."Sayang, aku rindu denganmu," bisiknya."Hmm." Aku hanya menggumam dalam kegalauan pikiranku yang kadang kadang berkecamuk tentang wanita yang sedang dirawat di seberang sana."Bolehkah kita melakukannya malam
"Mas ...." Kupandang suami untuk beberapa saat, dia juga seperti memberi isyarat sebuah harapan akan hatiku tergerak oleh tangisan bocah itu."Kumohon, Aini ...." Mas Albi akhirnya meminta dariku. "Tolong kasihani anakku, dia mencintaimu sebagai ibunya," ucap Mas Albi dengan tatapan sendu."Ah, baiklah." Aku pun tak tega jadinya.Kuhampiri nenek Gibran, kuambil balita itu dari pelukannya lalu menggendongnya dengan erat. Air mataku menetes, pun neneknya yang tak kuasa menahan sedih."Gibran, ternyata hatimu sudah lekat dengan ummi ya?" tanya neneknya sambil mengelus punggung bocah itu. Anak Filza langsung tenang begitu aku memeluk dan menggendongnya dengan penuh kasih."Kalau begini, dia pasti akan menangis dalam pengasuhan Ibu," ucap Ibunda Filsa dengan sedih. "Dibawa bertemu Bundanya juga kondisi bundanya tidak baik, khawatir Gibran akan ditolak dan membuat anak itu sedih.""Kami akan membawanya pulang," ujar Mas Albi meyakinkan ibu."Sungguhkah?""Iya, Bu. Tidak ada alasan untuk men