Suamiku pulang sebelum pukul tujuh, seperti biasa dia mengucapkan salam, langsung mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi. aku yang duduk di depan kaca rias hanya memperhatikan bagaimana dia melemparkan pakaian-pakaiannya ke lantai. kupungut pakaian itu lalu memasukkannya ke dalam keranjang sambil menghela nafas. Seperti biasa, baju kotor akan terlempar padaku dan dalam keadaan tampan dan menggunakan pakaian bersih mas Albi selalu menemui filsa dan berbahagia dengannya.
*"Ada apa denganmu sejak tadi sikapmu dingin dan diam saja bahkan kau nyaris tidak menjawab salamku ketika aku masuk ke dalam kamar," tanyanya ketika keluar dari pintu kamar mandi."Tidak ada.""Mengapa kau membisu, Apakah kecemburuan itu sangat besar di hatimu hingga kau lupa untuk menghargai suamimu? Tahukah kamu bahwa dalam hidupku kau tetap istri pertama dan yang utama di hati ini," bujuknya pelan sambil mengusap rambutku"Jangan berdusta!" Aku langsung berdiri mensejajarkan wajahku dengannya."Jika kau lebih mencintaiku dan menyayangiku kau akan lebih banyak habiskan waktu, kau tidak akan abaikan diri ini di pesta dan kau pasti akan habiskan malam denganku setelah tahu aku sangat bersedih.""Mengapa suaramu meninggi, Aini, aku sampai terperanjat!""Aku memang terbiasa untuk selalu menghormatimu dan merendahkan suaraku tapi setelah kau berpoligami suasana rumah ini menjadi berubah Kau tidak lagi penyayang dan seperhatian dulu. Kau berharap bahwa aku terus memberikan cinta dan rasa hormatku sementara kau sendiri berubah!""Astagfirullah, kecemburuanmu menggerus iman dan merusak ibadah kita. Menikah itu bukan tentang sahabat saja tapi ibadah terpanjang yang akan kita lakukan seumur hidup mengapa Kau menghancurkan harga dirimu dengan kecemburuan yang tidak berarti!""Kalau begitu, coba rasakan Jadi aku sehari saja, atau bayangkan saja poliandri, apa kau rela digilir cinta dan berbagi?""Jangan samakan derajat laki-laki dan perempuan!" rahang Mas Albi mengetat dengan tahapan bola mata liar penuh amarah.Aku bersurut menyaksikan kemarahannya yang sukses melubangi hatiku seperti tusukan tombak yang tajam."Maafkan aku," jawabku lirih. Kutinggalkan kamar, pergi menyembunyikan air mata ke dapur dan tetap menyiapkan sarapan seperti biasanya.Biasanya, jika kami berselisih paham, salah satu dar kami akan minta maaf dan segera berdamai, tapi kali ini berbeda. Suamiku bergeming di kamar, tidak menyusulku ke dapur untuk minta maaf seperti sifatnya selama ini. Nampaknya rasa cintanya untuk Filza begitu besar sehingga dia tidak terima kukritik dengan keras."Kalau dia tak mengalah, maka akulah yang harus mengalah," batinku sambil mengemas air mata. "Jika kami tak berbaikan, maka Mas Albi akan bersikap dingin, jika anak anak melihat ayah mereka cemberut maka anak anak akan sedih dan ketakutan. Ah, sungguh dilema posisiku menjadi istri yang dipoligami.""Maafkan aku Mas," ucapku meski hati ini tak rela harus terus mengalah"Hmm." Dia hanya bergumam cuek sambil memasang dasi. Kuhampiri dia, kuambil alih ikata dadi dan membantunya memakai benda itu, mas Albi terdiam, meski aku mendongak sedih menatap matanya tapi pria itu memalingkan wajah. Ah, hancur luluh jiwa ini diabaikan oleh suami sendiri."Maafkan aku, Mas," bisiku sekali lagi."Buat apa minta maaf kalau besok besok masih diulangi?""Aku minta maaf.""Mainta maaf dan pengampunan itu, artinya, tidak akan mengulangi lagi, apa kau siap?""Iya." Aku berat hati dan hanya bisa menelan ludah di tenggorokan yang terasa kering aku hanya bisa mengangguk pasrah."Jika kau mencintaiku, maka berikan aku pengorbanan kecilmu. Ini hanya tentang waktu di mana kamu dan aku, kita semua, akan belajar untuk memperbaiki diri dan bahagia, Aini."Enak saja dia bilang bahagia, kapan aku bahagia jika makin hari dia makin jauh dari pelukanku. Kupikir, hanya aku yang akan jadi istrinya, tak kukira dia dan cintanya akan dibagi dua. Andai bisa berandai-andai, aku tak mau menikah dengannya andai saja aku tahu dia akan menduakanku.Katanya, pernikahan kedua akan membuka pintu kebahagiaan bagi keluarga kami semua, tapi nyatanya, semua itu hanya janji palsu. Yang bahagia dia dan Filza saja serta orang tuanya, sedang aku hanya gigit jari, ya, gigit jari."Jadi, maukah kau berkorban?" Tanyanya sambil mengangkat daguku, mensejajarkan mata kami berdua sehingga beradu pandang."Iya." Aku yang pasrah, bucin parah dan masih cinta mencoba mengajari hatiku untuk bertahan dalam rasa mengalah."Alhamdulillah.""Sarapannya sudah siap," ucapku lirih."Terima kasih, aku akan makan dan berangkat kerja.""Baiklah."Selagi membereskan handuk bekas mandi suami, kulihat notifikasi pesan masuk ke hpnya. Ternyata itu pesan dari Filza.(Abi, tolong berikan Bunda sepulang kerja nanti rainbow cake dan brownies di Reem Cake shop. Jangan lupa sekantung pembalut, popok dan susu untuk Gibran.)Apa? Pembalut?Berkobar lagi api yang tadinya hendak padam di hatiku. Beraninya wanita itu ... meski dia berhak ... tapi beraninya dia memanfaatkan kebaikan Mas Albi untuk memutar kepala dan memerintah dia begitu saja. Aku saja, yang hampir 10 tahun bersamanya tidak pernah meminta ini dan itu, tapi kenapa wanita yang baru kemarin sore bersamanya sudah berani memerintah, lancang atau apa sebutannya? Ya Allah. Aku hanya bisa mengelus dada."Aku akan ke tempat Filza sore nanti, apa kau ingin menitipkan sesuatu sepulangnya?"Wow, dia menawariku sesuatu, tumben dia melakukannya."Tidak ada Mas, terima kasih."Bukannya aku sok Sholehah, tapi aku memang sedang tidak membutuhkan apa apa."Yakin, kau tidak mau dibelikan martabak susu keju?""Tidak, Mas," jawabku dengan senyum getir."Baiklah, aku berangkat dulu." Dia mendekatiku lalu mengecup kening ini dengan penuh kasih sayang."Aku harap kau tak akan memupuk kecemburuan lagi. Memang saat wanita cemburu seorang pria harusnya mengalah, karena mereka akan mendebat perasaan dan hati. Aku minta maaf atas kesalahanku yang sudah menuntutmu barusan."Sepertinya luka di hatiku seakan diringankan dengan permintaan maaf darinya. Meski hanya ucapan kecil, aku merasa beban dipundakku berkurang.Kuiringi kepergian Mas Albi berangkat kerja dengan doa dan harapan semoga Tuhan akan menjaganya di mana pun dia berada.*"Ummi, boleh kita ke taman hiburan malam Minggu dengqn Abi?" tanya Fatim
Sekarang dia minta aku tidak menempatkan akal dan pikiranku setara dengan ak dan pikiran anak anak. Subhanallah, kalimat yang benar-benar menyinggung perasaanku. Hampir, hampir 10 tahun Kami bersama, tapi belum pernah dia menyakitiku selain ketika dia telah bersama dengan filza. Aku terkejut dan tidak menyangka hatiku tertusuk dan durinya enggan tercabut dari sana. Jika ditanya tentang air mata aku sudah tidak bisa menangis lagi karena aku sudah lebih banyak meneteskan air mata bahkan sebelum dia resmi menikahi istri barunya."Ummi, izinkan saya menikah, saya ingin meringankan bebanmu dalam mengurusku juga kau akan punya adik madu dalam mengurusi mertuamu yang mulai sakit-sakitan."Seperti reaksi wanita pada umumnya tentu saja saat itu aku menolak, mentah-mentah aku menolak permintaan konyol itu karena aku merasa masih bisa mengurus Mas Albi dengan baik, juga ibunya yang sakit stroke dan ayahnya yang sudah pensiun. Aku tidak mau membagi perasaanku dan juga cintaku yang tulus, Aku ti
Sekarang beginilah aku, terjebak dalam poligami yang kian hari kian menggerus keyakinanku akan janji janji yang diucapkan Mas Albi. Mungkin baginya, dia sudah berusaha adil dengan maksimal, tapi di mataku ... tidak ada yang maksimal, semuanya minimal dan keterpaksaan. Dia lebih bahagia dengan filza sementara kepulangannya ke rumah kami hanya formalitas yang tak bisa dia hindari.Anggaplah kedua putriku yang menahan bahtera ini agar tetap berlayar dan tidak oleng diterpa gelombang, tapi, di sisi lain, bidukku rapuh. Kesedihan dan kecemburuan ini, serta mungkin rasa dengki akan kemesraan mereka perlahan melubangi hati. Aku kehilangan kepercayaanku pada Mas Albi. Aku sangat kecewa padanya.*Minggu pagi dia kembali ke rumah, kembali setelah kemarin mengabaikan permintaan anak anak ke taman hiburan. Dia masuk rumah, mengucapkan salam dan menyapa seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Anak anak hanya menatapnya dengan tatapan kecewa, sementara ia terus menyunggingkan senyum, seolah senyum i
Seharusnya aku tak banyak mengeluh tentang hidupku, harusnya aku jalani saja apa yang terjadi dan sisanya kupasrahkan pada Yang Kuasa. Aku akan duduk diam sambil mengukur kemampuan dan sabarku. Jika semua itu sudah diambang batas kemampuan, maka mungkin sudah waktunya untuk mundur dan menyerah.*Setelah menghidangkan nasi goreng dan telur ceplok, aku melanjutkan kembali tugas rumah yang tertunda. Kuantar anak anak ke bis sekolah, setelah mereka naik, aku lalu menutup kembali pintu gerbang rumah. "Ummi, Sepatuku yang warna coklat di mana ya?" tanya Mas Albi."Ada di rak bagian bawah, Bi.""Baiklah. Kemarilah," perintahnya."Ya?""Ummi lupa bahwa setiap pagi um selalu mencium tangan dan merangkulku? Mana ucapan selamat bekerja, yang setiap kali dikatakan pagi hari?""Maaf aku lupa," jawabku asal."Astagfirullah, mana bisa lupa.""Sesekali wanita khilaf itu wajar Mas, asal khilafnya jangan parah," jawabku mencium tangannya."Aku tidak paham," ucapnya sambil mengernyit, aku memang
Setelah kepergiannya meninggalkan rumah sembari membawa amarahnya yang besar, tingallah diriku sendiri. Menangis sambil menyandarkan kepala ke sisi dinding dan memeluk kedua lututku.Aku menyesal, mengapa aku tidak berkuat saat itu, mengapa aku tidak menentang pernikahan Mas Albi dengan segala usaha dan kemampuanku. Mengapa aku begitu lemah dan mau mau saja di madu? Mengapa aku begitu bodohnya.Selaksa asa di dalam jiwaku mengajak diri ini untuk mundur saja dari mahligai yang sudah kami bangun bertahun tahun. Buat apa bertahan dalam luka, buat apa mencintai tapi cinta tidak dibalaskan, buat apa berkorban jika orang yang kita tak tunggu tidak peka dengan perasaan. Semakin hari, bukan bahagia yang akan kudapatkan, tapi derita dan kesengsaraan yang menumpuk.Namun, aku sangat mencintai suamiku, jujur aku tak bisa hidup tanpanya. Membayangkan sehari tanpa dia saja hidupku sudah hampa dan kesepian, bagaimana akan kujalani sisa hidup ini dengan kenangan tentangnya. Aku akan sepanjang wakt
"Aku hanya mengutarakan keheranan dan sedikit keberatanku, entah kenapa aku jadinya seperti pembantu di matamu, Mas," jawabku menangis. Aku terjatuh di sudut ranjang lalu tergugu, kehabisan kata kata untuk meluapkan sisi emosionalku.Pria itu masih berdiri di depanku, Tak seperti dulu, dia selalu tidak tega melihatku menangis dan segera membujuk diri ini untuk tenang dan menghentikan air mata. Berbeda dengan sekarang, dia hanya berdiri saja seperti patung, seakan dia senang menyaksikan diriku yang sedih dan tergugu pilu demi dirinya. Mungkin, rasanya keren sekali jika seorang laki-laki sepertinya diperebutkan oleh dua wanita."Apakah aku harus diperebutkan oleh dua lelaki juga agar bisa merasakan sensasi perasaan yang dirasakan Mas Albi sekarang?" Pikiran garang itu muncul di hatiku tiba tiba."Sudah jangan menangis!" Dia tidak mengatakannya dengan lembut melainkan setengah bentakan."Aku harus pergi, jika kau menangis maka aku akan celaka."Apa hubungannya menangis dengan celaka?
"Astagfirullah, aku tidak bermaksud seperti itu Mas, apa yang dikatakan anak-anak adalah murni pemikiran mereka yang masih kecil dan belum paham apa-apa.""Lihat dia sudah berani mengatakan ayahnya jahat, penilaian seperti itu adalah penilaian yang memperburuk keadaan.""Tapi a-aku ...."Belum selesai ucapanku tiba-tiba pintu rumah kami diketuk seorang wanita mengucapkan salam dan terdengar suara langkah kaki dari hak sepatunya."Permisi, assalamualaikum ...." Suara itu terdengar lembut dan familiar. Benar saja, dari balik dinding seorang wanita dengan kaftan hijau tosca dan menggendong bayi laki laki datang dari balik dinding penyekat antara ruang tamu dan ruang keluarga."Aku kebetulan lewat dan langsung mampir," ucap Filza sambil tersenyum padaku dan Mas Albi."Oh, benarkah."aku menjadi salah tingkah dan setengah tidak nyaman karena wanita itu harus melihat saat kami bertengkar dan aku sedang menangis. Kuhapus segera air mata dan membalikkan badan untuk mengambil tisu."Aku mendeng
"Astagfirullah, aku tidak bermaksud seperti itu Mas, apa yang dikatakan anak-anak adalah murni pemikiran mereka yang masih kecil dan belum paham apa-apa.""Lihat dia sudah berani mengatakan ayahnya jahat, penilaian seperti itu adalah penilaian yang memperburuk keadaan.""Tapi a-aku ...."Belum selesai ucapanku tiba-tiba pintu rumah kami diketuk seorang wanita mengucapkan salam dan terdengar suara langkah kaki dari hak sepatunya."Permisi, assalamualaikum ...." Suara itu terdengar lembut dan familiar. Benar saja, dari balik dinding seorang wanita dengan kaftan hijau tosca dan menggendong bayi laki laki datang dari balik dinding penyekat antara ruang tamu dan ruang keluarga."Aku kebetulan lewat dan langsung mampir," ucap Filza sambil tersenyum padaku dan Mas Albi."Oh, benarkah."aku menjadi salah tingkah dan setengah tidak nyaman karena wanita itu harus melihat saat kami bertengkar dan aku sedang menangis. Kuhapus segera air mata dan membalikkan badan untuk mengambil tisu."Aku mendeng