Hari-hariku kini aku habiskan di rumah sakit. Bahkan rasanya mulut ini menolak untuk makan walaupun hanya sesendok. Karena hatiku ini sedang benar-benar hancur hingga tidak perduli dengan badanku sendiri.Ku kuatkan jiwa ini apapun nanti jalan yang dipilihkan Tuhan pasti itu yang terbaik untukku. Akan aku terima dengan ikhlas."Rin, aku suapin, ya," kata Prita mengagetkanku. "Tidak usah Prita. Biar aku makan sendiri nanti," jawabku."Tapi nasi ini sudah sejak tadi kamu anggurin. Nanti keburu nggak enak dimakan," katanya lagi.Sampai tak sadar nasi yang sudah aku buka sejak tadi tidak kunjung aku makan. Entah aku sekarang jadi sering melamun."Eh, iya. Aku makan kalau gitu." Dengan malasnya aku pun mulai menyendok nasi yang dibawakan Prita."Kamu yang sabar ya, Rin. Aku yakin kamu dan Romi adalah manusia yang kuat. Kalian bakal bisa melewati semua ini," tuturnya pelan."Makasih ya, Prit," jawabku singkat. "Ngomong-ngomong besok mau dibawakan makanan apa lagi?" tanyanya lagi."Tidak u
"Assalamu'alaikum!""Wa'alaikum salam!" jawab kami bersamaan.Ibu mengernyitkan keningnya setelah melihat aku dan bapak sedang mengemas beberapa barang. Beliau tampak sangat bingung melihat beberapa tas sudah tertata rapi di depan kamar."Loh ada apa ini, Pak? Memangnya kita mau ke mana?""Ibu jangan banyak tanya dulu. Yang penting kita cepat berberes, kita kemas semua barang-barang kita."Satu persatu beberapa tas berisi baju, bapak bawa masuk ke mobil yang sebelumnya sudah beliau siapkan."Kamu istirahat saja, Nak. Biarkan bapak saja yang membawa tas ini ke dalam mobil. Takut nanti kamu semakin kecapekan, dan jaga-jaga kalau Romi bangun tidur menangis mencari kamu.""Iya, Nak. Biar ibu dan bapak saja yang melanjutkan. Kamu istirahat saja." Kini ibu juga turut membantu bapak."Baik, Pak." Aku pun langsung masuk ke kamar menurut apa yang diminta bapak dan ibu perintahkan kepadaku.Saat aku sampai di dalam kamar, ternyata Romi sedang menggeliat. Sepertinya dia sedang ingin Asi. Dengan s
Pov Ibu MertuaRasanya sangat kesal sekali setelah mendapat penolakan dari keluarga Rina. "Cih! Angkuh sekali itu bapaknya Rina sok-sokan banget kepada kita. Kamu itu juga jangan diam aja Adit. Sesekali lawan itu mulut bapaknya Rina!" kataku emosi.Sejak di jalan aku marah-marah tidak jelas karena kesal dengan perlakuan pak Fuad yang mengusir kami dari rumahnya.Bukannya Adit menjawab perkataanku, malah di sepanjang jalan dia terlihat murung. Entah apa yang dipikirkannya. Mungkin dia masih tergila-gila kepada istrinya yang tidak berguna itu."Setelah ini lupakan saja itu si Rina. Percuma juga punya istri seperti dia. Tak mau menurut sama suami dan mertuanya," kataku kesal."Jangan bilang begitu dong, Bu. Mana mungkin Adit bisa melupakan Rina. Dia kan istri Adit yang menemani Adit dari nol sampai bisa seperti sekarang ini.""Halah, pikiran dari mana itu? Yang menemani kamu dari nol itu ibu, bukan dia! Rina itu hanya tinggal metik hasilnya saja. Dalam pikirannya cuman belanja dan belanj
Aku sengaja berlama-lamaan di dalam kamar mungkin sampai ketiduran pun tidak masalah. Biar kapok itu bu Mariyah, nggak utang-utang lagi sama aku. Memangnya aku emaknya kalau berhutang nggak dikembalikan?"Bu! Bu, Munah!" teriaknya setelah setengah jam aku tinggal berbaring di dalam kamar.Beberapa kali dia berteriak memanggilku, namun sama seperti sebelumnya tidak aku jawab. Biarkan saja setelah ini dia bakalan capek sendiri. Kalau sudah capek sendiri pasti juga akan pulang.Setelah sekitar lima menitan lamanya Bu Mariyah berteriak memanggil namaku, suaranya sudah tidak terdengar lagi. Dengan cepat aku memastikan dari balik jendela."Makan tuh hutang!" Aku berhasil membuat Bu Mariyah pulang dengan menelan pil pahit.Awalnya aku meminjamkan uang kepada bu Mariyah karena kasihan tapi lama kelamaan aku merasa dimanfaatkan. Makanya aku stop untuk kasih utangan lagi ke bu Mariyah.Mungkin kalau bukan tetangga aku juga tidak akan mau berteman dengan beliau ini.***Aku mengernyitkan keningku
Ini sudah hari ke tujuh setelah aku mengunjungi rumah Rina. Ingin rasanya aku melihat cucuku kembali. Aku ingin memastikan dia baik-baik saja di sana.Jujur rinduku ini sangat tidak tertahan. Mau bagaimanapun dia cucu pertamaku dari anak lelaki satu-satunya. Mumpung hari ini hari minggu, jadi aku bisa mengajak Adit berlama-lamaan pergi menemui Romi, cucu lelakiku."Ayo, Dit kita pergi ke rumah Rina! Ibu kangen sekali dengan Romi.""Sekarang, Bu?""Ya sekaranglah! Masak kamu tidak kangen dengan anak kamu sendiri?""Kangen sih, Bu. Tapi kan ....""Tapi apa? Kamu takut diompoli, takut kamu nggak bisa menenangkan saat anak kamu sedang rewel? Tenang, ada ibu di sini. Biar ibu saja yang menggendong Romi nanti."Mengingat Adit selama punya anak dia belum mahir dalam menggendong bayi. Selama ini dia percayakan bayinya dalam pengasuhan kepada Rina, ibunya."Pokoknya kali ini kita harus berhasil membawa Romi pulang ke rumah, Dit. Aku ingin cucu ibu pulang ke sini lagi. Aku tidak ingin kalau Romi
Tak kuasa aku menitihkan air mata. Karena benar-benar hati ini sudah hancur. Tega sekali mereka memisahkan aku dengan cucu lelakiku. Aku ini kan tidak bersalah, yang bersalah kan Rina, anak dari Pak Fuad dan Bu Nuria yang tak tahu diri itu."Mbak Sulastri beneran nggak tahu ke mana perginya Rina?"Kini Adit bertanya kembali ke tetangga yang masih setia melihat kami di pagar tembok rumah Rina."Beneran nggak tahu saya Mas Adit. Waktu pergi itu Rina dan keluarganya terlihat seperti terburu-buru. Mungkin sekitar empat jaman setelah Mas Adit pulang dari sini, saat menjenguk Romi pulang dari rumah sakit."Jadi mereka pergi setelah aku diusir Pak Fuad. Berarti sebelumnya mereka sudah berencana untuk pindah rumah gitu, kurang aj*r memang."Lha memangnya Rina nggak izin dulu sama Mas Adit, kalau mau pergi ke mana begitu?" Tanpa berkata Adit menggelengkan kepalanya."Waduh kok bisa seperti itu? Harusnya kan istri kalau pergi ke mana-mana harus minta izin dulu ke suaminya. Berarti Mas Adit sudah
Mungkin aku sedang bermimpi sampai harus ketemu dengan wanita kur*ng aj*r itu. Ku cubit lenganku dengan keras ternyata beneran sakit. Jadi ini bukan mimpi."I-itu, bukannya dia perempuan yang sering datang ke rumah kita, Dit?" tanyaku ragu.Ku tunjuk beberapa poto yang terpasang di dinding rumah ini."Iya, Bu. Dia adalah sahabat Rina sejak di bangku sekolah."Waduh bisa malu aku kalau aku ketemu dia sekarang ini. Aku yakin dia bakalan memarahiku seperti tempo dulu saat Rina baru saja melahirkan. Atau mungkin dia bakalan menertawakanku kalau semua yang dibicarakan itu benar."Ibu ini gimana? Masak orang setelah melahirkan harus diatur terus makannya. Jangan makan ini jangan makan itu. Yang diperbolehkan cuman makan pakai sayur kulup (sayur yang hanya direbus dan saat menyantapnya tanpa menggunakan kuah) saja dan bawang merah goreng sebagai pelengkapnya. Memangnya ibu tidak kasihan dengan menantu dan cucu Ibu sendiri?" katanya waktu itu."Yang nggak kasihan itu kamu. Anak muda tahu apa?
"Sudah keterlaluan itu yang namanya Prita. Kurang aj*r sama orang tua. Kalau dia tadi berdiri lebih dekat sudah dipastikan ibu pasti sudah menjamb*k-jamb*k rambut pirangnya itu.""Sudahlah, Bu. Jangan, emosi terus begitu!" ucap Adit mencoba menenangkan aku."Gimana nggak emosi? Wanita yang masih bau kencur itu sudah merendahkan aku yang lebih tua dari dirinya. Itu kan sudah nggak sopan namanya. Kayak aku ini nggak punya harga diri saja.""Apa pantas mengusir orang yang ingin meminta bantuan darinya? Benar-benar kurang aj*ar!" lanjutku yang masih terus saja ku luapkan emosiku ini."Kalau Ibu marah-marah terus, Ibu nanti bisa kena darah tinggi. Ini saja kepala Adit jadi tambah puyeng setelah mendengar ocehan Ibu.""Diam kamu, Dit! Jangan sok menasehati ibu. Sekarang cari akal gimana kita bisa menemui Rina. Bayangkan, Dit, bayangkan! Aku ini lagi seneng-senengnya punya cucu terus sekarang dijauhkan gitu. Hati nenek mana yang kuat dengan cobaan begini, Dit?""Iya, Bu. Adit paham dengan mak