Share

keesokan hari

Suamiku pulang sebelum pukul tujuh, seperti biasa dia mengucapkan salam, langsung mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi. aku yang duduk di depan kaca rias hanya memperhatikan bagaimana dia melemparkan pakaian-pakaiannya ke lantai. kupungut pakaian itu lalu memasukkannya ke dalam keranjang sambil menghela nafas. Seperti biasa, baju kotor akan terlempar padaku dan dalam keadaan tampan dan menggunakan pakaian bersih mas Albi selalu menemui filsa dan berbahagia dengannya.

*

"Ada apa denganmu sejak tadi sikapmu dingin dan diam saja bahkan kau nyaris tidak menjawab salamku ketika aku masuk ke dalam kamar," tanyanya ketika keluar dari pintu kamar mandi.

"Tidak ada."

"Mengapa kau membisu, Apakah kecemburuan itu sangat besar di hatimu hingga kau lupa untuk menghargai suamimu? Tahukah kamu bahwa dalam hidupku kau tetap istri pertama dan yang utama di hati ini," bujuknya pelan sambil mengusap rambutku

"Jangan berdusta!" Aku langsung berdiri mensejajarkan wajahku dengannya.

"Jika kau lebih mencintaiku dan menyayangiku kau akan lebih banyak habiskan waktu, kau tidak akan abaikan diri ini di pesta dan kau pasti akan habiskan malam denganku setelah tahu aku sangat bersedih."

"Mengapa suaramu meninggi, Aini, aku sampai terperanjat!"

"Aku memang terbiasa untuk selalu menghormatimu dan merendahkan suaraku tapi setelah kau berpoligami suasana rumah ini menjadi berubah Kau tidak lagi penyayang dan seperhatian dulu. Kau berharap bahwa aku terus memberikan cinta dan rasa hormatku sementara kau sendiri berubah!"

"Astagfirullah, kecemburuanmu menggerus iman dan merusak ibadah kita. Menikah itu bukan tentang sahabat saja tapi ibadah terpanjang yang akan kita lakukan seumur hidup mengapa Kau menghancurkan harga dirimu dengan kecemburuan yang tidak berarti!"

"Kalau begitu, coba rasakan Jadi aku sehari saja, atau bayangkan saja poliandri, apa kau rela digilir cinta dan berbagi?"

"Jangan samakan derajat laki-laki dan perempuan!" rahang Mas Albi mengetat dengan tahapan bola mata liar penuh amarah.

Aku bersurut menyaksikan kemarahannya yang sukses melubangi hatiku seperti tusukan tombak yang tajam.

"Maafkan aku," jawabku lirih. Kutinggalkan kamar, pergi menyembunyikan air mata ke dapur dan tetap menyiapkan sarapan seperti biasanya.

Biasanya, jika kami berselisih paham, salah satu dar kami akan minta maaf dan segera berdamai, tapi kali ini berbeda. Suamiku bergeming di kamar, tidak menyusulku ke dapur untuk minta maaf seperti sifatnya selama ini. Nampaknya rasa cintanya untuk Filza begitu besar sehingga dia tidak terima kukritik dengan keras.

"Kalau dia tak mengalah, maka akulah yang harus mengalah," batinku sambil mengemas air mata. "Jika kami tak berbaikan, maka Mas Albi akan bersikap dingin, jika anak anak melihat ayah mereka cemberut maka anak anak akan sedih dan ketakutan. Ah, sungguh dilema posisiku menjadi istri yang dipoligami."

"Maafkan aku Mas," ucapku meski hati ini tak rela harus terus mengalah

"Hmm." Dia hanya bergumam cuek sambil memasang dasi. Kuhampiri dia, kuambil alih ikata dadi dan membantunya memakai benda itu, mas Albi terdiam, meski aku mendongak sedih menatap matanya tapi pria itu memalingkan wajah. Ah, hancur luluh jiwa ini diabaikan oleh suami sendiri.

"Maafkan aku, Mas," bisiku sekali lagi.

"Buat apa minta maaf kalau besok besok masih diulangi?"

"Aku minta maaf."

"Mainta maaf dan pengampunan itu, artinya, tidak akan mengulangi lagi, apa kau siap?"

"Iya." Aku berat hati dan hanya bisa menelan ludah di tenggorokan yang terasa kering aku hanya bisa mengangguk pasrah.

"Jika kau mencintaiku, maka berikan aku pengorbanan kecilmu. Ini hanya tentang waktu di mana kamu dan aku, kita semua, akan belajar untuk memperbaiki diri dan bahagia, Aini."

Enak saja dia bilang bahagia, kapan aku bahagia jika makin hari dia makin jauh dari pelukanku. Kupikir, hanya aku yang akan jadi istrinya, tak kukira dia dan cintanya akan dibagi dua. Andai bisa berandai-andai, aku tak mau menikah dengannya andai saja aku tahu dia akan menduakanku.

Katanya, pernikahan kedua akan membuka pintu kebahagiaan bagi keluarga kami semua, tapi nyatanya, semua itu hanya janji palsu. Yang bahagia dia dan Filza saja serta orang tuanya, sedang aku hanya gigit jari, ya, gigit jari.

"Jadi, maukah kau berkorban?" Tanyanya sambil mengangkat daguku, mensejajarkan mata kami berdua sehingga beradu pandang.

"Iya." Aku yang pasrah, bucin parah dan masih cinta mencoba mengajari hatiku untuk bertahan dalam rasa mengalah.

"Alhamdulillah."

"Sarapannya sudah siap," ucapku lirih.

"Terima kasih, aku akan makan dan berangkat kerja."

"Baiklah."

Selagi membereskan handuk bekas mandi suami, kulihat notifikasi pesan masuk ke hpnya. Ternyata itu pesan dari Filza.

(Abi, tolong berikan Bunda sepulang kerja nanti rainbow cake dan brownies di Reem Cake shop. Jangan lupa sekantung pembalut, popok dan susu untuk Gibran.)

Apa? Pembalut?

Berkobar lagi api yang tadinya hendak padam di hatiku. Beraninya wanita itu ... meski dia berhak ... tapi beraninya dia memanfaatkan kebaikan Mas Albi untuk memutar kepala dan memerintah dia begitu saja. Aku saja, yang hampir 10 tahun bersamanya tidak pernah meminta ini dan itu, tapi kenapa wanita yang baru kemarin sore bersamanya sudah berani memerintah, lancang atau apa sebutannya? Ya Allah. Aku hanya bisa mengelus dada.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
lagian ibunya albi yang nhhak bersyukur sdh punya cucu perempuan albinya gatal ,bisa sabar hamil lagi anak laki "katanya ibadahnya bagus harus sabar iklas ,preet nafsu juga benci bingit yang namanya poligami
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status