Bola mata Savana membelalak, ia masih terpaku. Punggung tangannya terasa panas, seolah ciuman tadi baru saja terjadi. Ia menunduk, menahan debaran dadanya yang kacau.
“Sekarang sudah percaya kan, kalau aku mencintai Savana?” suara Daryan terdengar mantap, ditujukan pada Ajeng. Ajeng menatapnya tajam, wajahnya memerah karna amarah. “Dasar gila! Kalian pikir ini sinetron?!” serunya sebelum membalikkan badan dan keluar dari ruangan. Setelah pintu tertutup, suasana menjadi hening. Daryan menarik nafas panjang, lalu duduk tanpa menatap Savana sedikit pun. Savana masih belum bisa bicara. Tapi pikirannya sudah mulai dipenuhi pertanyaan yang lebih dalam. “Tidak usah dipikirkan ucapan ibuku, lagipula nanti kita tidak tinggal bersama dia,” ucap Daryan, suaranya berat dan tatapannya datar tanpa ekspresi. Savana mengangkat kepalanya, menatap pria itu sebelum mengangguk kecil. Sejujurnya, bukan itu yang membuatnya kepikiran melainkan kecupan di punggung tangannya tadi—sensasi bibir tebal dan panas pria itu di kulit tangannya masih terasa. Tanpa banyak bicara lagi, Revanza lantas mengeluarkan sebuah map coklat dari dalam tasnya. Kemudian, ia meletakannya di hadapan Savana setelah mengeluarkan dua lembar kertas dari dalam map coklat tersebut. Sementara Savana mengerutkan kening bingung, tak paham maksud dari dua lembar kertas di hadapannya itu—matanya berkedip dua kali mencoba memahami. Belum sempat dia bertanya, Daryan lebih dulu membuka suara. “Dan satu lagi,” ucap Daryan tiba-tiba, membuat Savana mendongak. "Kamu tahu alasan saya mengajak kamu bertemu di sini?" tanya Daryan, suaranya penuh misteri, membuat Savana tercekat. Refleks, kepala Savana menggeleng meskipun ia tahu ini masih berkaitan dengan pertemuan kemarin tentang pernikahan mereka. Namun, kata-kata Daryan selanjutnya bagaikan petir di siang bolong, membuat Savana tercengang seketika. “Pernikahan ini hanya kontrak, Savana. Bukan sungguhan. Tidak ada cinta, tidak ada ikatan. Semua yang akan saya lakukan nanti, hanya untuk memenuhi syarat kontrak.” Savana menelan ludah. Hatinya terasa aneh—kosong, sekaligus berat. Dia teringat pada senyum tipis Daryan saat mengajaknya bicara tadi, pada nada suaranya yang nyaris hangat ... pada kecupan di punggung tangannya. Ternyata— Semua itu cuma akting? Ia ingin bertanya, ingin protes. Tapi kata-kata itu tercekat di tenggorokan, sulit untuk keluar. Tatapan tajam Daryan membuatnya bungkam. “Silahkan dibaca dulu, Savana. Setelah itu kalau kamu setuju dengan ketentuan di dalamnya, boleh langsung ditandatangan,” Revanza menyela, mengulurkan pulpen ke hadapan Savana. Savana membasahi bibirnya sebelum menarik kertas itu lebih dekat, dia tidak paham soal surat seperti ini tapi dia tetap membaca dan mulai mencerna sendiri tulisan-tulisan di dalamnya. Perjanjian di dalamnya tentu berisi perjanjian pernikahan kontrak dan ketentuan yang tidak boleh dilanggar oleh kedua belah pihak. 1. Pernikahan hanya formalitas, berlangsung selama satu tahun terhitung dari tanggal penandatanganan. 2. Kedua belah pihak akan tinggal di rumah yang sama, tapi menggunakan area pribadi masing-masing dan dilarang masuk ke kamar pihak lain tanpa izin. 3. Kedua belah pihak bebas menjalin hubungan dengan orang lain di luar pernikahan selama tidak menimbulkan skandal publik. 4. Tidak ada kewajiban untuk memenuhi tugas sebagai suami atau istri, baik secara fisik maupun emosional. 5. Kedua belah pihak tidak diperkenankan mencampuri urusan pribadi, pekerjaan, atau keluarga satu sama lain. 6. Jika salah satu pihak ingin mengakhiri kontrak sebelum waktunya, maka harus membayar penalti senilai 5 miliar rupiah, ini berlaku juga jika isi kontrak bocor ke publik. 7. Keuntungan yang diperoleh, pihak laki-laki menikah demi reputasi dan pihak perempuan demi biaya kuliah sampai lulus serta satu anak perusahaan untuk orangtua laki-laki pihak perempuan. Savana menghela nafas panjang sebelum meletakan kembali surat itu ke atas meja, jantungnya seketika mencelos karna kenyataan bahwa ayahnya ingin menjualnya itu bukanlah sekadar mimpi belaka. “Pak Daryan, jadi biaya hidup saya gimana? Kita bakal tinggal bareng, kan?” tanya Savana pelan, agak kikuk. Daryan tertawa pelan, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan. “Saya yang akan tanggung semuanya. Biaya makan, tempat tinggal, kuliah, jajan kamu, bahkan skincare kamu sekalipun ... saya yang urus.” Savana terdiam. Bukan karna terharu tapi lebih karna bingung. “Tapi—“ “Kamu tidak perlu mikir yang aneh-aneh. Saya melakukan ini karna mau bagaimana pun kamu istri saya, walaupun secara kontrak. Anggap saja ini ganti rugi karna kamu harus menikah muda gara-gara saya.” Mata Savana membulat, tenggorokannya terasa kering. Hatinya teriris mendengar ucapan Daryan yang blak-blakan, pria itu seolah menegaskan dirinya tak lebih dari sekadar alat transaksional. “Saya tidak suka jika sampai istri kontrak saya masih memikirkan soal uang, apalagi sampai minta. Itu tanggung jawab saya,” lanjut Daryan, nadanya seperti bos yang tidak suka di bantah. Revanza melirik ke arah Daryan dengan ekspresi terkejut. Ia yang berdiri di dekat mereka sampai mengangkat alis, seolah tidak menyangka Daryan akan langsung bicara seperti itu. Sedangkan Savana hanya sanggup mengangguk pelan—tak bisa berkata-kata lagi. “Jadi, mulai sekarang, apapun yang kamu butuhkan, tinggal bilang ke saya. Tidak usah pakai kode-kode, atau malu-malu. Kita sudah menanda tangan kontrak, artinya saya juga harus penuhi bagian saya.” Savana masih menunduk, namun pipinya mulai memerah. Dia tidak tahu harus senang, bingung, atau justru takut karna Daryan terdengar sangat serius. “Kamu keberatan?” tanya Daryan seraya mengulas senyum miring yang sialnya membuat pria itu bertambah tampan berkali-kali lipat. “Gak sama sekali, cuma ...,” Savana menggigit bibirnya kuat sebelum membuka suara. “Saya juga mau nambah isi kontraknya. Boleh?” Daryan menaikan sebelah alisnya, ia melirik Revanza sekilas sebelum mengalihkan pandangannya lagi pada Savana. “Silahkan,” ujarnya datar. Savana melipat kedua tangannya di atas meja dan menatap Daryan dengan serius. “Saya mau menambahkan jika pihak A suatu hari jatuh cinta sama saya, atau ... tiba-tiba ingin melakukan hubungan suami istri. Maka pihak A harus membayar sebesar lima miliar untuk harga tersebut!” Daryan terdiam. Sebelum akhirnya terkekeh. “Kamu pikir saya bakal jatuh cinta sama kamu?” “Saya cantik, pintar, dan yang terpenting masih perawan,” jawab Savana sedikit menantang meski takut. Ia lalu mengedikan bahu, “Kita kan ga tahu kedepannya, siapa tahu kan?” “Baiklah,” Daryan mengangguk pelan, tatapannya dingin juga serius. “Tapi saya juga punya persyaratan terakhir,” ucapnya seraya menyandarkan punggungnya ke kursi, kedua tangannya terlipat di dada. “Jika pihak B yang justru gagal menjalankan kesepakatan ini, termasuk tidak mampu bertahan, atau ... memutuskan untuk mundur sebelum waktu yang di tentukan. Maka pihak B wajib menghentikan seluruh aktivitas akademik dan mengembalikan semua pemberian dari pihak A, lalu pergi menjauh dari pihak A untuk selamanya.” Savana menatap pria matang itu, keningnya berkerut—tangannya gemetar di bawah meja. “Kok kayak ancaman, sih?” “Bukan ancaman. Tapi konsekuensi,” Daryan tersenyum tipis. “Kamu yang minta main kontrak, kan?”Savana langsung mendorong pelan tubuh Daryan menjauh darinya, rona wajahnya berubah gugup seketika saat melihat ibunya berdiri di ambang pintu. “M-ma … i-ini … bukan seperti yang mama pikir ....” Namun sebelum Savana sempat menyelesaikan kalimatnya, Daryan menyela dengan santai, bahkan terlalu santai. “Maaf, Ma. Saya yang tidak tahu tempat.” Savana membelalak, menoleh kaget ke arahnya. “Mas….” desisnya pelan. Tapi Daryan hanya tersenyum sekilas. “Mama ke sini sendiri?” Hana mengangguk pendek, ekspresinya masih menyimpan keterkejutan sejak melihat pemandangan privasi sepasang suami-istri barusan. Daryan melirik jam di tangan kirinya. “Sepertinya saya harus berangkat ke kantor sekarang. Kalau begitu, saya pamit dulu.” Daryan melangkah pergi tanpa tergesa, pembawaannya tenang dan penuh wibawa. Ia meninggalkan keduanya di depan pintu penthouse, seakan tahu ini urusan ibu dan anak yang tak boleh ia ganggu lebih jauh. Begitu pintu tertutup, Savana menghela napas panjang dan menatap
Pagi itu, Savana keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk putih pendek yang dililit di tubuhnya. Rambutnya masih basah, dan beberapa tetes air menuruni bahunya. Saat membuka pintu, ia langsung terkejut. “Ngapain mas berdiri di situ?” tanyanya kaget, satu tangannya memegangi dadanya. Daryan bersandar santai di sisi dinding, menyambutnya dengan senyum tenang. “Saya nungguin kamu. Tadi saya yang antar kamu ke kamar mandi, jadi sekarang saya jemput lagi.” Savana mendengus pelan kemudian tersenyum kecil, memalingkan wajahnya mencoba menutupi rona merah di pipi. “Gak usah, mas.” Tolaknya sambil berjalan melewati sang suami. “Bukannya kamu masih sakit?” balas Daryan, matanya menelisik langkah Savana yang tampak berbeda, menahan perih di area tertentu. “Udah gak, kok,” jawabnya cepat, berjalan ke arah meja rias dengan sedikit kaku. Daryan tak tinggal diam, ia mengikuti langkah istrinya dan berdiri tepat di belakangnya, menatapnya lewat pantulan cermin. Senyum kecil terus menggan
Savana duduk di depan meja rias. Pantulan wajahnya di cermin tampak berbeda malam ini. Rambutnya digerai lembut, makeup tipis hanya menonjolkan bibir dan matanya. Piyama satin berwarna lembut melapisi tubuhnya, tapi di baliknya berupa lingerie tipis yang mencetak tubuh seksinya. Jantungnya berdetak cepat. Tangannya menekan dada, mencoba menenangkan degup yang tak mau kompromi. Aku bisa. Aku udah siap. Tapi, kenapa sesulit ini? Diam-diam dia mengulas senyum manis. Mengingat pengakuan cintanya pagi tadi, dan pengakuan cinta suaminya yang ternyata selama ini menyimpan perasaan yang sama. Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Savana menoleh, lalu buru-buru memalingkan wajah ketika melihat sosok Daryan muncul dari kamar mandi hanya mengenakan handuk putih yang dililit di pinggangnya. Tubuh bagian atasnya basah dan masih menetes, otot-ototnya terlihat tegas di bawah cahaya temaram kamar. Daryan berjalan pelan ke arah lemari, namun langkahnya terhenti saat melihat Savana yang kini diam membeku
Daryan menatap istrinya dalam-dalam. Bibirnya bergerak seakan hendak bicara, tapi akhirnya hanya keluarkan satu kalimat, lirih. “Kenapa kamu tetap ingin pergi, Savana?” Savana menunduk sambil menggigit bibirnya kuat, jari-jarinya menggenggam erat ujung selimut. Setelah beberapa saat, dia akhirnya berkata lirih, “Karena dari awal ini hanya perjanjian, mas. Dan saya gak mau terlalu berharap lebih.” Daryan tersenyum kecil, tapi ada getir di sana. “Jadi kamu menahan diri untuk gak berharap ... karena takut jatuh cinta?” Savana langsung menoleh menatapnya, kaget dengan tebakan itu. “Saya bukan penebak, tapi saya tahu seperti apa wajah orang yang berusaha menyembunyikan perasaannya,” lanjut Daryan dengan nada lebih tenang, tatapannya sedikit melembut. “Kamu juga begitu, mas.” Savana akhirnya bersuara, meski pelan. “Mas juga kelihatan gak jujur sama perasaan sendiri.” Daryan tak membantah. Ia memutar wajah, menyembunyikan ekspresinya dengan menatap ke luar jendela. “Mungkin. Karena s
“Mas ….” “Hm?” Daryan menyahut pelan, suaranya lembut dan nyaris berbisik. Savana yang berbaring di sampingnya menatap langit-langit kamar, tangannya menggenggam erat pakaian yang kini membalut tubuhnya. Tangan kanannya masih berada dalam genggaman Daryan yang hangat. Ia ragu sejenak, tapi pertanyaan itu tak bisa ditahan lebih lama. “Mas yang ganti pakaian saya?” Daryan tak langsung menjawab. Napasnya terdengar pelan, seperti sedang memilih kata. “Iya,” ucapnya akhirnya. Tubuh Savana langsung menegang. Matanya membelalak, wajahnya memerah bukan hanya karena demam melainkan malu. “Berarti ... mas udah lihat semuanya?” Daryan memejamkan mata sejenak, berusaha menahan gelombang emosi yang datang dari raut Savana. “Savana .…” “Mas!” potong Savana cepat, wajahnya kini semakin memerah karena malu dan canggung. “Kenapa mas gak manggil perawat atau siapapun?” “Karena saya panik!” Daryan akhirnya menaikkan sedikit suaranya. Tapi bukan marah, lebih ke frustasi. “Kamu pingsan di kamar ma
Daryan berdiri di balkon dengan wajah tegang. Di tangan kirinya, iPad menyala menampilkan rekaman dari CCTV mansion. Jarinya menyapu layar, mempercepat waktu, sampai akhirnya terhenti di satu rekaman di ruang kerjanya. Matanya menyipit tajam. Rekaman itu memperlihatkan Ajeng datang membawa secangkir kopi lalu dengan tanpa ragu, menuangkannya ke buku tugas Savana. Sang ibu membentak, dan puncaknya ... menampar Savana keras hingga sang istri terhuyung. Rahang Daryan langsung mengeras. Tangannya mengepal kuat, hampir membuat iPad itu retak di genggamannya. Hatinya berdesir dengan rasa bersalah yang dalam. Jadi itu alasannya... Savana bukan lari dari tanggung jawab. Bukan semata karena kekanak-kanakan seperti yang dia pikirkan. Tapi karena dia benar-benar disakiti. Dan yang paling menyakitkan saat semua itu terjadi, Daryan tidak ada di sisinya. Ia segera melangkah masuk ke kamar. “Savana,” panggilnya, tapi Savana tidak ada di sana. Daryan baru teringat kalau istrinya tadi pergi