["Mas, kamu di mana? Kenapa kamu ambil uang di dalam dompetku? dan sekarang rekeningku gak bisa dipakai untuk narik uang. Bik Noni mau gajian bulan ini, Mas."]
["Iya, Luisa, tadi aku pakai dulu uang di dompet kamu. Aku udah berusaha bangunin kamu, tapi kamu tetap pulas. Aku pakai dulu ya. Nanti segera aku bayarkan kalau hari ini dapat uang. Aku janji."]["Kamu jangan bohong, Mas! Awas aja kalau bohong!"]Panggilan itu terputus begitu saja. Entah sinyal atau memang Edmun sengaja memutusnya. Luisa keluar dari bilik ATM dengan langka lunglai. Untunglah masih ada saldo di akun aplikasi go*ek sehingga ia masih bisa ke sana-kemari tanpa mengeluarkan uang. Tidak ada cara lain, ia harus pergi ke rumah papanya. Ia harus minta tolong pada papanya, paling tidak pinjam uang untuk membayar gaji Bik Noni dan tentu saja untuk uang pegangannya selama suaminya terlilit utang yang tidak jelas ia tahu untuk apa. Dengan naik ojek online, Luisa pergi ke rumah orang tuanya yang berada di kawasan elit ibu kota Jakarta. Pak Yadi adalah penjaga rumah sekaligus satpam rumah orang tuanya. Pria setengah baya itu merasa heran ketika melihat tuan putri kesayangan majikannya turun dari ojek. "Selamat siang, Non, tumben naik ojek. Gak diantar Mas Edmun?" tanya Tadi berbasa-basi. "Siang, papa ada gak?" tanya Luisa. Ia enggan menjawab pertanyaan Pak Tadi karena merasa tidak penting juga menjawab pertanyaan pria itu. "Ada, Non, belum berangkat. Langsung masuk saja." Pria itu mempersilakan Luisa masuk.Sudah lama pria bernama Yadi itu bekerja untuk keluarga Luisa. Bahkan sejak Luisa SMA. Tubuh pria itu yang tinggi besar dan juga kekar, serta jago karate, membuat papa dari Luisa terus memperkerjakan pria berusia empat puluh lima tahun itu. Pintu rumah ditutup keras oleh Luisa begitu ia sudah berada di dalamnya. Luisa adalah dia bersaudara. Kakaknya perempuan juga dan kini sudah menikah dan tinggal di Jepang. "Papa," panggil Luisa begitu ia membuka ruang kerja papanya. Nampak pria yang kepalanya hampir tertutup rambut putih semua sedang duduk di meja kerja, sedangkan ada Bik Lisa di sana tengah mengelap jendela. "Loh, tumben datang siang-siang!" sapa Pak Darmono; papa dari Luisa. Pengusaha ekspedisi. "Lisa, kamu keluar dulu, aku mau bicara sama papa," ujar Luisa pada pembantu papanya. Wanita berusia dua puluh lima tahun itu pun mengangguk paham. Lalu keluar dari ruangan kerja majikannya. "Ada apa?hem?" Pak Darmono duduk di sofa menghampiri Luisa. "Papa, Mas Edmun sepertinya sedang ada masalah ekonomi, Luisa mau pinjam uang Papa. Gak banyak, dua puluh lima juta saja. Yang lima juta untuk bayar gaji Bik Noni dan sisanya untuk uang pegangan Luisa." Pak Darmono tentu saja terheran dengan ucapan yang baru saja dilontarkan putrinya. "Tunggu, kamu mau pinjam uang juga dengan Papa?" Luisa menatap papanya dengan bingung. "Iya, memangnya kenapa, Pa? Biasa atuh kalau anak pinjam uang dengan orang tuanya. Gak aneh lagi." Pak Darmono menghela napas. Ia menyandarkan punggungnya di sofa. "Luisa, kemarin Edmun baru dari sini. Ia memang cerita soal kesulitan ekonomi kalian dan Edmun meminjam uang pada Papa sebesar seratus lima puluh juta. Katanya untuk urusannya dan untuk uang belanja kamu. Sekarang kamu ke sini mau pinjam uang untuk belanja juga? Papa bingung, sebenarnya kalian ini kenapa? Sedang terlibat masalah apa sampai suami istri pinjam uang ke Papa."Sementara itu, Edmun sudah berada di sebuah apotek. Ia mendapatkan nama obat tidur yang diberikan oleh bosnya. Malam ini, ia harus segera menuntaskan utang bunga dengan mengirimkan foto naked Luisa. Ia yakin akan berhasil, karena ia tidak akan menggunakan satu kapsul saja, tetapi dua kapsul sekaligus agar saat eksekusi nanti, istrinya benar-benar pulas. Kring! Kring! "Halo, Bos.""Gimana, apa sudah dapat obatnya?""Sudah, Bos.""Bagus, malam ini juga aku tunggu fotonya. Ingat, tanpa busana ataupun selimut. Semua harus terlihat jelas. Paham kamu, Edmun?"Luisa sudah di rumah sejak pukul tujuh malam. Gaji Bik Noni sudah ia berikan dan Bik Noni ijin pulang kampung untuk dua hari. Memang sudah menjadi kebiasaannya, setelah menerima gaji, makan akan ijin selama dua hari untuk melihat anaknya di kampung yang masih berusia enam tahun. Sekarang hanya dirinya saja yang berada di rumah besar, duduk di ranjang sambil menyalakan TV. Ia sama sekali tidak berani keluar kamar jika tidak ada Bik Noni di rumah ataupun suaminya. Acara yang ia lihat juga acara discovery Channel tentang hewan. Jika menonton drama Korea, ia akan mudah baper, kalau nonton horor, ia akan semakin mati ketakutan di rumah, jika nonton kartun, maka rasa pesimis nya kembali datang. Kenapa? Karena sekian tahun menikah, ia belum juga mendapatkan keturunan dari Edmun. Suara motor berhenti di depan rumahnya. Luisa turun dari tempat tidur, kemudian berjalan ke arah jendela untuk melihat apakah benar motor itu berhenti di depan rumahnya. Rasa was-was itu pasti ada, apalagi ia send
Kring! Kring! Edmun terkejut saat sering ponselnya begitu nyaring, karena saat ini ia baru selesai memakaikan celana piyama istrinya, sedangkan bagian atas masih polos. Segera ia lompat dari tempat tidur untuk mengambil ponsel yang berdering itu. Nama mamanya muncul di layar. "Ma, lima menit lagi teleponnya. Saya sibuk."Edmun memutus telepon, menggantikan pengaturan sering dengan pengaturan senyap. Lalu ia kembali naik ke ranjang untuk memasangkan piyama sang Istri bagian atas. Jangan ditanya bagaimana detak jantungnya saat ini? AC yang dipasang 18° saja masih bisa membuatnya berkeringat. Ia benar-benar gugup, khawatir istrinya bangun dalam keadaan polos. Gelas di atas meja ia raih dengan asal, lalu ia habiskan isinya untuk membasahi tenggorokannya. "Halo, Ma, kenapa?""Edmun, Luisa bilang tidak kalau Mama butuh uang lima puluh?""Bilang, Ma, tapi saya lagi gak ada uang. Coba Mama tanyakan Mba Ratih, kali aja Mbak Ratih atau suaminya punya.""Kamu itu lucu, Ratih itu makan uang s
"Sayang, mm... aku punya sesuatu untuk kamu. Waktu itu, aku ketemu teman SMA yang udah lama banget gak jumpa. Dia kuliah di luar negeri dan sudah jadi dokter. Aku cerita masalah kita yang belum dikasih keturunan. Nah, sama dia, aku dikasih vitamin ini dan katanya harus diminum suami istri. Ini, coba minum! Kita harus usaha lebih giat lagi agar segera punya anak. Nambah anak nambah rejeki kalau kata orang tua dulu, makanya rejeki kita seret, bisa jadi karena kita belum punya anak. Ini, minum!" Luisa hendak menghindar, tetapi tidak bisa. Suaminya sudah memasukkan obat tablet itu ke dalam mulutnya. Bahkan Edmun juga mengambilkan air untuk Luisa agar obat itu segera larut di dalam tubuhnya. "Kamu jadinya maksa, Mas! Awas loh, jangan sampai kita salah minum obat!" Luisa mengambil air putih lebih banyak, lalu meneguk nya sampai habis. "Gak mungkin salah, Sayang, ini tuh vitamin herbal yang dijadikan tablet biar lebih mudah minumnya. Ya sudah, saya pergi dulu ya. Mau janjian sama teman bis
"Luisa, kamu di mana?""Aku di rumah, Mas. Mau ke mana lagi kalau bokek gini?""Aku mau minta tolong pendapat kamu, Sayang. Aku ceritanya mau bantu jualin apartemen temen. Nah, si pembeli ini mau nikah dan apartemen ini mau dikasih ke calon istrinya. Aku butuh kamu untuk cek ricek apartemen ini karena kamu kan perempuan, istri, jadi tahu kurangnya di mana. Nanti malam aja gak papa, habis magrib aku pesanan taksi online, kamu ke sini ya.""Serius hanya itu?""Iya, hanya minta pendapat saja. Kalau deal, lumayan fee-nya, Sayang. Mau ya?"Luisa menghela napas. "Ya sudah, habis magrib aku siap-siap.""Baik, Sayang, terima kasih. Aku kerja lagi ya."Luisa menutup panggilan telepon dari Edmun. Ia sangat prihatin dengan suaminya yang saat ini bekerja apa saja demi bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk dengan menjadi makelar. Apa yang sebenarnya terjadi pada suaminya dan bagaimana bisa utang begitu banyak diluaran sana? Batin Luisa terus bertanya. Nanti malam, saat ia bertemu suaminya,
"Nyonya, saya dengar, pria itu sedang terbelit utang milyaran," ujar seorang pria muda pada majikannya. Wanita yang tengah fokus di depan laptop itu, langsung menoleh dengan alis terangkat. "Kamu yakin?" tanyanya lagi. Pemuda di depannya mengangguk. "Showroom mobil di Pondok Indah sudah tutup dan mobil yang ada di rumahnya pun tidak ada. Beberapa kali saya mengintai, suami istri keluar dengan ojek online dan juga taksi online. Hanya pembantunya saja yang keluar dengan sepeda." Wanita itu berdiri dari duduknya, lalu berjalan hingga sampai di depan meja. Bokongnya yang seksi ia sandarkan di pinggir meja dengan tangan melipat di dada. "Cari informasi apa yang terjadi sebenarnya dengan Edmun. Saya akan berikan bonus kalau kabarnya baik untuk saya. Pantas saja ibunya meminjam uang pada saya, padahal waktu dulu, ibunya tidak begitu suka dengan saya. Sepertinya keadaan berbalik." Wanita itu tertawa. Lalu dengan gerakan tangannya meminta asisten yang ia beri tugas mengikuti Edmun dan istri
Luisa merasa aneh dengan dirinya. Rasanya ia seperti baru saja tidur yang sangat lama. Perasannya sama persis dengan waktu itu ia tertidur dari malam sampai malam lagi bersama suaminya. Wanita itu membuka mata perlahan dan mendapati dirinya hanya memakai selimut saja. Tubuh di balik selimut itu tidak memakai apapun. Mata mendelik kaget karena merasakan keanehan pada dirinya. Bagaimana bisa ia tanpa busana di atas ranjang utama? Di mana suaminya? Kenapa hanya ia sendiri saja di kamar sebesar ini? Batin Luisa berkecamuk. "Sayang😌, Edmun!" Teriak Luisa ketakutan. Ia ingin bergerak, tetapi tenaganya masih lemas dan bagian kewanitaannya juga terasa kebas. "Mas! Halo!" Teriak Luisa lagi semakin ketakutan. Kepalanya mencoba mengingat kejadian apa yang ia lalui sebelum ia ada di ranjang. Terakhir suaminya pergi sebentar untuk membeli obat, lalu dirinya ditinggal bersama pemilik apartemen bernama Levi. CklekLuisa menoleh kaget saat pintu terbuka. Namun, saat itu juga napasnya yang sempat
Tidak seperti biasanya, malam ini Edmun tidak bisa menelan nasi yang sudah masuk ke dalam mulutnya. Semua itu karena ancaman Levi. Seharusnya ia tidak perlu khawatir tentang hal itu, karena tidak mungkin juga Levi mengecek setiap hari apakah ia bercumbu dengan istrinya atau tidak, tetapi jika berurusan dengan Levi. Apa yang ia katakan, pasti akan ia buktikan. Tidak pernah main-main untuk urusan bisnis, apalagi menyangkut utang milyaran. "Makanan ini enak banget. Kamu katany gak punya duit, Mas, kenapa bisa memesan makanan mahal dan enak seperti ini?" tanya Luisa sambil tersenyum, meskipun di hatinya begitu penuh dengan tanda tanya. "Ini dikasih tetangga sebelah kiri, dia ulang tahun pernikahan. Mungkin ia mengira kita adalah pemilik tempat ini. Namanya rejeki, tidak mungkin aku tolak kan? Apalagi kamu memang sedang lapar. Ya sudah, makan yang banyak, setelah ini kita pulang!" Edmun berusaha keras men langsung nasinya, sampai seperti orang tercekik. Luisa yang terlalu asik makan mak
"Langsung saja, Cris, apa maksud kamu mengundangku ke sini?" tanya Edmun tanpa berbasa-basi. Wanita yang baru saja menaruh dua cangkir teh di atas meja itu tertawa pendek. Ia duduk dengan kaki kanan naik ke paha kiri, sehingga kain kimono yang barbahan satin itu melayang jatuh menggantung di paha kanan dan terpampanglah kulit pahanya yang putih menggoda. Edmun menahan napas, mengatur detak jantungnya yang tidak karuan. Di saat ia tidak boleh menyentuh sang Istri, disaat itu pula Cristy seperti sedang memancingnya. "Aku minum dulu." Edmun mengambil cangkir teh yang ada di depannya sebagai bentuk pengalihan rasa gugup. Teh hangat itu ia cicipi perlahan karena masih sedikit panas. Namun, karena Cristy terus saja menatapnya, meskipun teh itu panas, ia tetap menyesapnya hingga setengah. Cristy bersorak dalam hati. Ia bangun dari duduknya, berjalan menuju lemari nakas yang ada di ruang tamu. Dengan kunci yang menggantung di dinding, ia buka lemari untuk mengeluarkan satu buah map. Wanita