Begitu si wanita menangis telpon langsung berakhir. Mas Albi meletakkan kembali ponselnya di meja sambil menelan ludah dan sedikit pucat. Dia nampak cemas dan takut.Apakah dia sekarang menjelma jadi suami takut istri? Entahlah "Kenapa Mas, kenapa wanita itu menangis?""Ti-tidak usah dipikirkan, ma-mari kita makan," jawabnya sambil mengusap muka.Kuraih lengannya lalu mengelusnya lembut. Dia yang tadinya khawatir, terlihat menyunggingkan senyum, tapi tetap saja tak bisa menyembunyikan bahwa perasaannya sedang tidak fokus bersama kami."Sayang, sudah banyak sekali momen yang terlewat sejak kau menikah. Kita lupa untuk saling menyayangi dan menjunjung satu sama lain karena lepas pernikahanmu kita menjadi sibuk dengan urusan masing masing.""I-iya benar," balasnya dengan wajah tak nyaman."Aku ingin ... kita mengulang kembali bahagia. Bila perlu kita memulai semuanya dari awal. Aku akan perbaiki diri untukmu dan kau juga berusaha berubah jadi lebih peduli pada kami? Apa kau bisa Bi?""I
Melihatku berjalan ke arah meja makan wanita itu mendelik tidak senang, tapi dia juga tidak kuasa untuk mengusir kami sebab dia pasti tidak enak dengan Mas Albi.Bongkar kotak makanan lalu masukkannya ke dalam piring lantas memanggil anggota keluarga untuk makan sikapku saat itu seakan-akan rumah itu sudah berkali-kali ku datangi, buka kabinet dapur dan mengambil piring terbaik yang ada di dalam sana yang mungkin belum ingin dipakai Filza untuk makan sehari-hari, wanita itu terlihat ingin mencegah tapi dia tidak berdaya. Kutuang aku tuang sayuran ke dalam mangkuk lalu meletakkan nasi untuk Mas Albi, lantas aku duduk di kursi sambil menaikkan kaki seakan itu adalah kursi milikku.Menyaksikan Aku melakukan hal demikian Mas Aldi seakan tahu bahwa diri ini sedang mencari gara-gara dan perhatian tapi dia hanya diam saja dan tidak mengatakan apa-apa. Aku tahu dia sedang pusing karena kedua-dua istrinya sedang cari perhatiannya. Filza pura-pur sakit sementara aku pura-pura baik dengan datan
"Um, mari kita pulang saja," ucap Mas Albi padaku sambil menarik tangan ini."Mas ... Masa kau mau pulang dengannya meninggalkan aku sendirian? Akunkagi ga enak badan, Mas.""Aku cuma mau nganterin Ummu Fatimah pulang," jawab Mas Albi sambil menghela napas."Selalu Ummu Fatimah dan Ummu Fatimah lagi, dia selalu jad prioritas, kamu Mas.""Kalian sama saja!" "Tidak sama," ucap wanita dengan aksi mulai menangis dan mengumbar air mata buaya. Aku yang benci melihatnya hanya bisa berdecut dan menggumam 'dasar wanita lebay'."Dengar ... Aku akan mengantarnya pulang dan kembali lagi ke sini," ucap Mas Albi membujuk."Tidak bisa! Hari ini akan kau habiskan bersama kamu sampai tiga hari ke depan," ujarku menyela."Ya Allah, kau menyusahkan sekali, Mbak.""Aku tidak menyusahkan, tapi, ini sudah ketentuan. Sepertinya kau lupa, bahwa rumah tangga kita adalah rumah tangga poligami. Mas Aldi punya istri yang harus diperlakukan dengan sama dan waktunya juga harus dibagi dengan rata. Camkan kau!"Mel
Untuk beberapa saat kubiarkan dia memelukku. Kubiarkan dia sejenak memejamkan mata dan melepas pikiran tertekannya akan situasi rumah tangga yang kurang kondusif.Kubelai rambutnya tanpa mengatakan apa apa, hingga dia menarik tubuhku untuk ikut berbaring, menciumi diri ini dengan tatapan mata dan genggaman tangan yang saking bertautan. Napas kami perlahan mulai disesaki dengan hasrat dan kerinduan hingga satu persatu penutup tubuh ini jatuh ke lantai dan kami saling merangkul dalam lautan asmara.*Pukul tiga pagi, ponsel suamiku berdering di nakas yang ada di sebelahnya. Bunyi dering yang terus berulang-ulang memaksa diri ini untuk mengejar dan menggeliat lalu segera bergerak untuk mengambil benda itu dan mematikannya. Sayangnya setelah ku matikan ponsel itu berdering lagi."Halo, assalamualaikum," tanya aku dengan nada sedikit kesal karena diganggu tidur di pagi buta ini."Walaikum salam, mana Mas Albi?""Tidur.""Dia tidur denganmu?" "Bukan cuma tidur tapi habis bercinta," jawabku
Tak payah harus memaksakan wanita itu untuk mencerna apa yang terjadi, harusnya, sebagai wanita terpelajar dia sudah paham bagaimana konsekuensi menikahi pria beristri. Namun beraninya dia datang kemari untuk memprotes apa yang terjadi.Apakah dia ingin hanya dia yang bahagia dalam rengkuhan suaminya. Lalu apa kabar dengan kami? Tolonglah jangan egois atau konyol seperti itu. Atau ... haruskah dia aku sadarkan?"Minumlah tehmu," suruhku."Tidak, masih panas," tolaknya dengan wajah masam. Wanita ini sepertinya tak pandai bersikap elegan dan menyembunyikan perasaan. Dia sangat frontal dan blak blakan."Jadi, katakan, apa kau sudah mengerti tentang perasaanku sekarang?""Sedikit," jawabnya, aku tersenyum dan berterima kasih."Mas Albi sepertinya harus ditatar oleh ayahku. Aku tidak berdaya bicara banyak pada kalian berdua. Kau sebagai istri pertama merasa selalu satu level di atasku padahal secara umum aku lebih unggul, aku seorang sarjana yang terpelajar, keluargaku adalah keluarga berk
Bismillah.Setelah percakapan malam itu, Filza tak pernah menghubungi lagi. Aku juga tak melihat gelagat buruk dalam diri Mas Albi, berarti Filza tidak mengadukan ucapanku pada suami kami. "Baguslah, mungkin sekarang dia sedang berusaha untuk membuat dirinya waras," gumamku sambil melanjutkan pekerjaaan di dapur.Sewaktu menata piring di meja, Suamiku pulang, dia mengucapkan salam dan melepas sepatunya, lalu datang mencium keningku."Kamu masak apa Um?""Masak ikan balado dan sayur bening," jawabku."Aku ingin makan, lapar sekali,", jawabnya sambil mencuci tangan di wastafel.Hari ini adalah kedatangannya setelah tiga hari di rumah Filza. Kupandangi wajah suamiku yang nampak sangat lelah dan berkeringat. Kupandangi juga pakaiannya yang kusut tidak disetrika selagi dia menarik kursi dan duduk di meja. Dibalikkannya piring lalu menuangkan secentong nasi dan ikan. "Kau tidak sarapan hari ini?" tanyaku yang tahu persis gelagat suamiku. Jika dia tidak sarapan maka dia akan sangat kelapa
"a-apa? Apa yang kamu katakan Mbak?""Aku mengatakan apa yang kau dengar jelas barusan, dia memberiku tabungan emas! Kau mengerti," ujarku sambil mengangkat alis sebelah dan tersenyum lalu beranjak membawa nampak gelas jus ke depan."Kau bohong, tidak mungkin itu terjadi!" ucapnya setengah lantang."Pelan pelan, jangan sampai teriakanmu menarik perhatian semua orang. Sebaiknya cepat bereskan pecahan gelas sebelum ibu menyadarinya," ujarku sambil melirik beling yang berserakan di lantai.Wanita itu mendengus, matanya merah oleh sebab dia menahan tangisnya. Dengan kaki yang dihentak keras wanita itu meraih gagang sapu dan menyapu kaca tadi.Aku segera mengantarkan jus ke ruang tamu, membagikannya dengan semua orang dengan ramah dan senyum lebar. "Ini cookies yang saya buat dari rumah, cobalah," ucapku sambil menyodorkan toples kue dari nampan."Wah, kelihatannya enak," gumam kakak iparku."Tentu saja kak, itu coklat asli yang lezat," jawabku sambil terus membagikannya.Tiba tiba Filza
"Uhmm, Aini, ayo bantu aku membawa Gibran pulang," ucap Mas Albi dengan tatapan bingung dan ragu. Dia terlihat syok dan sangat malu di depan orang tua dan kakak kakaknya."Apakah kau yakin Filza akan di rumah, dia tidak akan ke tempat lain, misalnya ke rumah orang tuanya?""Tidak, aku tahu dia akan pulang.""Baiklah, kalau begitu aku akan panggil anak anak," ucapku berangsur pergi ke ruang tamu.Di ruang tamu kudapati anggota keluarga sedang duduk dan terdiam, aku yang gugup dan malu hanya bisa minta maaf pada mereka semua, berharap mereka bisa memaklumi apa yang terjadi."Ibu, saya minta maaf atas semua yang terjadi," ucapku."Sebenarnya ada apa?""Filza hanya merasa tidak puas dengan pembagian Mas Albi, dia dibelikan motor, sementara aku diberikan tabungan dengan nilai yang sama, tapi dia tak terima!""Albi, benarkah?" tanya Ibu berali menatap wajah suamiku yang terlihat kalut dengan semua ini."Iya, aku juga bingung harus bagaimana lagi, Bu.""Bicaralah pada Istrimu, jangan sampai