Share

Bab 3

Tak butuh waktu lama kami sudah sampai di rumah bidan.

"Bu! Tolong, anak saya, Bu!" Ku gedor-gedor pintu rumah Bu Yayuk, bidan desa yang paling terkenal sabar dan telaten di wilayah kampung sini.

"Ada apa ini Bu Rina?" tanya beliau yang kaget melihatku bercucuran air mata sambil menggendong bayiku yang terus saja menangis.

"Anak saya, Bu ...."

"Ayo sini, Bu. Baringkan putranya, akan saya periksa!" Bu Yayuk mengarahkan aku ke ruang pemeriksaan.

"Bu, anak saya dikasih makan kerokan pisang oleh ibu mertua. Saya takut terjadi apa-apa dengan anak saya, Bu."

Bu Yayuk mengangguk-angguk sambil memeriksa perut Romi. Perut Romi terlihat sangat jelas lebih besar dari ukuran biasanya. Bahkan sekarang terlihat sangat keras.

Bu Yayuk membalurkan minyak telon ke perut Romi. Setelah itu melakukan pijat ILU, dan gowes (melakukan gerakan seperti mengayuh sepeda). Tak lama kemudian, Romi pun kentut, dan tercium bau menyengat khas kent*ut bayi. Setelah itu, Romi pun langsung tenang.

"Sepertinya yang masuk ke dalam perut bayi ibu sangat sedikit. Nanti kalau perut bayi Ibu kembung lagi coba ibu lakukan seperti yang saya lakukan ini tadi. Namun kalau masih saja tetap rewel apalagi disertai muntah, diare atau sembelit dan bahkan dibarengi dengan demam. Langsung bawa bayi Ibu ke sini lagi ya. Kita lakukan pemeriksaan lebih lanjut."

"Baik Bu, terimakasih banyak atas bantuannya." Aku jadi lebih sedikit tenang setelah mendengarkan penjelasan beliau.

"Jaga baik-baik anaknya ya, Bu. Jangan, sampai teledor lagi. Selalu awasi orang-orang yang berpotensi memberikan MPASI dini. Ibu harus tetep teguh pendirian. Pemberian MPASI hanya untuk bayi umur 180 hari atau enam bulan. Oh ya, Bu, perlu diingat kembali. Pemberian air putih juga tidak boleh diberikan sebelum usia yang saya jelaskan tadi, ya. Pemberian air putih juga sama saja dengan MPASI dini," terang beliau.

Sebelumnya aku juga sudah diwanti-wanti oleh dokter kalau cegukan pada bayi itu wajar dan gak perlu dikasih air putih segala. Bayi hanya boleh minum Asi atau sufor. Minuman lain tidak boleh diberikan. 

"Baik Bu, terimakasih banyak atas nasehatnya. "

Setelah selesai, kami pun langsung berpamitan.

"Tak mungkin aku kembali ke rumah mertuaku lagi, Prit. Aku takut kalau ibu mertuaku tambah menjadi-jadi."

"Ya sudah untuk saat ini kamu istirahat dulu sementara di rumahku. Nanti kalau hatimu sudah enakan aku akan antar kamu ke rumah orang tua kamu."

"Iya, Prita terimakasih banyak."

Sudah sejak dalam perut Romi sudah mengalami ketidak adilan. Karena saking sayangnya ibu mertua kepada cucunya. Banyak makanan yang terpaksa aku pantang. Kalau ingat waktu itu bikin aku sangat sedih.

"Jangan, ngeyel! Sudah berapa kali kamu ibu ingatkan. Jangan, makan ikan! Nanti anak kamu jadi bau amis. Lebih baik orang hamil itu konsumsi sayur mayur saja, lebih aman tidak ada resiko," sungut ibu mertua.

"Tapi, Bu ...."

"Apa? Mau bilang anjuran bidan lagi gitu? Nggak usah nurut! Semua ini juga demi kebaikan kamu dan calon anak kamu sendiri, Rin. Jangan, membantah perkataan ibu!"

Ibu kemudian mengambil sisa ikan nila goreng yang ada di piring makanku. kemudian membuangnya ke tempat sampah.

"Sudah aku umpetin tapi kamu tetap saja tahu tempatnya," gerutu beliau.

"Nih, habiskan!" Ibu memberiku semangkok sayur bening sawi hijau.

Setiap hari aku selalu makan sayur itu hingga aku bosan. Telor, udang, dan aneka makanan protein hewani aku tidak dibolehkan makan. Alasannya adalah karena kata orang zaman dahulu nggak boleh makan ini katanya anaknya bakalan begini dan begitu. Selalu itu saja yang dijadikan senjata oleh ibu mertuaku.

Tersiksa sungguh aku tersiksa. Apalagi selama hamil, aku juga tidak dibolehkan pulang ke rumah orang tuaku dengan alasan nanti takut terjadi apa-apa dengan aku dan calon bayiku.

Aku hanya bisa pasrah karena semenjak hamil aku jadi semakin sering letih, tak segesit seperti biasanya.

"Kita sudah sampai, Rin. Ayo, kita turun." Suara Prita membuyarkan lamunanku.

"Kamu istirahat saja dulu. Biar Romi aku yang menjaga. Nanti kalau dia haus akan aku bangunkan kamu."

"Tapi nanti kalau kamu capek gimana?"

"Tidak-tidak, kamu tenang saja."

***

"Rin, maaf aku tidak bisa mampir. Soalnya aku ada rapat pagi ini. Kalau ada apa-apa kamu langsung hubungi aku saja."

"Baik, Prit. Terimakasih banyak, ya."

Turun dari mobil Prita, aku disuguhkan pemandangan yang sangat aneh.

Sejak kapan dia ada di sini? Padahal semalam dia menolak untuk membantuku mengasuh Romi.

"Assalamu'alaikum!"

"Wa'alaikum salam," sahut ayah dari dalam rumah.

"Kamu sudah datang, Nak?"

"Iya, Yah."

"Sini aku mau gendong cucu ayah dulu." Terlihat ayah sangat bahagia setelah menimang cucunya.

Plak!

Setelah ayah pergi meninggalkanku. Tiba-tiba ibu datang men*amparku.

"Di mana hati nurani kamu? Bayi masih merah sudah kamu bawa keluyuran, sampai tengah malam lagi."

Mataku rasanya terbelalak mendengarkan penuturan ibuku. Memangnya apa yang sudah terjadi? Apa ini ulah Mas Adit?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status